Jumat, 02 Desember 2016

Asimilasi Perkawinan Jembatan Budaya



Asimilasi Perkawinan Jembatan Budaya
Oleh: Thomson Hutasoit

Pendahuluan.
Seiring perkembangan zaman, proses perkawinan antar suku atau etnik makin galip terjadi dari wktu ke waktu, hal itu merupakan konsekuensi perkembangan ilmu dan teknologi (Iptek) menjadikan ruang jarak antar daerah semakin dekat. Perkembangan zaman semakin maju juga membuat manusia berpikir luas dan terbuka terhadap aneka budaya, adat-istiadat berbeda-beda sehingga proses perkawinan telah melampaui batas-batas pemahaman tradisi konvensional,  yakni melangsungkan perkawinan sesama satu suku atau etnik tertentu.  
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2007) “Asimilasi perkawinan ialah proses terjadinya perkawinan campuran yang berbeda budaya, perilaku, dan golongan”.  Asimilasi perkawinan akan berkonsekuensi penyesuaian diri terhadap kebudayaan dan pola-pola perilaku antar suku atau etnik yang melangsungkan perkawinan tersebut. Pola pikir, pola laku tradisonal mengharuskan perkawinan antar satu suku atau etnik yang mempunyai budaya, adat-istiadat yang sama makin lama makin longgar hingga lahir budaya, adat-istiadat campuran disebabkan asimilasi perkawinan tersebut.  
Asimilasi perkawinan antar suku atau etnik harus diakui sangat sulit diterima pada masyarakat tradisional konvensional, bahkan proses perkawinan seperti itu diasumsikan suatu kegagalan membina generasi (anak-red) sebab pada tatanan masyarakat tradisional konvensional perkawinan beda suku atau etnik dianggap sangat tak sesuai tatanan budaya, adat-istiadat suku atau etnik bersangkutan. Bahkan bila terjadi asimilasi perkawinan dianggab “aib”, dan orang tua merasa malu apabila anak-anaknya melangsungkan perkawinan beda suku atau etnik. Asumsi seperti itu sangat dipengaruhi interaksi budaya, adat-istiadat lokal yang masih inklusif menganggap budaya, adat-istiadatnya lebih superior dibandingkan budaya, adat-istiadat pihak lain, serta keterbatasan interaksi dengan suku atau etnik lain dalam kehidupan sehari-hari.
Asimilasi perkawinan antar suku atau etnik harus diakui bukanlah masalah mudah dan gampang sebab proses perkawinan seperti itu menyatukan budaya, adat-istiadat, pola pikir, pola perilaku berbeda, sehingga dituntut kemampuan saling memahami, saling menerima budaya, adat-istiadat masing-masing. Situasi kondisi demikian menjadi perhatian penting dan serius bagi setiap orang sebelum melangsungkan asimilasi perkawinan agar perkawinan campuran tidak mengalami goncangan ataupun kendala dikemudian hari.  
Dalam ungkapan klasik Batak Toba dikatakan, “Tinallik bulung sihupi, pinarsaong bulung sihala, Unang sumolsol di pudi ndang sipasingot na soada” artinya, jangan menyesal dikemudian hari bukan nasehat tak ada, atau pepatah klasik lain mengatakan, “pikir dahulu pendapatan, sesal kemudian tak berguna”.
Ungkapan klasik ini adalah sebuah wejangan yang perlu dipikirkan matang dan mendetail bagi setiap orang hendak melangsungkan perkawinan campuran antar suku atau etnik, sebab keberanian melangsungkan asimilasi perkawinan dengan segala konsekuensi, termasuk hubungan harmoni keluarga mempelai berbeda budaya, adat-istiadat membutuhkan kemampuan memberi pengertian, pemahaman budaya, adat-istiadat secara timbal balik. Ada adagium klasik Batak Toba mengatakan, “Asing dolok asing sihaporna, Asing luat asing adatna” yang bermakna, bahwa setiap daerah, suku atau etnik memiliki budaya, adat-istiadat berbeda-beda satu sama lain. Dan perbedaan budaya, adat-istiadat inilah salah satu kendala paling krusial dalam melaksanakan pesta perkawinan campuran yang memiliki budaya, adat-istiadat masing-masing.
Pergeseran nilai-nilai budaya, adat-istiadat menjadi suatu keniscayaan akibat asimilasi perkawinan sehingga sangat sulit mempertahankan tatanan budaya, adat-istiadat murni yang  ditradisikan pada suatu suku atau etnik pasca perkawinan campuran tersebut. Setuju atau tak setuju, rela atau tak rela, diterima atau tak diterima inilah salah satu pertentangan bathin atas terjadinya asimilasi perkawinan yang menyebabkan pergeseran tatanan nilai budaya, adat-istiadat yang harus diterima pada perkawinan campuran antar suku atau etnik.
Seturut perkembangan zaman dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) yang membuka sekat-sekat ruang dan waktu serta perubahan sudut pandang tentang nilai-nilai kemanusiaan yang bukan saja terikat pada budaya, adat-istiadat lokal untuk memilih teman hidup sepanjang hayat. Perkawinan adalah pilahan hidup dilandasi kesadaran kasih tanpa mengenal sekat suku atau etnik memunculkan perkawinan campuran antar suku atau etnik di kalangan generasi Batak Toba belakangan ini. Hal ini bisa dibuktikan dengan banyaknya putera (anak-red), puteri (boru-red) Batak Toba melangsungkan perkawinan campuran antar suku atau etnik, baik domestik maupun bangsa asing (halak sileban-red) menjadikan pergeseran nilai-nilai budaya, adat-istiadat murni Batak Toba pada era millenia ini. Asimilasi perkawinan atau perkawinan campuran antar suku atau etnik bukanlah suatu aib atau tabu melainkan konsekuensi perkembangan zaman serta semakin terbukanya era komunikasi antar anak manusia di atas bumi.
Pertanyaannya ialah apakah perkawinan campuran suatu kesalahan atau aib ? Pertanyaan  ini tentu bisa mendapat jawaban berbeda-beda sesuai sudut pandang masing-masing. Tetapi, apapun jawabannya, asimilasi perkawinan atau perkawinan campuran antar suku atau etnik telah banyak terjadi pada generasi Batak Toba, terutama generasi berdomisili diperantauan (diaspora) dengan segala konsekuensi budaya, adat-istiadat yang harus dilalui secara bersama-sama atas pilihan perkawinan tersebut.  
Asimilasi perkawinan harus disadari matang dan mendetail menuntut kemampuan asimilasi kebudayaan, yaitu; penyesuaian diri terhadap kebudayaan dan pola-pola perilaku pada suku atau etnik berbeda. Misalnya, jika seorang putera (baoa-red) Batak Toba melangsungkan perkawinan dengan puteri (boru-red) suku Sunda, sejauhmana kemampuan adaptasi budaya, adat-istiadat serta pola perilaku kedua isan sejoli yang berani melakukan asimilasi perkawinan  ditengah perbedaan budaya, adat-istiadat serta pola perilaku di kedua suku atau etnik tersebut. Demikian juga bila seorang puteri (boru-red) Batak Toba melangsungkan asimilasi perkawinan dengan putera (baoa-red) suku Nias, sejauhmana kemampuan puteri Batak Toba menyesuaikan diri dengan budaya, adat-istiadat serta pola perilaku suku Nias, atau sebaliknya, sejauhmana kemampuan adaptasi budaya, adat-istiadat serta pola perilaku putera suku Nias terhadap budaya, adat-istiadat serta pola perilaku Batak Toba pasca perkawinan campuran menjadi sangat penting diperhatikan agar harmoni hubungan kekeluargaan, kekerabatan bisa berjalan lancar dan langgeng.
Jika adaptasi budaya, adat-istiadat mampu dilakukan dengan baik dan benar serta saling menghormati satu sama lain maka asimilasi perkawinan atau perkawinan campuran antar suku atau etnik menjadi sangat istimewa dan luar biasa, sebab mampu mempertemukan budaya, adat-istiadat serta pola perilaku berbeda menambah khasanah pelangi kehidupan semakin indah sebagaimana dicerminkan Bhinneka Tunggal Ika dalam realitas budaya, adat-istiadat serta pola perilaku ditengah kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sehari-hari.

   
Konsekuensi Asimilasi Perkawinan Batak Toba.   
Perkawinan Batak Toba dilandasi falsah Dalihan Na Tolu (DNT) yaitu; somba marhula-hula, manat mardongan tubu, serta elek marboru membentuk tatanan struktur partuturan yakni; hula-hula, dongan tubu, boru adalah unsur penting yang harus dijaga, dirawat serta dilestarikan secara timbal balik. Artinya, pada struktur partuturan yang ditimbulkan proses perkawinan satu suku (sesama Batak Toba-red), khususnya pihak hula-hula dikenal beberapa tingkatan antara lain; Hula-hula (hula-hula pangalapan boru-red), Tulang (hula-hula ni Inong pangintubu/ pangolian ni Among-red), Bona Tulang (hula-hula ni Ompungboru/pangolian ni ompungdoli-red), Bona Niari (hula-hula ni Inang Mangulahi/pangolian ni Amang mangulahi-red), Tulang Rorobot (hula-hula ni hula-hula pangalapan boru-red), Hula-hula Namarhahamaranggi (hula-hula ni na ma nodohon iba, hula-hula ni na tinodohon-red), Hula-hula Naposo/Parsiat (hula-hula pangalapan boru ni anak-red), Hula-hula Simanjungkot (hula-hula pangalapan boru ni pahompu-red) dan lain-lain.
Struktur partuturan kelompok (horong-red) Hula-hula pada Batak Toba seperti ini belum tentu dikenal pada suku atau etnik lain, sehingga apabila terjadi asimilasi perkawinan atau perkawinan campuran antar suku atau etnik, struktur partuturan Batak Toba akan hilang dari tradisi budaya, adat-istiadat asli akibat asimilasi perkawinan tersebut. Kemungkinan besar struktur partuturan hula-hula istri (hula-hula pangalapan boru-red) saja yang bisa dipertahankan. Sementara Tulang, Bona Tulang, Bona Niari, Tulang Rorobot, Hula-hula Namrhahamaranggi, Hula-hula Naposo/Parsiat, Hula-hula Simanjungkot dan lain sebagainya tidak bisa dipertahankan lagi dikemudian hari. Artinya, hubungan partuturan hula-hula hanya sebatas hula-hula istri saja, karena pada suku atau etnik di luar Batak Toba tingkatan hula-hula tak dikenal pada budaya, adat-istiadat mereka.
Sadar atau tidak hal inilah salah satu konsekuensi paling krusial yang diakibatkan asimilasi perkawinan atau perkawinan campuran antar suku atau etnik, sementara pada Batak Toba hubungan kekeluargaan, kekerabatan, khususnya kepada pihak hula-hula bukan hanya sebatas hula-hula istri, tetapi terhadap seluruh tingkatan hula-hula seperti disebutkan di atas.
Salah satu contoh, ketika seseorang anak laki-laki (lahi-lahi, baoa-red) melangsungkan perkawinan maka Tulang atau hula-hula mamaknya (hula-hula ni Inong pangintubu-red) akan memberi Ulos Ungkap Hombung atau Ulos Tintin Marangkup. Jika seandainya Tulang dari si mempelai laki-laki bukan Batak Toba maka Ulos Ungkap Hombung atau Ulos Tintin Marangkup tidak ada sehingga si mempelai laki-laki seperti tak punya Tulang atau tak ada hula-hula mamak (hula-hula ni Inong pangintubu-red) sebab pada suku atau etnik lain struktur partuturan seperti itu tak dikenal, selain terhadap puteri (boru-red) sendiri. Demikian juga ketika meninggal dunia (monding Sarimatua, Saurmatua-red) tak ada memberi Ulos Saput atau Ulos Tutup Batang karena pada suku atau etnik lain tak dikenal struktur partuturan hula-hula selain hula-hula puteri (boru), sehingga si orang tua meninggal seperti tak punya Tulang atau hula-hula mamak (hula-hula Inong pangintubu-red).
Inilah salah satu alasan utama mengapa Batak Toba selalu menganjurkan perkawinan sesama Batak Toba agar struktur partuturan terhadap kelompok (horong-red) hula-hula atau boru bisa dipertahankan sesuai budaya, adat-istiadat dilandasi falsafah Dalihan Na Tolu (DNT) yang diwariskan leluhur.  
Keinginan seperti itu adalah wajar dan lazim serta manusiawi, tetapi ada ungkapan klasik Batak Toba mengatakan, “Dang simanuk-manuk, sibontar andora, Dang sitodo turpuk, siahut lomo ni roha” artinya, tak bisa tergantung keinginan ataupun kehendak dalam kehidupan, sebab  “Tu ginjang ninna porda, tu toru pambarbaran, Tu ginjang ninna roha, patoruhon do sibaran” ai turpuk do sijaloon, sibaran sipaimaon, naung gurat do di gurat-gurat ni tangan, topap diparsambubuan sijalooan ni jolma manisia di hasiangan on. Artinya, bahwa setinggi apapun keinginan dan cita-cita, tetapi takdir kehidupan telah ditentukan Sang Pencipta terhadap manusia di atas bumi ini.
Selain daripada itu harus pula didasari, bahwa dampak perkembangan kemajuan di segala segmen kehidupan telah membuka sekat-sekat lokal menjadi nasional, bahkan internasional sehingga budaya, adat-istiadat lokal mengalami pergeseran nilai-nilai budaya, adat-istiadat seiring interaksi antar suku bangsa serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) di era millenia. Interaksi hubungan bukan lagi terbatas atau terpaku sesama suku atau etnik, melainkan seluruh anak-anak manusia di seluruh penjuru dunia. Kemajuan teknologi informasi seperti; pace book, twetter, istagram, blogger serta berbagai program IT lain menjadikan jarak dunia semakin dekat. Dan tak jarang pula perkenalan melalui berbagai jejaring teknologi informasi di dunia maya berlanjut ke jenjang perkawinan campuran antar suku atau etnik menembus batas bangsa dan negara.
Asimilasi perkawinan didorong kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek), sadar atau tidak akan menimbulkan asimilasi kebudayaan menggeser nilai-nilai murni budaya, adat-istiadat lokal. Karena tak jarang ditemui seseorang penyandang marga Batak Toba, tapi sama sekali tak mengerti lagi bahasa Batak Toba, konon lagi budaya, adat-istiadat warisan leluhurnya. Hal itu menjadi salah satu tantangan berat menjaga, merawat, serta  melestarikan nilai-nilai luhur adat, budaya warisan leluhur agar tidak hilang atau punah.  
Dalam situasi kondisi demikian upaya-upaya menjaga, merawat serta melestarikan nilai-nilai adat, budaya semakin sukar dan sulit, apalagi pasca asimilasi perkawinan atau perkawinan campuran antar suku atau enit yang semakin menggejala belakangan ini. Karena itu, perlu dipikirkan upaya-upaya konkrit membumikan nilai-nilai adat, budaya membentuk karakter berbasis kearifan budaya saling menghargai dan menghormati adat, budaya pihak lain. Dengan demikian sekalipun asimilasi perkawinan atau perkawinan campuran antar suku atau etnik tak bisa dinafikan, tetapi pola perilaku atau karakter berdasarkan kearifan budaya tak pernah terkikis atau hilang, malah sebaliknya mampu menularkan nilai-nilai luhur kearifan budaya warisan leluhur Batak Toba kepada suku atau etnik lain sehingga tercipta hubungan harmoni antar suku atau etnik yang baik dan sejuk.
Jika asimilasi perkawinan atau perkawinan antar suku atau etnik mampu dijalankan dengan baik dan benar maka perkawinan seperti itu bukanlah sesuatu yang patut dipersalahkan atau disesalkan, melainkan suatu keberanian patut diacungi jempol membangun “jembatan budaya” antar suku atau etnik agar saling curiga, saling merendahkan adat, budaya berubah jadi saling menghormati, saling menghargai sesama manusia beradat dan beradab di atas bumi sehingga perdamaian, kedamaian sesama anak bangsa menjadi sebuah persaudaraan abadi dilandasi kasih sayang sejati.  
Adaptasi Adat Budaya.
Salah satu kunci utama melakukan adaptasi adat budaya antar suku atau etnik ialah saling menghargai, menghormati budaya, adat-istiadat berbeda serta membuang kecurigaan atas budaya, adat-istiadat, pola perilaku yang menjadi karakter spesifik suku atau etnik bersangkutan.
Perbedaan karakter, pola perilaku suatu suku atau etnik yang dipengaruhi budaya, adat-istiadat ataupun tradisi lokal harus pula disadari sebuah proses pembentukan karakter jati diri yang diwariskan leluhur. Nilai-nilai luhur budaya, adat-istiadat serta pola perilaku suku atau etnik tertentu harus dihargai, dihormati satu sama lain walau terdapat perbedaan di dalamnya. Satu suku atau etnik tidak boleh sekali-sekali menganggap paling hebat dari pihak lain sebab ungkapan klasik Batak Toba telah mengajarkan, bahwa “Asing dolok asing do duhutna, Asing luat asing do adatna” yang bermakna setiap suku, etnik, daerah memiliki perbedaan spesifik, tetapi perbedaan itu hendaknya dijadikan pelangi kehidupan indah, sebab pelangi kehidupan sejatinya ialah aneka warna-warni konstruksi Ilahi yang menjamin kelangsungan alam semesta.
Sifat eksklusif serta merasa paling hebat dibandingkan pihak lain harus dihilangkan atau dibuang jauh-jauh, sebaliknya membangun kesadaran baru, bahwa budaya, adat-istiadat, pola perilaku pihak lain harus dihormati, dihargai sekalipun tak sesuai dengan budaya, adat-istiadatnya. Stigma-stigma negatif yang dilekatkan pada suatu suku atau etnik tertentu tidak boleh sekali-sekali diangkat dan dilancarkan untuk menyerang ataupun memojokkan suku atau etnik tertentu, sebab perilaku buruk, tercela bukan milik satu suku atau etnik saja, melainkan karakter personal yang menyimpang dari nilai-nilai luhur budaya, adat-istiadat warisan leluhur.
Sebagai suatu kategori budaya, istilah etnis tertentu dapat dijadikan dasar untuk membeda-bedakan kelompok-kelompok sosial berdasarkan budayanya. Secara operasional, sebuah kelompok etnis dapat diidentifikasikan dilihat dari unsur-unsur kultural yang melekat pada kelompok tersebut, yang dicirikan oleh kesamaan bentuk (pola) tingkah laku normatif yang ada pada kelompok itu. Tingkah laku normatif yang sudah terpola biasanya akan teramati dari konteks hubungan sosial yang ditunjukkan dalam bentuk-bentuk simbolik yang sama, seperti dalam kekerabatan, perkawinan, ritual dan bentuk seremonial lainnya. Dalam wujud yang lebih sederhana, pengelompokan sosial berdasarkan etnis tertentu akan dapat diketahui dari bahasa, keyakinan (anutan agama), pakaian, makanan, peralatan, dan tipe-tipe bangunan yang terdapat dalam komunitas tersebut.
Barth (1996) melihat bahwa kategori etnis merupakan identitas umum yang paling dasar (basic most general identity). Sistem pengelompokan paling dasar itu adalah asal dan latar belakang keturunan, sedangkan atribut penting yang menandai identitas itu adalah faktor-faktor primordial (bahasa daerah, adat-istiadat nilai-nilai simbolik, agama dan territorial). Sejalan dengan pendapat itu, Young (1979) mempertegas beberapa atribut yang dapat digunakan untuk pengelompokan suatu etnis, antara lain; bahasa daerah, wilayah (teritory) tempat asal-usul permukiman, unit politik/pemerintahan lokal, dan nilai atau simbol budaya bersama (Arifinsyah, 2013; 2-3).
Dari konteks uraian di atas maka adaptasi adat budaya yang perlu dilakukan pasca asimilasi perkawinan atau perkawinan campuran antar suku atau etnik ialah kemampuan memahami bahasa daerah, nilai-nilai budaya, adat-istiadat, serta pola perilaku masyarakat setempat dengan prinsip saling menghormati, menghargai satu sama lain tanpa kecurigaan ataupun pandangan tendensius apalagi merasa paling unggul dibandingkan pihak lain. selain daripada itu, perlu juga ditanamkan pengertian “dimana tanah di pijak disitu lagit dijunjung” (disi tano ni dege disi langit dijungjung-red) sehingga mampu menyesuaikan diri terhadap budaya, adat-istiadat, pola perilaku suku atau etnik asimilasi perkawinan tersebut.
Penyesuaian diri atau adaptasi dimaksud tentu dalam arti positif yakni; penyesuaian atau adaptasi nilai-nilai luhur yang pantas ditiru dan digugu dari aneka nilai-nilai unggul bersifat obyektif universal sebagaimana makna hakiki nilai budaya, adat-istiadat, serta pola perilaku yang dapat diterima masyarakat beradat dan beradab di muka bumi. Stigma-stigma negatif melekat pada satu suku atau etnik harus mampu dihilangkan atau dirubah melalui perubahan pola pikir (mindset) dari kungkungan tradisi lokal kaku. Perubahan mindset tanpa meninggalkan nilai-nilai luhur unggul menjadikan suatu suku atau etnik lebih terbuka menerima keunggulan budaya, adat-istiadat, pola perilaku suku atau etnik lain hingga mampu menerima asimilasi perkawinan sebagai konsekuensi logis masyarakat terbuka terhadap kebudayaan berbeda.
Asimilasi kebudayaan harus pula disadari dan dipahami adalah sebuah realitas masyarakat modern, sebab dunia bukan lagi selebar daun kelor, tetapi dunia tanpa batas atau sekat-sekat seiring kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) terutama teknologi informasi (TI) menjadikan anak-anak manusia berinteraksi satu sama lain di atas bumi ini.
Walau demikian, nilai-nilai luhur budaya, adat-istiadat, pola perilaku yang menjadi karakter spesifik atau jati diri sebaiknya dijaga, dirawat, serta dilestarikan sebagai identitas masyarakat beradat dan beradab.
Jembatan Budaya.      
Sebagaimana ungkapan klasik Batak Toba “Asing dolok asing duhutna, Asing luat asing adatna” atau ungkapan klasik lain, “Lain lubuk lain ikannya, Lain tempat lain adatnya” maka masing-masing suku atau etnik memiliki budaya, adat-istiadat, pola perilaku berbeda satu sama lain. Perbedaan itu melahirkan prasangka, persepsi berbeda pula atas nilai-nilai luhur budaya, adat-istiadat yang tak mustahil menimbulkan gesekan sosial antar suku atau etnik berbeda.
Prasangka, presepsi negatif atas budaya, istiadat, pola perilaku suatu suku atau etnik tidak mustahil pula disebabkan kurangnya pengertian, pemahaman mendalam dan mendetail terhadap budaya, adat-istiadat pihak lain. Padahal, nilai-nilai luhur budaya, adat-istiadat, pola perilaku suatu suku atau etnik adalah bahagian tak terpisahkan dari tatanan nilai-nilai warisan leluhur yang ditradisikan, dilembagakan dalam kehidupan sehari-hari. Dan disinilah penada nyata, bahwa nilai-nilai luhur budaya, adat-istiadat suatu suku atau etnik berperan kuat membentuk pola perilaku, karakter, jati diri suatu suku atau etnik maupun bangsa.
Falsafah hidup Batak Toba  “Dalihan Na Tolu (DNT) yakni; Somba marhula-hula, Manat mardongan tubu, Elek marboru” yang disertai struktur partuturannya sadar atau tidak turun mewarnai pola pikir, pola perilaku Batak Toba dari generasi ke generasi yang diwariskan leluhur. Falsafah hidup Batak Toba kemungkinan besar tidak akan ditemui pada suku atau etnik berbeda sehingga pola pikir, pola perilaku Batak Toba menjadi karakter spesifik atau jati diri ditengah kehidupan bermasyarakat, berbangsa maupun bernegara. Demikian juga suku atau etnik lain memiliki nilai-nilai luhur budaya, adat-istiadat warisan leluhur telah menjadi landasan pola pikir, pola perilaku suku atau etnik bersangkutan ditengah kehidupan bermasyarakat, berbangsa maupun bernegara.
Yang menjadi pertanyaan dasar ialah bagaimana menjembatani perbedaan budaya, adat-istiadat, pola perilaku antar suku atau etnik berbeda agar tercipta saling menghormati, menghargai perbedaan supaya harmoni hubungan, persaudaraan, kekeluargaan, kekerabatan sesama menjadi pelangi kehidupan sangat indah sebagaimana kehendak Ilahi atas semesta alam.
Pertanyaan ini tentu membutuhkan pemikiran cermat, cerdas dan seksama, sebab pertanyaan seperti ini membutuhkan pengertian, pemahaman komprehensif paripurna yang mungkin saja sulit diterima logika tradisional konvensional masih menonjolkan, mengagungkan tradisi kaku, seperti; budaya, adat-istiadat, pola perilaku suku atau etnik sehingga sulit menerima budaya, adat-istiadat, pola perilaku pihak lain.
Dalam situasi kondisi demikian, asimilasi perkawinan atau perkawinan campuran antar suku atau etnik menjadi “Jembatan Budaya” mempertemukan dua budaya, adat-istiadat, pola perilaku berbeda dalam perhelatan budaya, adat-istiadat maupun interaksi sosial saling menghormati, menghargai satu sama lain dalam kekeluargaan, kekerabatan sehari-hari. Masing –masing pihak saling menyesuaikan diri, mengadaptasi terhadap budaya, adat-istiadat, pola perilaku tanpa kecurigaan atau prasangka negatif atas perbedaan tersebut.
Karena itu, sejatinya bahwa asimilasi perkawinan atau perkawinan campuran antar suku atau etnik adalah sebuah keberanian serta terobosan budaya, adat-istiadat, perilaku penuh resiko sehingga diperlukan pemikiran, pemahaman matang dan mendetail seperti ungkapan klasik Batak Toba mengatakan, “Ni langka tu jolo, tinailihon tu pudi” atau “Pikir dahulu pendapatan, sesal kemudian tak berguna”, sebab tangan mencincang, bahu memikul.   
Asimilasi perkawinan atau perkawinan campuran antar suku atau etnik harus pula dipahami salah satu unsur pergeseran nilai-nilai tradisi lokal budaya, adat-istiadat, pola perilaku yang sulit dibendung diakibatkan perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) terutama teknologi informasi (TI) yang mendobrak sekat-sekat suku atau etnik era belakangan ini. Dunia tanpa batas memungkinkan semakin meluasnya asimilasi perkawinan atau perkawinan campuran adalah suatu keniscayaan bagi masyarakat modern ke depan.
Inilah salah satu tantangan nyata dalam menjaga, merawat serta melestarikan budaya, adat-istiadat warisan leluhur yang perlu disiasati arif bijaksana agar tidak hilang atau punah di masa-masa mendatang.
Horas ! Mari berpikir positif pertanda masyarakat beradab dan berbudaya……!

Medan, 02 Desember 2016
Thomson Hutasoit.