Revolusi Mental Konkritisasi Revolusi Belum Selesai
Oleh: Thomson Hutasoit
Sadar
atau tidak salah satu hal yang sering dilupakan sepanjang sejarah perjalanan
bangsa selama ini adalah wejangan para pendiri bangsa (founding fathers) diantaranya wejangan Bung Karno yang mengatakan
“Revolusi Belum Selesai” walaupun kemerdekaan secara de jure dan de facto
telah berada di pangkuan Ibu Pertiwi. Sebab, kemerdekaan hanyalah jembatan emas
menuju bangsa yang makmur, sejahtera, dan berkeadilan.
Sebagai
jembatan emas, kemerdekaan tentu harus diisi berbagai program pembangunan di
segala bidang, dan salah satu yang paling mendasar adalah pembangunan karakter
bangsa (nation character building)
agar terlahir manusia-manusia Indonesia berkarakter unggul yang mengerti, memahami
paripurna keunggulan dan kelemahan di tataran pergaulan antar bangsa-bangsa di
dunia.
Karakter
mental harus pula dipahami paripurna merupakan prasyarat pertama dan utama
dalam menentukan suatu bangsa menjadi bangsa unggul dan berjati diri, sebab sebagaimana
dikatakan Franklin Delano Rosevelt, “Bangsa tak memiliki visi akan musnah”.
Visi atau platform tentu dilahirkan dari
suatu kesadaran, pengenalan, serta pemahaman paripurna atas eksistensi suatu
bangsa ataupun negara yang tentu saja tidak akan sama dan indentik dengan
bangsa lain.
Berbagai
kearifan kultur budaya yang tumbuh berkembang pada suatu bangsa akan sangat
berpengaruh besar dalam pembentukan karakter bangsa bersangkutan. Namun, hal
itu kadangkala terlupakan, terabaikan dalam proses pembangunan suatu bangsa,
termasuk program pembangunan bangsa Indonesia selama ini. Paradoks berpikir para pemangku kekuasaan di satu sisi
selalu mengagung-angungkan budaya asing, sebaliknya, disisi lain mengabaikan
dan membuang budaya sendiri telah mengubah pola pikir (mindset) cenderung meniru atau copy
paste keunggulan bangsa lain secara serampangan.
Padahal,
pola pikir seperti itu akan melahirkan manusia-manusia “pembeo atau bebekisasi” tanpa jati diri yang
sangat berbahaya dalam pembangunan karakter mental masyarakat, bangsa.
Kemajuan
pembangunan fisik tanpa diimbangi pembangunan karakter mental bangsa harus pula
disadari penyebab pertama dan utama terjadinya dekadensi moral, mental era
belakangan ini. Harus diakui, bahwa perkembangan kemajuan pasca kemerdekaan 17
Agustus 1945 telah menunjukkan kemajuan cukup menggembirakan.
Kemajuan ekonomi, ilmu pengetahuan dan
teknologi (Iptek), hukum dan politik telah banyak dicapai bangsa ini jika
dibandingkan pada masa penjajahan kolonial. Akan tetapi, perkembangan kemajuan
itu semakin jomblang antara pembangunan fisik dengan pembangunan karakter
mental. Salah satu indikator nyata ialah munculnya berbagai kasus-kasus
korupsi, penyelewengan kekuasaan, pengkhianatan amanah, serta kecenderungan
menipisnya nasionalisme, rasa kebangsaan dan keindonesiaan akibat terabaikannya
pembangunan karakter bangsa selama ini.
Sungguh
amat tepat apa yang dikatakan Joko Widodo (Jokowi) dalam Artikelnya berjudul
“Revolusi Mental” di Harian Kompas (10/5/2014) “Indonesia saat ini menghadapi suatu
paradoks pelik yang menuntut jawaban dari para pemimpin nasional. Setelah 16
tahun melaksanakan reformasi, kenapa masyarakat kita bertambah resah dan
bukannya tambah bahagia, atau dalam istilah anak muda sekarang semakin galau?”.
Joko
Widodo secara gamblang menyatakan bahwa “Reformasi yang dilaksanakan di
Indonesia sejak tumbangnya rezim Orde Baru Soeharto tahun 1998 baru sebatas
melakukan perombakan yang sifatnya institusional. Belum menyentuh paradigma, mindset, atau budaya politik dalam
pembangunan bangsa (nation building)
agar perubahan benar-benar bermakna dan berkesinambungan, dan sesuai dengan
cita-cita Proklamasi Indonesia yang merdeka, adil, dan makmur, kita perlu
melakukan revolusi mental.”
Pemikiran
cerdas, jenial Joko Widodo (Jokowi) calon presiden Republik Indonesia 2014 ingin
melakukan revolusi mental untuk melanjutkan “Revolusi Belum Selesai”
sebagaimana dikatakan Bung Karno secara obyektif adalah kerinduan seluruh
anak-anak bangsa selama ini agar memiliki jati diri, serta berdaulat di segala
segmen kehidupan berbangsa dan bernegara.
Degradasi
mental yang sangat memilukan, memalukan pada era belakangan ini seperti yang
diberitakan berbagai media adalah fakta nyata yang harus jadi perhatian ekstra
serius dari seluruh anak-anak bangsa di negeri ini.
Salah
satu hal paling memprihatinkan era belakangan ini ialah munculnya mental-mental
yang mengagung-agungkan kehebatan bangsa lain yang tidak sesuai tujuan
pendirian Negara Republik Indonesia sebagaimana diamanatkan Pancasila,
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dalam
Bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sehingga muncul potensi ancaman
kedaulatan di segala sektor perikehidupan berbangsa dan bernegara.
Berbagai
kebijakan yang menyimpang dari tujuan pendirian negara kerap digulirkan menjadikan
republik ini seperti negara berdaulat tanpa kedaulatan.
Kebutuhan primer rakyat yang seharusnya bisa
disediakan di dalam negeri malah di impor dari negara lain. Program ketahanan
pangan yang tidak bertujuan sama sekali membangun kedaulatan pangan adalah fakta
nyata kekeliruan besar jebakan liberalisasi yang sangat menyimpang dari
konstitusi.
Kebijakan-kebijakan
semacam itu adalah buah mental rente, pemburu komisi dari para pemangku kekuasaan yang perlu segera
direvolusi. Menyediakan kebutuhan primer rakyat tak jadi soal dengan cara apa
pun, termasuk membuka keran impor serampangan adalah kekeliruan besar serta
sesat pikir memahami negeri khatulistiwa yang memiliki keunggulan komparatif
dan keunggulan kompetitif di sektor agraris. Sebab, sungguh aneh bin aneh para
petani akan menjadi sasaran beras rakyat miskin (Raskin) akibat keliru
membangun sektor pertanian yang notabene ruang
aktivitas mayoritas rakyat bangsa Indonesia.
Alangkah
aneh dan keliru besar negara agraris, maritim menjadi negara pengimpor beras,
jagung, kacang-kacangan, buah-buahan, garam, ikan dan lain sebagainya dari
negara lain yang tidak memiliki kekayaan alam seperti dimiliki bangsa ini.
Revolusi
mental rente, mental impor, mengagung-agungkan keunggulan bangsa lain adalah
salah satu tugas paling penting dan mendesak dilakukan saat ini. Sebab,
mental-mental seperti itu telah menguras keuangan negara serta menjatuhkan
harga diri republik ini di mata internasional. Alangkah memalukan sebuah negara
agraris, maritim tidak mampu menyediakan kebutuhan primer rakyatnya karena para
pemangku kebijakan bermental rente, doyan dapat komisi, berkolaborasi dengan
pihak asing menguras kekayaan Negara. Komparador-komparador ini memiliki mentel
“tempe” dependen dengan pihak asing, tanpa menyadari bahwa tindakannya itu
telah menghancurkan kedaulatan bangsa di mata dunia.
Persoalan
bangsa paling pelik dan rumit saat ini ialah permasalahan mental, karakter
bangsa sebab segala karut marut yang terjadi di era belakangan ini sadar atau
tidak semuanya bermuara pada karakter mental yang sangat jauh menyimpang dari
kultur budaya Nusantara.
Karakter
individualistis, hedonis, konsumeris, tak solider yang dibonceng globalisasi
sangat menyimpang dari karakter bangsa gotong-royong dan peduli terhadap pihak
lain sebagaimana kearifan-kearifan yang tumbuh berkembang di bumi Nusantara.
Menonjolkan
egoisme dan tak peduli dengan pihak lain menimbulkan jurang pemisah diantara
anak-anak bangsa semakin menganga. Padahal, para pendiri bangsa tidak pernah
berpikir tujuan negara seperti itu. Negara Indonesia adalah satu untuk semua,
semua untuk satu, dengan demikian kebahagiaan seluruh anak-anak bangsa terwujud
dibawah pangkuan Ibu Pertiwi.
Revolusi
mental dari individualistis, hedonis, konsumtif, tak solider, mental rente,
doyan komisi, mengagung-agungkan pihak asing yang merupakan penyimpangan
karakter bangsa Indonesia bersifat gotong-royong, ramah-tamah, kesetiakawanan
adalah langkah cerdas dan jenial, serta pemahaman paripurna tentang kebangsaan
dan keindonesiaan seperti dicita-citakan pendiri bangsa ini.
Langkah
konkrit revolusi mental yang harus segera dilakukan adalah menjalankan TRI
SAKTI Bung Karno; Berdaulat secara politik, berdiri di atas kaki sendiri
(Berdikari) dalam ekonomi, Berkepribadian dalam kebudayaan.
Berdaulat
dalam politik bertujuan bahwa bangsa ini tidak didikte pihak manapun dalam
menentukan kebijakan politiknya. Sebagai negara merdeka dan berdaulat tidak
boleh sekali-sekali diinterversi negara manapun, alasan apapun, dimanapun,
kapanpun, sebab Negara Republik Indonesia memiliki kemerdekaan dan kedaulatan
menentukan arah kebijakan politiknya. Kerjasama antar negara harus saling
menghormati, saling menguntungkan dalam kesetaraan dan kesamaan derajat sesama negara
merdeka dan berdaulat.
Berdiri
di atas kaki sendiri (Berdikari) atau mandiri dalam ekonomi bertujuan untuk
membangun kemandirian atau kedaulatan dalam seluruh sektor ekonomi, pihak lain
tidak boleh sekali-sekali mengintervensi kebijakan atau paradigma ekonomi yang
dijalankan negara, termasuk berbagai subsidi untuk membangun kedaulatan atau
kemandirian ekonomi bangsa.
Bumi,
air, angkasa dan kekayaan yang terkandung di dalamnya mutlak absolut untuk
kemakmuran dan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Dan, tidak ada satu
bangsa lain pun bisa mengintervensi walau dengan alasan apapun. Kerjasama dalam
ekonomi mutlak absolut harus saling menguntungkan, sehingga segala kebijakan
yang menyimpang dari pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
wajib hukumnya diluruskan dan diperbaiki.
Berkepribadian
dalam kebudayaan bertujuan untuk membangun karakter moral, mental bangsa sesuai
jati diri serta kearifan-kearifan Nusantara sebagaimana telah disaripatikan di
dalam Pancasila. Karena itu, pembumian Pancasila terutama terhadap
penyelenggara negara atau pemerintahan harus segera dilaksanakan secara
konkrit, sebab keteladanan para penyelenggara negara atau pemerintahan
melaksanakan Pancasila dengan baik dan benar akan menjadi acuan bagi seluruh rakyat
di negeri ini.
Keprihatinan,
kegalauan, kegundahan terjadinya degradasi kepemimpinan di era belakangan ini
harus pula disadari akibat dekadensi mental dari para pemangku kekuasaan yang
tidak mampu menunjukkan keteladanan kepemimpinan ditengah-tengah masyarakat,
bangsa maupun negara.
Mental
korup, kolusi, nepotisme, aji mumpung, mengkhianati amanah yang dipercayakan di
pundaknya telah mempermalukan bangsa ini di mata dunia. Dan disinilah perlu dan
pentingnya melakukan “Revolusi Mental” yang dimaksudkan Joko Widodo (Jokowi)
mantan Walikota Surakarta Solo, Gubernur DKI Jakarta yang saat ini calon
presiden Republik Indonesia 2014-2019 untuk melanjutkan “Revolusi Belum
Selesai” yang dititipkan Bung Karno sang proklamator republik ini.
Semua
bangsa di atas jagat raya ini memiliki kepribadian dan kebudayaan
masing-masing, dan hanya bangsa yang berhasil membangun kepribadian bangsanya bisa
tampil menjadi bangsa unggul dan hebat di percaturan antar bangsa-bangsa di
dunia.
Selamat
menyambut Revolusi Mental menuju Indonesia Hebat !, Indonesia Raya ! Indonesia
Berdaya Saing !. (
Penulis buku Kepemimpinan Ditinjau dari Kultur Budaya Batak-Toba).
Medan, 25 Mei 2014
Thomson
Hutasoit.