Kamis, 30 Oktober 2014

Ke-Kami-an menjadi ke-Kita-an



 Ke-Kami-an menjadi ke-Kita-an
Refleksi Makna Sumpah Pemuda 28 Oktober 2014
Oleh: Thomson Hutasoit
Direktur Eksekutif LSM Kajian Transparansi Kinerja Instansi Publik (ATRAKTIP)

Pendahuluan.
            Salah satu tonggak sejarah perjalanan Bangsa Indonesia yang tidak boleh dilupakan ialah Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 dimana para pemuda-pemudi bumi Nusantara mengikrarkan sumpah satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa yang diawali kata “Kami”.
            Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 yang diawali kata “Kami” satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa yaitu Indonesia adalah komitmen kebangsaan yang diikrarkan kepada bangsa-bangsa lain. Sebab, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007) kata Kami mengandung arti yang berbicara bersama dengan orang lain (tidak termasuk yang diajak berbicara); yang menulis atas nama kelompok, tidak termasuk pembaca, yang berbicara (digunakan oleh orang besar, misalnya raja); yang menulis (digunakan oleh penulis).
            Dari konteks KBBI bahwa kata “Kami” yang digunakan para pemuda-pemudi 28 Oktober 1928 menunjukkan bahwa bangsa Indonesia di satu pihak dan bangsa-bangsa asing di atas dunia di pihak lain. Komitmen kebangsaan seluruh rakyat Nusantara yang dimotori para pemuda-pemudi dengan gagah berani berbicara dan menyatakan diri satu nusa, satu bangsa, satu bahasa yakni Indonesia terhadap bangsa-bangsa mana pun di jagat raya ini adalah spirit kebangsaan yang tidak boleh kendur sepanjang masa. Semangat para pemuda-pemudi yang berani mengikrarkan ke-Kami-an terhadap bangsa-bangsa lain adalah salah satu modal dasar bangsa Indonesia yang perlu dirawat sepanjang masa.
            Konteks ke-Kami-an sebelum Indonesia merdeka 17 Agustus 1945 oleh para pemuda-pemudi Nusantara tentu tidaklah sama dan identik pasca Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Sebab di alam merdeka komitmen kebangsaan bukan lagi hanya ditujukan kepada bangsa-bangsa lain. Tetapi, komitmen kebangsaan itu juga harus pula ditujukan pada memperkuat ke-Kita-an agar seluruh anak-anak Ibu Pertiwi Nusantara memiliki posisi setara dan sederajat dalam berbangsa dan bernegara. Karena, menurut KBBI (2007) makna ke-Kita-an ialah yang bersifat atau berciri kita, kesatuan perasaan antara kita: fungsi ideologi membangun sikap ke-Kita-an, sifat mementingkan kebersamaan dalam menanggung suka duka (saling membantu, saling menolong, dan sebagainya).  
            Dalam konteks kedua kata inilah (ke-Kami-an dan ke-Kita-an) kadangkala belum disadari komprehensif paripurna dalam berbangsa dan bernegara sehingga muncul polarisasi cara pandang sesama anak bangsa yang tidak mustahil satu sama lain menimbulkan pergesekan, perpecahan, perseteruan ataupun konflik karena masing-masing pihak lebih menonjolkan ke-Kami-an daripada ke-Kita-an dalam berbangsa dan bernegara. Padahal, pasca kemerdekaan ke-Kami-an yang ditujukan kepada bangsa-bangsa lain tidak boleh sekali-sekali dilancarkan terhadap sesama anak bangsa, justru ke-Kita-an lah yang seharusnya ditonjolkan agar kesatuan perasaan diantara kita semakin tumbuh ditandai saling membantu, saling menolong dalam menghadapi suka duka berbangsa dan bernegara.
            Bila seluruh anak-anak negeri mengedepankan kebersamaan maka proses musyawarah menuju mufakat tidak sulit dilaksanakan, apalagi sifat ke-Kita-an yang dilandasi kesatuan perasaan sesama anak bangsa tersemaikan terus-menerus,  berkesinambungan dari generasi ke generasi.
Konsepsi ke-Kami-an.
            Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa konsepsi ke-Kami-an yang diikrarkan para pemuda-pemudi pada Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 ialah konsepsi “Kebangsaan ke-Indonesia-an” yang dilandasi kesadaran nasional melahirkan satu bangsa berdaulat, bermartabat bernama Indonesia.
            Menyatakan atau mengikrarkan ke-Kami-an terhadap bangsa-bangsa lain harus pula disadari sebagai buah keberhasilan pemikiran jenial para putera-puteri Nusantara membangun ke-Kita-an ribuan pulau-pulau, ribuan suku bangsa, ratusan bahasa lokal, serta berbagai agama dan kepercayaan yang tumbuh di bumi Nusantara.
            Kesatuan perasaan, senasib sepenanggungan, mendahulukan kebersamaan di atas kepentingan pribadi, kelompok maupun golongan adalah salah satu faktor pertama dan utama membangun ke-Kita-an di bumi Nusantara yang majemuk, pluralistik.  
            Bila masing-masing suku, agama, ras, antar golongan (SARA) termasuk daerah menonjolkan ke-Kami-an nya maka ke-Kita-an di bumi Nusantara tidak akan pernah lahir atau tumbuh hingga kapan pun. Sebab tiap-tiap suku, agama, ras, antar golongan (SARA) maupun daerah akan  mengedepankan, menonjolkan kepentingan masing-masing. Penonjolan ego sektarian-primordial sebelum lahirnya Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 harus pula disadari faktor utama penyebab mudah dan rapuhnya negeri ini dipecah-belah penjajah kolonial di masa lalu untuk selanjutnya dikuasai hingga ratusan tahun.  
            Ke-Kami-an antar suku, agama, ras, antar golongan (SARA) maupun daerah dimanfaatkan para penjajah mengadu domba sesama anak bangsa yang diselimuti egoisme masing-masing. Akibatnya, sesama anak bangsa saling berseteru, konflik, bahkan perang yang berujung kehancuran kerajaan-kerajaan di bumi Nusantara.
            Para pemuda-pemudi cerdas jenial Nusantara melihat dan menyadari sifat ke-Kami-an rakyat Nusantara merupakan  salah satu faktor utama kegagalan melahirkan satu bangsa merdeka, bermartabat, berdaulat di jagat raya ini. Karena itulah, para putera-puteri Nusantara dengan kecerdasan, kejenialan serta kebesaran jiwa membangun ke-Kita-an sesama anak bangsa untuk melahirkan ke-Kami-an terhadap bangsa-bangsa lain di atas bumi ini.
            Tanpa ke-Kita-an sesama anak bangsa tidak akan mampu melahirkan ke-Kami-an terhadap bangsa lain yang ditandai lahirnya Indonesia merdeka 17 Agustus 1945. Jadi ke-Kami-an adalah Nasionalisme Jilid Satu yakni perebutan kemerdekaan dari genggaman penjajah kolonial.   
            Sadar atau tidak, makna ke-Kami-an yang diikrarkan para pemuda-pemudi pada Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 adalah lahirnya Nasionalisme Jilid Satu yakni hasrat kuat lahirnya suatu bangsa merdeka yakni Bangsa Indonesia.  
            Konsepsi ke-Kami-an adalah perebutan kemerdekaan dari tangan bangsa lain, bukan penonjolan kepentingan sesama anak bangsa.
            Oleh sebab itu, penonjolan ke-Kami-an yang dipertontonkan para elite-elite politik pasca pemilihan presiden (Pilpres) 09 Juli 2014 dimana Koalisi Merah Putih (KMP) ataupun Koalisi Indonesia Hebat (KIH) menonjolkan kepentingan politik kubu masing-masing secara telanjang sungguh sangat disayangkan serta memalukan dalam sejarah perjalanan bangsa ini.  
            Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) adalah sebuah kontestasi sesama anak bangsa untuk memilih calon presiden/wakil presiden terbaik pilihan rakyat dari para putera-puteri bangsa, sehingga tidak perlu berseteru, konflik  berkepanjangan pasca Pilpres.
            Pemilihan presiden/wakil presiden bukan perang terhadap bangsa lain sehingga menonjolkan ke-Kami-an sebagaimana ketika perebutan kemerdekaan dari tangan penjajah kolonial. Walaupun ketika masa proses pemilihan presiden (Pilpres) masing-masing kontestan menggunakan kata “Kami” untuk merekat kubu masing-masing bukan berarti ke-Kita-an sesama anak bangsa tidak perlu dijaga dan dipertahankan lagi.
            Ke-Kami-an di dalam kontestasi politik Indonesia merdeka seperti pemilihan legislatif (DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota), pemilihan eksekutif (presiden, gubernur, bupati/walikota) haruslah ditempatkan dibawah ke-Kita-an, sebab kontestasi politik itu sejatinya untuk mewujudkan tujuan pendirian republik ini yakni masyarakat adil, makmur dan sejahtera dibawah kepemimpinan putera-puteri terbaik yang dilahirkan melalui proses pemilihan umum (pemilu) beradab dan bermartabat dengan menempatkan keutuhan bangsa di atas segala-galanya. Ke-Kami-an ditempatkan dibawah ke-Kita-an sebab siapa pun yang terpilih (presiden,gubernur, bupati/walikota) dia adalah pemimpin seluruh rakyat (kita-red).  
Konsepsi ke-Kita-an.
            Nasionalisme Jilid Satu ialah Kemerdekaan Bangsa Indonesia yang dilandasi ke-Kami-an yang diikrarkan putera-puteri Nusantara pada Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 telah melahirkan satu bangsa bermartabat dan berdaulat di atas bumi ini.
            Sebagaimana dikatakan para pendiri bangsa bahwa Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 adalah “Jembatan Emas” menuju cita-cita proklamasi masyarakat adil, makmur dan sejahtera bagi seluruh rakyat Indonesia, tanpa kecuali.  
            Mengisi kemerdekaan untuk menepati janji-janji proklamasi adalah merupakan Nasionalisme Jilid Dua yakni; menghilangkan kemiskinan, kemelaratan, ketertinggalan,  kebodohon, ketidakadilan, diskriminasi, intimidasi, korupsi serta pelanggaran hak asasi manusia (HAM) lainnya adalah kerja-kerja politik yang mengedepankan ke-Kita-an. Saling tolong-menolong, bantu-membantu, bahu-membahu sesama anak bangsa dengan semangat ke-Kita-an haruslah menjadi arus utama dari seluruh anak-anak bangsa. Bukan sebaliknya, menonjolkan semangat ke-Kami-an untuk menguasai, merampas, menjajah sesama anak bangsa yang berseberangan dengan kepentingan politik masing-masing.
            Menempatkan ke-Kami-an di atas ke-Kita-an adalah suatu pemikiran mundur ke belakang (setback) seperti masa-masa sebelum kemerdekaan yang menonjolkan egoisme masing-masing, baik atas nama suku, agama, ras, antar golongan (SARA) maupun daerah. Penonjolan ego sektoral harus pula dipahami merupakan ancaman laten terhadap keutuhan bangsa dan negara berdasarkan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Bhinneka Tunggal Ika yang merupakan konsensus dasar berdirinya republik ini.
            Ke-Kami-an yang diikrarkan para pemuda-pemudi pada Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 lalu sangat keliru besar ditujukan kepada sesama anak bangsa walau dengan alasan apapun. Ke-Kami-an seharusnya ditunjukkan dan ditujukan kepada bangsa-bangsa lain melalui ukiran aneka prestasi di fora internasional sehingga martabat bangsa di percaturan politik dunia semakin diperhitungkan. Sedangkan kepada sesama anak bangsa yang perlu dikedepankan dan ditonjolkan adalah ke-Kita-an yang merupakan cerminan kesamaan perasaan serta solidaritas sesama anak bangsa melalui aksi kepedulian, saling tolong-menolong, bantu-membantu, bahu-membahu menyelesaikan aneka permasalahan  bangsa saat ini. Permasalahan yang sedang dihadapi bangsa ini hanya bisa diselesaikan apabila seluruh anak-anak bangsa mengedepankan ke-Kita-an sehingga lahir sebuah sinergi besar untuk menyelesaikan aneka permasalahan di republik ini. Ke-Kita-an adalah modal besar yang tidak boleh diusik walau dengan dalih apapun.
Memperkuat Visi Kebangsaan Indonesia.
            Memperkuat visi kebangsaan Indonesia (Nasionalisme) di alam Indonesia merdeka tentu sangat berbeda dengan sebelum kemerdekaan republik ini. Sebab, musuh seluruh bangsa Indonesia sebelum kemerdekaan ialah pihak penjajah kolonial yang merampas kebebasan atau kemerdekaan anak-anak bangsa di seluruh segmen kehidupan. Karena itu, seluruh anak-anak bangsa mengedepankan atau menonjolkan ke-Kami-an terhadap pihak asing sebagaimana dimotori para pemuda-pemudi pada Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.
            Ke-Kami-an adalah kesadaran komprehensif paripurna untuk merebut kemerdekaan dari tangan pihak penjajah sehingga ke-Kami-an harus pula dimaknai perlawanan seluruh anak-anak bangsa di bumi Nusantara. Wujud dari perlawanan itu ialah melepaskan belenggu dominasi pihak asing sehingga bangsa Indonesia memiliki kedaulatan di segala segmen kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
            Makna ke-Kami-an di alam kemerdekaan ialah ikrar kedaulatan seperti dikatakan Bung Karno dalam TRI SAKTI yakni; berdaulat di bidang politik, berkepribadian di bidang kebudayaan, berdiri di atas kaki sendiri (Berdikari) di bidang ekonomi. Sebab, hal itu hingga 69 tahun pasca kemerdekaan masih belum mampu dihadirkan di negeri ini. Dominasi pihak asing masih terasa kental dan kentara hingga negeri ini seperti sebuah negara berdaulat tanpa kedaulatan.
            Ke-Kami-an yang diikrarkan para pemuda-pemudi saat ini haruslah ditujukan kepada bangsa-bangsa lain, bukan sebaliknya ditujukan kepada sesama anak bangsa sebagaimana dipertontonkan para elite politik belakangan ini.
            Mengedepankan, menonjolkan ke-Kami-an sesama anak bangsa walau dengan alasan apapun adalah kekeliruan besar dan fatal, apalagi menjadikan musuh yang harus “dibumi hanguskan” karena berbeda pilihan politik, suku, agama, ras, antargolongan maupun daerah.
            Perbedaan, kemajemukan, pluralisme maupun perbedaan pilihan politik adalah  keindahan demokrasi bagaikan indahnya pelangi di ufuk biru sehingga tidak beralasan apabila dijadikan memberangus ke-Kita-an sesama anak bangsa. Tidak ada musuh sesama anak bangsa sehingga mengedepankan atau menonjolkan ke-Kami-an seperti masa sebelum kemerdekaan 17 Agustus 1945 lalu harus dimaknai kekeliruan dan sesat pikir.  
            Oleh karena itu, memperkuat kebangsaan Indonesia (Nasionalisme) di republik merdeka haruslah mengedepankan, menonjolkan ke-Kita-an sesama anak bangsa agar bangsa ini mampu mengikrarkan ke-Kami-an kepada bangsa lain di segala segmen perikehidupan berbangsa dan bernegara.
            Sungguh sangat disayangkan bila masih ada anak-anak Ibu Pertiwi mengedepankan, menonjolkan ke-Kami-an nya terhadap saudaranya sendiri hingga muncul pengkotak-kotakan sesama anak bangsa dalam berbangsa-bernegara.
            Inilah salah satu refleksi merayakan Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 2014 yang sangat-sangat perlu ditanamkan di hati sanubari segenap generasi bangsa.  

                                                                                                            Medan, 15 Oktober 2014

                                                                                                            Thomson Hutasoit.
(Alumni Angkatan Pertama, Pemantapan Nilai-Nilai Kebangsaan Lemhamnas RI bagi  Akademisi, Birokrat, Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama, Tokoh Adat, Tokoh Pemuda, Provinsi Sumatera Utara, Tahun 2014).  
               

Tidak ada komentar:

Posting Komentar