Jumat, 19 Agustus 2016

Menilik Makna Ulos Pada Batak Toba



Menilik Makna Ulos Pada Batak Toba
Oleh: Thomson Hutasoit

Pendahuluan.
Salah satu hal yang sering diperbincangkan akhir-akhir ini ialah Ulos Batak, khususnya Batak Toba karena di satu sisi dianggap penting sebagai instrumen adat budaya, sementara di sisi berbeda telah banyak puladari bangso Batak menganggap Ulos tak lagi penting, bahkan telah ada oknum tak bertanggung jawab membakar Ulos tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan atas penghancuran simbol adat budaya warisan leluhur bangso Batak.
Adanya dua kutub pandangan berbeda tentang eksistensi Ulos bagi kehidupan bangso Batak, khususnya Batak Toba menjadikan Ulos antara penting dan tak penting mengakibatkan arti dan makna Ulos bagi kehidupan Batak semakin kabur serta tidak mustahil akan dianggap kain biasa-biasa saja tanpa arti dan makna historis, kultural, filosofis, religi sebagaimana dipahami leluhur bangso Batak, khususnya Batak Toba.
Hal itu sangat berpengaruh besar dalam pelestarian situs-situs adat budaya, baik bersifat kebendaan maupun bukan kebendaan (fisik, non fisik) sebagai hasil kebudayaan bangso Batak.
Ulos adalah salah satu hasil kebudayaan bangso Batak, khususnya Batak Toba hingga kini masih dijadikan instrumen adat budaya, baik di saat suka maupun duka. Tetapi penggunaan ulos serta arti dan maknanya sepertinya tak dipahami komprehensif paripurna sehingga pemberian dan penerimaan ulos tak sebagaimana mestinya. Akibatnya, eksistensi ulos bagi kehidupan bangso Batak tak memiliki nilai kesakralan lagi hingga timbul pandangan keliru, siapa saja boleh menyerahkan ulos tanpa memperhatikan struktur sosial ditengah kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hal ini tentu akan semakin mendegradasi arti dan makna ulos sebagai simbol adat budaya warisan leluhur.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2007) Budaya ialah pikiran; akal budi ataupun sesuatu mengenai kebudayaan yang sudah berkembang (beradab, maju). Sedangkan kebudayaan ialah hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia seperti kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat, ataupun keseluruhan pengetahuan manusia sebagai mahkluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungan serta pengalamannya dan yang menjadi pedoman tingkah lakunya.
Pada era belakangan ini, ulos dianggap sebuah kado semata, sehingga bila petinggi negara datang berkunjung ke provinsi Sumatera Utara maupun kabupaten/kota para pejabat pemerintahan di daerah “latah” memberi (mangulosi-red) pejabat atasannya tanpa menyadari kesalahan fatal, sesat pikir yang amat sangat keliru besar tentang arti dan makna serta fungsi ulos dalam adat budaya bangso Batak, khususnya Batak Toba. Bahkan di kalangan pimpinan agama pun juga melakukan kekeliruan yang sama karena arti dan makna ulos telah direduksi sebatas sebuah kado, bukan lagi simbol adat budaya warisan leluhur bangso Batak. Hal ini sungguh kontraproduktif dengan wacana, retorika yang kerap dilontarkan pejabat publik di negeri ini tentang pelestarian adat budaya lokal.
Seharusnya jika komitmen pelestarian adat budaya yang digelorakan pemerintah benar-benar merupakan kehendak kuat, dimana salah satu di dalamnya ialah ulos maka kekeliruan, kesalahan penggunaan ulos sebagai simbol adat budaya bangso Batak, khususnya Batak Toba sudah perlu segera diluruskan. Dan disini pulalah perlu pentingnya peran lembaga adat budaya memberi pemahaman komprehensif paripurna tentang arti, makna, fungsi serta pemakaian ulos secara mendalam dan mendetail agartidak terjadi bias pemahaman atas penggunaan ulos tersebut. Karena tidak mustahil pemberian ulos oleh seorang pejabat publik yang bukan bangso Batak kepada atasannya disebabkan ketidakmengertian belaka. Akan tetapi sungguh disesalkan dan patut dipersalahkan ialah apabila pejabat publik adalah bangso Batak masih “latah” memberi ulos (mangulosi-red) atasannya perlu dipertanyakan “Kebatakannya”. Dan sangat disayangkan pula, pejabat publik yang seharusnya menjaga, merawat, serta melestarikan adat budaya justru “merusak, menghancurkan”simbol-simbol adat budaya warisan leluhur.
Untuk mengelaborasi lebih jauh makna ulos pada bangso Batak, khususnya Batak Toba maka perlu dipahami hal-hal sebagai berikut;
1.      Ulos bermakna historis.
Pada peradaban masyarakat purba keterbatasan pakaian merupakan permasalahan fundamental, dimana pada ketika itu belum ditemukan alat teknologi pembuat pakaian sebagaimana yang ada saat ini. Bangso Batak maupun bangsa-bangsa lain di atas jagat raya mengalami hal yang sama akibat masih terbatasnya ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) sehingga manusia pada zaman itu masih menggunakan bahan pakaian apa adanya. Kulit kayu, daun-daunan dan lain sebagainya digunakan untuk menutupi (mangabiti-red) bahagian terlarang dengan seadanya. Oleh karena itu pulalah bangso Batak, khususnya Batak Toba mengenal jenis pakaian dari kulit kayu (takki-red) karena pada saat itu belum ditemukan benang (boning-red) sebagai bahan dasar pakaian (kain).

Bukti penggunaan kulit kayu bahan pakaian (abit-red) diabadikan pada umpasa Batak Toba mengatakan; “Takki ma ualang, garinggang jala garege. Sai tubu anak partahi ulubalang, boru parmas jala pareme”.

Kemudian seiring dengan perkembangan kemajuan zaman bangso Batak, khususnya Batak Toba mengenal benang (bonang-red) sebagai bahan pakaian yang warnanya ada tiga macam, yakni; merah, hitam, dan putih. Dan benang ini dinamakan “Bonang Manolu atau Bonang Manalu” yang merupakan warna spesifik pakaian maupun ornamen-ornamen bangso Batak. Dalam ungkapan Batak Toba dikenal, “Andalu sangkotan ni bonang, musu ma na ripe talu hita ma na ripe monang”. “ Ni dandan bonang ma nolu, bahen ihot ni simbora. Singkop ma ngolu-ngolu, molo maduma jala mamora”.   
Pada awalnya menurut para penggiat ulos, bahwa ulos dimaknai pakaian (abit-red) sehingga ulos mempunyai fungsi antara lain;

Pertama;  Pakaian ( abit, abit-abit-red) yang dilingkarkan (dihohophon-red) pada bahagian badan untuk menghangatkan serta membalut, menutupi (mangabiti-red) bahagian badan tak layak dinampakkan.

Kedua; pakaian selendang atau kain sandang (hande-hande, sengka-sengka-red) ketika bepergian, misalnya ke pesta, dan lain sebagainya.

Ketiga; kain penutup kepala (detar, saong-saong-red) untuk melindungi panas terik matahari.

Fungsi-fungsi ulos seperti ini lebih dititikberatkan pada kegunaan penutup bahagian badan karena kondisi iklim bona pasogit beriklim dingin sehingga diperlukan kain (ulos) penghangat badan, pelindung dari terik matahari, tetapi fungsi ulos disini adalah bahan pakaian atau kain (abit-red) yang tidak berhubungan dengan nilai hitoris penggunaan ulos.

Perkembangan kemajuan pembuatan pakaian pada Batak, khususnya Batak Toba dikenal dengan pertenunan (partonun-red), dan dikenal Umpasa mengatakan, “Balintang ma pagabe, tumandanghon sitadoan. Horas ma hita jala gabe, asal ma masipaolooloan”. 

2.      Ulos Bermakna Kultural.
Makna ulos secara kultural pada bangso Batak, khususnya Batak Toba ialah sebuah pemberian bermakna adat budaya sehingga secara kultural ulos dikenal dalam tiga macam, yakni; Ulos na so ra buruk (pauseang-red), ulos herbang, dan ulos na tinonun sadari (uang-red).

Ulos na so ra buruk (pauseang) ialah pemberian sebidang tanah (tano maraek, tano mahiang-red) dari orangtua siperempuan kepada borunya pasca perkawinan Batak Toba, sebab kearifan budaya Batak Toba mengatakan, “Sinamot tondong ni ragi-ragi pauseang”. Artinya, ketika orangtua si perempuan telah menerima “sinamot (boli ni boru) dari pihak si laki-laki maka pihak parboru akan menghunjuk sebidang tanah sebagai pauseang kepada borunya pada pesta perkawinan tersebut. Tetapi penyerahan secara fisik barulah diserahkan ketika si mempelai mempunyai keturunan dan biasanya setelah lahir anak laki-laki.
Pemberian pauseang kepada boru pada masa belakangan ini sudah sangat jarang dilakukan sehingga para generasi Batak Toba, terutama yang tinggal di perantauan (diaspora) telah banyak tak mengetahui arti dan makna ulos na so ra buruk (pauseang). Padahal, pemberian pauseang dari orangtua si perempuan kepada borunya adalah salah satu media pemberian harta kepada boru karena hak waris orangtua pada Batak, khususnya Batak Toba diletakkan pada garis laki-laki (baoa-red). Dan disinilah makna ungkapan Batak Toba  mengatakan, “Sipat bagot hak ni anak, sabonggar ansuan hak ni boru”.

Ulos Herbang ialah ulos berbentuk kain yang ditenun (ditonun-red) dari perpaduan tiga warna benang (bonang manolu-red) yang diserahkan pihak parboru kepada pihak paranak ketika pesta perkawinan ataupun perhelatan lainnya.

Ketika pesta perkawianan pemberian ulos herbang dari pihak parboru kepada pihak paranak dikenal ulos pansamot, ulos hela, ulos paramaan, ulos sihutti ampang, ulos todoan, dan lain sebagainya. Dan pada prinsipnya pemberian dan/atau penerimaan ulos suhi ni ampang na opat langsung diberikan pihak bersangkutan. Artinya, ulos paramaan diberikan pamarai, ulos sihutti ampang diberikan tulang ni na muli, ulos simandokhon diberikan kepada simolohon (haha, anggi pangoli), ulos todoan paranak diberikan todoan pihak parboru. Sedangkan ulos pansamot dan ulos hela langsung diberikan hasuhuton parboru. Tetapi belakangan ini setelah sering dilembagakan sinamot rambu pinungu ataupun sinamot sitombol, semua ulos na marhadohoan telah dipersiapkan hasuhuton parboru maka jenis ulos suhi ni ampang na opat menjadi ulos holong kepada mempelai.

Ulos na Tinonun Sadari (ulos-ulos, hepeng-red) ialah hak adat budaya timbal balik sebagaimana panandaion dari pihak paranak kepada pihak parboru. Artinya, pihak paranak tidak seluruhnya mendapat ulos herbang dari pihak parboru sehingga mereka akan mendapat ulos-ulos yang disebut ulos na tinonun sadari (hepeng-red).

Oleh karena itu, secara kultur ulos pada bagso Batak, khususnya Batak Toba bukanlah semata-mata ulos herbang, melainkan tiga macam ulos sebagaimana telah diuraikan di atas, sehingga apabila membicarakan ulos harus secara spesifik agar tidak terjadi bias pengertian, pemahaman terhadap generasi supaya pengertian, pemahaman tentang ulos tidak menimbulkan kerancuan berpikir.

3.      Ulos Bermakna Filosofis.  
Makna ulos secara filosofis ialah arti dan makna ulos menurut pandangan filosofi bangso Batak, khususnya Batak Toba terhadap eksistensi ulos dalam kehidupan yang melambangkan kasih sayang terhadap pihak lain. Artinya, pemberian ulos kepada seseorang atau suatu pihak merupakan perlambang kasih sayang murni dan tulus ikhlas sehingga pemberi ulos selalu berstatus lebih tinggi dalam struktur kekeluargaan, kekerabatan daripada sipenerima ulos tersebut.
Karena itu, pada Batak Toba yang layak dan lazim memberi ulos ialah hula-hula kepada boru, bapak kepada anak, ompung kepada pahompu, abang kepada adik, tulang kepada bere/bebere sesuai struktur partuturan dalam kekeluargaan, kekerabatan Batak Toba.

Jika dianologikan pemberian ulos yang merupakan perlambang kasih sayang sama seperti Tuhan Yang Maha Kuasa memberi rahmat dan karuniaNya kepada seluruh ciptaanNya di atas alam semesta. Apakah pantas dan layak manusia memberi kasing sayang kepada sang pencipta ? Bukankah sang pencipta menganugerahkan rahmat dan karuniaNya kepada dunia ini ? Seperti itulah pandangan filosofi Batak, khususnya Batak Toba dalam pemberian ulos sebagai pertanda kasih sayang dari hula-hula kepada boru, bapak kepada anak, ompung kepada pahompu, abang kepada adik, tulang kepada bere/bebere, dan lain sebagainya.

Pada Batak Toba kedudukan hula-hula adalah mataniari binsar, karena itulah dikenal Umpasa mengatakan, “Ni durung situma, mangihut pora-pora, Tangiang pasupasu ni hula-hula, Na pogos boi jadi mamora”. “Obuk do jambulan, ni dandan bahen samara. Tangiang ni hula-hula, pitu sundut soada mara”. “Dulang na so dulangon, dulang bajoran di bonana. Hula-hula na so jadi sumpaon, habiaran do sapatana”.

Demikian juga orangtua, menurut pandangan bangso Batak, khususnya Batak Toba adalah Debata na tarida yang selalu dihormati sepanjang hayatnya. Dan anak-anaknya selalu meminta berkat dan restu dari orangtua (natoras-red) agar mudah mendapat rezeki. Bahkan ketika orangtua (natoras) telah ujur para anak-anaknya meminta berkat, doa dan nasehat melalui pasahat sulang-sulang na tabo (manulangi natoras) yang saat ini masih terlembagakan yang disebut “manulangi natuatua, pasahat sulang-sulang na tabo”. Ada umpasa Batak Toba mengatakan, “Binuat hau toras, tiang ni sopo di balian. Na burju marnatoras, dapot pasupasu sian Tuhan”. “Rata napuran tiar, uli napuran mauliate. Hata poda natur, manorusi bilut ni ateate”.

Wejangan, nasehat berupa umpama, umpasa yang disampaikan ketika memberi ulos  (mangulosi-red) menurut filosofi bangso Batak, khususnya Batak Toba hanya layak disampaikan struktur partuturan lebih tinggi dalam kekeluargaan, kekerabatan Batak Toba. Sehingga amat sangat keliru besar apabila seorang bupati/walikota, gubernur memberi ulos kepada presiden, atau dengan perkataan lain pejabat lebih rendah memberi ulos (mangulosi-red) pejabat diatasnya yang tak sesuai dengan filosofi pemberian ulos yang diwariskan leluhur Batak Toba.  
Untuk meluruskan kekeliruan yang berlangsung selama ini sekaligus menghindarkan politisasi simbol-simbol adat budaya, khususnya adat budaya Batak Toba, pemberian ulos terhadap pejabat publik sebaiknya diserahkan kepada lembaga-lembaga adat budaya, dan bila lembaga-lembaga itu belum ada lebih pas dan cocok jika penyerahan ulos oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota) sebagai representasi wakil rakyat.

4.      Ulos Bermakna Religi.
Ulos bermakna religi ialah keyakinan sipemberi ulos atas berkat rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa yang dituangkan pada sebuah ulos sehingga dikenal berbagai jenis ulos sesuai sipenerimanya. Artinya, anugerah dan berkat Tuhan Yang Maha Kuasa (Ompu Mulajadi Nabolon-red) terhadap orang yang disayangi (dihaholongi-red) adalah sebuah keyakinan, doa dan permohonan yang tercermin pada jenis ulos tersebut. Misalnya, pemberian Ulos Ragi Hotang kepada mempelai (ulos hela-red) adalah sebuah keyakinan dan doa semoga rumah tangga pengantin berlangsung langgeng hingga umur tua, keluarga berbahagia (gabe, mamora, sangap-red) sebagaimana kuatnya ikatan rotan (hotang-red). Demikian juga misalnya pemberian ulos Bintang Maratur kepada pahompu/bere oleh ompungbao atau tulang adalah suatu doa dan keyakinan, bahwa sipenerima ulos Bintang Maratur mampu mengatur, mengarahkan, membimbing dan  mengayomi adik-adiknya dikemudian hari.

Oleh karena itu, makna ulos pada bangso Batak, khususnya Batak Toba bukanlah sekadar kain belaka tanpa makna religi sebagaimana pengertian, pemahaman keliru pihak-pihak yang ingin mendegradasi makna ulos sebagai simbol adat budaya sarat makna nilai-nilai luhur warisan nenek moyang bangso Batak.

Makna religi ini pulalah yang menjadi pedoman dan patokan penggunaan jenis ulos oleh seseorang. Maksudnya ialah tidak sembarang ulos bisa digunakan, tetapi disesuaikan dengan status masing-masing. Misalnya, jika seseorang belum pernah mengawinkan anak (pangoli anak, pamuli boru-red) belum berhak memakai Ulos Ragi Idup maupun Ulos Pinunsaan. Demikian halnya jika seseorang sangat dihormati (sangap, tarpandang-red) ditengah masyarakat sungguh sangat tak layak jika diberi ulos Sadum, Ragi Hotang. Ulos yang layak dan pantas diberi kepada orang seperti ini ialah Ulos Jugia.  

Inilah bukti nyata, bahwa ulos bagi bangso Batak, khususnya Batak Toba memiliki nilai religi yang dituangkan pada jenis, motif ulos sehingga ulos sarat makna hakiki sesuai keyakinan bangso Batak, khususnya Batak Toba terhadap Tuhan Yang Maha Esa (Mulajadi Nabolon-red) pencipta alam semesta sebelum agama-agama impor masuk ke tanah Batak.

Karena itu, sungguh keliru besar serta sesat pikir jika ada pihak-pihak tak bertanggungjawab memlintir makna ulos seolah-olah berseberangan dengan agama dan keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sehingga kerap dipertentangkan dengan agama dan keyakinan terhadap Tuhan pencipta alam semesta. Padahal, ulos adalah media doa dari sipemberi ulos sekaligus permohonan kepada Tuhan Yang Maha Esa agar kiranya berkenan memberi berkat dan anugerah kepada sipenerima ulos tersebut. Hal itu tercermin pada untaian Umpama, Umpasa Batak Toba misalnya; “Dangka ni sitorop, tanggo pinangaitaithon. Simbur magodang ma dakdanak, sitongka ma panahitnahiton”. “Bagot na mararirang, hasonggopan ni ampapaluan. Badan muna na so jadi sirang, tondi muna masigomgoman”. “Martantan ma baringin, marurat jabijabi. Horas ma tondi madingin, tumpahon ni Ompunta Mulajadi”.

Ungkapan doa melalui Umpama dan Umpasa di saat pemberian ulos harus relevan dengan keyakinan pemberi ulos yang dituangkan dalam ulos sehingga jenis dan motif ulos harus disesuaikan dengan tujuan perhelatan (ulaon-red) yang dilaksanakan ketika itu. Artinya, umpama, umpasa ketika pemberian ulos harus disesuaikan dengan tujuan serta situasi kondisi yang ada.
Dari berbagai uraian diatas jelaslah, bahwa ulos bagai bangso Batak, khususnya Batak Toba memiliki arti dan makna hakiki yang tak boleh dipisahkan dari kehidupan sehari-hari. Ulos bukan sekadar kain biasa serta pemberiannya bukan pula hanya seremonial belaka, sebab ulos meliki arti dan makna historis, kultural, filosofis, religi sehingga harus dijaga, dirawat, dilestarikan serta dilindungi melalui payung hukum yang jelas dan tegas agar terhindar dari anasir-anasir yang ingin merusak dan menghilangkan ulos salah satu simbol adat budaya Batak, khususnya Batak Toba.
Pemerintah, pemerintah daerah sudah seharusnya mengeluarkan peraturan perundang-undangan tentang perlindungan simbol-simbol adat budaya lokal agar kekayaan adat budaya Nusantara tidak hilang atau punah akibat akulturasi ataupun inkulturasi menjadikan simbol-simbol adat budaya semakin terpinggirkan dalam kehidupan sehari-hari.
Pemerintah daerah harus segera mengeluarkan peraturan daerah (Perda) tentang Perlindungan Masyarakat Adat (MHA) termasuk simbol-simbol adat budaya dengan sanksi hukum yang tegas agar arogansi intelektual yang ingin merusak situs-situs adat budaya warisan leluhur Nusantara dapat dihentikan secara konkrit ke depan.
Ulos antara nilai komersil dengan nilai budaya.
Sesuai perkembangan teknologi pertekstilan semakin pesat belakangan ini maka produk ulos buatan pabrikasi pertekstilan telah semakin banyak, baik jumlah maupun jenis motifnya. Perkembangan itu, sadar atau tidak turut juga mendegradasi nilai ulos sebagai salah satu simbol adat budaya bangso Batak, khususnya Batak Toba. Betapa tidak, jika diperhatikan cermat dan seksama, ulos yang tadinya bermakna dan bernilai adat budaya kini telah dijadikan bahan pakaian, asisoris, souvenir tanpa memperhatikan nilai-nilai luhur adat budaya yang terkandung dalam ulos itu sendiri. Misalnya, ulos ragi idup dijadikan bahan pakaian jas pria, dan jas tersebut dipakai oleh seorang anak muda ataupun seorang artis. Bukankah ulos ragi idup hanya pantas dipakai oleh seseorang telah mengawinkan anak (pangoli anak, pamuli boru) menurut adat budaya Batak Toba ? Inilah salah satu kekeliruan memahami arti dan makna ulos tanpa disadari.
Oleh karena itu, jika ingin mendorong pertekstilan untuk pakaian, asesoris, souvenir sebaiknya bukan ulos simbol adat budaya, melainkan motif-motif atau ornamen Batak, khususnya Batak Toba agar ulos simbol adat budaya tidak mengalami penurunan nilai ditengah masyarakat, bangsa maupun negara. Fenomena komersialisasi ulos harus pula disadari salah satu ancaman nyata terhadap eksistensi ulos simbol adat budaya. Nilai kesakralan ulos sebagai simbol adat budaya harus benar-benar dijaga dan dilestarikan, sebab apabila tidak ulos hanya dipandang dan diposisikan sehelai kain biasa yang bisa digunakan sesuai selera pemakainya.
Memosisikan ulos secara tepat dan akurat adalah salah satu upaya nyata meluruskan arti dan makna ulos sebagai simbol adat budaya bagi kehidupan bangso Batak, khususnya Batak Toba agar eksistensi ulos tetap lestari sebagai salah satu aset nasional ataupun internasional. Upaya-upaya Komunitas Ulos yang mengajukan/mengusulkan ulos ke UNESCO sebagai salah satu warisan dunia sungguh sangat cerdas dan jenial apalagi upaya-upaya itu benar-benar tulus ihklas untuk melestarikan ulos simbol adat budaya bangso Batak, tanpa muatan-muatan kepentingan tertentu.
Karena itu, diperlukan pengertian, pemahaman komprehensif paripurna tentang arti dan makna ulos sebagai simbol adat budaya, bukan semata-mata mengejar nilai ekonomi belaka. Untuk itu, diperlukan inventarisasi jenis dan macam ulos melalui suatu penelitian mendalam agar ulos tidak dipersimpangan jalan antara mengejar nilai ekonomi dengan nilai budaya. Perlu dipikirkan formula yang tepat dan akurat, mana yang bisa dijadikan pakaian, asisoris, souvenir, dan mana pula yang tak bisa dijadikan untuk itu. Artinya, harus jelas dan tegas mana bernilai komersialisasi dan mana pula bernilai adat budaya.
Horas ! Mauliate.

Medan, 13 Agustus 2016

Thomson Hutasoit.
(Penulis: Direktur Eksekutif LSM Kajian Transparansi Instansi Publik (ATRKTIP), penulis buku: Keluhuran Budaya Batak Toba, Solusi Adat Batak Toba, 1101 Umpama, Umpasa dongan tu Ulaon Adat, Kepemimpinan, Parsinabung, Sekretaris Umum Punguan Borsak Bimbinan Hutasoit, Boru, Bere Kota Medan Sekitarnya) tingggal di Medan.     

    

       

  

       

    



              

Akankah Danau Toba Tersenyum ?



Akankah Danau Toba Tersenyum ?
Oleh: Thomson Hutasoit
Direktur Eksekutif LSM Kajian Transparansi Kinerja Instansi Publik (ATRAKTIP)

Pendahuluan.
Pemiihan judul tulisan ini mungkin menimbulkan pertanyaan di benak sidang pembaca yang budiman, sebab sejatinya judul tulisan ini adalah sebuah pertanyaan antara realita denga retorika bercermin pada “hikayat” perjalanan nasib Danau Toba dari masa ke masa layaknya lagu-lagu yang didendangkan penyanyi jaman dulu (jadul-red) hingga jaman saiki yang sangat sulit membedakan kualitasnya. Kadangkala disadari atau tidak sebuah lagu hanyalah penyedap pendengaran (telinga-red) tanpa benar-benar memahami arti dan makna hakiki yang terkandung dalam syair lagu tersebut, sehingga lagu tersebut tidak lain dan tidak bukan hanyalah penyedap pendengaran (telinga) hampa makna.
Demikian halnya dengan Danau Toba yang bukan barang baru dalam diskusi, seminar, kampanye politik, perbincangan di kedai kopi, dan lain sebagainya telah menimbulkan berbagai kesangsian terhadap berbagai agenda, program retorika, sebab publik telah lelah mengikuti pembahasan, perbincangan terhadap pengembangan Danau Toba yang tak kunjung nyata selama ini. Berbagai agenda, program pengembangan Danau Toba dengan menghabiskan dana signifikan telah digelontorkan berbagai pihak, seperti pemerintah, pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah kabupaten/kota se- Sumatera Utara, namun perkembangan kemajuan sekitar Danau Toba tetap biasa-biasa saja alias tak ada sama sekali. Bahkan yang terjadi adalah eksploitasi Danau Toba menyebabkan Danau Toba menangis dan mengerang sepanjang masa.
Sebagaimana artikel penulis di SKI ASPIRASI edisi 25/12/2009 dengan judul ‘Tangisan Danau Toba’ mengatakan, “Dolok ni Hutaginjang, panatapan tu Tao Toba. Debata parbanua ginjang mangungkap mata, roha ni jolma manisia. Terjemahan bebas, Bukit Hutaginjang tempat memandang ke Danau Toba, Tuhan di tempat maha tinggi membuka mata, hati manusia” adalah sebuah doa dan permintaan kepada Tuhan Yang Maha Esa agar mengutus pemimpin yang terbuka ‘mata, telinga, hati’ mengembangkan Danau Toba beserta seluruh potensi sekitar Kaldera Toba supaya tanah leluhur (Bona Pasongit-red) bangso Batak tidak lagi menyandang predikat “peta kemiskinan” yang menjadi stigma negatif (turik ngenge-red) terhadap seluruh generasi Batak dimanapun berada.
Tangisan Danau Toba sejatinya adalah akibat ambivalensi kebijakan pemerintah, pemerintah daerah menyebabkan “Danau Toba Diantara Dua Kutub” sebagaimana judul artikel penulis di SKI ASPIRASI, 29/05/2012 lalu. Dalam artikel tersebut penulis menurunkan ungkapan (umpama-red) Batak Toba mengatakan, “Timbo pe Pusuk Buhit, ditoruna do Tao Toba. Sai mandao ma angka sahit, sai ro ma las ni roha”. “Tao Toba aek natio, hagodangan ni porapora. Dao tano di ranto, Tao Toba tung so lupa sian roha”. “Tabo pe dengke jahir, Ihan do dengke Batak. Godang mandok marpingkir, Tao Toba tong rotak”. Ungkapan ini adalah sebuah harapan sekaligus kritik atas kebijakan kontradiktif antara Danau Toba destinasi wisata dengan Danau Toba peternakan ikan. Sebab fakta dan bukti berbicara keramba jala apung (KJA), limbah ternak, limbah domestik, penggundulan hutan, baik legal maupun illegal sepertinya terjadi “pembiaran” menjadikan tangisan, erangan Danau Toba semakin menjadi-jadi tanpa jawaban yang pasti.  
Berbagai gerakan komunitas pencinta Danau Toba, baik niat tulus ikhlas maupun ada udang dibalik batu (sarat kepentingan-red) tumbuh subur bagaikan jamur di musim penghujan sehingga Danau Toba bagaikan gadis cantik nan molek tak pernah sepi dari ‘partandang’ walau hanya sekadar menikmati kecantikan dan kemolekannya. Buktinya, pada saat-saat kontestasi politik (kampanye pemilihan-red) gubernur, presiden apalagi legislatif Danau Toba dijadikan menu kampanye menarik suara rakyat sekitar Kaldera Toba. Akan tetapi, begitu kontestasi usai, Danau Toba dilupakan dan/atau ditinggalkan begitu saja tanpa alasan, sehingga menambah rintihan Danau Toba semakin menggema hingga ke penjuru dunia.
Danau Toba bukanlah makhluk pintar dan pandai berwacana, beretorika sebagaimana kecerdikan dan kemahiran para pihak ‘pengeksploitasi’ di negeri ini. Namun demikian, sehebat apapun kemampuan manusia berkamuflase harus menyadari tak seorang pun mampu menghindarkan diri dari kekuatan alam semesta, sehingga sangatlah keliru besar dan sesat pikir mengeksploitasi Danau Toba dengan berbagai kemunafikan kebijakan. Karena itu, pelestarian, pengembangan, pengelolaan Danau Toba, termasuk agenda besar cerdas jenial mengajukan Geopark Nasional Kaldera Toba menjadi Taman Bumi Dunia UNESCO harus benar-benar terpadu, terintegrasi dengan seluruh potensi sekitar Kaldera Toba melalui legalitas perlindungan hak masyarakat hukum adat (MHA), baik berbentuk undang-undang maupun peraturan daerah (Perda) supaya setiap orang memikul hak dan kewajiban yang jelas dan tegas.
Danau Toba dari Waktu ke Waktu.
Jika diperhatikan cermat dan seksama, Danau Toba adalah sebuah magnit yang menarik perhatian sejumlah pihak, baik positif maupun negatif. Satu sisi Danau Toba dijadikan “sapi perah” bagi pihak-pihak tertentu seperti; sumber pendapatan negara maupun sumber pendapatan daerah provinsi, kabupaten/kota melalui annual fee, ABT/APU, CD, CSR, ataupun retribusi lingkungan. Berbagai pendapatan ini telah mendorong egoisme daerah merasa paling berhak memperoleh bahagian, tanpa kompensasi pelestarian, pengelolaan, pengembangan Danau Toba secara signifikan, proporsional.  
Berbagai agenda, program retoris yang tak signifikan mengangkat dan mengembangkan Danau Toba kerap digelontorkan, baik oleh pemerintah, pemerintah daerah, maupun komunitas mengatasnamakan Danau Toba adalah sebuah taktik strategi meraup keuntungan, baik finansial maupun politis menjadikan Danau Toba sebuah menu tak pernah sepi dibicarakan dari waktu ke waktu. Menuding, menyalahkan pengelolaan, pengembangan Danau Toba di ruang publik, seminar, diskusi tanpa solusi nyata sudah tak barang asing lagi. Karenanya, Danau Toba salah satu menu paling seksi dalam debat kusir yang sama sekali tak bermanfaat menjawab tangisan Danau Toba semakin nyaring ke seluruh penjuru alam semesta.
Polarisasi pemikiran antara destinasi wisata dengan peternakan ikan adalah sebuah debat berkepanjangan, sebab masing-masing kubu membentangkan dalil-dalil argumentasi piawi untuk membenarkan agendanya. Hal itu pulalah menjadikan Danau Toba berada diantara dua kutub yakni; Desatinasi wisata vs Peternakan Ikan. Polarisasi inilah sejatinya perlu mendapat solusi serta persamaan persepsi agar Danau Toba tidak selalu dipersimpangan jalan seperti selama ini.
Sebagai “harta karun” anugerah Tuhan Yang Maha Esa bagi bangsa Indonesia, kususnya provinsi Sumatera Utara, terkhusus lagi masyarakat sekitar Kaldera Toba, hal paling fundamental esensial dipikirkan ialah menyamakan persepsi Danau Tob dijadikan apa ?
Pertanyaan ini penting dan fundamental, sebab fakta dan bukti menunjukkan ambivalensi kebijakan yang berlangsung dari waktu ke waktu selama ini. Tarik menarik kepentingan telah “merobek-robek” wajah Danau Toba yang indah nan molek berubah “compang camping” sehingga tak memiliki daya pikat lagi bagi wisatawan, baik domestik maupun internasional.
Harta karun karunia Tuhan Yang Maha Esa bagi bangsa Indonesia di belahan barat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dari waktu ke waktu selalu mengalami pasang surut dalam kebijakan publik, sehingga Danau Toba ditempatkan pada titik antara penting dan tidak, perlu dan tak perlu oleh pihak-pihak pengambil kebijakan di negeri ini. Dan itulah sejatinya makna umpama, “Tabo pe dengke jahir, ihan do dengke Batak. Godang mandok marpingkir, Tao Toba tong rotak”. Berpikir sekadar wacana, retorika tanpa langkah konkrit atau realita tidak akan pernah menghentikan “Tangisan Danau Toba”, malah membuat tangisan, erangannya semakin bertambah nyaring hingga menembus dinding kesadaran paling dalam terhadap harta karun ini.  
Sebagai anak bangsa, khususnya putera Batak Toba yang dilahirkan di kawasan Kaldera Toba sungguh kesal dan kecewa atas “penelantaran” Danau Toba selama ini sehingga selalu berteriak menyuarakan kekeliruan kebijakan pelestarian, pengelolaan, pengembangan Danau Toba “Ikon” Provinsi Sumatera Utara selama ini. Selaku putera daerah Kaldera Toba tak pernah rela dan setuju bila Bona Pasogit Batak dijuluki “peta kemiskinan” karena keliru “menelantarkan” Danau Toba sumber pendapatan maha dahsyat bagi bangsa Indonesia, secara khusus masyarakat sekitar Kaldera Toba. Karena itulah selalu memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa agar menunjuk pemimpin yang mampu mendorong dan mengembangkan Danau Toba sumber penghidupan, kemakmuran, kesejahteraan bangsa Indonesia, khususnya masyarakat sekitar Kaldera Toba.
Menyimak dan memaknai Thema HUT Kemerdekaan RI ke 71 yang dicanangkan Presiden Joko Widodo atau Jokowi “INDONESIA KERJA NYATA” dan dikaitkan rencana “Karnaval Danau Toba 21 Agustus 2016” yang akan dihadiri langsung Presiden Joko Widodo maka penulis hakkul yakin “Tangisan Danau Toba” akan segera berhenti. Tinggal pertanyaannya sekarang ialah sejauhmana kesiapan stakeholders Danau Toba mendukung dan memberhasilkan kemauan kuat dan niat tulus ikhlas presiden pro rakyat ini agar tidak lagi sekadar wacana dan retorika seperti selama ini.
Momentum ini harus dijadikan langkah konkrit titik awal pengembangan Danau Toba sebagai salah satu upaya nyata mengubah “peta kemiskinan” menjadi tanah idaman, impian, kawasan kemakmuran, kesejahteraan bagi umat manusia di dunia, bangsa Indonesia, khususnya kawasan Kaldera Toba karunia Tuhan Yang Maha Esa.
Masyarakat sekitar Kaldera Toba bersyukur dan berterima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa telah menunjuk Presiden Joko Widodo atau Jokowi yang lahir dari rahim rakyat menjawab “Tangisan Danau Toba” dengan langkah konkrit mengembangkan kawasan Kaldera Toba melalui Perpres Nomor 49 tahun 2016 tentang Badan Otorita Pengelolaan Kawasan Pariwisata Danau Toba (BPOKPDT) yang ditandatangani Presiden Joko Widodo tanggal 1 Juni 2016, dan diundangkan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly pada tanggal 13 Juni 2016 lalu.
Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 49 tahun 2016 adalah bukti nyata kemauan kuat Presiden Joko Widodo mengembangkan kawasan Kaldera Toba, sebab beliau tau Bona Pasogit Batak tidak seharusnya “peta kemiskinan” melainkan “tanah harapan” impian seluruh insan manusia di atas planet ini yang menyimpan sejarah peradaban manusia di atas bumi.
Era Kebangkitan Kaldera Toba.
Kawasan Kaldera Toba seharusnya tak masuk akal jika disebut “peta kemiskinan” apabila setiap orang menyadari Danau Toba anugerah maha besar Tuhan Yang Maha Esa terhadap bangsa ini. Danau tekto-vulkanik terbesar di Indonesia dan Asia dengan ukuran panjang 100 km dan lebar 30 km adalah salah satu wisata alam dengan panorama indah dan molek seharusnya salah satu primadona pendapatan dari sektor pariwisata jika dikelola dan dikembangkan profesional.
Selain panorama indah dan molek kawasan Kaldera Toba menyimpang situs-situs sejarah peradaban manusia, flora dan fauna serta tumbuhan endemik sangat penting bagi kehidupan manusia masih bisa ditemukan di sekitar Kaldera Toba. Namun potensi-potensi maha dahsyat ini belum dikelola efektif untuk meningkatkan taraf hidup apalagi salah satu sumber kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat sekitar. Terobosan cerdas dan jenial masih belum dilakukan maksimal, profesional sehingga potensi-potensi itu tinggal potensi belaka. Padahal, jika pemerintah daerah sekitar kawasan Kaldera Toba mampu membangun koordinasi atau kerjasama antar daerah, termasuk membangun “Marketing Regional” untuk mempromosikan, “menjual” potensi keunggulan Danau Toba maka kawasan Kaldera Toba menjadi salah satu kawasan strategis destinasi pariwisata yang berdaya pikat tinggi di mata investor.
Setiap pemerintah daerah di kawasan Kaldera Toba harus menyadari, bahwa pengembangan Danau Toba tidak boleh bersifat parsial, melainkan sebuah kawasan terpadu, terintegrasi, berkesinambungan yang memerlukan finansial besar, sehingga tak bisa menonjolkan ego daerah masing-masing. Harus disadari mengembangkan Danau Toba mengandalkan kemampuan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) kabupaten sekitar Kaldera Toba adalah sebuah kemustahilan belaka. Karena itulah terobosan Pemerintahan Joko Widodo-HM Jusuf Kalla melalui menteri-menterinya sungguh merupakan langkah cerdas jenial yang ditindaklanjuti Perpres 49 tahun 2016.
Mantan Menko Kemaritiman dan Sumber Daya Rizal Ramli, Menko Polhukam (kini Menko Kemaritiman dan Sumber Daya-red) Luhut Binsar Panjaitan dan Menteri Pariwisata Arief Yahya yang mendorong bupati di kawasan Danau Toba untuk duduk bersama patut diapresiasi sekaligus sebuah langkah konkrit mengembangkan Danau Toba salah satu destinasi wisata di belahan barat Indonesia.
Luhut Binsar Panjaitan selaku Menko Kemaritiman dan Sumber Daya menggantikan Rizal Ramli yang notabene putera kawasan Kaldera Toba menurut pandangan penulis mempertegas komitmen kuat Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengembangkan kawasan Kaldera Toba secara serius sesuai Thema HUT RI ke 71 “INDONESIA KERJA NYATA”.
Karena itu, pemerintah daerah serta seluruh masyarakat kawasan Kaldera Toba benar-benar menyambut, mendukung niat tulus Pemerintahan Joko Widodo-HM Jusuf Kalla dengan sepenuh hati, sebab baru kali inilah kawasan Kaldera Toba menjadi prioritas nasional dalam kebijakan pembangunan secara konkrit.
Menjadikan pembangunan, pengembangan kawasan Danau Toba prioritas pembangunan nasional adalah titik awal kebangkitan Bona Pasogit bangso Batak  sekaligus “kado” HUT Kemerdekaan Republik Indonesia ke 71 agar kawasan ini tidak lagi menyandang predikat “peta kemiskinan”.
Terima kasih Presiden Joko Widodo, selamat datang di tanah leluhur bangso Batak. Horas !
“Tao Toba tao natio, hagodangan ni porapora. Horas ma Presiden Joko Widodo, nunga marlas ni roha kawasan Kaldera Toba”.
Medan, 18 Agustus 2016
Thomson Hutasoit.
(Tulisan ini sebagai ungkapan terima kasih sekaligus menyambut kedatangan Presiden Joko Widodo atau Jokowi pada Karnaval Khatulistiwa Pesona Danau Toba 2016 Puncak Perayaan HUT ke 71).       
         

Rabu, 03 Agustus 2016

FENOMENA POLITISASI SIMBOL ADAT BUDAYA



FENOMENA POLITISASI SIMBOL ADAT BUDAYA
Oleh : Thomson Hutasoit
Sekum Punguan Borsak Bimbinan Hutasoit, Boru, Bere Kota Medan dan Sekitarnya.
Pendahuluan.
            Menurut KBBI (2007) ”Adat adalah aturan (perbuatan dsb) yang lazim dianut atau dilakukan sejak dahulu kala. Wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, hukum, dan aturan yang satu dengan lainnya berkaitan menjadi suatu sistem. Sedangkan budaya adalah pikiran; akal budi: hasil budaya. Adat istiadat :menyelidiki bahasa dan budaya. Sesuatu mengenai kebudayaan yang sudah berkembang (beradab, maju). Sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yang sudah sukar diubah”.
            Pengertian Adat menurut Islam adalah Adat dalam bahasa Arab disebut ”adatu” yaitu suatu kebiasaan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok masyarakat, yang sering disebut tradisi. Berbagai tradisi dan pola hidup yang lahir dari kelompok etnis tertentu sebagai hasil budi daya nenek moyang mereka, yang kemudian secara turun temurun dilaksanakan oleh etnis tersebut.
            Adat menurut Kristen adalah perwujudan kebudayaan dalam bentuk aturan-aturan yang menjadi pola kehidupan dari suatu suku bangsa. Adat diyakini temuan nenek moyang diturunkan kepada generasi berikutnya.
            Adat menurut Katolik adalah aturan (perbuatan, dsb) yang lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu kala: atau wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, hukum, aturan-aturan yang satu dengan yang lainnya berkaitan menjadi suatu sistem.
            Menurut Hindu Adat (Amnaya/Svadha). Svadha adalah adat istiadat, hukum, peraturan yang berlaku di suatu tempat/daerah yang ditaati, dipatuhi dan dilaksanakan oleh masyarakat setempat.
            Menurut Buddha Adat adalah kebiasaan/tradisi dalam bahasa Palinya adalah Acinna. Umat Buddha mempunyai kebiasaan melaksanakan Samadhi/meditasi untuk mengembangkan ketenangan batin dan pandangan terang.
            Menurut Khonghucu Adat di dalam ajaran agama Khonghucu, adat dapat dipadankan dengan sebutan ”Li”/kesusilaan, dan terdapat sebuah kitab suci LI-JI (Kitab kesusilaan); yang menguraikan kesusilaan umumnya bagi penganut agama Khonghucu.
            Wejangan leluhur Batak (Batak Toba-red) mengatakan ”Oppu na jolo mertungkothon siala gundi, pinungka ni oppu na parjolo siihuthonon ni angka na parpudi” dalam terjemahan bebas mempunyai arti apa yang dibudayakan leluhur akan dilestarikan generasi berikutnya sehingga adat budaya sebagai wujud gagasan kebudayaan terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, hukum, dan aturan yang satu dengan lainnya bekaitan menjadi suatu sistem permanen tidak mudah diubah sesuai selera individu dalam suatu komunitas.
            Sebagai suatu aturan (perbuatan dsb) adat budaya harus dipandang suatu nilai budaya, norma, hukum, dan aturan memiliki kaitan dengan pranata-pranata lain dalam satu sistem sehingga seluruh pikiran, akal budi untuk membentuk suatu peradaban yaitu kemajuan (kecerdasan, kebudayaan) lahir batin yang menjadi salah satu ciri spesifik diantara bangsa-bangsa di atas jagat raya harus dilakukan dengan baik dan benar. Artinya, bahwa satu bangsa dengan bangsa lain memiliki spesifikasi (kekhususan-red) dalam kebudayaan satu sama lain, dan hal itu menjadi jati diri bangsa bersangkutan.  
            Sifat-sifat kekhususan itu selanjutnya dijadikan simbol adat budaya yakni; lambang adat budaya mengandung nilai-nilai budaya, norma, hukum, dan aturan berkaitan dalam suatu sistem nilai adat budaya yang harus dituruti serta mengikat dengan sanksi-sanksi adat budaya. Sehingga setiap individu di dalam komunitas tidak boleh bertindak sesuai selera, kemauan masing-masing, sebab sesuatu tindakan individu tidak terlepas dari sistem yang telah disepakati di dalam suatu komunitas. Setiap individu adalah bahagian dari komunitas, karena itu individu-individu tidak bisa mengatasnamakan komunitas tanpa terlebih dahulu mendapat restu atau persetujuan (kesepakatan) bersama  dari komunitas itu sendiri.
            Salah satu kearifan budaya lokal Batak Toba yang membatasi individu-individu mengatasnamakan komunitas adalah ”Ndang boi ripe-ripe gabe pangumpolan, ndang boi pangumpolan jadi ripe-ripe” artinya, tidak bisa milik bersama jadi milik pribadi atau perseorangan, sebaliknya tidak bisa milik pribadi jadi milik bersama. Batasan itu harus menjadi landasan berpikir dan bertindak bagi komunitas Batak, khususnya Batak Toba sehingga tidak ada seorang individu mana pun mengatasnamakan komunitas Batak (Batak Toba-red) menyerahkan simbol-simbol adat budaya kepada pihak lain tanpa terlebih dahulu mendapat restu, persetujuan dari pemangku (tokoh adat, marga) Batak walau dengan alasan apa pun juga.
            Akan tetapi pada era belakangan ini muncul suatu fenomena baru ditengah-tengah komunitas Batak, khususnya Batak Toba dimana simbol-simbol adat budaya Batak Toba seperti pemberian Bulang-bulang, pemberian Ulos Cenderamata, pemberian Gelar, pemberian Marga, dan aneka penghormatan lain yang merupakan simbol adat budaya terjebak muatan politis serta didasarkan pada egoisme ”tokoh-tokoh” berdasarkan status, kedudukan pada penyelenggara negara atau pemerintahan yang tidak memiliki korelasi linier dengan adat budaya Batak Toba. Karena itu, sangat rentan terjadi politisasi simbol adat budaya yang berakibat  terdegradasinya nilai-nilai adat budaya semakin akut ditengah-tengah komunitas Batak, khususnya Batak Toba  disebabkan ulah segelintir individu menjadikan ”ripe-ripe gabe pangumpolan” demi memperoleh target politik tertentu.  
            Fenomena ini perlu disiasati, dicermati, serta diwaspadai seksama sebelum mendegradasi  nilai-nilai adat budaya hingga titik nadir kepercayaan yang tidak mustahil akan memberangus nilai-nilai luhur, serta hilang  kesakralan nilai adat budaya sebagai simbol peradaban Batak, khususnya Batak Toba yang diwariskan leluhur sejak dahulu kala.  
            Leluhur Batak, khususnya Batak Toba mengatakan ”Jongjong pe adat i ndang jadi tabaon, peak pe adat i sitongka langkaan” dalam terjemahan bebas bermakna dalam keadaan apa pun, alasan apa pun, oleh siapa pun, kapan pun adat (aturan) tidak boleh dipermainkan sebab adat adalah aturan (perbuatan dsb) yang harus diturut dan dilaksanakan setiap individu dalam suatu komunitas didasarkan nilai hakiki adat budaya sebagai suatu sistem nilai dalam komunitas Batak Toba, yang harus dipertahankan serta dilestarikan dari generasi ke generasi sepanjang zaman.  
            Konsistensi menjaga, merawat, melestarikan nilai-nilai adat budaya merupakan perwujudan berkepribadian dalam kebudayaan sebagaimana dianjurkan Bung Karno dalam TRI SAKTI yakni; ”Berdaulat dalam politik, berkepribadian dalam kebudayaan, Berdiri diatas kaki sendiri/Berdikari dalam ekonomi” yang mempunyai relevansi linier dengan kearifan lokal Batak Toba ”Metmet si hapor lunjung dijujung do uluna” untuk membangun karakter mental serta jati diri ditengah-tengah pergaulan antar bangsa di atas bumi ini.  
            Bangso Batak harus pula disadari adalah salah satu bangsa memiliki peradaban sangat tinggi diantara bangsa-bangsa di dunia sebelum negeri ini diproklamasikan 17 Agustus 1945 menjadi suatu negara-bangsa (national state) merdeka sehingga tidak perlu risau, risih atau diperdebatkan bila komunitas Batak selalu menyebut dirinya Bangso Batak sebab Negara Republik Indonesia terdiri dari suku bangsa yang terdapat di bumi Nusantara jauh sebelum kemerdekaan Indonesia ada.
            Pemahaman paripurna tentang eksistensi suku bangsa di bumi Nusantara akan memperdalam pemahaman tentang arti dan makna nilai-nilai adat budaya sebagai simbol peradaban yang perlu dijaga, dirawat serta dilestarikan dari generasi ke generasi secara konsisten, berkesinambungan agar nilai-nilai adat budaya itu tidak gampang dipolitisasi untuk kepentingan politik tertentu. Sebab berkepribadian dalam kebudayaan memiliki arti, makna komprehensif paripurna membangun karakter bangsa (Nation character building) berjati diri, berdaulat serta bermartabat.  
            Oleh karena itu, fenomena politisasi simbol adat budaya yang menyimpang dari nilai-nilai luhur adat budaya hakiki walau dengan alasan apa pun harus segera dihentikan agar degradasi nilai-nilai luhur adat budaya sebagai simbol peradaban bisa dijaga, dirawat serta dilestarikan sepanjang masa. Egoisme individu berdasarkan status sosial tidak boleh sekali-sekali mengatasnamakan komunitas, sebab individu hanya lah merupakan bahagian terkecil dari komunitas, bukan sebaliknya komunitas merupakan bahagian dari individu.  
            Sebagai salah seorang generasi Batak (Batak Toba-red) penulis mengamati, mencermati kecenderungan terjadinya fenomena politisasi simbol adat budaya Batak, khususnya Batak Toba pada era belakangan ini, sehingga kerap muncul berbagai polemik ditengah-tengah bangso Batak atas pemberian simbol-simbol adat budaya kepada pihak-pihak tertentu sekaligus memicu  timbulnya multitafsir, beda persepsi, bahkan tudingan-tudingan miring dalam pemberian simbol adat budaya tersebut.  
            Untuk itu lah penulis mengajak sidang pembaca melakukan pendalaman tentang pemberian simbol-simbol adat budaya sebagai upaya konkrit meluruskan, merevitalisasi nilai-nilai luhur adat budaya Batak, khususnya Batak Toba supaya terhindar dari politisasi, komersialisasi, fitnah serta tudingan-tudingan negatif yang sangat bertentangan dengan nilai hakiki adat budaya Batak yang diwariskan nenek moyang terdahulu.  
            Wahana ruang diskusi tentang pemberian simbol adat budaya Batak hendaknya dilakukan dengan mengedepankan akal sehat sebagaimana diajarkan Plato yang dipelajari dari gurunya Sokrates yakni; ”Kalau kita memikirkan sesuatu seorang diri, hendaknya kita bercakap-cakap dengan akal sehat sendiri, seakan-akan akal sehat tadi orang lain yang juga patut dihormati sebagai juga kita sendiri. Kalau kita berdebat dengan orang lain, perdebatan itu hendaknya jangan sampai merupakan suatu pertengkaran antara kita berdua itu, melainkan merupakan usaha mencari Akal Sehat dimana kita berdua ikut serta saling tolong-menolong untuk dapat menemukan dan menangkap kebenaran yang kita berdua sedang mencari” (Gilbert Highet, 1961)
Pemberian Bulang-bulang.
            Pemberian Bulang-bulang yakni berupa seperangkat pakaian adat Batak, khususnya Batak Toba seperti ulos penutup kepala, ulos sandang, ulos penutup badan, tongkat Tunggal Panaluan sebagai perlambang penghormatan tertinggi terhadap seseorang karena memiliki kualitas istimewa ditengah-tengah masyarakat. Pemberian Bulang-bulang menyiratkan, bahwa penerimanya benar-benar seorang figur istimewa ditengah-tengah komunitas dibuktikan pengabdian paripurna seperti raja urat ni uhum, na mora ihot ni hosa (raja penegak kebenaran dan keadilan, orang kaya peduli terhadap sesama), raja panungkunan (raja tempat bertanya dalam segala hal), ulubalang (kesatria sejati), na begu (pemberani membela kebenaran dan keadilan), pargomgom (pelindung), si pungka dalan (perintis kemajuan) dan lain sebagainya. Hal itu sesuai dengan umpama Batak Toba, ”Anak na olo tu jolo do sibulang-bulangan”, artinya anak pemberani, kesatria, unggul yang pantas memperoleh penghargaan atau kehormatan. Bukan sembarang orang, yang tak memberi manfaat terhadap komunitas, walau sehebat apapun capaian prestasi, prestise pribadi. Sebab prestasi, presetise seperti itu tidak lain dan tidak bukan hanyalah uap na so marimpola atau wangi tak bermanfaat apa-apa terhadap orang lain. Karena itu, orang yang pantas diberi Bulang-bulang adalah seseorang yang telah membuktikan dirinya berguna dan bermanfaat untuk mengangkat marwah, harga diri komunitasnya secara nyata-nyata melalui ladang pengabdiannya ditengah-tengah masyarakat, bangsa maupun negara.  
            Petuah (umpasa-red) Batak, khususnya Batak Toba mengatakan, ”Tangke ma ualang garinggang jala garege, tubu ma anak partahi ulubang, boru parmas jala pareme” artinya, Batak Toba selalu mengimpikan kelahiran anak pemimpin kesatria (ulubalang-red) yaitu panglima perang (kesatria) serta boru kaya raya. Partahi Ulubalang inilah biasanya pantas dan layak menerima Bulang-bulang, karena penerima Bulang-bulang adalah pemimpin sangat dihormati (raja-red) sehingga hanya sosok luar biasa yang pantas menerima Bulang-bulang bukan sembarangan orang.   
            Pemberian Bulang-bulang terhadap seseorang tentu haruslah melalui suatu prosesi adat budaya melibatkan seluruh elemen komunitas supaya pemberian Bulang-bulang memiliki nilai sakral serta diterima, disetujui seluruh elemen komunitas. Karena Bulang-bulang merupakan salah satu simbol adat budaya Batak, khususnya Batak Toba maka tidak boleh dilakukan bersifat elitis, politis, seremonial belaka serta berdasarkan egoisme individu mengatasnamakan komunitas. Melainkan melalui suatu proses adat budaya Batak Toba serta tak terlepas dari falsafah Dalihan Na Tolu (DNT) yang menjadi landasan pola pikir dan pola tindak Batak Toba sepanjang masa.  
            Dalihan Na Tolu (Hula-hula, Dongan Tubu, Boru-red) adalah unsur dasar yang tak boleh diabaikan dalam setiap musyawarah adat budaya Batak Toba. Dan bila unsur-unsur ini tidak lengkap maka seluruh proses serta hasil-hasil musyawarah adat budaya kan menjadi cacat hukum adat. Karena itu pulalah maka somba Marhula-hula, manat Mardongan Tubu, elek Marboru merupakan kaidah dasar yang wajib dipatuhi Batak Toba sebab bila tidak demikian akan disebut tak beradat (na so maradat-red) yang merupakan cacat sosial paling berat pada Batak Toba.  
            Batak, khususnya Batak Toba selalu mengharapkan dan mengimpikan ”Hagabeon, Hasangapon, Hamoraon” dalam hidupnya, karenanya selalu beraksioma serta berikhtiar, ”molo naeng gabe ingkon somba marhula-hula, molo naeng sangap ingkon manat mardongan tubu, molo naeng mamora ingkon elek marboru”. Dengan demikian setiap individu selalu terkait dengan individu lain untuk mewujudkan ”Hagabeon, Hamoraon, Hasangapon” yang dicita-citakan dalam hidup.  
            Pada era belakangan ini eksistensi tokoh adat budaya cenderung mengalami pergeseran nilai sebab ketokohan seseorang lebih cenderung didasarkan atas status sosial atau status jabatan penyelenggara negara atau pemerintahan yang melekat pada seseorang. Padahal status jabatan di pemerintahan tidak memiliki korelasi linier dengan kapasitas, kapabilitas, kredibilitas, soliditas serta integritas nilai adat budaya komunitas Batak Toba. Artinya, walaupun seseorang menduduki jabatan prestisius di pemerintahan atau negara (presiden, menteri, DPR, DPD, gubernur, bupati/walikota serta petinggi instansi lain) bukan berarti telah memiliki kapasitas tokoh adat budaya sehingga amat sangat keliru besar jika mengkultuskan diri atau dikultuskan sebagai tokoh adat budaya dengan aneka embel-embel bersifat politis hanya karena yang bersangkutan berkedudukan tinggi di pemerintahan. Sebab ketokohan seseorang dalam adat budaya harus memenuhi berbagai kriteria sesuai ketentuan nilai luhur adat budaya. Tetapi yang paling tak masuk akal ialah ketika seseorang jadi pejabat atau petinggi penyelenggara negara atau pemerintahan dikultuskan sebagai tokoh adat budaya, tetapi ketika seseorang tidak menduduki jabatan lagi maka seketika itu pula menjadi rakyat marjinal tanpa kehormatan.  
            Perlakuan seperti itu menunjukkan betapa kental nuansa politisasi simbol adat budaya untuk kepentingan politik tertentu yang sangat kontra produktif dengan nilai luhur hakiki adat budaya warisan leluhur Batak Toba.
Grade ketokohan adat budaya tidak memiliki korelasi sama sekali dengan status jabatan di pemerintahan atau negara sehingga amat sangat keliru besar menokohkan seseorang menjadi tokoh adat budaya karena yang bersangkutan menduduki jabatan prestisius di pemerintahan atau negara. Bahkan orang tak gabe (maranak-marboru-red) pun ditokohkan asal menduduki jabatan tinggi di pemerintahan serta didaulat atau dikultuskan jadi tokoh adat budaya dengan predikat-predikat istimewa lainnya. Ini kan logika aneh jika ditinjau dari adat budaya Batak, khususnya Batak Toba ?  
Sementara menjadi Parsinabung, Parsaut, Parsinabul (juru bicara adat) pada adat Batak Toba harus memenuhi kriteria yang amat sangat berat seperti sudah membayar adat, na gabe (maranak-marboru), memahami Dalihan Na Tolu, menguasai bahasa Batak Toba, tidak duda, memahami parjambaran, tidak egois, tidak paranoid, berbudi luhur dan lain sebagainya. Sosok-sosok seperti inilah yang pantas disebut tokoh adat budaya (raja adat-red) bukan orang-orang  menduduki status sosial tinggi tak mengerti, memahami adat budaya Batak Toba.   
            Kembali pada pemberian Bulang-bulang kepada orang-orang tertentu yang merupakan simbol adat budaya haruslah menuruti prosedur sesuai nilai luhur hakiki adat budaya yang diwariskan leluhur serta dimusyawarahkan seluruh elemen Batak, khususnya Batak Toba, bukan hanya didasarkan egoisme individu yang ditengarai tak luput dari politisasi kepentingan individu, kelompok mengatasnamakan komunitas.   
Memberi Bulang-bulang kepada seseorang memiliki nilai sakral serta mempunyai konsekuensi hukum adat bersifat permanen sehingga amat sangat keliru besar apabila dilakukan sembrono, gambang, serta asal-asalan. Bila pemberian simbol adat budaya dilakukan sembrono, gampang serta asal-asalan maka nilai sakral, nilai hakiki, nilai filosofis adat budaya lama kelamaan dianggap biasa-biasa saja, bahkan tidak memiliki arti sama sekali. Hal itu tentu sangat berbahaya terhadap upaya pelestarian nilai-nilai adat budaya Batak Toba ke depan.   
            Oleh karena itu, semua pihak harus menyadari, bahwa pemberian simbol-simbol adat budaya seperti pemberian Bulang-bulang merupakan ritual adat budaya sakral berkonsekuensi hukum adat sehingga tidak boleh dilakukan serampangan apalagi dilandasi politisasi kepentingan politik tertentu. Mempermainkan simbol-simbol adat budaya untuk mendapatkan manfaat politik subyektif partisan adalah salah satu bukti kekeliruan besar sekaligus kekacauan berpikir dalam menjaga, merawat serta melestarikan nilai adat budaya. Sebab simbol-simbol adat budaya telah dijadikan komoditas politik, komoditas ekonomi yang bisa diperjualbelikan seperti barang dagangan di pasar loak.
            Tokoh-tokoh adat budaya perlu segera melakukan diskusi publik seluas-luasnya dengan melibatkan elemen-elemen Batak, khususnya Batak Toba (marga-marga-red) sebelum memberi  Bulang-bulang kepada pihak-pihak tertentu agar pemberian Bulang-bulang benar-benar bernilai adat budaya, bukan seperti barang obral bisa diperoleh di kaki lima. Simbol-simbol adat budaya adalah pusaka warisan leluhur sehingga tidak pantas diobral murahan.  
            Selanjutnya, sudah sangat diperlukan segera menentukan kriteria-kriteria siapa yang pantas menerima Bulang-bulang. Apakah boleh orang lain diluar Batak (Batak Toba-red) atau hanya orang Batak saja. Apa konsekuensi hukum adat budaya bila seseorang menerima Bulang-bulang. Sebab tanpa menentukan kriteria yang tegas dan jelas serta konsekuensi hukum adat budaya maka pemberian Bulang-bulang akan kehilangan arti dan makna hakiki sama sekali. Karena sipenerima Bulang-bulang tidak mengetahui, memahami sama sekali arti, makna Bulang-bulang yang diterima sesuai nilai adat budaya Batak. Maka begitu acara seremonial selesai  Bulang-bulang yang diterima dimasukkan ke museum sebagai barang antik koleksi pribadi.  
            Oleh sebab itu, perlu dipikirkan pembentukan lembaga permanen yang bertugas memberi Bulang-bulang melalui seleksi ketat seperti lembaga pemberian piagam penghargaan serta tanda-tanda jasa kehormatan di republik ini dengan melibatkan seluruh elemen-elemen Batak (marga-marga-red) sehingga pemberian simbol-simbol adat budaya Batak (Batak Toba-red) tidak mudah dipolitisasi untuk kepentingan politik tertentu.  
            Dengan adanya lembaga permanen mengurusi pemberian simbol-simbol adat budaya yang merupakan representasi bangso Batak, khususnya Batak Toba maka makna hakiki pemberian Bulang-bulang benar-benar merupakan ritual sakral yang harus dijaga serta dilestarikan permanen pusaka warisan dari generasi ke generasi sepanjang masa. Dengan demikian tudingan-tudingan miring bernada negatif atas pemberian Bulang-bulang kepada pihak-pihak tertentu mengatasnamakan bangso Batak bisa diminimalisir agar pemberian simbol-simbol adat budaya memiliki nilai luhur serta tidak menimbulkan pencideraan terhadap sipenerima maupun sipemberi. Karena sangat tak elegan sesuatu pemberian penghargaan (Bulang-bulang-red) justru menimbulkan ekses negatif terhadap seseorang yang menerima dengan tulus ikhlas akibat muncul kritikan-kritikan bernada negatif dari elemen-elemen komunitas bersangkutan.
            Setiap pihak harus menyadari, bahwa politisasi simbol adat budaya merupakan tindakan penghancuran sistemik terstruktur terhadap nilai hakiki simbol adat budaya yang sangat berakibat fatal terhadap upaya menjaga, merawat serta melestarikan nilai-nilai luhur adat budaya yang merupakan elemen dasar peradaban manusia di atas jagat raya ini.
Paradoks berpikir perlu diluruskan supaya nilai-nilai luhur simbol adat budaya tidak terdegradasi hingga ke titik nadir pengakuan atau persetujuan atas pemberian simbol-simbol adat budaya. Artinya, pemberian simbol-simbol adat budaya seperti Bulang-bulang dianggap hanya ulah segelintir individu dilandasi faktor subyektivitas (politik-red) sehingga tidak mengikat terhadap komunitas secara kolektif. Akibatnya, bisa timbul situasi apatis seperti ungkapan Batak-Toba mengatakan, ”Eme na masak digagat horbo, aha pe na masa paula so binoto”, artinya apa pun yang terjadi masa bodoh.   
            Situasi kondisi seperti itu tentu akan menimbulkan semakin terdegradasinya kepercayaan, pengakuan masyarakat terhadap eksistensi lembaga-lembaga adat budaya yang ada seperti Lembaga Adat Dalihan Na Tolu (LADN) dan lembaga-lembaga adat lain yang cenderung elitis serta rentan politisasi kepentingan subyektif. Bukankah lembaga-lembaga adat budaya seharusnya ditempatkan pada zona bebas pengaruh politisasi dan subyektivitas supaya lembaga-lembaga itu benar-benar berdaulat sebagai lembaga adat budaya bersifat otonom independen yang hanya berlandaskan nilai-nilai luhur adat budaya serta tidak bisa diintervensi oleh siapa pun, alasan apa pun, kapan pun dan dimana pun sebab simbol-simbol adat budaya adalah elemen peradaban komunitas warisan leluhur kepada generasi sepanjang masa.
            Eksistensi lembaga-lembaga adat budaya harus ditempatkan milik komunal (ripe-ripe-red) sehingga dalam setiap aktivitasnya harus melibatkan unsur-unsur marga Batak Toba agar lembaga adat budaya benar-benar merupakan representasi Batak Toba. Sebagai lembaga adat budaya komunal maka setiap marga mengutus perwakilan di lembaga adat budaya itu melalui musyawarah internal marga-marga Batak Toba sehingga benar-benar mendapat legitimasi dari  Batak Toba.   
            Proses demikian tentu berat dan rumit karena harus melalui proses panjang serta membutuhkan energi besar, akan tetapi inilah salah satu langkah nyata untuk merevitalisasi eksistensi lembaga-lembaga adat budaya sebagai garda terdepan menjaga, merawat serta melestarikan nilai-nilai luhur adat budaya Batak Toba. Segala sesuatu yang ditelorkan lembaga-lembaga adat budaya bila tidak mendapat pengakuan serta persetujuan dari komunitas maka produk-produk itu tak memiliki legalitas apa-apa alias tidak berarti apa-apa sama sekali.  
Pemberian Ulos.
            Ulos adalah salah satu simbol adat budaya Batak, khususnya Batak Toba memiliki nilai paling tinggi sehingga pemberian ulos tak bisa sembrono, serampangan atau asal-asalan, sebab jika dilakukan sesuka hati akan menyebabkan degradasi nilai hakiki arti dan makna pemberian ulos sebagai simbol adat budaya ditengah-tengah bangso Batak dari waktu ke waktu. Degradasi arti dan makna ulos sebagai simbol adat budaya akan berpengaruh besar terhadap nilai sakral ulos simbol adat budaya, baik di mata pemberi maupun penerima ulos itu sendiri. Artinya, bahwa pemberian ulos hanya dipandang sekadar asesoris acara seremonial hampa arti dan makna.  
            Asumsi atau pandangan demikian tentu sangat berbahaya dalam upaya menjaga, merawat  serta melestarikan simbol-simbol adat budaya yang merupakan bahagian tak terpisahkan dari ritual adat budaya simbol peradaban bangso Batak, khususnya Batak Toba. Kedangkalan pengertian, pemahaman tentang nilai filosofis, nilai kultural  simbol-simbol adat budaya ditambah lagi fenomena politisasi simbol adat budaya untuk memperoleh keuntungan politik subyektif melahirkan sudut pandang serta persepsi beraneka ragam tentang pemaknaan pemberian ulos sebagai simbol adat budaya Batak, khususnya Batak Toba.  
            Perbedaan sudut pandang atau persepsi tentang pemberian ulos sudah barang tentu mengakibatkan bias pengertian, pemahaman di internal bangso Batak, khususnya Batak Toba,  konon lagi pihak eksternal Batak yang sering menerima ulos sebagai cendramata seperti pejabat, tokoh-tokoh ketika ada acara-acara resmi kunjungan ke daerah Provinsi Sumatera Utara. Untuk itu, perlu dipahami paripurna arti dan makna  pemberian ulos sebagai simbol adat budaya  supaya nilai orisinil, nilai kultural, nilai filosofis simbol adat budaya Batak, khususnya Batak Toba bisa dijaga, dipertahankan serta dilestarikan sebagai warisan budaya.  
            Pada bangso Batak, khususnya Batak Toba ulos dikenal dalam 3 (tiga) bentuk antara lain; ulos na so ra buruk, ulos herbang, dan ulos tinonun sadari.
Ulos na so ra buruk (Pauseang).
            Ulos na so ra buruk adalah pauseang yakni; sebidang tanah (hauma = tano maraek, ladang = tano mahiang-red) yang diberikan hula-hula kepada borunya pasca perkawinan seorang anak perempuan (boru-red) sebagai konsekuensi adat sebagaimana dikenal ungkapan “Sinamot ragi-ragi ni pauseang” yaitu ketika pihak mempelai laki-laki (paranak-red) telah memberikan sinamot (mahar-red) kepada pihak mempelai perempuan (parboru-red) maka pihak parboru (hula-hula) akan memberikan ulos na so ra buruk atau pauseang berupa sebidang tanah (hauma, ladang) kepada borunya pasca pesta perkawinan (marunjuk, pasahat sulang-sulang ni pahompu huhut manggagar adat na gok).  
              Penghunjukan ulos na so ra buruk atau pauseang pada bangso Batak, khususnya Batak Toba dilakukan pada saat pesta perkawinan marunjuk (Dialap Jual, Ditaruhon Jual-red),  sedangkan pemberian atau penyerahan secara fisik barulah terlaksana setelah simempelai mempunyai keturunan (anak laki-laki-red). Sebab Batak menganut sistem garis keturunan bapak (patrilineal) atau garis laki-laki. Bentuk hak kepemilikan ulos na so ra buruk atau pauseang adalah hak pakai sehingga apabila penerima pauseang dari hula-hula berkeinginan memindahkan hak (menjual-red) akan terlebih dahulu mengembalikan (menjual-red) kepada hula-hula pemilik hak purba (hak semula, permanen-red).
             Akan tetapi pemberian ulos na so ra buruk atau pauseang pada masa-masa belakangan ini khususnya di kota, perantauan sudah semakin langka dilaksanakan sehingga bentuk ulos na so ra buruk atau pauseang tak diketahui atau sudah dianggap makhluk asing di sebahagian generasi Batak, khususnya Batak Toba saat ini. Padahal, pemberian ulos na so ra buruk atau pauseang kepada boru pasca perkawinan merupakan konsekuensi adat atas pemberian sinamot dari pihak paranak kepada pihak parboru pada pesta perkawinan (marunjuk, pasahat sulang-sulang ni pahompu huhut manggarar adat na gok).
            Sebagai simbol adat budaya berkonsekuensi hukum adat Batak, khususnya Batak Toba maka pemberian ulos na so ra buruk atau pauseang harus pula dilakukan berdasarkan adat (aturan-red) yang lazim dilaksanakan dalam prosesi pemberian ulos na so ra buruk atau pauseang  melibatkan unsur-unsur Dalihan Na Tolu (DNT) agar tidak terjadi cacat hukum adat dikemudian hari. Sebagai tatanan hukum adat Batak, khususnya Batak Toba unsur-unsur Dalihan Na Tolu (DNT) yakni; Hula-hula, Dongan Tubu, Boru dalam pemberian ulos na so ra buruk atau pauseang merupakan keharusan yang tak boleh diabaikan walau dengan alasan apa pun juga. Malah lebih baik lagi jika melibatkan Dongan Sahuta karena itulah dikenal Dalihan Na Tolu pa opat Sihal-sihal (Dongan Sahuta-red) pada bamgso Batak, khususnya Batak Toba.  
            Apabila unsur-unsur ini tidak dilibatkan pada saat pemberian ulos na so ra buruk atau pauseang maka ketika salah satu pihak melakukan wanprestasi (pengingkaran-red) maka unsur-unsur Dalihan Na Tolu (DNT) maupun Dongan Sahuta tidak bisa memberikan pertimbangan konkrit atau kesaksian penyelesaian perselisihan sengketa hukum adat dalam pemberian ulos na so ra buruk atau pauseang tersebut. Hal itu akan berakibat semakin sulit dan sukar penyelesaian perselisihan sengketa hukum adat ditengah-tengah bangso Batak, khususnya Batak Toba.  
            Pengertian, pemahaman serta pelembagaan simbol-simbol adat budaya dalam prosesi pemberian ulos na so ra buruk atau pauseang dikalangan bangso Batak, khususnya Batak Toba sudah semakin langka, bahkan terancam hilang. Padahal, hal itu merupakan tatanan hukum adat Batak (Batak Toba-red) dalam pemberian hak kepemilikan dari orang tua perempuan kepada boru yang telah dilembagakan menurut adat Batak sejak zaman nenek moyang.  
            Harus pula diingat, bahwa pemberian ulos na so ra buruk atau pauseang dari hula-hula kepada boru adalah salah satu media atau instrumen pemberian harta kepemilikan dari orang tua perempuan kepada boru yang telah dilembagakan sejak nenek moyang Batak, khususnya Batak Toba, sebab hak waris pada sistem garis keturunan patrilineal diletakkan pada anak laki-laki, bukan pada anak perempuan seperti yang dianut sistem garis keturunan mamak (matrilineal-red) di komunitas lain (Minangkabau-red).
            Oleh sebab itu, pemberian ulos na so ra buruk atau pauseang merupakan simbol adat budaya Batak, khususnya Batak Toba telah dilembagakan sejak zaman nenek moyang didasarkan nilai filosofis, nilai kultural yang menjadi tatanan hukum adat budaya dalam pemberian atau penyerahan hak kepemilikan dari hula-hula kepada boru dengan konsekuensi hukum secara konsisten, permanen serta berkesinambungan sepanjang bangso Batak, khususnya Batak Toba masih mengakui, melaksanakan hukum adat Batak sebagai tatanan hidup serta simbol peradaban.  
            Berbagai permasalahan hukum mendera bangso Batak, khususnya Batak Toba masa-masa belakangan ini berkaitan pembagian harta warisan orang tua tak terlepas dari kurangnya pengertian serta pemahaman tentang pemberian ulos na so ra buruk atau pauseang yang telah dilembagakan nenek moyang dan telah dijadikan salah satu simbol adat budaya Batak, khususnya Batak Toba dalam pemberian hak kepemilikan harta orang tua terhadap anak perempuan (boru).
            Akan tetapi, di sela-sela perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) khususnya penerapan hukum privat dan hukum publik (hukum nasional-red) yang selalu disebut-sebut menonjolkan persamaan hak asasi manusia (HAM) di segala bidang, termasuk persamaan hak waris antara anak laki-laki dengan anak perempuan, tanpa mempertimbangkan sistem garis keturunan yang menjadi pilihan berhukum bangsa-bangsa di dunia. Sementara dalam sistem hukum di republik ini dengan jelas dan tegas dikatakan bahwa hukum adat adalah hukum dasar tak tertulis selain hukum dasar tertulis (Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945-red) adalah hukum dasar yang menjadi landasan seluruh hukum serta peraturan perundang-undangan dibawahnya. Namun dalam prakteknya bangso Batak, khususnya Batak Toba pada era belakangan ini telah banyak memilih penyelesaian perselisihan sengketa pembagian harta warisan orang tua melalui pengadilan negara sehingga eksistensi hukum adat semakin terdegradasi ditengah-tengah bangso Batak, khususnya Batak Toba.   
            Penyelesaian perselisihan sengketa pembagian harta warisan melalui pengadilan negara bagi bangso Batak, khususnya Batak Toba menurut pandangan penulis bukanlah penyelesaian komprehensif paripurna, sebab akan menimbulkan ekses terputusnya hubungan kekeluargaan, kekerabatan antara hula-hula dengan boru. Sementara pada bangso Batak, khususnya Batak Toba hubungan marhula-hula marboru akan terus berkelanjutan hingga empat tingkat ke atas (hula-hula, tulang, bona tulang, bona niari-red) sehingga perlu lebih hati-hati (manat-red) seperti ungkapan “Ni langka tu jolo tinailihon tu pudi” dalam menyelesaikan perselisihan sengketa pembagian harta warisan orang tua melalui pengadilan negara.  
            Bila dalam pembagian harta warisan orang tua persamaan hak antara anak laki-laki dengan anak perempuan selalu ditonjolkan, bagaimana jika seandainya orang tua tersebut meninggalkan banyak utang, apakah anak perempuan juga menuntut persamaan hak untuk membayar hutang tersebut ? Sebab ungkapan mengatakan “Dos do nangkokna dohot tuatna” artinya, untung dan buntung harus sama. Inilah salah satu yang perlu menjadi permenungan bersama dalam kesamaan kedudukan di depan hukum (equality before the law) yang harus dipahami paripurna.
Ulos Herbang.
            Ulos adalah sebidang kain bernilai adat budaya yang diberikan pihak hula-hula kepada boru atau strata lebih tinggi dalam struktur hubungan kekeluargaan, kekerabatan (among, haha, ompung) terhadap anak, adik, cucu sebagai simbol kasih sayang disertai petuah, wejangan (umpasa, umpama-red) serta permohonan doa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar mendapat rezeki, kebahagiaan di kemudian hari.
Karena ulos merupakan simbol adat budaya Batak, khususnya Batak Toba maka pemberian ulos tidak bisa dilakukan sembrono, sesuai selera atau asal-asalan tetapi harus harus benar-benar memiliki kesakralan sesuai filosofi pemberian ulos, baik macam atau jenisnya,  sebab macam, jenis ulos memiliki arti dan makna masing-masing. Artinya, tidak sembarang ulos dapat diberikan kepada orang tertentu, melainkan disesuaikan dengan siapa penerima ulos tersebut, ulos apa akan diberikan, siapa memberikan ulos tersebut dan lain sebagainya. Sebab ulos merupakan seperangkat pakaian adat budaya Batak, khususnya Batak Toba maka perlu dimengerti, dipahami macam, ragam ulos serta cara pemakaiannya masing-masing supaya ulos yang merupakan simbol adat budaya benar-benar relevan dengan nilai filosofis, nilai kultural yang diwariskan leluhur Batak, khususnya Batak Toba. Oleh karena itu, diperlukan pengertian, pemahaman lebih mendalam tentang macam, ragam ulos serta pemakaiannya secara paripurna.  
            Beberapa macam ulos serta pemakaiannya antara lain;
1.      Ulos Jugia yaitu; sejenis ulos yang memiliki tingkatan tertinggi dari seluruh macam ulos yang dimiliki komunitas Batak, khususnya Batak Toba sehingga macam ulos ini hanya bisa dipakai oleh seseorang yang telah mencapai status saurmatua. Ulos Jugia disebut juga ulos na so ra pipot atau pinunsaan. Ulos Jugia hanya digunakan pada saat-saat tertentu serta pemakainya pun haruslah na gabe. 
2.      Ulos Ragidup yaitu; ulos yang tingkatannya dibawah ulos jugia serta pemakaiannya bisa digunakan pada acara dukacita maupun sukacita. Akan tetapi pada era belakangan ini ketika pesta perkawinan (pangoli anak, pamuli boru-red) ulos ragidup diberikan orang tua mempelai perempuan (parboru-red) kepada orang tua mempelai lalki-laki (paranak-red) sebagai ulos pansamot. Seseorang berhak menggunakan ulos ragidup bila sudah mengawinkan anak (pangoli anak, pamuli boru) karena ulos ragidup sekaligus menunjukkan status seseorang dalam adat budaya. Artinya, bila seseorang belum pernah mengawinkan anak (pangoli anak, pamuli boru-red) belum layak memakai ulos ragidup.
  1. Ulos Ragi Hotang yaitu; ulos yang biasanya diberikan orang tua mempelai wanita (hasuhuton parboru-red) kepada penganten dengan maksud agar ikatan perkawinan kuat dan berkesinambungan sebagaimana kuatnya rotan (hotang-red) alat pengikat (tali-red) sebuah benda. Filosofi rotan (hotang-red) alat pengikat (tali-red) mendasari mengapa Ulos Ragi Hotang diberikan Ulos Hela pada pesta perkawinan Batak, khususnya Batak Toba. Pada zaman sebelum ada paku maka mempersatukan segala sesuatu dilakukan dengan cara mengikat, dan alat pengikat paling kuat serta paling tahan adalah rotan, misalnyal; mengikat perangkat-perangkat bangunan (ruma, sopo, ula-ula-red) dan lain sebagainya. Sifat ikatan rotan yang kuat dan tahan seperti itu menjadi sebuah harapan dari orang tua mempelai perempuan (parboru-red) terhadap menantunya (hela-red) dalam perkawinan mereka. Oleh sebab itu, filosofi pemberian ulos ragi hotang menjadi ulos pengantin (hela) dilandasi harapan agar ikatan perkawinan penganten teguh dan langgeng kelangsungan perkawinan hingga ke akhir hayat. Pengertian serta pemahaman filosofi demikian mempertegas mengapa ulos ragi hotang  adalah ulos pengantin (hela-red).
  2. Ulos Sadum yaitu; ulos yang penuh warna-warni ceria sehingga sangat cocok dipakai pada suasana gembira atau sukacita (marlas ni roha-red) serta paling banyak dipakai perempuan (ina, parompuan-red). Ulos Sadum bercorak ceria sering diberikan kenang-kenangan atau cendramata kepada orang-orang tertentu,  bahkan dijadikan asesoris hiasan di dalam rumah. Bila diperhatikan pada pesta-pesta perkawinan (marunjuk, pasahat sulang-sulang ni pahompu huhut manggarar adat na gok-red) Ulos Sadum diberikan sebagai ulos Sihutting Ampang serta ulos holong. Sehingga Ulos Sadum merupakan jumlah paling banyak diberikan pada pesta perkawinan Batak, khususnya Batak Toba karena ulos sadum memiliki corak indah dan ceria maka ulos ini sering diberikan  kenang-kenangan kepada pihak-pihak tertentu.  
5.      Ulos Runjat yaitu; ulos yang biasanya digunakan orang kaya atau orang terpandang sebagai ulos sandang (edang-edang-red) ketika menghadiri undangan. Ulos semacam ini juga bisa diberikan ketika ada pesta-pesta syukuran (mangupa-upa-red) seperti tardidi, malua sian panghangkungi, dapot na ni luluan jumpa na jinalahan, paebathon pahompu dan lain-lain.
6.      Ulos Sibolang yaitu; ulos yang dapat digunakan pada saat sukacita maupun dukacita. Bila situasi sukacita maka Ulos Sibolang motifnya lebih didominasi warta putih, sedangkan ketika dukacita maka motifnya didominasi warna hitam. Pada acara perkawinan Ulos Sibolang dipakai sebagai tutup ni ampang yang warna putihnya lebih mendominasi dari warna hitam dan jenis ulos inilah yang disebut Sibolang Pamontari.
7.      Ulos Suri-suri Ganjang yaitu; jenis ulos raginya seperti sisir (suri-red) memanjang dan ukurannya pun lebih panjang dari jenis-jenis ulos lain sehingga penyebutan ulos suri-suri ganjang sesuai dengan motif dan ukuran panjangnya. Ulos Suri-suri Ganjang bisa juga diberikan sebagai ulos penganten. Ulos Suri-suri Ganjang dipakai sebagai ulos sandang (ampe-ampe, hande-hande-red) oleh hula-hula ketika acara margondang dan ulos inilah yang dipergunakan pihak hula-hula manggabei borunya sehingga Ulos Suri-suri Ganjang disebut juga ulos sabe-sabe.
8.      Ulos Mangiring yaitu; ulos yang melambangkan kesuburan dan kesepakatan dengan corak atau ragi saling beriringan. Ulos ini biasanya diberikan sebagai kain gendongan (ulos parompa-red) dari ompung, tulang dan lain sebagainya ketika seorang cucu lahir. Filosofi ulos ini adalah agar Tuhan Yang Maha Kuasa memberikan adik-adik (laki-laki, perempuan) lahir beriring-iringan sebagaimana ragi ulos mangiring tersebut. Selain daripada itu Ulos Mangiring dapat juga dipakai oleh laki-laki sebagai ikat kepala yang disebut tali-tali atau detar. Sedangkan bila perempuan yang menggunakannya sebagai penutup kepala  disebut saong-saong atau tudung. Pada acara pengukuhan gelar (mampe goar-red) Ulos Mangiring dijadikan Bulang-bulang yang diberikan hula-hula kepada borunya. Akan tetapi bila pengukuhan gelar untuk anak sulung maka jenis ulos yang digunakan adalah Ulos Bintang Maratur sebab anak sulung diharapkan mampu untuk mengatur, mengayomi, membimbing seluruh adik-adiknya.
9.      Ulos Bintang Maratur yaitu; ulos yang menggambarkan bintang teratur. Secara filosofis jejeran bintang yang teratur satu sama lain menggambarkan keharmonisan, patuh, rukun, seia sekata dalam hubungan keluarga dan kerabat sehingga pemberian Ulos Bintang Maratur kepada seseorang bermakna permohonan doa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa kiranya sipenerima ulos selalu harmonis dengan seluruh keluarga dan kerabat di kemudian hari. Jenis ulos seperti ini lazim diberikan sebagai ulos parompa ketika anak lahir khususnya  anak sulung (anak panggoaran-red). Selain daripada itu, Ulos Bintang Maratur dipakai juga pakaian sehari-hari sebagai ulos sandang (hande-hande, ampe-ampe-red) juga sebagai tali-tali bagi laki-laki atau saong bagi perempuan (parompuan-red) sehingga penggunaan Ulos Bintang Maratur tidak tergolong ulos khusus (namarhadohoan-red).
10.  Ulos Sitolutuho yaitu; ulos yang hanya dipakai ikat kepala atau selendang perempuan. Jenis ulos ini tidak mempunyai makna khusus dalam adat budaya, kecuali bila diberikan sebagai ulos parompa ketika anak lahir. Ulos Sitolutuho hanyalah ulos tambahan sehingga tidak termasuk kategori ulos spesifik, melainkan ulos tambahan (panoropi-red) dari keluarga atau kerabat jauh.
11.  Ulos Jungkit yaitu; ulos yang dihiasi dengan permata. Ulos ini disebut juga ulos na nidongdang atau ulos purada. Ulos Jungkit biasanya dipakai oleh anak gadis dari keluarga raja-raja sebagai hoba-hoba yang dipakai hingga batas dada. Juga pada saat menerima tamu pembesar atau pada waktu acara perkawinan. Karena permata sudah semakin langka untuk menghiasi ulos maka diganti dengan cara manjungkit (mengkait, membordir) benang ulos tersebut.
Selain macam, jenis ulos telah diuraikan pada bangso Batak, khususnya Batak Toba masih banyak lagi jenis ulos lain diantaranya adalah; Ulos Ragi Panei, Ragi Hatirongga, Ragi Ambasang, Ragi Sidosdos, Ragi Sampurborna, Ragi Siantar, Ragi Sapot, Ragi Siimput ni hirik, Ulos Bolean, Ulos Padang Rusa, Ulos Simata, Ulos Happu, Ulos Tukku, Ulos Lobu-lobu, dan lain-lain (Ulos Batak, Jakarta, 2004).
Keseluruhan macam, jenis ulos ini adalah Ulos Herbang dihasilkan tenun tradisional Batak, khususnya Batak Toba yang didasarkan nilai filosofis sehingga di dalam pemakaiannya harus selalu disesuaikan dengan situasi kondisi aktual ketika ulos tersebut diberikan. Pemberian ulos yang merupakan simbol adat budaya Batak, khususnya Batak Toba memiliki nilai kultural, nilai filosofis sehingga tak boleh sembrono, serampangan atau asal-asalan sebab setiap macam atau jenis ulos mempunyai arti dan makna masing-masing.
Akan tetapi pada era belakangan ini pengertian serta pemahaman tentang ulos dan pemakaiannya sudah semakin dangkal sehingga pemberian serta pemakaian ulos cenderung seremonial saja tanpa mengerti dan memahami arti, makna hakiki ulos tersebut. Bahkan motif-motif ulos sudah dijadikan model pakaian konveksi tanpa mengerti dan memahami apakah motif ulos tersebut sesuai dengan pemakainya. Misalnya, motif Ulos Ragidup dijadikan baju atau model jas dimana pemakainya masih belum Sarimatua, Saurmatua sebagaimana status penerima Ulos Ragidup menurut adat budaya Batak, khususnya Batak Toba.  
Bila ditinjau dari sisi peningkatan perkembangan kemajuan industri tekstil bermotif ulos rekayasa motif ulos menjadi pakaian atau konveksi merupakan hal positif sehingga pertumbuhan tenun tradisional (martonun-red) serta industri tekstil modern berbasis kearifan lokal (motif ulos-red) menjadi sebuah peluang baru untuk meningkatkan pendapatan di sektor pertenunan atau industri tekstil. Tetapi harus diingat bahwa capaian keuntungan keekonomian dari pakaian atau konveksi bermotif ulos tidak mustahil akan mendegradasi nilai kultural, nilai filosofis dari ulos itu sendiri di kemudian hari. Artinya, nilai adat budaya yang terkandung pada ulos Batak, khususnya Batak Toba akan semakin terkikis, bahkan hilang sama sekali. Nilai kultural, nilai filosofis, nilai sakral ulos sebagai simbol adat budaya Batak, khususnya Batak Toba tidak bisa lagi dipertahankan serta dilestarikan sebagaimana mestinya.  
Hal itu, perlu menjadi perhatian serta pemikiran bersama seluruh bangso Batak, khususnya Batak Toba sehingga tidak menimbulkan paradoks dalam upaya menjaga, merawat dan  melestarikan simbol-simbol adat budaya sebagai pertanda peradaban Batak, khususnya Batak Toba di kemudian hari. Oleh sebab itu, langkah-langkah komprehensif paripurna menjaga, merawat. melestarikan ulos serta pemakaiannya sudah sangat diperlukan segera sebelum arti dan makna ulos terdegradasi hingga titik nadir.  
Fenomena politisasi ulos yang merupakan salah satu simbol adat budaya Batak, khususnya Batak Toba pada era belakangan ini patut dicermati seksama karena eksistensi ulos telah dipandang dari berbagai sudut berbeda. Bahkan telah dipersepsikan dari sudut pandang negatif sehingga eksistensi ulos sebagai simbol adat budaya bernilai kultural, filosofis semakin terdegradasi di mata bangso Batak, khususnya Batak Toba.
Politisasi berdasarkan kepentingan subyektif menjadikan ulos bukan lagi simbol adat budaya bernilai kultural, folosofis sebagaimana diwariskan leluhur Batak, khususnya Batak Toba. Ulos telah dijadikan komoditas politik, komoditas ekonomi, komoditas religi dan lain sebagainya, akibatnya eksistensi ulos sebagai simbol adat budaya semakin mengalami degradasi nilai orisinalnya dari waktu ke waktu.
Salah satu contoh nyata adalah pemberian ulos cendramata kepada pejabat-pejabat negara atau pemerintahan serta tamu-tamu asing yang berkunjung ke Sumatera Utara dimana para pejabat tersebut diberi cendramata berupa ulos Batak, khususnya Batak Toba (Ulos Sadum-red) oleh pemerintah daerah Provinsi Sumatera Utara maupun tokoh-tokoh adat sebagai bentuk penghargaan atas kunjungan tersebut. Pemberian ulos cendramata seperti itu menyiratkan bahwa Batak dipandang sebagai tuan rumah di Provinsi Sumatera Utara sehingga ulos yang merupakan simbol adat budaya Batak diberikan kepada tamu-tamu terhormat yang datang ke daerah Provinsi Sumatera Utara.
Akan tetapi pada sudut pandang berbeda Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Sumatera Utara berornamen Batak dan telah menjadi simbol daerah Provinsi Sumatera Utara dihilangkan pasca pembangunan gedung baru DPRD Provinsi Sumatera Utara tahun 2010 lalu tanpa dilandasi payung hukum untuk merubah simbol-simbol daerah. Sehingga amat sangat tak masuk akal apabila pemerintah daerah Sumatera Utara, tokoh adat, tokoh masyarakat sangat bernafsu memberi Ulos Batak sebagai cendramata kepada pejabat-pejabat yang datang ke daerah Provinsi Sumatera Utara, sementara simbol Gedung DPRD Sumatera Utara berornamen Batak telah dihancurkan tanpa penjelasan terbuka dan transparan kepada masyarakat Sumatera Utara.
Apakah wajar dan relevan memberi Ulos Batak cendramata sebagai penghargaan terhadap tamu-tamu terhormat ke daerah ini, sementara disisi lain simbol Provinsi Sumatera Utara (gedung DPRDSU-red) berornamen Batak telah dihancurkan atau dihilangkan ? Inilah salah satu bukti fenomena politisasi simbol adat budaya yang perlu dicermati seksama.  
Nuansa politik terhadap politisasi simbol-simbol adat budaya harus diwaspadai secara seksama agar tidak terulang lagi penghilangan simbol-simbol daerah yang sudah menjadi lambang spesifik serta terlembagakan melalui legalitas peraturan perundang-undangan ataupun peraturan daerah (Perda).
Sangat disayangkan, disela-sela upaya pelestarian simbol-simbol adat budaya justru terjadi penghancuran situs-situs adat budaya seperti nasib gedung DPRD Sumatera Utara berornamen Batak. Sifat paradoks, ambivalen, ambigu merupakan ancaman nyata terhadap simbol-simbol adat budaya dalam upaya menjaga, merawat dan melestarikan adat budaya yang didengung-dengungkan pemerintah, pemerintah daerah hanyalah penghias bibir (lips service) serta retorika belaka. Karena apabila pemerintah ingin menjaga, merawat serta melestarikan simbol-simbol adat budaya sebagai situs-situs sejarah maka penghancuran bangunan-bangunan bersejarah harus dihentikan dengan tegas melalui peraturan perundang-undangan ataupun peraturan daerah (Perda) dengan sanksi hukum yang jelas dan tegas pula.   
Sebagai simbol adat budaya pemberian Ulos Batak tentu sangat keliru besar apabila terjebak pada nuansa politisasi kepentingan politik subyektif partisan dan setiap pihak harus menyadari, bahwa tindakan itu merupakan tindakan tak terpuji karena akan menghancurkan nilai kultural, nilai filosofis simbol-simbol adat budaya itu sendiri. Pengertian, pemahaman demikian menjadi landasan dasar dalam pemberian ulos cendramata kepada pihak mana pun sehingga nilai sakral ulos sebagai simbol adat budaya benar-benar bisa dipertahankan serta dilestarikan sepanjang zaman.   
Ulos Tinonun Sadari (Ulos-ulos = Hepeng).
Ulos Tinonun Sadari atau Ulos-ulos adalah berbentuk uang (hepeng-red) yang merupakan salah satu jenis parjambaran pada adat Batak Toba, sebab jenis parjambaran ada tiga yakni ;  jambar hata, jambar juhut, jambar hepeng. Ungkapan Batak-Toba mengatakan, ”Molo tangkas di parsoburan, tumangkasan ma di parjampalan, Molo dung tangkas di partuturan, tangkas ma nang di parjambaran” artinya, bila sudah jelas hirarki silsilah atau tarombo maka dalam pembagian parjambaran pun sudah tidak salah lagi, sebab parjambaran adalah silsilah atau tarombo.
Dalam pelaksanaan pesta perkawinan adat Batak Toba tidak semua keluarga, kerabat,dan sanak famili mendapat ulos herbang sebagaimana telah diuraikan pada poin ulos herbang maka keluarga, kerabat, dan sanak famili yang belum mendapat ulos herbang akan mendapat Ulos Tinonun Sadari atau Ulos-ulos dalam bentuk uang.
Ulos Tinonun Sadari atau Ulos-ulos juga merupakan hak dan kewajiban paranak dan parboru dalam pesta perkawinan adat Batak Toba. Artinya, pihak paranak berhak meminta Ulos Tinonun Sadari atau Ulos-ulos kepada pihak parboru, sebaliknya, pihak parboru berkewajiban memberi Ulos Tinonun Sadari atau Ulos-ulos kepada keluarga, kerabat,  serta sanak famili pihak paranak.
Walau demikian, hendaknya Ulos Tinonun Sadari atau Ulos-ulos tidak terlalu luas dan melebar agar tidak melebihi jumlah panandaion yang diterima pihak parboru dari pihak paranak. Oleh sebab itu, Ulos Tinonun Sadari atau Ulos-ulos sebaiknya meliputi; paidua ni suhut, ompu martinodohon, dongan tubu atau tingkat marga, boru, bere/bebere, pariban atau paramaan pariban, dongan sahuta, dongan sapadan bila ada, ale-ale, pemerintah setempat, atau maksimal 10 kelompok (10 hali manggorahon-red) supaya tidak bertele-tele dan memakan waktu banyak.
Makna Ulos Tinonun Sadari atau Ulos-ulos adalah melengkapi Ulos Herbang sebab tidak semua keluarga, kerabat, serta sanak famili pihak paranak mendapat Ulos Herbang, sehingga diusulkan (diparjambarhon-red) bagi keluarga, kerabat serta sanak famili yang belum mendapat Ulos Herbang akan mendapat Ulos Tinonun Sadari atau Ulos-ulos. Sebab bagi bangso Batak Toba alangkah mengecewakan serta menyakitkan bila tidak mendapat parjambaran (ndang diparjambarhon-red) dalam suatu pesta adat.
Parjambaran bukan masalah materi an sich tetapi parjambaran adalah hak adat budaya  berdasarkan silsilah atau tarombo sehingga bila tidak mendapat parjambaran akan dimaknai pelecehan, penyepelean hak adat budaya, pengabaian harga diri serta tamu tak diundang (raja na ro-red) yang tidak berarti apa-apa.  
Pengertian serta pemahaman tentang hak dan kewajiban adat budaya tidak boleh sekali-sekali disepelekan, dilupakan, diabaikan sebagaimana makna hati-hati (manat-red) Mardongan Tubu yang merupakan salah satu unsur Dalihan Na Tolu (DNT) yakni; Manat Mardongan Tubu, Somba Marhula-hula, Elek Marboru. Selain daripada itu, salah satu sifat istimewa bangso Batak adalah mempertahankan martabat, harga diri seperti ungkapan mengatakan, ”Metmet sihapor lunjung, dijujung do uluna” yang bermakna sekecil apapun bangso Batak pantang disepelekan. Martabat, harga diri merupakan hal paling esensial fundamental dalam kehidupan bangso Batak, karena itu pula lah dimana pun bangso Batak selalu menunjukkan jati dirinya.   
Bangso Batak selalu melaksanakan hak dan kewajiban semaksimal mungkin, bukan hanya pintar menuntut hak, tapi juga pandai dan cerdas menunaikan kewajiban seperti ungkapan mengatakan, ”Dos do nangkokna dohot tuatna” atau ”Holi-holi ni bondut, holi-holi niutahon” yakni bila mau menuntut hak harus mau menunaikan kewajiban. Sebab bila ada hak tentu ada juga kewajiban dalam melaksanakan adat budaya maupun kehidupan sehari-hari.   
                                                                                    Medan, 18 September 2014

                                                                                    Drs. Thomson Hutasoit.