Negeri Hipokrit
Oleh: Thomson Hutasoit
Negeri Hipokrit ialah
sebuah negeri penuh kemunafikan, penuh kepura-puraan, seolah-olah dan
sekonyong-konyong selalu menggunakan dalil rasionalisasi. Meminjam pendapat
Sigmund Freud, “Dalih yang berbahaya adalah rasionalisasi yang disusun secara
sistematis dan meyakinkan. Dalih semacam ini bisa memukau apalagi bila didukung
oleh sarana seperti kekuasaan”.
Sigmund
Freud menyadarkan kita, bahwa manusia bukan saja pandai membikin rasional namun
juga cerdas membikin rasionalisasi. Pikiran manusia bukan saja dapat
dipergunakan untuk menemukan dan mempertahankan kebenaran namun sekaligus juga
dapat dipergunakan untuk menemukan dan mempertahankan hal-hal yang tidak benar.
Karena
itulah masalah moral tak bisa dilepaskan dengan tekad manusia untuk menemukan
kebenaran, sebab untuk menemukan kebenaran dan terlebih-lebih lagi untuk mempertahankan
kebenaran, diperlukan keberanian moral. (Suriasumantri, 1985).
Munafik;
berpura-pura percaya atau setia dan sebagainya kepada agama dan sebagainya,
tetapi sebenarnya dalam hatinya tidak; suka (selalu) mengatakan sesuatu yang
tidak sesuai dengan perbuatannya; bermuka dua (KBBI, 2007).
Selanjutnya, menurut Ensiklopedia Parktis
Kerukunan Umat Beragama (2012; 418-420) Munafik ditinjau dari sudut agama
adalah sebagai berikut;
Menurut
Islam, Munafik: Manusia yang berpura-pura atau ingkar, apa yang diucapkannya
tidak sesuai dengan yang ada di dalam hati dan tindakannya, misalnya lisannya
mengaku beriman tetapi dalam hati dan tindakannya ingkar atau kafir. Di dalam al-Qur’an kata al-Munafiqun disebut 27 kali. Sifat-sifat orang munafik adalah; 1.
Berdusta. Hal ini dijelaskan Allah dalam firmannya surah al-Munafiqun ayat 1, 2. Ingkar
janji. Dijelaskan Allah dalam surah at-Taubah ayat 77 dan 101, juga dalam surah
al-Munafiqun , 3. Sombong dan
menyombongkan diri. Firman Allah dalam al-Qur’an 63:5.
Karena
sifat-sifatnya itu Allah Swt. menyebut mereka sebagai orang Fasik (Q.S. 9:67)
dan bahkan ditempatkan sama dengan orang kafir (Q.S. 9:68, 73 dan 74).
Usaha-usaha
orang munafika adalah; 1. Menghalangi manusia beriman untuk taat kepada Allah
Swt. dan RasulNya (surah an-Nisa’ ayat 61), 2. Mengajak kepada kekafiran (an-Nisa’
ayat 89), 3. Memerintahkan yang munkar dan mencegah yang baik (at-Taubah 67).
Cara-cara
menghadapi Orang Munafik adalah sebagai berikut; 1. Tidak menjadikan orang
munafik sebagai pelindung, penolong dan pemimpin, 2. Bersikap tegas dan
memerangi mereka (an-Nisa’ 89 dan at-Taubah 73), 3. Waspada dan tidak mudah
tergoda dengan ajakan mereka, karena mereka itu suka berolok-olok dan
menertawakan orang-orang yang mendapat petunjuk Allah Swt.
Balasan
bagi orang-orang munafik adalah; 1. Mendapat siksa 2x sebelum menerima azab
yang besar (at-Taubah 101), 2. Dimasukkan ke dalam api neraka jahanam dan
dilaknat Allah Swt. selama-lamanya (at-Taubah 68), 3. Dilupakan oleh Allah Swt.
sebagaimana tertulis dalam surah 67 yang artinya: “mereka telah lupa kepada
Allah, maka Allah melupakan mereka”. (dhl).
Menurut
Kristen, Munafik; Yang dimaksud dengan munafik adalah orang yang berpura-pura
baik dalam keagamaan maupun dalam kehidupan sehari-hari. Dalam keagamaan
dicontohkan dalam Alkitab Perjanjian Baru yaitu seperti yang diperbuat orang
Farisi, yaitu kaum yang mengutamakan Hukum Taurat itu tetapi hati mereka jauh
dari Tuhan yang memberikan Hukum Taurat. Mereka mengikuti jam-jam berdoa,
karena itu mereka berdoa dalam rumah-rumah ibadah dan pada tikungan-tikungan
jalan raya, supaya mereka dilihat orang lain. (Matius 6:5). Doa mereka tidak
dialamatkan kepada Allah tetapi kepada manusia untuk menarik pujian.
Motif
keagamaannya hanya menarik perhatian orang, untuk mendapatkan kehormatan dari
orang-orang, baik di rumah ibadat, di tempat perjamuan dan pasar-pasar (Matius
23: 6-7).
Perbuatan
keagamaannya hanya untuk mencari legitimasi martabatnya sebagai guru agama
sedang hatinya jauh dari Allah.
Munafik
itu terjadi juga dalam kehidupan sosial manusia. Ada orang yang nampaknya jujur
jika dilihat dari tutur katanya dan penampilannya, tetapi dibalik tutur katanya
dan penampilannya yang mengagumkan ternyata itu semua hanya kepura-puraan untuk
mendapat keuntungan baginya. Memang penampilan orang munafik baik dalam
keagamaan maupun dalam kehidupan sosial selalu meyakinkan sehingga tujuannya
tercapai sebab orang terkecoh olehnya. (ags).
Menurut
Katolik, Munafik; Ketidaksesuaian lahir dengan batin. Lain di dalam lain di
luar. Dalam Alkitab munafik ini disebut sebagai ciri khas orang Parisi. Mereka
ini sangat keras ditegur Yesus. Mereka diibaratkan Yesus dengan kubur berlabur
putih, cantik di luar, tetapi didalamnya berisi tulang belulang yang berbau
tengik. Mereka pandai berpura-pura. Orang yang nampak saleh, rajin ke gereja,
rajin beribadat, tetapi suka memeras orang, menipu orang atau
perbuatan-perbuatan tak terpuji lainnya, adalah contoh ketidaksesuaian lahir
dan batin alias munafik. (bn).
Menurut
Hindu, Munafik: (Dhambha) adalah sifat yang berpura-pura baik/suci tetapi di
dalam hatinya jahat/jelek. (djk).
Menurut Buddha, Munafik: Istilah munafik dalam
Buddhasasana lebih dikenal dengan sebutan musavada. Kata musavada terdiri atas;
Musa secara harfiah berarti sesuatu yang bukan merupakan kebenaran, sedangkan
Vada berarti ucapan/perkataan. Jadi istilah musavada dapat diterjemahkan
sebagai pendusta.
Ada
4 faktor pendustaan, yaitu sesuatu/hal yang tidak benar, mempunyai pikiran
untuk berdusta, berusaha untuk berdusta dan orang lain mempercayainya. Akibat
pendustaan adalah menimbulkan akibat pada pelakunya sebagai berikut: bicaranya
tidak jelas, giginya jelek dan tidak rata, mulutnya berbau busuk, perawakannya
tidak normal, terlalu gemuk atau kurus, terlalu tinggi atau pendek. Sorot
matanya tidak wajar, perkataannya tidak dipercayai walaupun oleh orang-orang
terdekat atau bawahannya dan dapat menyeret seseorang ke dalam alam-alam
rendah. (trl).
Menurut
Khonghucu, Munafik: Nabi Khongcu membeci kepalsuan dan pelaku munafik. Nabi
Khongcu bersabda: “Aku benci hal-hal yang mirip tetapi palsu. Aku benci akan
rumput perusak yang dapat mengacaukan tunas yang baik. Aku benci akan kata-kata
muslihat yang dapat mengacaukan kebenaran. Aku benci akan mulut yang tajam,
yang dapat mengacaukan sikap Dapat Dipercaya. Aku benci akan musik negeri Ting
yang dapat mengacaukan musik yang baik. Aku benci akan warna ungu yang dapat
mengacaukan warna merah. Aku benci akan orang yang hanya pandai menarik
perhatian untuk mendapat pujian di kampung halamannya, karena akan mengacaukan
Kebajikan”.
“Orang
yang berperi cinta kasih dan menjunjung kebenaran akan mencintai orang yang
pantas dicintai dan membenci orang yang pantas dibenci”. (dja).
Dari konteks tinjauan aspek agama di atas
jelas lah, bahwa kemunafikan dalam bentuk apapun amat sangat bertentangan dan
dilarang keras karena sifat kemunafikan penuh
kepura-puraan, kebohongan akan menimbulkan ekses negatif, baik kepada pelaku
kemunafikan maupun kepada pihak lain.
Ketidaksesuaian
antara perkataan dengan perilaku dalam ungkapan Batak Toba juga dikenal, “Palo
di anak ni mata, angkalau sumuntol bulan, Malo di urat ni hata, hape tarsuntol
di parulan” yaitu; orang yang pintar bertutur kata tetapi perilakunya sungguh
sangat tak terpuji (Thomson Hutasoit, 2011).
Bahkan
Oliver Cromewell (1653) mengatakan, “Seperti Esau yang mau saja menjual negara
demi semangkuk sup, dan seperti Yudas yang mau mengkhianati Tuhan hanya demi
beberapa keeping uang; masih adakah satu saja kebaikan yang tersisa dalam diri
kalian ? Adakah satu keburukan saja yang tidak kalian punyai ? Wahai kalian
yang lebih tidak beragama daripada kudaku; emas adalah tuhan kalian; siapakah
diantara kalian yang belum menukar hati nurani dengan sup ? Adakah di antara
kalian yang mau sedikit saja memerhatikan kebaikan Persemakmuran ?
Bukankah kalian tak ubahnya seperti pelacur
yang telah mengotori tempat suci ini, yang sudah mencemarkan rumah Tuhan ini
menjadi sarang penyamun dengan segenap prinsip tak bermoral dan praktik jahat
kalian ? Kalian kian menjadi beban tak tertanggungkan bagi bangsa yang telah
kalian khianati kepercayaan ini”.(Haris Munandar, Terj, 2008).
Orang-orang
munafik selalu berpura-pura dalam hidup sejatinya adalah seorang penipu,
pembohong, pendusta, pengkhianat, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap
orang lain.
Karena
itu pulalah muncul pameo di masyarakat; muka nabi pikiran kotor/ Munafik sebab
korelasi antara tatanan perkataan dengan perilaku sungguh sangat kontroversial,
misalnya; selalu berteriak lantang tentang pemberantasan korupsi, padahal dia
sendiri lah aktor utama pelaku tindak pidana korupsi itu. Berteriak lantang
tentang anti maksiat, judi, pengguna narkoba, padahal sejatinya dia lah pelaku
utama daripada tindakan-tindakan tak terpuji itu.
Orang-orang
munafik selalu berlindung dibalik “tameng atau jubah” sehingga pihak lain
terkecoh dan terkibuli atas tindakan kepura-puraan itu sebelum kedoknya terkuak
di ruang publik. Apa yang kita saksikan era belakangan ini dengan banyaknya
pejabat publik masuk penjara akibat tindak pidana korupsi adalah fakta dan
bukti nyata betapa negeri ini dipenuhi manusia-manusia munafik yang tidak lebih
beragama daripada kudanya Oliver Cromewell.
Bukankah
semua agama melarang dan membenci tindakan kemunafikan ? Tetapi mengapa di
negeri mengaku beragama ini kemunafikan tumbuh subur serta menjalar di segala
sendi kehidupan berbangsa dan bernegara
?.
Perilaku
munafik adalah kerusakan Akhlak, mental, moral sehingga diperlukan gerakan
revolusi mental sebagaimana diagendakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar
negeri ini tidak menjadi negeri hipokrit penuh kedustaan, kebohongan, kepura-puraan
ataupun kemunafikan.
Akh.
Muwafik Saleh (2009) mengatakan, “Akhlak tanpa iman laksana sebuah istana yang
dibangun di atas lumpur atau es. Akhlak tanpa iman laksana benih yang ditanam
di atas batu atau di antara dedurian. Pada akhirnya ia layu dan mati . Jika
sifat-sifat mulia tidak dimotivasi iman ia laksana panen yang mati di dekat
orang hidup.
Menipu,
1 +
1 = Keterusan. “Semua sifat dengki ditempatkan di dalam sebuah rumah dan
kunci untuk rumah ini adalah dusta, bohong, dan menipu” (Imam Hasan
Al-Asykari).
Perilaku
munafik sungguh sangat berbahaya karena perilaku seperti itu akan mengecoh,
membohongi, mengibuli orang lain dengan kepura-puraan. Hal itu amat sangat
mudah dilihat dan disaksikan ketika masa konstestasi atau pemilihan umum
(Pemilu). Aneka kebaikan palsu dari para konstestan seperti; bagi-bagi uang,
pemberian sembako, bantuan-bantuan sosial lainnya, bahkan ada calon kepala
daerah, calon legislatif membangun jalan masyarakat dengan uang sendiri ketika
masa kampanye.
Padahal,
sebelum masa kampanye si calon tadi tak pernah peduli dengan masyarakat.
Perilaku seperti inilah sering muncul ketika masa kontestasi Pilkada maupun
Pileg sehingga muncul pamaeo ditengah masyarakat, ”Tiba-tiba baik (Tompu
burju-red)” mengelabui, mengecoh masyarakat menghadirkan calon pemimpin.
Memosisikan
diri sebagai “dewa penyelamat atau dewa penolong” ketika masa kontestasi adalah
kemunafikan penuh kepura-puraan mengecoh alam sadar rakyat pemilih. Dalam
situasi kondisi demikian rakyat diposisikan “komoditas politik” bisa dibeli
dengan rupiah. Perilaku ini tentu adalah perilaku buruk tak beradab
menyetarakan harkat manusia dengan barang (sahirang gadong-red) bisa dibeli.
Calon
pemimpin seperti ini bukanlah calon pemimpin bisa diharapkan untuk meningkatkan
taraf kehidupan masyarakat, melainkan calon penguasa haus kekuasaan yang akan
memperdaya masyarakat ketika kekuasaan digenggam.
Berpura-pura
peduli dengan penderitaan rakyat ketika masa pemilihan adalah salah satu contoh
kemunafikan penuh kebohongan, penipuan yang harus disiasati agar tidak muncul
lagi pemimpin calon penghuni hotel prodeo atau penjara sebagaimana menghiasi
media massa selama ini.
Revolusi Mental.
Sadar
atau tidak salah satu penyakit endemik bangsa saat ini ialah kemunafikan yang
telah menjangkiti seluruh lini kehidupan di era belakangan ini. Para pemegang
amanah atau kepercayaan telah menyelewengkan amanah diemban demi kepentingan
pribadi, kelompok, dan golongannya. Bahkan, Menteri Agama mengemban amanah
garda moral terbelit kasus dugaan tindak pidana korupsi adalah salah satu aib
besar mendera bangsa hingga seperti negeri hipokrit.
Bila pemegang amanah tak mampu
memosisikan diri memegang kepercayaan bagaimana lagi jadinya negeri ini. Berbagai
kasus mendera pejabat publik yang notabene
pemegang amanah adalah “tsunami” karakter mental harus segera direvolusi.
Perilaku oknum-oknum nakal di kejaksaan,
kepolisian, kehakiman, eksekutif, legislatif serta pejabat publik lainnya
adalah agenda terbesar pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) Wakil
Presiden H.M. Jusuf Kalla (JK) agar bangsa ini tidak menjadi negeri hipokrit.
Sadar
atau tidak, setuju atau tidak pernyataan sikap politik Presiden Jokowi mengagendakan
“Revolusi Mental” ditindak lanjuti pidato perdana 20 Oktober 2014 di depan
Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI “hanya tunduk konstitusi
dan kehendak rakyat” adalah revolusi mental bagi pemangku kekuasaan di negeri
ini.
Jika
sebelumnya para pemangku kekuasaan selalu memosisikan diri penguasa (pangreh
praja) serta bisa sesuka hati mempermainkan hukum hingga muncul perilaku “sok
di atas hukum” maka mental-mental pemangku kekuasaan harus segera direvolusi
menjadi mental pamong praja (parhobas-red) selalu tunduk pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku di negeri ini.
Mental-mental
selalu menempatkan kepentingan pribadi, kelompok, golongan di atas kepentingan
bangsa dan negara harus segera direvolusi yakni; menempatkan kepentingan bangsa
dan negara di atas kepentingan apapun yang tercermin pada politik anggaran,
baik anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) maupun anggaran pendapatan
dan belanja daerah (APBD) sehingga porsi mata anggaran untuk kepentingan rakyat
lebih besar daripada kepentingan aparatur pemerintahan seperti selama ini.
Bukankah
selama ini porsi mata anggaran lebih besar untuk kepentingan penyelenggara
negara atau pemerintahan daripada kepentingan rakyat ? Belum lagi
tindakan-tindakan koruptif, kolutif, dan nepotif (KKN) yang dilakukan
oknum-oknum tak bertanggung jawab menjadikan janji proklamasi belum terealisasi
hingga 70 tahun kemerdekaan negeri ini.
Berbagai
terobosan dilakukan Presiden Joko Widodo (Jokowi) Wakil Presiden H.M. Jusuf
Kalla (JK) merevolusi mental para pemangku kekuasaan bermental pangreh praja
sudah pasti mengalami kendala dalam empiriknya sebab mental-mental pangreh
praja (pemberi perintah) menjadi pamong praja (parhobas) pelayan publik masih
belum karakter mental bagi sebahagian besar pemangku kekuasaan saat ini.
Merevolusi
mental tertutup dan sakral mendarah daging bagi para pemangku kekuasaan
sebelumnya menjadi mental transparan, partisipatif, dan akuntabel bukanlah hal
mudah dan gampang. Sebab perubahan paradigma tanpa didukung perubahan perilaku
atau mental akan menjadi salah satu kendala berhasilnya agenda besar “revolusi
mental” pemerintahan Jokowi-JK lima tahun ke depan.
Akan
tetapi, bila Presiden Jokowi-JK konsisten melaksanakan revolusi mental di
segala lini penyelenggaraan negara atau pemerintahan maka siapapun akan
mendukung agenda besar itu karena fakta membuktikan defisit keteladanan
kepemimpinan lah salah satu faktor utama mengapa negeri ini seperti negeri
hipokrit.
Keteladanan
kepemimpinan ditunjukkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan Kesederhanaan,
kesahajaan, kejujuran, ketegasan, kerakyatan, serta kesesuaian antara perkataan
dengan tindakan akan mengubah pola pikir (mindset)
bangsa ini lima tahun ke depan.
Salah
satu cermin keteladanan kepemimpinan Presiden Jokowi ialah prosesi Mantu 10-11
Juni 2015 dimana hingar bingar glamour kekuasaan yang selama ini dipertontonkan
para pemangku kekuasaan tidak tampak sam sekali.
Selaku
Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan amat sangat mudah mengadakan pesta besar
mengawinkan/menikahkan anak sulungnya seperti acara pernikahan anak penguasa
sebelumnya, tetapi pernikahan anak sulungnya Gibran Rakabuming Raka dengan
Selvi Ananda Putri dilaksanakan dengan kesederhanaan.
Bahkan Harian Kompas, Rabu (10/06/2015)
menurunkan judul berita,”Anak Presiden, Anak Tukang Becak, sama saja”.
Sebagai
anak Presiden RI, Gibran Rakabuming Raka (27), sebenarnya bisa menjadi “raja
sehari” saat duduk di pelaminan bersama calon istrinya, Selvi Ananda Putri
(24), di Istana Kepresidenan. Gibran bisa memilih mau di Istana Bogor, Cipanas,
Jawa Barat, atau Istana Negara, Jakarta.
Namun,
kesempatan itu ditepisnya jauh-jauh. Lihatlah pernyataan Gibran, “Mau anak
Presiden, anak tukang becak, sama saja (kalau ingin mandiri)” ujarnya kepada
Harian Kompas (9/6) petang, di Solo, Jawa Tengah.
Sebagai
anak Presiden Republik Indonesia, orang nomor satu di republik ini telah
membuka mata, mengetuk hati sanubari seluruh rakyat di negeri ini, bahwa
kekuasaan bukan untuk kepentingan pribadi, kelompok maupun golongan, tetapi
ladang pengabadian demi kepentingan rakyat sehingga tidak boleh sekali-sekali
memanfaatkan kekuasaan itu demi kepentingan pribadi, kelompok maupun golongan.
Inilah
salah satu contoh konkrit bagaimana seorang pemimpin memberi keteladanan
terhadap rakyatnya, bukan seperti pemimpin munafik menjadikan urusan pribadi
menjadi urusan negara atau pemerintahan. Misalnya, kendaraan plat merah
digunakan keluarga berbelanja di pasar-pasar, pesta perkawinan anak diurusi
pegawai negeri sipil (PNS) bawahannya, dan lain sebagainya.
Bukankah
perilaku (mental) kesederhanaan, kesahajaan, kejujuran, rendah hati, serta
kemandirian sangat langka ditemukan pada diri pemangku kekuasaan di negeri ini
? Karakter individualistis, hedonis, konsumeris, tak solider malah mudah
ditemukan pada para pejabat publik, dan demi mewujudkan hal itu melakukan
kemunafikan.
Bahkan
ada melakukan korupsi bencana, beras rakyat miskin (raskin), serta menilep pos
mata anggaran untuk memperkaya diri, kelompok maupun golongan dengan dalil aji
mumpung menduduki kekuasaan tertentu.
Karakter
mental seperti inilah sejatinya sasaran “Revolusi Mental” Presiden Joko Widodo
(Jokowi) agar negeri ini mampu menatap hari esok lebih baik.
Oleh
sebab itu, sudah saatnya gerakan “Revolusi Mental” menjadi agenda prioritas di segala
lini kehidupan bangsa, dengan motto, “Kekuasaan buka tujuan, tetapi alat untuk
memperjuangkan nasib rakyat, bangsa dan negara”.
Karena
itu, perlu dilaksanakan Gerakan Anti Kemunafikan (GAK) mulai dari pemangku
kekuasaan tertinggi hingga ke pemangku kekuasaan terendah agar kepercayaan (trust) rakyat terhadap penyelenggara
negara atau pemerintahan bisa
dikembalikan segera.
Merubah
karakter hipokrit yang menjangkiti bangsa hanya bisa dihilangkan melalui
keteladanan kepemimpinan nyata di ruang publik.
John
Mc Cain & Mark Salter (2009) “Karakter akan membuat hidup Anda bahagia atau
sengsara. Hanya itu yang akan menentukan takdir kita. Anda memilihnya. Tiada
orang lain dapat memberi atau mengambil dari Anda. Tak seorang pun pesaing
dapat mencuri dari Anda. Orang lain bisa mengubah hati Anda untuk mengambil
keputusan yang benar, tetapi ia bisa mengecilkan hati. Bagaimana pun, Anda
sendiri yang menentukan pilihan.
Polonius
berkata kepada puteranya Laertes; This
above all: to thine ownself be true, and it must follow, as the night the day,
thou cannot then be false to any man (Inilah yang terutama: jujurlah pada
diri sendiri, lakukan dengan setia, bagai malam berganti siang, maka kau
mustahil berbohong pada orang lain”. (11/06/2015).