Minggu, 14 Juni 2015

Negeri Hipokrit



Negeri Hipokrit  
Oleh: Thomson Hutasoit

Negeri Hipokrit ialah sebuah negeri penuh kemunafikan, penuh kepura-puraan, seolah-olah dan sekonyong-konyong selalu menggunakan dalil rasionalisasi. Meminjam pendapat Sigmund Freud, “Dalih yang berbahaya adalah rasionalisasi yang disusun secara sistematis dan meyakinkan. Dalih semacam ini bisa memukau apalagi bila didukung oleh sarana seperti kekuasaan”.   
Sigmund Freud menyadarkan kita, bahwa manusia bukan saja pandai membikin rasional namun juga cerdas membikin rasionalisasi. Pikiran manusia bukan saja dapat dipergunakan untuk menemukan dan mempertahankan kebenaran namun sekaligus juga dapat dipergunakan untuk menemukan dan mempertahankan hal-hal yang tidak benar.
Karena itulah masalah moral tak bisa dilepaskan dengan tekad manusia untuk menemukan kebenaran, sebab untuk menemukan kebenaran dan terlebih-lebih lagi untuk mempertahankan kebenaran, diperlukan keberanian moral. (Suriasumantri, 1985).
Munafik; berpura-pura percaya atau setia dan sebagainya kepada agama dan sebagainya, tetapi sebenarnya dalam hatinya tidak; suka (selalu) mengatakan sesuatu yang tidak sesuai dengan perbuatannya; bermuka dua (KBBI, 2007).
 Selanjutnya, menurut Ensiklopedia Parktis Kerukunan Umat Beragama (2012; 418-420) Munafik ditinjau dari sudut agama adalah sebagai berikut;
Menurut Islam, Munafik: Manusia yang berpura-pura atau ingkar, apa yang diucapkannya tidak sesuai dengan yang ada di dalam hati dan tindakannya, misalnya lisannya mengaku beriman tetapi dalam hati dan tindakannya ingkar atau kafir. Di dalam al-Qur’an kata al-Munafiqun disebut 27 kali. Sifat-sifat orang munafik adalah; 1. Berdusta. Hal ini dijelaskan Allah dalam firmannya surah al-Munafiqun ayat 1,  2. Ingkar janji. Dijelaskan Allah dalam surah at-Taubah ayat 77 dan 101, juga dalam surah al-Munafiqun , 3. Sombong dan menyombongkan diri. Firman Allah dalam al-Qur’an 63:5.
Karena sifat-sifatnya itu Allah Swt. menyebut mereka sebagai orang Fasik (Q.S. 9:67) dan bahkan ditempatkan sama dengan orang kafir (Q.S. 9:68, 73 dan 74).
Usaha-usaha orang munafika adalah; 1. Menghalangi manusia beriman untuk taat kepada Allah Swt. dan RasulNya (surah an-Nisa’ ayat 61), 2. Mengajak kepada kekafiran (an-Nisa’ ayat 89), 3. Memerintahkan yang munkar dan mencegah yang baik (at-Taubah 67).
Cara-cara menghadapi Orang Munafik adalah sebagai berikut; 1. Tidak menjadikan orang munafik sebagai pelindung, penolong dan pemimpin, 2. Bersikap tegas dan memerangi mereka (an-Nisa’ 89 dan at-Taubah 73), 3. Waspada dan tidak mudah tergoda dengan ajakan mereka, karena mereka itu suka berolok-olok dan menertawakan orang-orang yang mendapat petunjuk Allah Swt. 
Balasan bagi orang-orang munafik adalah; 1. Mendapat siksa 2x sebelum menerima azab yang besar (at-Taubah 101), 2. Dimasukkan ke dalam api neraka jahanam dan dilaknat Allah Swt. selama-lamanya (at-Taubah 68), 3. Dilupakan oleh Allah Swt. sebagaimana tertulis dalam surah 67 yang artinya: “mereka telah lupa kepada Allah, maka Allah melupakan mereka”. (dhl).
Menurut Kristen, Munafik; Yang dimaksud dengan munafik adalah orang yang berpura-pura baik dalam keagamaan maupun dalam kehidupan sehari-hari. Dalam keagamaan dicontohkan dalam Alkitab Perjanjian Baru yaitu seperti yang diperbuat orang Farisi, yaitu kaum yang mengutamakan Hukum Taurat itu tetapi hati mereka jauh dari Tuhan yang memberikan Hukum Taurat. Mereka mengikuti jam-jam berdoa, karena itu mereka berdoa dalam rumah-rumah ibadah dan pada tikungan-tikungan jalan raya, supaya mereka dilihat orang lain. (Matius 6:5). Doa mereka tidak dialamatkan kepada Allah tetapi kepada manusia untuk menarik pujian.
Motif keagamaannya hanya menarik perhatian orang, untuk mendapatkan kehormatan dari orang-orang, baik di rumah ibadat, di tempat perjamuan dan pasar-pasar (Matius 23: 6-7).
Perbuatan keagamaannya hanya untuk mencari legitimasi martabatnya sebagai guru agama sedang hatinya jauh dari Allah.
Munafik itu terjadi juga dalam kehidupan sosial manusia. Ada orang yang nampaknya jujur jika dilihat dari tutur katanya dan penampilannya, tetapi dibalik tutur katanya dan penampilannya yang mengagumkan ternyata itu semua hanya kepura-puraan untuk mendapat keuntungan baginya. Memang penampilan orang munafik baik dalam keagamaan maupun dalam kehidupan sosial selalu meyakinkan sehingga tujuannya tercapai sebab orang terkecoh olehnya. (ags).
Menurut Katolik, Munafik; Ketidaksesuaian lahir dengan batin. Lain di dalam lain di luar. Dalam Alkitab munafik ini disebut sebagai ciri khas orang Parisi. Mereka ini sangat keras ditegur Yesus. Mereka diibaratkan Yesus dengan kubur berlabur putih, cantik di luar, tetapi didalamnya berisi tulang belulang yang berbau tengik. Mereka pandai berpura-pura. Orang yang nampak saleh, rajin ke gereja, rajin beribadat, tetapi suka memeras orang, menipu orang atau perbuatan-perbuatan tak terpuji lainnya, adalah contoh ketidaksesuaian lahir dan batin alias munafik. (bn).
Menurut Hindu, Munafik: (Dhambha) adalah sifat yang berpura-pura baik/suci tetapi di dalam hatinya jahat/jelek. (djk).
   Menurut Buddha, Munafik: Istilah munafik dalam Buddhasasana lebih dikenal dengan sebutan musavada. Kata musavada terdiri atas; Musa secara harfiah berarti sesuatu yang bukan merupakan kebenaran, sedangkan Vada berarti ucapan/perkataan. Jadi istilah musavada dapat diterjemahkan sebagai pendusta.
Ada 4 faktor pendustaan, yaitu sesuatu/hal yang tidak benar, mempunyai pikiran untuk berdusta, berusaha untuk berdusta dan orang lain mempercayainya. Akibat pendustaan adalah menimbulkan akibat pada pelakunya sebagai berikut: bicaranya tidak jelas, giginya jelek dan tidak rata, mulutnya berbau busuk, perawakannya tidak normal, terlalu gemuk atau kurus, terlalu tinggi atau pendek. Sorot matanya tidak wajar, perkataannya tidak dipercayai walaupun oleh orang-orang terdekat atau bawahannya dan dapat menyeret seseorang ke dalam alam-alam rendah. (trl).
Menurut Khonghucu, Munafik: Nabi Khongcu membeci kepalsuan dan pelaku munafik. Nabi Khongcu bersabda: “Aku benci hal-hal yang mirip tetapi palsu. Aku benci akan rumput perusak yang dapat mengacaukan tunas yang baik. Aku benci akan kata-kata muslihat yang dapat mengacaukan kebenaran. Aku benci akan mulut yang tajam, yang dapat mengacaukan sikap Dapat Dipercaya. Aku benci akan musik negeri Ting yang dapat mengacaukan musik yang baik. Aku benci akan warna ungu yang dapat mengacaukan warna merah. Aku benci akan orang yang hanya pandai menarik perhatian untuk mendapat pujian di kampung halamannya, karena akan mengacaukan Kebajikan”.
“Orang yang berperi cinta kasih dan menjunjung kebenaran akan mencintai orang yang pantas dicintai dan membenci orang yang pantas dibenci”. (dja).
 Dari konteks tinjauan aspek agama di atas jelas lah, bahwa kemunafikan dalam bentuk apapun amat sangat bertentangan dan dilarang keras karena sifat kemunafikan  penuh kepura-puraan, kebohongan akan menimbulkan ekses negatif, baik kepada pelaku kemunafikan maupun kepada pihak lain.
Ketidaksesuaian antara perkataan dengan perilaku dalam ungkapan Batak Toba juga dikenal, “Palo di anak ni mata, angkalau sumuntol bulan, Malo di urat ni hata, hape tarsuntol di parulan” yaitu; orang yang pintar bertutur kata tetapi perilakunya sungguh sangat tak terpuji (Thomson Hutasoit, 2011).  
Bahkan Oliver Cromewell (1653) mengatakan, “Seperti Esau yang mau saja menjual negara demi semangkuk sup, dan seperti Yudas yang mau mengkhianati Tuhan hanya demi beberapa keeping uang; masih adakah satu saja kebaikan yang tersisa dalam diri kalian ? Adakah satu keburukan saja yang tidak kalian punyai ? Wahai kalian yang lebih tidak beragama daripada kudaku; emas adalah tuhan kalian; siapakah diantara kalian yang belum menukar hati nurani dengan sup ? Adakah di antara kalian yang mau sedikit saja memerhatikan kebaikan Persemakmuran ?
 Bukankah kalian tak ubahnya seperti pelacur yang telah mengotori tempat suci ini, yang sudah mencemarkan rumah Tuhan ini menjadi sarang penyamun dengan segenap prinsip tak bermoral dan praktik jahat kalian ? Kalian kian menjadi beban tak tertanggungkan bagi bangsa yang telah kalian khianati kepercayaan ini”.(Haris Munandar, Terj, 2008).
Orang-orang munafik selalu berpura-pura dalam hidup sejatinya adalah seorang penipu, pembohong, pendusta, pengkhianat, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain.  
Karena itu pulalah muncul pameo di masyarakat; muka nabi pikiran kotor/ Munafik sebab korelasi antara tatanan perkataan dengan perilaku sungguh sangat kontroversial, misalnya; selalu berteriak lantang tentang pemberantasan korupsi, padahal dia sendiri lah aktor utama pelaku tindak pidana korupsi itu. Berteriak lantang tentang anti maksiat, judi, pengguna narkoba, padahal sejatinya dia lah pelaku utama daripada tindakan-tindakan tak terpuji itu.  
Orang-orang munafik selalu berlindung dibalik “tameng atau jubah” sehingga pihak lain terkecoh dan terkibuli atas tindakan kepura-puraan itu sebelum kedoknya terkuak di ruang publik. Apa yang kita saksikan era belakangan ini dengan banyaknya pejabat publik masuk penjara akibat tindak pidana korupsi adalah fakta dan bukti nyata betapa negeri ini dipenuhi manusia-manusia munafik yang tidak lebih beragama daripada kudanya Oliver Cromewell.  
Bukankah semua agama melarang dan membenci tindakan kemunafikan ? Tetapi mengapa di negeri mengaku beragama ini kemunafikan tumbuh subur serta menjalar di segala sendi kehidupan berbangsa dan bernegara  ?.
Perilaku munafik adalah kerusakan Akhlak, mental, moral sehingga diperlukan gerakan revolusi mental sebagaimana diagendakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar negeri ini tidak menjadi negeri hipokrit penuh kedustaan, kebohongan, kepura-puraan ataupun kemunafikan.  
Akh. Muwafik Saleh (2009) mengatakan, “Akhlak tanpa iman laksana sebuah istana yang dibangun di atas lumpur atau es. Akhlak tanpa iman laksana benih yang ditanam di atas batu atau di antara dedurian. Pada akhirnya ia layu dan mati . Jika sifat-sifat mulia tidak dimotivasi iman ia laksana panen yang mati di dekat orang hidup.
Menipu, 1  +  1 = Keterusan. “Semua sifat dengki ditempatkan di dalam sebuah rumah dan kunci untuk rumah ini adalah dusta, bohong, dan menipu” (Imam Hasan Al-Asykari).  
Perilaku munafik sungguh sangat berbahaya karena perilaku seperti itu akan mengecoh, membohongi, mengibuli orang lain dengan kepura-puraan. Hal itu amat sangat mudah dilihat dan disaksikan ketika masa konstestasi atau pemilihan umum (Pemilu). Aneka kebaikan palsu dari para konstestan seperti; bagi-bagi uang, pemberian sembako, bantuan-bantuan sosial lainnya, bahkan ada calon kepala daerah, calon legislatif membangun jalan masyarakat dengan uang sendiri ketika masa kampanye.
Padahal, sebelum masa kampanye si calon tadi tak pernah peduli dengan masyarakat. Perilaku seperti inilah sering muncul ketika masa kontestasi Pilkada maupun Pileg sehingga muncul pamaeo ditengah masyarakat, ”Tiba-tiba baik (Tompu burju-red)” mengelabui, mengecoh masyarakat menghadirkan calon pemimpin.  
Memosisikan diri sebagai “dewa penyelamat atau dewa penolong” ketika masa kontestasi adalah kemunafikan penuh kepura-puraan mengecoh alam sadar rakyat pemilih. Dalam situasi kondisi demikian rakyat diposisikan “komoditas politik” bisa dibeli dengan rupiah. Perilaku ini tentu adalah perilaku buruk tak beradab menyetarakan harkat manusia dengan barang (sahirang gadong-red) bisa dibeli.   
Calon pemimpin seperti ini bukanlah calon pemimpin bisa diharapkan untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat, melainkan calon penguasa haus kekuasaan yang akan memperdaya masyarakat ketika kekuasaan digenggam.  
Berpura-pura peduli dengan penderitaan rakyat ketika masa pemilihan adalah salah satu contoh kemunafikan penuh kebohongan, penipuan yang harus disiasati agar tidak muncul lagi pemimpin calon penghuni hotel prodeo atau penjara sebagaimana menghiasi media massa selama ini.
Revolusi Mental.
            Sadar atau tidak salah satu penyakit endemik bangsa saat ini ialah kemunafikan yang telah menjangkiti seluruh lini kehidupan di era belakangan ini. Para pemegang amanah atau kepercayaan telah menyelewengkan amanah diemban demi kepentingan pribadi, kelompok, dan golongannya. Bahkan, Menteri Agama mengemban amanah garda moral terbelit kasus dugaan tindak pidana korupsi adalah salah satu aib besar mendera bangsa hingga seperti negeri hipokrit.   
            Bila pemegang amanah tak mampu memosisikan diri memegang kepercayaan bagaimana lagi jadinya negeri ini. Berbagai kasus mendera pejabat publik yang notabene pemegang amanah adalah “tsunami” karakter mental harus segera direvolusi.
 Perilaku oknum-oknum nakal di kejaksaan, kepolisian, kehakiman, eksekutif, legislatif serta pejabat publik lainnya adalah agenda terbesar pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) Wakil Presiden H.M. Jusuf Kalla (JK) agar bangsa ini tidak menjadi negeri hipokrit.
Sadar atau tidak, setuju atau tidak pernyataan sikap politik Presiden Jokowi mengagendakan “Revolusi Mental” ditindak lanjuti pidato perdana 20 Oktober 2014 di depan Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI “hanya tunduk konstitusi dan kehendak rakyat” adalah revolusi mental bagi pemangku kekuasaan di negeri ini.
Jika sebelumnya para pemangku kekuasaan selalu memosisikan diri penguasa (pangreh praja) serta bisa sesuka hati mempermainkan hukum hingga muncul perilaku “sok di atas hukum” maka mental-mental pemangku kekuasaan harus segera direvolusi menjadi mental pamong praja (parhobas-red) selalu tunduk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku di negeri ini.   
Mental-mental selalu menempatkan kepentingan pribadi, kelompok, golongan di atas kepentingan bangsa dan negara harus segera direvolusi yakni; menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan apapun yang tercermin pada politik anggaran, baik anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) maupun anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) sehingga porsi mata anggaran untuk kepentingan rakyat lebih besar daripada kepentingan aparatur pemerintahan seperti selama ini.
Bukankah selama ini porsi mata anggaran lebih besar untuk kepentingan penyelenggara negara atau pemerintahan daripada kepentingan rakyat ? Belum lagi tindakan-tindakan koruptif, kolutif, dan nepotif (KKN) yang dilakukan oknum-oknum tak bertanggung jawab menjadikan janji proklamasi belum terealisasi hingga 70 tahun kemerdekaan negeri ini.  
Berbagai terobosan dilakukan Presiden Joko Widodo (Jokowi) Wakil Presiden H.M. Jusuf Kalla (JK) merevolusi mental para pemangku kekuasaan bermental pangreh praja sudah pasti mengalami kendala dalam empiriknya sebab mental-mental pangreh praja (pemberi perintah) menjadi pamong praja (parhobas) pelayan publik masih belum karakter mental bagi sebahagian besar pemangku kekuasaan saat ini.   
Merevolusi mental tertutup dan sakral mendarah daging bagi para pemangku kekuasaan sebelumnya menjadi mental transparan, partisipatif, dan akuntabel bukanlah hal mudah dan gampang. Sebab perubahan paradigma tanpa didukung perubahan perilaku atau mental akan menjadi salah satu kendala berhasilnya agenda besar “revolusi mental” pemerintahan Jokowi-JK lima tahun ke depan.  
Akan tetapi, bila Presiden Jokowi-JK konsisten melaksanakan revolusi mental di segala lini penyelenggaraan negara atau pemerintahan maka siapapun akan mendukung agenda besar itu karena fakta membuktikan defisit keteladanan kepemimpinan lah salah satu faktor utama mengapa negeri ini seperti negeri hipokrit.  
Keteladanan kepemimpinan ditunjukkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan Kesederhanaan, kesahajaan, kejujuran, ketegasan, kerakyatan, serta kesesuaian antara perkataan dengan tindakan akan mengubah pola pikir (mindset) bangsa ini lima tahun ke depan.
Salah satu cermin keteladanan kepemimpinan Presiden Jokowi ialah prosesi Mantu 10-11 Juni 2015 dimana hingar bingar glamour kekuasaan yang selama ini dipertontonkan para pemangku kekuasaan tidak tampak sam sekali.
Selaku Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan amat sangat mudah mengadakan pesta besar mengawinkan/menikahkan anak sulungnya seperti acara pernikahan anak penguasa sebelumnya, tetapi pernikahan anak sulungnya Gibran Rakabuming Raka dengan Selvi Ananda Putri dilaksanakan dengan kesederhanaan.
 Bahkan Harian Kompas, Rabu (10/06/2015) menurunkan judul berita,”Anak Presiden, Anak Tukang Becak, sama saja”.
Sebagai anak Presiden RI, Gibran Rakabuming Raka (27), sebenarnya bisa menjadi “raja sehari” saat duduk di pelaminan bersama calon istrinya, Selvi Ananda Putri (24), di Istana Kepresidenan. Gibran bisa memilih mau di Istana Bogor, Cipanas, Jawa Barat, atau Istana Negara, Jakarta.
Namun, kesempatan itu ditepisnya jauh-jauh. Lihatlah pernyataan Gibran, “Mau anak Presiden, anak tukang becak, sama saja (kalau ingin mandiri)” ujarnya kepada Harian Kompas (9/6) petang, di Solo, Jawa Tengah.  
Sebagai anak Presiden Republik Indonesia, orang nomor satu di republik ini telah membuka mata, mengetuk hati sanubari seluruh rakyat di negeri ini, bahwa kekuasaan bukan untuk kepentingan pribadi, kelompok maupun golongan, tetapi ladang pengabadian demi kepentingan rakyat sehingga tidak boleh sekali-sekali memanfaatkan kekuasaan itu demi kepentingan pribadi, kelompok maupun golongan.
Inilah salah satu contoh konkrit bagaimana seorang pemimpin memberi keteladanan terhadap rakyatnya, bukan seperti pemimpin munafik menjadikan urusan pribadi menjadi urusan negara atau pemerintahan. Misalnya, kendaraan plat merah digunakan keluarga berbelanja di pasar-pasar, pesta perkawinan anak diurusi pegawai negeri sipil (PNS) bawahannya, dan lain sebagainya.
Bukankah perilaku (mental) kesederhanaan, kesahajaan, kejujuran, rendah hati, serta kemandirian sangat langka ditemukan pada diri pemangku kekuasaan di negeri ini ? Karakter individualistis, hedonis, konsumeris, tak solider malah mudah ditemukan pada para pejabat publik, dan demi mewujudkan hal itu melakukan kemunafikan.
Bahkan ada melakukan korupsi bencana, beras rakyat miskin (raskin), serta menilep pos mata anggaran untuk memperkaya diri, kelompok maupun golongan dengan dalil aji mumpung menduduki kekuasaan tertentu.
Karakter mental seperti inilah sejatinya sasaran “Revolusi Mental” Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar negeri ini mampu menatap hari esok lebih baik.
Oleh sebab itu, sudah saatnya gerakan “Revolusi Mental” menjadi agenda prioritas di segala lini kehidupan bangsa, dengan motto, “Kekuasaan buka tujuan, tetapi alat untuk memperjuangkan nasib rakyat, bangsa dan negara”.  
Karena itu, perlu dilaksanakan Gerakan Anti Kemunafikan (GAK) mulai dari pemangku kekuasaan tertinggi hingga ke pemangku kekuasaan terendah agar kepercayaan (trust) rakyat terhadap penyelenggara negara atau pemerintahan  bisa dikembalikan segera.
Merubah karakter hipokrit yang menjangkiti bangsa hanya bisa dihilangkan melalui keteladanan kepemimpinan nyata di ruang publik.   
John Mc Cain & Mark Salter (2009) “Karakter akan membuat hidup Anda bahagia atau sengsara. Hanya itu yang akan menentukan takdir kita. Anda memilihnya. Tiada orang lain dapat memberi atau mengambil dari Anda. Tak seorang pun pesaing dapat mencuri dari Anda. Orang lain bisa mengubah hati Anda untuk mengambil keputusan yang benar, tetapi ia bisa mengecilkan hati. Bagaimana pun, Anda sendiri yang menentukan pilihan.
Polonius berkata kepada puteranya Laertes; This above all: to thine ownself be true, and it must follow, as the night the day, thou cannot then be false to any man (Inilah yang terutama: jujurlah pada diri sendiri, lakukan dengan setia, bagai malam berganti siang, maka kau mustahil berbohong pada orang lain”. (11/06/2015).