Ke-Kami-an menjadi
ke-Kita-an
Refleksi Makna Sumpah
Pemuda 28 Oktober 2014
Oleh: Thomson Hutasoit
Direktur Eksekutif LSM Kajian Transparansi Kinerja
Instansi Publik (ATRAKTIP)
Pendahuluan.
Salah
satu tonggak sejarah perjalanan Bangsa Indonesia yang tidak boleh dilupakan
ialah Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 dimana para pemuda-pemudi bumi Nusantara
mengikrarkan sumpah satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa yang diawali kata
“Kami”.
Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 yang
diawali kata “Kami” satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa yaitu Indonesia
adalah komitmen kebangsaan yang diikrarkan kepada bangsa-bangsa lain. Sebab,
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007) kata Kami mengandung arti yang berbicara
bersama dengan orang lain (tidak termasuk yang diajak berbicara); yang menulis
atas nama kelompok, tidak termasuk pembaca, yang berbicara (digunakan oleh
orang besar, misalnya raja); yang menulis (digunakan oleh penulis).
Dari konteks KBBI bahwa kata “Kami”
yang digunakan para pemuda-pemudi 28 Oktober 1928 menunjukkan bahwa bangsa
Indonesia di satu pihak dan bangsa-bangsa asing di atas dunia di pihak lain.
Komitmen kebangsaan seluruh rakyat Nusantara yang dimotori para pemuda-pemudi dengan
gagah berani berbicara dan menyatakan diri satu nusa, satu bangsa, satu bahasa
yakni Indonesia terhadap bangsa-bangsa mana pun di jagat raya ini adalah spirit
kebangsaan yang tidak boleh kendur sepanjang masa. Semangat para pemuda-pemudi
yang berani mengikrarkan ke-Kami-an terhadap bangsa-bangsa lain adalah salah
satu modal dasar bangsa Indonesia yang perlu dirawat sepanjang masa.
Konteks ke-Kami-an sebelum Indonesia
merdeka 17 Agustus 1945 oleh para pemuda-pemudi Nusantara tentu tidaklah sama
dan identik pasca Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Sebab di alam merdeka
komitmen kebangsaan bukan lagi hanya ditujukan kepada bangsa-bangsa lain.
Tetapi, komitmen kebangsaan itu juga harus pula ditujukan pada memperkuat
ke-Kita-an agar seluruh anak-anak Ibu Pertiwi Nusantara memiliki posisi setara
dan sederajat dalam berbangsa dan bernegara. Karena, menurut KBBI (2007) makna
ke-Kita-an ialah yang bersifat atau berciri kita, kesatuan perasaan antara
kita: fungsi ideologi membangun sikap ke-Kita-an, sifat mementingkan
kebersamaan dalam menanggung suka duka (saling membantu, saling menolong, dan
sebagainya).
Dalam konteks kedua kata inilah
(ke-Kami-an dan ke-Kita-an) kadangkala belum disadari komprehensif paripurna dalam
berbangsa dan bernegara sehingga muncul polarisasi cara pandang sesama anak
bangsa yang tidak mustahil satu sama lain menimbulkan pergesekan, perpecahan,
perseteruan ataupun konflik karena masing-masing pihak lebih menonjolkan
ke-Kami-an daripada ke-Kita-an dalam berbangsa dan bernegara. Padahal, pasca
kemerdekaan ke-Kami-an yang ditujukan kepada bangsa-bangsa lain tidak boleh
sekali-sekali dilancarkan terhadap sesama anak bangsa, justru ke-Kita-an lah
yang seharusnya ditonjolkan agar kesatuan perasaan diantara kita semakin tumbuh
ditandai saling membantu, saling menolong dalam menghadapi suka duka berbangsa
dan bernegara.
Bila seluruh anak-anak negeri
mengedepankan kebersamaan maka proses musyawarah menuju mufakat tidak sulit
dilaksanakan, apalagi sifat ke-Kita-an yang dilandasi kesatuan perasaan sesama
anak bangsa tersemaikan terus-menerus, berkesinambungan dari generasi ke generasi.
Konsepsi ke-Kami-an.
Sebagaimana telah diuraikan di atas
bahwa konsepsi ke-Kami-an yang diikrarkan para pemuda-pemudi pada Sumpah Pemuda
28 Oktober 1928 ialah konsepsi “Kebangsaan ke-Indonesia-an” yang dilandasi
kesadaran nasional melahirkan satu bangsa berdaulat, bermartabat bernama
Indonesia.
Menyatakan atau mengikrarkan
ke-Kami-an terhadap bangsa-bangsa lain harus pula disadari sebagai buah
keberhasilan pemikiran jenial para putera-puteri Nusantara membangun ke-Kita-an
ribuan pulau-pulau, ribuan suku bangsa, ratusan bahasa lokal, serta berbagai
agama dan kepercayaan yang tumbuh di bumi Nusantara.
Kesatuan perasaan, senasib sepenanggungan,
mendahulukan kebersamaan di atas kepentingan pribadi, kelompok maupun golongan
adalah salah satu faktor pertama dan utama membangun ke-Kita-an di bumi
Nusantara yang majemuk, pluralistik.
Bila masing-masing suku, agama, ras,
antar golongan (SARA) termasuk daerah menonjolkan ke-Kami-an nya maka
ke-Kita-an di bumi Nusantara tidak akan pernah lahir atau tumbuh hingga kapan
pun. Sebab tiap-tiap suku, agama, ras, antar golongan (SARA) maupun daerah
akan mengedepankan, menonjolkan
kepentingan masing-masing. Penonjolan ego sektarian-primordial sebelum lahirnya
Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 harus pula disadari faktor utama penyebab mudah
dan rapuhnya negeri ini dipecah-belah penjajah kolonial di masa lalu untuk
selanjutnya dikuasai hingga ratusan tahun.
Ke-Kami-an antar suku, agama, ras,
antar golongan (SARA) maupun daerah dimanfaatkan para penjajah mengadu domba
sesama anak bangsa yang diselimuti egoisme masing-masing. Akibatnya, sesama
anak bangsa saling berseteru, konflik, bahkan perang yang berujung kehancuran
kerajaan-kerajaan di bumi Nusantara.
Para pemuda-pemudi cerdas jenial
Nusantara melihat dan menyadari sifat ke-Kami-an rakyat Nusantara merupakan salah satu faktor utama kegagalan melahirkan
satu bangsa merdeka, bermartabat, berdaulat di jagat raya ini. Karena itulah,
para putera-puteri Nusantara dengan kecerdasan, kejenialan serta kebesaran jiwa
membangun ke-Kita-an sesama anak bangsa untuk melahirkan ke-Kami-an terhadap
bangsa-bangsa lain di atas bumi ini.
Tanpa ke-Kita-an sesama anak bangsa
tidak akan mampu melahirkan ke-Kami-an terhadap bangsa lain yang ditandai
lahirnya Indonesia merdeka 17 Agustus 1945. Jadi ke-Kami-an adalah Nasionalisme
Jilid Satu yakni perebutan kemerdekaan dari genggaman penjajah kolonial.
Sadar atau tidak, makna ke-Kami-an
yang diikrarkan para pemuda-pemudi pada Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 adalah
lahirnya Nasionalisme Jilid Satu yakni hasrat kuat lahirnya suatu bangsa
merdeka yakni Bangsa Indonesia.
Konsepsi ke-Kami-an adalah perebutan
kemerdekaan dari tangan bangsa lain, bukan penonjolan kepentingan sesama anak
bangsa.
Oleh sebab itu, penonjolan
ke-Kami-an yang dipertontonkan para elite-elite politik pasca pemilihan
presiden (Pilpres) 09 Juli 2014 dimana Koalisi Merah Putih (KMP) ataupun
Koalisi Indonesia Hebat (KIH) menonjolkan kepentingan politik kubu masing-masing
secara telanjang sungguh sangat disayangkan serta memalukan dalam sejarah
perjalanan bangsa ini.
Koalisi Merah Putih (KMP) dan
Koalisi Indonesia Hebat (KIH) adalah sebuah kontestasi sesama anak bangsa untuk
memilih calon presiden/wakil presiden terbaik pilihan rakyat dari para
putera-puteri bangsa, sehingga tidak perlu berseteru, konflik berkepanjangan pasca Pilpres.
Pemilihan presiden/wakil presiden
bukan perang terhadap bangsa lain sehingga menonjolkan ke-Kami-an sebagaimana
ketika perebutan kemerdekaan dari tangan penjajah kolonial. Walaupun ketika
masa proses pemilihan presiden (Pilpres) masing-masing kontestan menggunakan
kata “Kami” untuk merekat kubu masing-masing bukan berarti ke-Kita-an sesama
anak bangsa tidak perlu dijaga dan dipertahankan lagi.
Ke-Kami-an di dalam kontestasi
politik Indonesia merdeka seperti pemilihan legislatif (DPR, DPD, DPRD
Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota), pemilihan eksekutif (presiden, gubernur,
bupati/walikota) haruslah ditempatkan dibawah ke-Kita-an, sebab kontestasi
politik itu sejatinya untuk mewujudkan tujuan pendirian republik ini yakni
masyarakat adil, makmur dan sejahtera dibawah kepemimpinan putera-puteri
terbaik yang dilahirkan melalui proses pemilihan umum (pemilu) beradab dan
bermartabat dengan menempatkan keutuhan bangsa di atas segala-galanya.
Ke-Kami-an ditempatkan dibawah ke-Kita-an sebab siapa pun yang terpilih
(presiden,gubernur, bupati/walikota) dia adalah pemimpin seluruh rakyat
(kita-red).
Konsepsi ke-Kita-an.
Nasionalisme Jilid Satu ialah
Kemerdekaan Bangsa Indonesia yang dilandasi ke-Kami-an yang diikrarkan
putera-puteri Nusantara pada Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 telah melahirkan
satu bangsa bermartabat dan berdaulat di atas bumi ini.
Sebagaimana dikatakan para pendiri
bangsa bahwa Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 adalah “Jembatan Emas”
menuju cita-cita proklamasi masyarakat adil, makmur dan sejahtera bagi seluruh
rakyat Indonesia, tanpa kecuali.
Mengisi kemerdekaan untuk menepati
janji-janji proklamasi adalah merupakan Nasionalisme Jilid Dua yakni;
menghilangkan kemiskinan, kemelaratan, ketertinggalan, kebodohon, ketidakadilan, diskriminasi,
intimidasi, korupsi serta pelanggaran hak asasi manusia (HAM) lainnya adalah
kerja-kerja politik yang mengedepankan ke-Kita-an. Saling tolong-menolong,
bantu-membantu, bahu-membahu sesama anak bangsa dengan semangat ke-Kita-an
haruslah menjadi arus utama dari seluruh anak-anak bangsa. Bukan sebaliknya,
menonjolkan semangat ke-Kami-an untuk menguasai, merampas, menjajah sesama anak
bangsa yang berseberangan dengan kepentingan politik masing-masing.
Menempatkan ke-Kami-an di atas
ke-Kita-an adalah suatu pemikiran mundur ke belakang (setback) seperti masa-masa sebelum kemerdekaan yang menonjolkan
egoisme masing-masing, baik atas nama suku, agama, ras, antar golongan (SARA)
maupun daerah. Penonjolan ego sektoral harus pula dipahami merupakan ancaman
laten terhadap keutuhan bangsa dan negara berdasarkan Pancasila, Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI), Bhinneka Tunggal Ika yang merupakan konsensus dasar berdirinya republik
ini.
Ke-Kami-an yang diikrarkan para
pemuda-pemudi pada Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 lalu sangat keliru besar
ditujukan kepada sesama anak bangsa walau dengan alasan apapun. Ke-Kami-an
seharusnya ditunjukkan dan ditujukan kepada bangsa-bangsa lain melalui ukiran
aneka prestasi di fora internasional sehingga martabat bangsa di percaturan
politik dunia semakin diperhitungkan. Sedangkan kepada sesama anak bangsa yang
perlu dikedepankan dan ditonjolkan adalah ke-Kita-an yang merupakan cerminan
kesamaan perasaan serta solidaritas sesama anak bangsa melalui aksi kepedulian,
saling tolong-menolong, bantu-membantu, bahu-membahu menyelesaikan aneka
permasalahan bangsa saat ini.
Permasalahan yang sedang dihadapi bangsa ini hanya bisa diselesaikan apabila
seluruh anak-anak bangsa mengedepankan ke-Kita-an sehingga lahir sebuah sinergi
besar untuk menyelesaikan aneka permasalahan di republik ini. Ke-Kita-an adalah
modal besar yang tidak boleh diusik walau dengan dalih apapun.
Memperkuat Visi Kebangsaan Indonesia.
Memperkuat visi kebangsaan Indonesia
(Nasionalisme) di alam Indonesia merdeka tentu sangat berbeda dengan sebelum
kemerdekaan republik ini. Sebab, musuh seluruh bangsa Indonesia sebelum
kemerdekaan ialah pihak penjajah kolonial yang merampas kebebasan atau
kemerdekaan anak-anak bangsa di seluruh segmen kehidupan. Karena itu, seluruh
anak-anak bangsa mengedepankan atau menonjolkan ke-Kami-an terhadap pihak asing
sebagaimana dimotori para pemuda-pemudi pada Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.
Ke-Kami-an adalah kesadaran
komprehensif paripurna untuk merebut kemerdekaan dari tangan pihak penjajah
sehingga ke-Kami-an harus pula dimaknai perlawanan seluruh anak-anak bangsa di
bumi Nusantara. Wujud dari perlawanan itu ialah melepaskan belenggu dominasi
pihak asing sehingga bangsa Indonesia memiliki kedaulatan di segala segmen
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Makna ke-Kami-an di alam kemerdekaan
ialah ikrar kedaulatan seperti dikatakan Bung Karno dalam TRI SAKTI yakni;
berdaulat di bidang politik, berkepribadian di bidang kebudayaan, berdiri di
atas kaki sendiri (Berdikari) di bidang ekonomi. Sebab, hal itu hingga 69 tahun
pasca kemerdekaan masih belum mampu dihadirkan di negeri ini. Dominasi pihak
asing masih terasa kental dan kentara hingga negeri ini seperti sebuah negara
berdaulat tanpa kedaulatan.
Ke-Kami-an yang diikrarkan para
pemuda-pemudi saat ini haruslah ditujukan kepada bangsa-bangsa lain, bukan sebaliknya
ditujukan kepada sesama anak bangsa sebagaimana dipertontonkan para elite
politik belakangan ini.
Mengedepankan, menonjolkan
ke-Kami-an sesama anak bangsa walau dengan alasan apapun adalah kekeliruan
besar dan fatal, apalagi menjadikan musuh yang harus “dibumi hanguskan” karena
berbeda pilihan politik, suku, agama, ras, antargolongan maupun daerah.
Perbedaan, kemajemukan, pluralisme
maupun perbedaan pilihan politik adalah
keindahan demokrasi bagaikan indahnya pelangi di ufuk biru sehingga
tidak beralasan apabila dijadikan memberangus ke-Kita-an sesama anak bangsa.
Tidak ada musuh sesama anak bangsa sehingga mengedepankan atau menonjolkan
ke-Kami-an seperti masa sebelum kemerdekaan 17 Agustus 1945 lalu harus dimaknai
kekeliruan dan sesat pikir.
Oleh karena itu, memperkuat
kebangsaan Indonesia (Nasionalisme) di republik merdeka haruslah mengedepankan,
menonjolkan ke-Kita-an sesama anak bangsa agar bangsa ini mampu mengikrarkan
ke-Kami-an kepada bangsa lain di segala segmen perikehidupan berbangsa dan bernegara.
Sungguh sangat disayangkan bila
masih ada anak-anak Ibu Pertiwi mengedepankan, menonjolkan ke-Kami-an nya
terhadap saudaranya sendiri hingga muncul pengkotak-kotakan sesama anak bangsa
dalam berbangsa-bernegara.
Inilah salah satu refleksi merayakan
Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 2014 yang sangat-sangat perlu ditanamkan di hati
sanubari segenap generasi bangsa.
Medan,
15 Oktober 2014
Thomson
Hutasoit.
(Alumni Angkatan Pertama, Pemantapan Nilai-Nilai
Kebangsaan Lemhamnas RI bagi Akademisi,
Birokrat, Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama, Tokoh Adat, Tokoh Pemuda, Provinsi
Sumatera Utara, Tahun 2014).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar