Minggu, 25 Oktober 2015

Kepala Daerah Berbasis Kearifan Budaya Batak Toba



Kepala Daerah Berbasis Kearifan Budaya Batak Toba
Oleh: Thomson Hutasoit
Direktur Eksekutif LSM Kajian Transparansi Kinerja Instasi Publik (ATRAKTIP)

Pendahuluan.
Salah satu diskusi, pembicaraan tak pernah sepi sepanjang masa ialah tentang kepemimpinan, baik kepemimpinan lokal, nasional maupun internasional. Hal itu disebabkan peran penting strategis seorang pemimpin menentukan arah perjalanan suatu masyarakat, bangsa maupun negara.
            Kecermatan, kecerdasan menghadirkan pemimpin yang tepat dan akurat adalah salah satu faktor utama meraih kemajuan, keberhasilan di masa depan. Menghadirkan pemimpin jenial, ambisius yang mampu melahirkan karya-karya cemerlang monumental akan memberi kebanggaan terhadap bangsa maupun negara. Dan, melalui kecerdasan, kejenialan, serta ambisiusnya itu membawa bangsa maupun negara  kampiun di percaturan politik antar bangsa-bangsa di dunia.  
            Dari berbagai pengamatan tentang pemimpin-pemimpin besar di dunia ternyata kehebatan, kedigdayaan para pemimpin itu tak terlepas dari pemahaman paripurna tentang kultur budaya yang tumbuh berkembang di masyarakat, bangsanya sendiri.  Nilai-nilai kearifan kultur budaya yang menjadi jati diri digali serta dikembangkan menjadi model-model kepemimpinan spesifik sebab kepemimpinan berbasis kearifan budaya sangat berkorelasi dengan karakter, jati diri bangsa bersangkutan.  
            Sebagai karakter dan jati diri, nilai-nilai kearifan kultur budaya juga turut mewarnai tipologi kepemimpinan antara satu bangsa dengan bangsa lain, sehingga amat sangat keliru besar bila model-model kepemimpinan asing diadopsi secara serampangan dari bangsa-bangsa lain yang belum tentu sesuai dan serasi dengan kultur budaya tumbuh subuh ditengah masyarakat, bangsa itu sendiri.    
            Pengabaian nilai-nilai kearifan budaya yang notabene jati diri bangsa adalah suatu kekeliruan besar serta sesat pikir sangat mengecewakan sekaligus memalukan. Di satu sisi mengagung-agungkan kultur budaya pihak lain, sementara di sisi berbeda justru membuang kultur budaya sendiri yang telah menjadi jati diri adalah cermin berpikir kacaubalau sebagaimana ungkapan Batak Toba “humungkus hosa ni halak sian hosa niba” dalam terjemahan bebas bermakna lebih harum nafas orang lain daripada nafas sendiri. Cara berpikir seperti ini ialah cara berpikir orang tak berjati diri serta tidak menghargai kemampuan diri sendiri.   
            Fenomena seperti itu sadar atau tidak sering muncul dalam proses suksesi kepemimpinan pada era belakangan ini. Padahal, pengabaian nilai-nilai kearifan  budaya merupakan salah satu faktor utama mengapa eksistensi kepemimpinan semakin pudar, bahkan terdegradasi hingga menyentuh titik nadir kepercayaan (distrust) ditengah masyarakat, bangsa maupun negara.   
            Kepemimpinan sejatinya ialah amanah, kepercayaan yang diberikan kepada seseorang didasari penilaian tentang kredibilitas, kapasitas, kapabilitas, integritas, serta kompetensi mengemban amanah kepemimpinan di masyarakat, bangsa maupun negara. Faktor-faktor inilah pertimbangan paling dasar menentukan layak tidaknya seseorang di daulat menjadi pemimpin ditengah-tengah kehidupan berbangsa dan bernegara.   
            Seorang pemimpin harus memiliki keunggulan, keistimewan agar mampu menjadi panutan bagi masyarakat, bangsa maupun negara karenanya dituntut kepintaran, kecerdasan, kejenialan, serta integritas kepribadian yang pantas ditiru, digugu dan diteladani oleh pihak lain.
Pemimpin juga harus mampu menjadi solusi masalah, bukan malah jadi bahagian masalah. Dan di sinilah salah satu bukti nyata otensitas seorang pemimpin ditengah masyarakat, bangsa dan negara. Artinya, semakin besar peran penting seorang pemimpin memberi solusi permasalahan yang dihadapi rakyat semakin otentik lah pemimpin itu di mata rakyat.   
            Untuk mengukur, menganalisis otensitas kepemimpinan di era millenia ini, penulis mencoba menggali serta mendalami berbagai kepemimpinan ditinjau dari kultur budaya BatakToba yang merupakan warisan leluhur dalam memilih dan/atau menentukan seorang pemimpin yang mampu menjadi tumpuan harapan untuk memberi kemajuan dan peningkatan taraf hidup masyarakat secara nyata berdasarkan kultur budaya Batak Toba.  
            Hal itu dimaksudkan sebagai salah satu instrumen pembanding model-model kepemimpinan modern yang selalu diangung-agungkan di zaman millennia ini. Sebab, model-model kepemimpinan berdasarkan kultur budaya sepertinya telah diabaikan atau dianggap tidak penting lagi pada zaman saiki ini. Padahal, bila diamati cermat, cerdas  dan seksama, model-model kepemimpinan yang diterapkan para pemimpin besar dunia tidak terlepas dari nilai-nilai kearifan budaya  masing-masing.     
            Para pemimpin besar dunia memahami paripurna, bahwa nilai-nilai kearifan kultur budaya yang tumbuh berkembang ditengah-tengah kehidupan masyakat, bangsa dan negaranya adalah modal besar membangun bangsa unggul dan digdaya karena sesuai  karakter dan jati diri sendiri. Sementara, di sisi lain muncul para pemimpin tak menghargai kultur budayanya sendiri malah lebih mengagungkan budaya bangsa lain, termasuk model-model kepemimpinan yang cenderung copy paste belaka.
Esensi kepemimpinan sejatinya ialah melindungi, mengayomi, menghimpun, mengarahkan, menggerakkan mendorong orang lain untuk mencapai tujuan yang telah direncanakan. Hal-hal seperti itu sangat berkorelasi linier dengan kepemimpinan ditinjau dari kultur budaya Batak Toba.  
Untuk melihat korelasi kepemimpinan era modern dengan kepemimpinan  ditinjau dari kultur budaya Batak Toba penulis juga memberi contoh pemimpin-pemimpin besar fenomenal dunia yang sangat relevan dengan kultur budaya warisan  leluhur. Hal itu dimaksudkan untuk menambah khasanah pemahaman betapa pentingnya menggali dan mengembangkan nilai-nilai kearifan kultur budaya dalam menentukan model kepemimpinan sesuai karakter, jati diri bangsa.  
Kepemimpinan didasarkan pada kultur budaya akan memperkuat pembangunan karakter bangsa (national character building) sekaligus memperkokoh jati diri dengan berbagai keunggulan dan keistimewaan bangsa di mata dunia internasional.   
Sebab keunggulan serta keistimewaan suatu bangsa ditandai sejauhmana kemampuan bangsa tersebut membangun dan/atau membentuk  karakter unggul, jati diri spesifik. Karena bangsa tak berkarakter, berjati diri tak akan pernah keluar sebagai pemenang dalam percaturan antar bangsa-bangsa di atas dunia, malah sebaliknya akan menjadi bangsa pecundang, dependen terhadap bangsa lain. Itulah sebabnya, para pemimpin besar dunia selalu meletakkan seluruh proses pembangunan bangsanya di atas fondasi kultur budaya sebagai jati diri spesifik.
Sekaitan dengan pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) serentak 09 Desember 2015 di ± 266 daerah provinsi, kabupaten/kota di seluruh Indonesia yang merupakan sejarah demokrasi paling fenomenal di atas jagat raya, dimana 23 kabupaten/kota diantaranya akan digelar di Provinsi Sumatera Utara menjadi sangat istimewa untuk menganalisis calon-calon kepala daerah (bupati/walikota) untuk lima tahun ke depan.
Dari 23 kabupaten/kota yang menyelenggarakan Pemilukada 09 Desember 2015 enam (6) kabupaten di sekitar Kaldera Toba yakni; Kabupaten Humbang Hasundutan, Samosir, Toba Samosir, Simalungun, Karo, dan Pakpak Bharat adalah daerah Bona Pasogit Batak yang memiliki kultur budaya kepemimpinan warisan leluhur. Walau tidak sama dan indentik kultur budaya di enam kabupaten sekitar Kaldera Toba, tetapi dipandang sangat urgen mendasarkan pemilihan pasangan calon bupati/wakil bupati berbasis kearifan budaya Batak, khususnya budaya Batak Toba untuk menghadirkan kepala daerah yang relatif sesuai dan selaras dengan kultur budaya setempat.  
Masyarakat sekitar Kaldera Toba adalah masyarakat adat dengan berbagai kearifan budaya, memiliki model kepemimpinan warisan leluhur akan lebih efektif jika dipimpin bupati/wakil bupati memahami model kepemimpinan berbasis kearifan budaya komprehensif paripurna. Kepemimpinan dengan pendekatan budaya (culture approach) dilakukan dengan baik dan benar akan lebih efektif, efisien mendorong laju perkembangan pembangunan di daerah bona pasogit sehingga partisipasi rakyat dalam proses pembangunan bisa dimaksimalkan lima tahun ke depan.  
Karena itu, sungguh arif dan bijaksana apabila pada Pemilukada 09 Desember 2015 akan datang calon-calon bupati/wakil bupati yang akan dipilih memiliki kepemimpinan berbasis kultur budaya Batak Toba antara lain;
1.            Raja urat ni uhum, Namora ihot ni hosa.
 seorang pemimpin yang mampu memberi kepastian hukum, kebenaran dan keadilan serta mampu menyejahterakan seluruh rakyat dalam kepemimpinannya.  Seorang kepala daerah (bupati/wakil bupati) harus mampu menelorkan peraturan perundang-undangan berkualitas dalam hal ini peraturan daerah (Perda) yang mampu memberi kepastian hukum, bertindak adil dalam pemerintahan sehingga seluruh rakyat terlindungi menjalankan aktivitasnya.    
Berbagai regulasi seperti peraturan daerah (Perda), peraturan bupati (Perbup) dan lain sebagainya  harus benar-benar mencerminkan kebenaran dan keadilan serta penegakannya pasti dan tegas untuk memberi jaminan beraktivitas bagi seluruh rakyat.
Raja urat ni uhum, Namora ihot ni hosa bermakna bahwa eksistensi seorang pemimpin (raja) pada Batak Toba adalah akar atau sumber hukum yang benar dan adil. Disinilah salah satu alasan mengapa sering disebut “mulut raja adalah hukum” yang dalam konteks kepala daerah, bahwa bupati/wakil bupati bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) adalah pembentuk peraturan daerah (Perda) yang baik dan benar serta adil bagi seluruh rakyat. Sedangkan Namora ihot ni hosa bermakna orang kaya menolong orang-orang menderita kesusahan, kesulitan (miskin) bukan malah sebaliknya memperdaya, membodoh-bodohi dan menambah kesusahan rakyatnya.
Karena itu dalam pemilukada 09 Desember 2015 masyarakat harus mampu menolak pasangan calon bupati/wakil bupati, walikota/wakil walikota yang menggunakan taktik dan strategi bagi-bagi uang,sembako maupun bantuan sosial yang patut diduga hanya kedermawanan sesaat untuk meraih simpati rakyat memilihnya. Politik uang (money politics) adalah salah satu indikasi awal bupati/wakil bupati, walikota/wakil walikota berpotensi menjadi penghuni hotel prodeo atau terpenjara di kemudian hari, sebab sudah pasti arus utama dalam pikiran dan tindakan bupati/wakil bupati, walikota/wakil walikota terpilih tidak lain dan tidak bukan adalah mengembalikan uangnya yang dibagi-bagikan ketika pemilihan. Nasib rakyat, pembangunan daerah  bukan lagi tujuan utama, bahkan segala regulasi akan diarahkan untuk kepentingan menguntungkan kepentingan diri, kelompok maupun pendukungnya. Hal itu haruslah menjadi perhatian serius bagi rakyat pemilih sehingga tidak menuai kekecewaan lima tahun ke depan.
Calon pasangan kepala daerah (bupati/wakil bupati, walikota/wakil walikota) yang sejak awal sudah menghalalkan segala cara untuk meraih kekuasaan mustahil akan mampu memosisikan dirinya “Raja urat ni uhum, Namora ihot ni hosa” malah sebaliknya akan menjadikan dirinya raja penguasa berkuasa mutlak absolut sebab rakyat telah “dibeli” bagaikan barang dagangan di pasar loak. Berbagai kekecewaan pada kepemimpinan kepala daerah di masa lalu hendaknya dijadikan pelajaran berharga dalam memilih dan menentukan bupati/wakil bupati, walikota/wakil walikota pada pemilukada 09 Desember 2015 akan datang. Sebab Bung Karno mengatakan, “Hanya keledai yang mau dua kali terperosok pada satu lobang yang sama”. Artinya, jika ketika pada pemilihan-pemilihan sebelumnya masyarakat terkecoh, tertipu dengan politik kedermawanan sesaat (politik uang) hingga salah memilih pasangan calon bupati/wakil bupati, walikota/wakil walikota yang tak berkompeten, kredibel, kapabel, serta tak berintegritas memimpin daerah menghadirkan kemajuan pembangunan daerah maka cara berpikir nomor piro wani piro (NPWP) alias “jelas do, sadia dilehon” harus segera disadari adalah kekeliruan besar memilih calon kepala daerah.
Sesungguhnya, masyarakat beradat dan berbudaya tidak akan pernah mau menggadaikan dan menjual harkat dan harga dirinya demi sekeping uang, kecuali orang tersebut pengikut Yudas Iskariot yang mau menjual Tuhannya demi 30 keping uang atau Esau yang mau menjual hak kesulungannya demi semangkuk kacang merah. Orang-orang beradat dan beradab selalu berprinsip ‘lebih baik menjual martabak di pinggir jalan untuk meraih martabat” sebaliknya, orang-orang tak beradat dan beradab menjual martbatnya di hotel berbintang lima untuk mendapat sepotong martabak. Harus disadari komprehensif paripurna, memilih pasangan calon gubernur/wakil gubernur,  bupati/wakil bupati, walikota/wakil walikota karena mampu membagi-bagi uang Rp 50 ribu hingga Rp 100 ribu adalah kekeliruan besar dan sesat pikir sebab telah menjual martabat dan harga diri seperti Yudas Iskariot dan Esau yang menjadi legenda memalukan di atas bumi ini sepanjang masa. Betapa sedih dan memilukan bila anak-anak cucu akan menyandang predikat keturunan orang-orang bisa dibeli sejumlah rupiah. Anak cucu akan mewarisi stigma negatif dari kakek moyangnya dikemudian hari sehingga anak cucu akan “maraprap na so magulang, turukon na so marngenge”semata-mata kesalahan pendahulunya yang berprinsip “Nikmat membawa sengsara” dalam pemilihan. Janganlah kita gunakan, “Pat ni manuk patu rengreng, marrara mata mida hepeng” sebab uang bisa membutakan mata orang melihat terang atas kemampuan dan keyalakan calon pemimpin. Padahal, leluhur Batak, khususnya Batak Toba mengatakan, “Anak na boi tu jolo do sibulang-bulangan” maknanya ialah orang berkompetensi lah pantas dijadikan pemimpin.          
Hata Umpama mengatakan, “Maronding-onding gaja, di langkat ni si mareme-eme. Ianggo raja dohot namora, pangondingi do di na metmet” artinya, pemimpin (raja) dan orang kaya (namora) melindungi, mengayomi orang tak berdaya.
Siahaan (1936) kualifikasi kepemimpinan (harajaon) dahulu kala di bangso Batak, antara lain;  
1. Habolonon, (asal raja hian) ai sumangap i jala sumaut pandohanna.  (berwibawa, terhormat di masyarakat sebab berasal dari keturunan raja sehingga lebih dihormati serta dituruti perkataannya).   
2. Na tuk mangaramoti, umbahen na didok umpama; siramoti pitu jae dohot pitu julu. (mampu melindungi, mengayomi, tujuh tempat di hulu, tujuh tempat di hilir).
3. Na tuk hapistaran, habisuhon dohot parbinotoan, i ma alana umbahen didok; sipasinur na pinahan, sipagabe na niula, mandok; na malo jala na ringgas paturehon pandaraman. (orang pintar, bijaksana serta cerdas, mampu mengembangkan usaha peternakan, pertanian. Cerdik-pandai, rajin serta mampu mengembangkan dan meningkatkan mata pencaharian rakyat).  
4. Na malo martahi do dipillit raja (orang pintar berencana lah dipilih jadi  raja). Seperti Hata Umpasa; Tangke ma ualang, garinggang jala garege. Tubu anak partahi jala ulubalang, boru parmas jala pareme. Artinya, lahirlah anak laki-laki perencana, perkasa dan kesatria, anak perempuan banyak emas dan padi (kaya-raya). 
5. Paruhum na tigor, na so pargeduk na ringkot tu na saharajaon i ( orang yang mampu menegakkan kebenaran dan keadilan kepada seluruh rakyat. Dan tidak mau melakukan perbuatan-perbuatan tercela serta tindakan kejahatan lainnya). Seperti Hata Umpama mengatakan, Pardasing so ra teleng, parhatian so ra monggal. Dasing dan hatian adalah timbangan atau ukuran maka seorang pemimpin adalah seorang penegak kebenaran dan keadilan yang tidak berat sebelah.   
6. Pardame jala na lambas roha tu na nirajaan na ( orang berhati damai, panjang sabar terhadap yang dipimpin). Seorang pemimpin harus lah berhati damai serta panjang sabar tehadap rakyat. Seperti hata Umpama; Parbahul-bahul na bolon, parpinggol harpe yakni; orang yang mampu menerima keberadaan orang lain, tidak tipis kuping dan paranoid. 
7. Ingkon olo loja dohot rugi, gari sumeahon diri molo tung ringkot di hamamasana humongkop na torop, ido na marroha raja (orang yang mau capek dan rugi, bila perlu menyerahkan nyawa demi membela rakyat). Orang seperti itu lah berjiwa pemimpin. Bukan seperti yang terjadi belakangan ini, justru para pemimpin mengorbankan rakyat, bawahan demi mewujudkan kepentingan diri sendiri.( Siahaan, H.B Gelar Mangaraja Asal,1936;hal. 41-42).
Kualifikasi kepemimpinan (harajaon) seperti itu, merupakan salah satu elemen dasar memilih dan/atau menentukan layak tidaknya seseorang di daulat  menjadi pemimpin (raja). Sebab sangat lah keliru besar mendaulat seseorang jadi pemimpin tanpa dibarengi kredibilitas, kapasitas, kapabilitas serta integritas kepribadian mulia. 
Sebab, esensi kepemimpinan adalah melindungi, mengayomi dan mendatangkan kebahagiaan terhadap orang yang dipimpin. Bagaimana seseorang bisa melindungi, mengayomi, serta mendatangkan kebahagiaan terhadap pihak lain, bila di dalam dirinya saja pun tidak tertanam keluhuran jiwa, keberpihakan pada kebenaran dan keadilan, serta solidaritas kemanusiaan. 
Kehadiran seorang pemimpin harus benar-benar solusi masalah, bukan sebaliknya, bagian dari masalah supaya kehadiran pemimpin tampak dengan nyata memberi solusi masalah yang dihadapi seluruh rakyat.    
Pemimpin Raja urat ni uhum sangat berperan penting melahirkan hukum atau peraturan perundang-undangan yang menjamin kebenaran dan keadilan universal di masyarakat, bangsa maupun negara.
  Bila seorang pemimpin mampu memosisikan diri milik seluruh rakyat dia akan mampu melahirkan hukum atau peraturan perundang-undangan yang menjamin kebenaran dan keadilan obyektif.
Produk hukum, peraturan perundang-undangan yang dilahirkan akan terbebas dari interst kepentingan subyektif, serta boncengan kepentingan sektoral lainnya. Sebaliknya, bila seorang pemimpin terjebak pada muatan kepentingan sektoral maka produk hukum, peraturan perundang-undangan yang ditelorkan akan semakin subyektif.
Akibatnya, eksistensi kepemimpinan bukan lagi ditujukan untuk kepentingan seluruh rakyat, melainkan ditujukan pada kepentingan pihak tertentu. Dalam situasi demikian, esensi Raja urat ni uhum jadi sirna di mata rakyat.
Seseorang bisa disebut pemimpin Raja urat ni uhum  apabila dia mampu memosisikan diri milik seluruh rakyat, tanpa membeda-bedakan siapa pun, alasan apa pun. Inilah hakikat Raja urat ni uhum yang perlu dimiliki setiap pemimpin agar mampu menjamin kebenaran dan keadilan masyarakat, bangsa secara maksimal. 
Sifat konsisten, konsekuen, tegas, obyektif, universal adalah salah satu instrumen terwujudnya kesamaan hak di depan hukum (equality before the law) sebagaimana sering dipahami masyarakat hukum di berbagai bangsa di dunia.
Kecenderungan pemimpin era belakangan ini ialah menelorkan berbagai peraturan perundang-undangan yang menguntungkan diri dan konco-konco, serta pelanggengan kekuasaan dengan  memasukkan pasal-pasal karet dan multitafsir untuk melanggengkan kekuasaan dan lain sebagainya, melalui persubahatan, persekongkolan jahat menggunakan otoritas kekuasaan.
Symbiosis-mutualistis yang dirancang di ruang persubahatan, persekongkolan jahat antara penguasa korup (raja) dengan pengusaha hitam (namora) melahirkan berbagai produk hukum, peraturan perundang-undangan yang semakin jauh dari nurani keadilan publik karena produk-produk hukum cenderung membonceng kepentingan sektoral, ataupun pesanan pihak tertentu, termasuk kepentingan asing.
Sumantri (2009) Forum Bandung dalam Pokok-Pokok Permasalahan Bangsa, bahwa “Penegakan hukum berdasarkan kebenaran hukum yang dijiwai norma keadilan yang bersifat universal dan bebas dari pengaruh kekuatan dari manapun datangnya, merupakan fungsi dan misi suci negara. Tegaknya hukum yang berkeadilan dan adanya kepastian hukum adalah satu-satunya tolok ukur kepercayaan warga negara dan warga dunia terhadap negara, terlebih di era globalisasi.” (Soemantri, Sri, dkk, 2009; hal. 13).
Tindakan-tindakan pemimpin yang tidak mampu menelorkan produk hukum,  perundang-undangan yang mencerminkan kebenaran dan keadilan universal akan sangat merusak upaya-upaya membangun kesamaan derajat di depan hukum dan pemerintahan, tanpa kecuali sebagaimana diamanatkan pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.   
Kesalahan tetap lah kesalahan, tanpa pandang bulu, termasuk pemimpin itu sendiri. Hukum harus dihormati secara penuh, jujur, tegas, tanpa kecuali agar kebenaran dan keadilan bisa terwujud nyata di mata publik.
Di sini lah peran penting dan strategis seorang pemimpin yang mampu memberi keteladanan terhadap seluruh rakyat, bagaimana menghormati, menjunjung hukum, peraturan perundang-undangan yang telah dilahirkan untuk menjamin tegaknya kebenaran dan keadilan di masyarakat, bangsa maupun negara.
Sebagai pemegang otoritas kekuasaan seorang pemimpin memiliki ruang seluas-luasnya untuk menelorkan, melaksanakan, menegakkan hukum dan peraturan perundang-undangan yang menjamin terwujudnya kebenaran dan keadilan materil terhadap seluruh rakyat, tanpa kecuali. 
Seorang pemimpin tidak pantas dan layak  menggunakan dalil, “Ijuk di para-para hotang di parlabian, Na bisuk nampuna hata na oto tu pargadisan” yaitu; menggunakan kepintaran, kelicikan membodoh-bodohi rakyat, justru seharusnya selalu berupaya sekuat pikiran dan tenaga mencerdaskan, memajukan kesejahteraan supaya terwujud kebahagiaan seluruh rakyat.
Harus pula disadari, bahwa perlawanan, pembangkangan publik terhadap pemimpin maupun institusi publik adalah protes keras atas kekeliruan, kebobrokan peraturan perundang-undangan yang dilahirkan para pemimpin yang tidak mampu menjadikan dirinya Raja urat ni uhum.
Munandar (2008) Martin Luther King, Jr, “Sekali melangkahkan kaki, kita harus terus melangkah ke depan. Kita tidak bisa berpaling kembali. Anda yang bertanya kepada para penganjur hak-hak sipil, “Kapan kalian terpuaskan?” Kita tidak akan pernah puas selama kaum Negro terus menjadi korban kebrutalan polisi. Kita tidak akan puas selama tubuh kita yang kelelahan karena perjalanan jauh ini tidak boleh beristirahat di motel-motel di sepanjang jalan raya bebas hambatan atau di hotel-hotel di pusat kota. Kita tidak akan puas selama kaum Negro di Missisippi tidak boleh ikut pemilu dan kaum Negro di New York tidak boleh mengajukan calon sendiri untuk dipilih. Tidak, tidak, kita tidak puas dan tidak akan puas sampai keadilan benar-benar mengalir bagaikan air dan kebenaran menderas bagaikan arus jeram”.( Munandar, Haris, 2008: Terj; hal. 151).   
McChain & Salter (2009) Martin Luther King, Jr, “Mereka salah karena memberi nasihat soal kesabaran, salah menyarankan diam, salah menganjurkan penghormatan kepada hukum yang tidak adil. Mereka berada di sisi yang salah dari keadilan, dan seperti kemudian diketahui, sisi yang salah dari sejarah. Dan meskipun mereka percaya telah bertindak dengan bertanggung jawab dan adil, konsep keadilan mereka tidak obyektif. Balasannya ialah mereka mendapat respons penjelasan yang utuh dan jujur tentang keadilan yang akan diberikan oleh para pemimpin hak-hak sipil yang penilaian dan taktiknya mereka ragukan, dan yang usaha campur tangannya ke dalam perundang-undangan Birmingham ingin mereka halangi. Sebuah seruan autentik terhadap keadilan akan datang dari sebuah sel penjara Birmingham, dari pena dan hati Martin Luther King, Jr.”(McChain John & Salter Mark, 2009; hal. 266).      
2.   Monang maralohon musu, Talu maralohon dongan.
            Seorang pemimpin (raja) pada bangso Batak, khususnya Batak-Toba harus memahami dengan baik dan benar keberadaan dirinya  terhadap orang yang dipimpin.
Salah satu Hata Umpama Batak Toba yang menunjukkan hal itu ialah “Gala di gala bulu, panggalaan ni bonang; Molo naeng monang maralohon musu, jolo talu ma maralohon dongan” (Siahaan, 1936; hal; 12). Arti dari Hata Umpama ini ialah bila ingin menang melawan musuh (musu) maka harus terlebih dahulu kalah melawan  rakyat, teman, kawan, sahabat, keluarga maupun kerabat (dongan).     
            Mengapa demikian ? Sebab menurut pandangan Batak-Toba bila seorang pemimpin tidak selalu berupaya menang terhadap yang dipimpin maka pemimpin itu akan dihormati, dituruti, serta dicintai oleh rakyatnya.
Seorang pemimpin harus mampu mendengarkan, menerima aspirasi yang dipimpin agar mendapat simpatik, dukungan, apresiasi rakyat. Selanjutnya, memberi solusi nyata atas permasalahan yang dihadapi rakyat. Bukan sebaliknya, memberi alasan-alasan pembenaran diri ataupun menyalahkan rakyat dengan berbagai alibi tak masuk akal.  
            Dengan demikian, rakyat merasakan sentuhan nyata kehadiran pemimpin sehingga lahir rasa simpatik terhadap seorang pemimpin. Kepercayaan (trust)   meningkat dari waktu ke waktu, dan dikala pemimpin mampu menunjukkan keberpihakan pada rakyat melalui sikap kesederhanaan, kesahajaan, konsisten, konsekuen dalam melaksanakan kepemimpinannya otensitas pemimpin di mata rakyat semakin tampak dengan nyata. Dan, bila suatu ketika terjadi gangguan, ancaman, rongrongan dari pihak tertentu maka rakyat akan bangkit memberikan dukungan, sokongan membela pemimpinnya.  Sebaliknya, jika seorang pemimpin selalu menang terhadap rakyat maka simpatik semakin berkurang dari waktu ke waktu, bahkan hilang sama sekali. Dan seandainya terjadi gangguan, ancaman, rongrongan terhadap seorang pemimpin maka rakyat tidak mau tahu, tidak mau peduli sama sekali, bahkan tidak mustahil justru rakyat bangkit jadi musuh dan/atau turut  memberi bantuan, dukungan kepada  lawan politik pemimpin selalu menang terhadap rakyatnya.  
             Menurut pemahaman Batak Toba seorang pemimpin harus lah seseorang yang menang melawan musuh, kalah melawan teman atau rakyat.  Sebab yang perlu dilawan atau dikalahkan adalah musuh bukan teman atau rakyat. Sehingga sangat keliru besar bila seorang pemimpin memamerkan, mempertontonkan kekuatan, kehebatan, keperkasaan terhadap rakyatnya yang notabene  teman, kawan (dongan), bukan musuh (musu).    
            Elektabilitas seorang pemimpin tidak terlepas dari sejauhmana dukungan, apresiasi,atensi serta kepercayaan (trust) rakyat terhadap pemimpin. Karena itu lah, bila diamati beberapa pemimpin pada awal kepemimpinannya mendapat dukungan besar dari rakyat, tetapi ketika mencalonkan  untuk kedua kalinya justru tidak mendapat dukungan dari pendukung sebelumnya. Hal itu, terjadi  akibat tindakan pemimpin yang  mengecewakan, menyakiti hati rakyat, serta selalu berkaidah, beraksioma mengalahkan pendukung atau rakyat dalam proses kepemimpinan ketika kekuasaan digenggam.  
            Kemampuan seorang pemimpin menjaga, memelihara, merawat kepercayaan (trust) rakyat merupakan faktor penting dan esensil untuk meningkatkan elektabilitas dari waktu ke waktu. Pemimpin seharusnya  memenuhi janji-janji politik, konsisten dan konsekuen atas ucapan-ucapannya agar rakyat tidak kecewa dan tidak merasa dibohongi yang ujung-ujungnya menimbulkan ketidakpercayaan kepada pemimpin.      
 Jika seorang pemimpin mampu memosisikan diri kalah terhadap rakyat serta menjadikan tahta untuk rakyat maka tingkat elektabilitas terhadap pemimpin akan semakin meningkat dari waktu ke waktu. Sebaliknya, jika seorang pemimpin berikhtiar, beraksioma membangun tembok pemisah antara dirinya dengan rakyat maka tingkat elektabilitas akan semakin turun, bahkan hilang sama sekali.
Hilangnya kepercayaan rakyat harus dimaknai puncak kekecewaan atas tindak-tanduk, perilaku pemimpin yang mengecewakan, mengkhianati kepercayaan rakyat yang diamanahkan pada dirinya.     
            Menjadikan tahta untuk rakyat berarti menggunakan kekuasaan demi kepentingan rakyat sehingga mampu menangkap dan menyerap apa yang dirasakan rakyat secara langsung. Pemimpin tidak pernah berpikir, berikhtiar, beraksioma untuk bersenang-senang ketika rakyat sedang ditimpa penderitaan atau kesulitan hidup. Justru sebaliknya,  menggunakan otoritas yang dimiliki mengerahkan, menggerakkan seluruh pikiran dan tenaga untuk melepaskan rakyat dari penderitaan, kesulitan yang dihadapi. 
            Para pemimpin seperti itu lah yang mampu meraih simpatik, apresiasi rakyat, misalnya ketika banjir di Jakarta Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) turun langsung memberi petunjuk dan arahan kepada seluruh jajarannya untuk menolong rakyat Jakarta, tanpa pengawalan protokoler macam-macam menambah simpatik rakyat terhadap Jokowi-Ahok.
            Demikian juga ketika terjadi pekerja tambang terjebak di dalam terowongan tambang batubara di Chili, Presiden Chili  Sebastian Pinera dan istrinya, siang malam  bersama-sama rakyat melakukan evakuasi mengeluarkan para pekerja tambang dari ancaman maut. Para pemimpin ini benar-benar hadir, baik secara fisik maupun keberpihakan kebijakan untuk kepentingan rakyat sehingga istananya benar-benar dijadikan untuk rakyat.
            Para pendiri republik ini juga rela keluar masuk penjara sebut saja misalnya; Bung Karno, Bung Hatta, Bung Syahrir, Bung Tomo, Bung Syafaruddin dan lain-lain demi memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia. Mereka-mereka ini tidak memikirkan kepentingan dirinya karena bila mereka mau bersekongkol dengan penjajah kolonial pasti akan mendapat posisi terhormat (jabatan) dari pemerintahan kolonial.
            Kedudukan, jabatan, posisi strategis tak pernah menyilaukan mata mereka, malah tawaran-tawaran itu semakin memperkuat aras perjuangan mereka merebut kedaulatan seluruh rakyat dari cengkeraman tangan penjajah kolonial. Mereka terpenjara untuk memperjuangkan nasib bangsa, sehingga pantas mendapat predikat “Bapak Bangsa, Pendiri Bangsa, Syuhada Bangsa”.  Bukan seperti para pejabat (pemimpin) belakangan ini ramai-ramai masuk penjara karena terlibat tindak pidana korupsi, penyelewenangan jabatan, mempermainkan keadilan mengkhianati rakyat, bangsa maupun negara.           
Molo olo raja mangusung, mangkilala na hinilala ni na nirajaanna, monang ma ibana tu musu na, ai sude na nirajaan na manghaholongi ibana, gabe bahenonna ma nasa gogona mangurupi ibana.  Artinya, bila seorang pemimpin mau merasakan apa yang dirasakan rakyat maka rakyat pun akan mencintai pemimpinnya. Dengan demikian, dukungan, sokongan  rakyat terhadap seorang pemimpin merupakan penghargaan, penghormatan, pengakuan murni atas kinerja pemimpin secara nyata.       
            Pemahaman seperti itu, kadangkala tidak diperhatikan atau mungkin di sengaja diabaikan para pemimpin maniak kuasa karena para maniak kuasa sejak dari awal sudah berniat busuk menghalalkan segala cara untuk meraih kekuasaan.
Para maniak kuasa yang dihinggapi penyakit lupa diri, mabuk kekuasaan, wanprestasi janji selalu berupaya membangun imperium kekuasaan sebesar-besarnya, termasuk mengeksploitasi rakyat demi memuaskan nafsu libido maniak kuasa.  
            Kepemimpinan seperti itu tentu tidak akan langgeng dan mendapat simpatik dari rakyat. Sebab, seorang pemimpin yang tidak mendapat simpatik, kepercayaan sangat mustahil dan mustahal akan berhasil, malah sebaliknya akan mendapat perlawanan massif gerakan kekuatan rakyat (people power) untuk menjatuhkan dan/atau melengserkan dari tampuk kekuasaan ataupun bentuk-bentuk pembangkangan sosial lainnya.   
            Seorang pemimpin juga harus menyadari, bahwa kedudukan, jabatan adalah amanah dan kepercayaan yang diberikan kepada seseorang sehingga perlu dijaga, dipelihara, dirawat dan dipertahankan sebaik-baiknya agar tetap mendapat simpatik, dukungan rakyat pemberi amanah itu.   
            Jabatan atau kekuasaan harus mampu dijadikan ladang pengabdian mewujudkan kemaslahatan publik sehingga harus mampu memosisikan diri sebagai ‘Pamong praja’ atau ‘Parhobas’ terhadap rakyat pemegang kedaulatan.
            Seorang pamong praja yang selalu memosisikan diri sebagai pelayan atau Parhobas maka pemimpin itu telah menjalankan kepemimpinan Monang maralohon musu, Talu maralohon dongan. Sebaliknya, ‘Pangreh praja’ yang selalu mengandalkan perintah, komando disertai sanksi atau ganjaran maka sadar atau tidak pemimpin itu telah menjalankan model kepemimpinan Monang maralohon dongan, Talu maralohon, musu sehingga selalu berupaya mengalahkan yang dipimpin dengan segala cara.  
            Monang maralohon musu, Talu maralohon dongan memiliki makna  hakiki, bahwa pada hakikatnya kepemimpinan adalah ladang pengabdian mewujudkan kebahagiaan seluruh rakyat. Bukan instrumen kekuasaan mengeksploitasi rakyat dengan memanfaatkan otoritas kekuasaan, memaksa, menekan, ataupun menakut-nakuti rakyatnya sendiri.  Seandainya ada pemimpin yang melakukan hal seperti itu bisa dipastikan telah terjadi wanprestasi Monang maralohon musu, Talu maralohon dongan sebagaimana dipahami tentang esensi kepemimpinan berdasarkan kultur budaya Batak-Toba.    
            Sejarah mencatat kejatuhan para pemimpin diktator otoriter yang dilengserkan gerakan kekuatan rakyat (people power) di atas jagat ini. Sebut saja misalnya; Presiden Soeharto yang dilengserkan gerakan reformasi 1998 lalu. Soeharto yang telah berkuasa selama ± 32 tahun dipaksa turun dari puncak kekuasaannya melalui gerakan rakyat yang dimotori para mahasiswa serta elemen masyarakat lainnya di seluruh penjuru nusantara.   
            Pemerintahan rezim Soeharto diktator otoriter telah menimbulkan kekecewaan dan sakit hati rakyat karena rezim itu berkelindan berbagai tindakan koruptif, kolutif, nepotif (KKN) menggerogoti keuangan negara.
Rezim Soeharto menjadikan rakyat yang tidak sejalan dengan dirinya sebagai musuh pemerintah, bahkan negara sehingga siapa saja pun tidak mendukung dan mengamini kebijakannya akan  “di gebuk”, disingkirkan, bahkan akan mengalami “kematian perdata”. Lawan-lawan politik disingkirkan dan/atau dihilangkan dari bumi Indonesia, dengan dukungan otoritas kekuasaan rakyat dibungkam habis-habisan, terlebih pihak-pihak bersuara kritis. Kebebasan mengeluarkan pendapat, baik lisan maupun tulisan yang dijamin Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945  diberangus super agresif. Melalui rezim bredel mass media yang berseberangan dengan pemerintah ditutup. Kampus-kampus Perguruan Tinggi dikendalikan atau dibungkam melalui Normalisasi Kehidupan Kampus/NKK mengakibatkan mahasiswa dijadikan ‘robot’ steril dari ranah politik, dan lain-lain. 
            Tindakan diktator otoriter inilah mendorong perlawanan rakyat untuk menurunkan, menggulingkan, melengserkan rezim Soeharto dari singgasana kekuasaan diktator otoriter pada Era Reformasi 1998 lalu.   
            Demikian juga pemimpin-pemimpin negara lain yang menjadikan rakyat musuh pemerintahan dilengserkan dari tampuk kekuasaannya melalui gerakan kekuatan rakyat (people power). Misalnya, Presiden Ferdinand Marcos di Pilippina, Presiden Hosni Mubarak di Mesir, Presiden Reza Pahlevi atau Sah Iran di Iran, dan lain lain.   
            Para pemimpin diktator otoriter ini dilengserkan dari tampuk kekuasaan oleh gerakan kekuatan rakyat (people power) karena telah mengecewakan, menyakiti hati rakyatnya,  mengkhianati kepercayaan yang diamanahkan terhadap dirinya melalui tindakan Monang maralohon dongan, Talu maralohon musu yaitu; menang melawan rakyat, kalah melawan musuh yang merupakan kekeliruan besar dalam mengemban tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) kepemimpinan.
            Hati rakyat tersakiti berbagai kebijakan yang merampas, merampok hak-hak keperdataan yang dijamin konstitusi. Sementara di sisi berbeda bersekongkol dengan pihak asing (Investor) mengeksploitasi kekayaan negara semata-mata mempertahankan dan melanggengkan kekuasaan serta  demi kepentingan pribadi, kelompok maupun golongan.  
Bukankah pihak asing yang hanya berkaidah mengeruk  keuntungan lebih pantas dianggap musuh daripada rakyat sendiri ? Karena pihak asing tidak pernah rela dan/atau setuju munculnya negara-negara lain menjadi negara pesaing dalam hal apapun, termasuk bangsa Indonesia. Sehingga sangat keliru besar serta sesat pikir menganggap dan menjadikan pihak asing dewa penolong untuk melepaskan berbagai permasalahan bangsa.   
            Di sini lah kekeliruan terbesar para pemimpin yang menyakiti hati rakyat sembari bersekongkol, bersubahat, berselingkuh dengan pihak asing untuk merampas, merampok harta negara atau rakyat semata-mata melanggengkan kekuasaan.  
            Padahal, kekuatan atau keperkasaan seorang pemimpin terletak pada seberapa besar dukungan, apresiasi, kecintaan rakyat terhadap pemimpin. Kekuatan, keperkasaan seorang pemimpin tidak tergantung otoritas atau kekuasaan yang dimiliki, tetapi seberapa besar pemimpin itu diterima atau diakui rakyat dalam mengemban tugas-tugas kepemimpinan secara otentik.  
            Beberapa pemimpin yang mendapat dukungan penuh dari rakyatnya, sebut saja misalnya; Presiden Nelson Mandela, Ayatullah Rohullah Khomeni, Hugo Shavez, Sebastian Pinera, Saddam Husein, dan lain-lain.
            Ketika terjadi perang teluk antara Irak dengan pasukan Multinasional yang dinahkodai Amerika Serikat, rakyat Irak dengan suka rela jadi tameng hidup (tameng manusia) untuk membela presiden Saddam Husein.
Kerelaan rakyat jadi benteng atau tameng hidup mengorbankan harta dan nyawa adalah salah satu bukti nyata dukungan rakyat pada pemimpinnya.  Semakin besar keberpihakan pemimpin terhadap rakyat maka semakin besar pula kecintaan rakyat terhadap pemimpin itu. Dan inilah yang disebut Molo talu maralohon dongan, monang ma i maralohon musu.               
            Batak-Toba juga mengenal Gala di gala bulu, panggalaan ni bonang; Molo talu maralohon musu, naung monang do i maralohon dongan maksudnya ialah bila seorang pemimpin kalah melawan musuh berarti pemimpin itu sebelum-sebelumnya telah menang melawan rakyatnya sehingga tidak mendapat dukungan, bantuan dari rakyat secara penuh.   
Itulah sebabnya, di dalam dunia politik sering disebut lawan terberat adalah kawan, bukan musuh. Sebab kawan paling dekatlah mengetahui kelemahan paling mendasar dari seseorang teman ataupun sahabat. Bahkan, pepatah klasik mengatakan musuh dalam selimut yang menunjukkan bahwa di dalam selimut pun ada musuh siap memangsa yang notabene ‘kawan’ satu selimut.    
Ketika teman, kawan, sahabat, keluarga, kerabat (dongan) berubah haluan jadi lawan atau musuh (musu) maka kekalahan hanya tinggal menunggu waktu kehancuran saja. Sebab kelemahan paling mematikan telah diketahui teman, sahabat yang berubah jadi musuh.   
            Akan tetapi, bila diperhatikan di era belakangan ini para pemimpin justru memosisikan diri pemenang atau perkasa terhadap rakyatnya sendiri. Dan melalui otoritas kekuasaan memaksakan kehendak kepada rakyat, sebab dia merasa bahwa monopoli kebenaran dan keadilan hanya ada pada dirinya semata.
Karena itu pula lah muncul sebuah adagium ditengah-tengah masyarakat, “segunung kebenaran, setumpuk kekuasaan”,  kekuasaan lah  paling menentukan dan selalu menang.     
            Adagium ini menggambarkan perilaku negatif, kekeliruan serta kesalahan besar dari pemangku kekuasaan yang selalu berusaha mengalahkan rakyat.  Padahal, suara rakyat adalah suara Tuhan. Selain daripada itu, ketika seorang pemimpin masih dalam tahapan perebutan kekuasaan tidak pernah lupa menabur janji-janji manis dengan menggunakan kata “akan dan akan” memperjuangkan kepentingan rakyat sebagai rempah-rempah penyedap atau daya tarik meraih simpatik dan dukungan rakyat menuju tahta kekuasaan. Inilah salah satu faktor yang menimbulkan kekecewaan rakyat, sekaligus menghilangkan kepercayaan rakyat terhadap pemimpin pasca kekuasaan digenggam.      
Pemimpin seperti itu sangat kontroversial dengan kultur budaya Batak-Toba disebut, Gala di gala bulu, panggalaan ni bonang; Molo talu maralohon musu, naung monang do i maralohan dongan.
            Asep Salahudin pada artikelnya berjudul ‘Politik Kepemimpinan Otentik’ di Harian Kompas, 22 Februari 2014, bahwa “Politik selalu tampil dengan dua wajah paradoksal. Epifani ketulusan dan ekspresi buruk rupa. Lambang akal waras dan pantulan sesat pikir. Tarik-menarik di antara keduanya menjadi narasi sepanjang sejarah dan fenomena kedua yang acap kali tampil ke muka”. 
            Bila ekspresi buruk rupa dan pantulan sesat pikir yang menjadi arus utama dalam diri pemimpin maka yang dikatakan Thomas Hobbes dalam Leviathan yakni; homo homoni lupus menjadi suatu kenyataan. Medan politik menjadi serupa belantara yang hanya menyediakan tempat bagi mereka yang kuat.
            Serigala menjadi raja rimba tidak tersebab ia karnivora, tetapi karena daya agresivitas, kebuasan, dan kehendak untuk menyakiti lawan yang melekat dalam tubuhnya. Serigala menjadi simbol rebutan kekuasaan yang hanya menyisakan kemenangan bagi yang tersiap, survival of the fittest.
            Hadir menjadi raja hutan bukan dengan fungsi melindungi kawan hewan yang lemah, melainkan justru kebalikannya. Kekuasaan jadi alat mencengkeramkan dominasi, mengoperasikan hegemoni, dan menebarkan rasa takut.
            Ketaatan yang didapatkan bukan karena rasa taklim, melainkan semata karena kekhawatiran dijadikan mangsa, rasa waswas kapan giliran jadi korban berikutnya dari hasrat tamak serigala.
            Filsuf yang lain meletakkan kualifikasi pemimpin pada kemampuan pengendalian diri, arif, berani dan adil (Plato), tercerahkan dan memiliki keutamaan serta pengetahuan yang bisa membedakan mana yang esensial dan mana yang artifisial, mana ideen dan meinungen (Aristoteles). Memuliakan akal budi, kukuh dalam rasionalitas publik dengan segala imperative moralnya yang berporos pada palung nurani demi keberlangsungan kebaikan bersama (Kant), punya iman otentik dengan tetap merawat kebebasan agar setiap keputusan kelak yang diambil dapat menjaga jarak dengan politik kepentingan (Kierkegaad). 
            Al-Mawardi dalam al-Ahkam as-Sulthaniyah mencatat kriteria moral seorang yang layak menjadi pemimpin: (1) kecermatan mengendalikan nafsu yang dijangkarkan pada penghayatan iman kudus; (2) dapat menyalurkan aspirasi masyarakat dengan penuh keseriusan; (3) mampu bertindak adil; (4) dapat menciptakan rasa aman; (5) memiliki pengetahuan dalam hal ikhtiar menyejahterakan khalayak; (6) menyuntikkan sikap optimis yang terukur.”
            Pemimpin yang memusuhi rakyat walau dengan kekuatan (kekuasaan) sebesar, sekuat apapun suatu saat pasti akan jatuh atau tumbang. Hal itu dapat dibuktikan melalui sejarah keruntuhan para pemimpin diktator otoriter di berbagai belahan dunia seperti diuraikan sebelumnya. 
Seorang pemimpin seharusnya menyadari bahwa kekuasaan yang digenggam sejatinya harus dijadikan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, serta energi besar mendorong, menginspirasi seluruh rakyat agar lahir optimisme, kreasi, inovasi dalam perikehidupan sehari-hari.   
            Seorang pemimpin tak boleh sekali-sekali mematikan spirit rakyat melalui arogansi kekuasaan, sebaliknya, menggunakan kekuasaan itu sebesar-besarnya  membangkitkan semangat berkarya, berkarsa seluas-luasnya.
Dengan demikian, kehadiran seorang pemimpin benar-benar menjadi  dinamisator, inspirator, fasilitator terhadap rakyat yang dirasakan di alam nyata. Karena itu, seorang pemimpin yang mampu merebut hati rakyat itu lah   sejatinya pemimpin menang melawan musuh, sekaligus mendapat dukungan rakyat, serta pemimpin otentik.    
            Simangunsong & Sinuraya (2004) “Sering politik diartikan sebagai permainan kotor karena yang dilihat hanya sisi kekuasaan saja, apalagi kalau dilihat dari sisi bagaimana cara meraih kekuasaan yang acapkali dengan cara-cara yang kotor, kebohongan, politik uang, kemunafikan, bahkan kekerasan.
Perebutan posisi pemimpin selalu menjadi pokok permasalahan utama dalam politik, karena semua pihak berebut memenangkannya. 
            Plato dan Aristoteles mengatakan, bahwa politik dibutuhkan untuk mengatur masyarakat dan moral dibutuhkan untuk menilai baik buruknya atau benar salahnya setiap tindakan dan perkataan masyarakat. Maka politik dan moral tidak dapat dipisahkan agar pengaturan itu sesuai moral yang diterima masyarakat.
Jika keinginan hanya pada kekuasaan, dapat dipastikan akan menggunakan segala cara, termasuk kebohongan, kemunafikan, bahkan kekerasan untuk meraih kekuasaan tersebut. Tidak ada kawan atau lawan yang abadi, melainkan kepentingan pribadi atau kelompok yang abadi.” (Simangunsong, Bonar & Sinuraya Daulat,2004; hal. 20). 
            Bila pengertian, pemahaman tentang politik sudah sedemikian buruk maka eksistensi partai politik di ruang publik amat sangat memprihatinkan, bahkan bisa dianggap menjadi biang kerok penyebab kisruh, karut-marut berbangsa dan bernegara.
Perilaku buruk dan menyalah dari aktor-aktor politik yang menghalalkan segala cara untuk meraih kekuasaan harus segera diluruskan sebelum kepercayaan (trust) rakyat menyentuh titik nadir. 
            Partai politik yang seharusnya wadah pendidikan politik rakyat, serta institusi melahirkan pemimpin “Monang maralohon musu, Talu maralohon dongan” justru dibelokkan para maniak kuasa yang menghalalkan segala cara untuk meraih kekuasaan. 
Akibatnya, partai politik telah mengubah habitatnya dari wadah pendidikan politik rakyat menjadi wadah pembodohan, pembohongan rakyat, serta memasok robot-robot haus kuasa yang berikhtiar “Monang maralohon dongan, Talu maralohon musu” yang sangat berbanding terbalik dengan kultur budaya Batak Toba.
Harian Kompas, 27 Januari 2014, halaman; 4, kolom; 6-7 dengan judul ‘Warisan’ Syafaruddin Prawiranegara, “Inilah bahaya yang sebesar-besarnya yang mengancam negara kita, yakni bahwa demokrasi tenggelam dalam koalisi, dan koalisi kemudian dimakan oleh anarki, dan anarki diatasi oleh golongan-golongan yang bersenjata atau golongan yang menguasai golongan-golongan bersenjata itu.”  
            Kebuasan, kerakusan, ketamakan, kebiadaban memangsa hak-hak rakyat melalui tindak pidana korupsi, kolusi, nepotisme (KKN),  perampasan, perampokan hak keperdataan masyarakat adat dan hak ulayat dengan berbagai legalitas hukum yang melanggar hak asasi manusia (HAM), serta arogansi kekuasaan lainnya terhadap rakyat adalah cerminan nyata Monang maralohon dongan, Talu maralohon musu yang merupakan buruk rupa, sesat pikir pemangku kekuasaan atau pemimpin di negeri ini.
            Berbagai kasus masyarakat hukum adat seperti perampasan hak-hak keperdataan masyarakat hukum adat dan tanah ulayat yang notabene  hak-hak purba sebelum negeri ini merdeka adalah kekeliruan, kekacauan berpikir yang alpa melakukan perlindungan terhadap rakyat. Karena bila para pemimpin menyadari paripurna eksistensi dirinya maka perlindungan hak-hak keperdataan masyarakat hukum adat dan tanah ulayat inilah salah satu tugas utama dan pertama yang harus dilakukan secara optimal. Tetapi kenyataannya, justru mayoritas pemimpin menutup mata dan telinga atas kasus-kasus yang dihadapi rakyat, serta memilih memosisikan diri melindungi kepentingan pemilik kapital dibandingkan rakyatnya sendiri yang harus dilindungi agar terhindar dari aneka perampasan hak rakyat dari pihak mana pun.  Akibatnya, pemimpin tidak lagi pantas disebut Monang maralohon musu, Talu maralohon dongan karena tidak mampu memperjuangkan kepentingan rakyat yang dipimpinnya.
            Harian Kompas, 29 Januari 2014, halaman; 4, kolom; 6-7 dengan judul ‘Warisan’ Dokter Sutomo (Juni 1932) mengatakan, “Tanah air membutuhkan pemimpin sebanyak-banyaknya. Rakyat Indonesia membutuhkan pemimpin yang akan membimbing mereka untuk mencapai cita-cita perjuangan.” 
            Pemimpin Monang maralohon musu, Talu Maralohon dongan berupaya keras mengangkat harkat, martabat rakyat dan bangsa dengan memosisikan rakyat subyek sekaligus obyek kebijakan publik sehingga rakyat tercerdaskan dalam berbangsa dan bernegara.
            Kecerdasan berdemokrasi tumbuh dengan subur karena rakyat mempunyai ruang mengutarakan pendapat atau aspirasi seluas-luasnya. Pemimpin yang memosisikan diri sebagai pengarah dan pembimbing memberi kebebasan kepada rakyat mengeluarkan ide, pendapat sehingga setiap individu berpartisipasi aktif dalam proses pengambilan keputusan melalui musyawarah menuju mufakat.
            Pemimpin tak pernah memosisikan rakyat sebagai musuh, sebaliknya  kawan atau mitra sejajar yang mempunyai hak dan kewajiban setara dan sederajat dalam membangun bangsa maupun negara.  
            Pemimpin Monang maralohon musu, Talu maralohon dongan tak pernah mengabaikan apirasi rakyat, malah menampung aspirasi rakyat seluas-luasnya dalam kebijakan yang akan ditelorkan sebab dia tau muara seluruh kebijakan diarahkan pada perwujudan kebahagiaan publik.  
Sebaliknya, pemimpin Monang maralohon dongan, Talu maralohon musu selalu menggunakan otoritas kekuasaan untuk memaksakan kehendak terhadap rakyat yang dipimpin. Sebab merasa paling tau, paling benar, paling hebat sehingga cenderung bertindak “Anjing menggonggong, kapilah berlalu”. Artinya, pemimpin bertaring terhadap rakyat dan tidak mau tahu, tidak mau peduli dengan kritik rakyat walau sebesar, sekuat apapun. Jika  rakyat tidak menyetujui, mengamini apa kata pemimpin maka siap-siap digilas mesin-mesin otoritas kekuasaan yang dapat memaksa atau membungkam rakyat.
            Harian Kompas, 14 Februari 2014, halaman; 4, kolom; 6-7 dengan judul ‘Warisan’ Bung Karno  mengingatkan bahwa, “Masyarakat kita mencapai kata sepakat dalam pengambilan keputusan pemerintah melalui musyawarah. Musyawarah adalah suatu bentuk pengambilan keputusan yang sudah berakar dalam masyarakat nusantara.   
Keputusan diambil sesudah ada pertimbangan yang lama dan cermat. Selama ada golongan minoritas yang masih belum yakin akan suatu usul, maka musyawarah harus diteruskan, sampai akhirnya di bawah tuntunan seorang pemimpin dapatlah dicapai kata sepakat.” 

Fenomena yang terjadi pada Batak Toba belakangan ini, pemahaman Monang maralohon musu, Talu maralohon dongan sudah semakin menipis dalam implementasinya. Buktinya, kata mufakat yang diawali musyawarah dalam melahirkan satu komitmen bersama atau kolektif sangat langka ditemukan. 
Egoisme pribadi lebih sering menonjol kepermukaan hingga menjurus ke pertarungan kekuatan pribadi, kelompok maupun golongan. Padahal, salah satu kearifan lokal Batak Toba mengatakan, “Ndang jadi tiptipon ganjang, Ariton bolon” yang bermakna, tak boleh memperkecil diri atau kekuatan semata-mata didasari ego sentris.
Adagium klasik mengatakan, jika kita ingin dihormati orang lain maka kita harus terlebih dahulu menghormati orang lain. Karena itulah, Batak Toba harus selalu melandaskan berpikir dan bertindak berdasarkan falsafah Dalihan Na Tolu (DNT) yakni; somba marhula-hula, manat mardongan tubu, elek marboru dalam perikehidupan sehari-hari. 
Implementasi falsafah Dalihan Na Tolu (DNT) sejatinya ialah saling menghormati, saling dukung-mendukung, saling topang-menopang, dilandasi proses musyawarah menuju mufakat supaya tercapai sukses kolektif secara optimal.  
Ndang di au, ndang di ho, tu magon tu begu (bukan sama aku, bukan sama kau, lebih baik ke hantu) adalah salah satu penyimpangan terang-benderang terhadap Monang maralohon musu, Talu maralohon dongan yang  harus dibuang jauh-jauh dari seluruh generasi Batak Toba jika ingin  meraih sukses kolektif di masa-masa mendatang. 
Batak Toba yang selalu mengedepankan kebersamaan hendaknya menyadari bahwa segala sesuatu bisa diselesaikan dengan arif bijaksana sepanjang kehati-hatian (hamanaton) dikedepankan dalam berpikir dan bertindak. Bahkan, permasalahan, persoalan, perseteruan, konflik apapun bisa terselesaikan secara tuntas, karena Batak Toba memiliki kearifan “Si boru puas, si boru bakkara, Molo dung puas, sae soada mara” (segala sesuatu yang telah diselesaikan melalui musyawarah menuju mufakat akan tuntas). Dan Batak Toba tidak mengenal dendam kesumat. Inilah salah satu karakter istimewa yang dimiliki Batak Toba dari generasi ke generasi.  
Molo olo talu maralohon dongan, Monang ma i maralohon musu adalah landasan dasar membangun kebersamaan, kesepkatan sekaligus prasyarat meraih sukses kolektif. Hal ini perlu disemaikan kepada seluruh generasi Batak Toba agar tidak terlindas dalam percaturan politik sepanjang masa. 
Ndang di au, ndang di ho, tu magon tu begu harus dirubah menjadi Ndang di au, ndang di ho, tu magon ma di hita melalui perilaku saling menghormati, saling mendukung, saling menopang yang diawali musyawarah menuju mufakat sesuai yang dimaksud sila ke 4 Pancasila.  
Menanamkan pengertian, pemahaman paripurna Monang maralohon musu, Talu maralohon dongan juga merupakan hal esensial yang perlu bagi para calon-calon pemimpin, termasuk Batak Toba agar seluruh suksesi kepemimpinan lebih beradat, beradab tanpa ekses-ekses berkepanjangan. 
Dengan demikian, prosesi suksesi kepemimpinan benar-benar merupakan wahana seleksi untuk menghadirkan pemimpin-pemimpin terbaik sekaligus pendidikan politik rakyat secara beradab. Menghadirkan pemimpin melalui Monang maralohon musu, Talu maralohon dongan akan meminimalisasi resistensi kepemimpinan dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) ditengah-tengah masyarakat, bangsa maupun negara.