Rabu, 17 Desember 2014

Mengelaborasi Pengalihan Subsidi BBM



Mengelaborasi Pengalihan Subsidi BBM
Oleh: Thomson Hutasoit
Direktur Eksekutif LSM Kajian Transparansi Kinerja Instansi Publik (ATRAKTIP)

            Salah satu perintah atau amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (Amandemen), pasal 33 selengkapnya berbunyi; ayat (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan, (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara, (3) Bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, (4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip keadilan, kebersamaan, efisiensi, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional, (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.
            Selanjutnya pada penjelasan disebutkan; Dalam pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua dibawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang-seorang. Sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi.
            Perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi semua orang. Sebab itu cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Kalau tidak, tampuk produksi jatuh ketangan orang-seorang yang berkuasa dan rakyat banyak ditindasnya. Hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak boleh ada ditangan orang-seorang.
            Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
            Pengertian dan makna menguasai yang dimaksudkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, baik Asli maupun Amandemen bukanlah sama dan indentik dengan memiliki, tetapi mengatur manajemen pengelolaan sumber-sumber kekayaan negara agar benar-benar dimanfaatkan sebesar-besar kemakmuran rakyat.
            Tujuan utama dari pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia amat sangat jelas dan tegas dikatakan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (Asli); Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
            Seluruh agenda kerja negara atau pemerintahan tentu tidak boleh menyimpang dari tujuan pendirian negara sebagimana diatur dalam Pembukaan UUD RI 1945, termasuk dalam mengelola sumber-sumber kekayaan negara.
            Namun demikian, amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, baik Asli maupun Amandemen sering terdistorsi peraturan perundang-undangan dibawahnya, seperti; Undang-undang (UU), Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Daerah (Perda), dan lain sebagainya akibat tarikan-tarikan kepentingan politik sektoral menjadikan timbulnya karut-marut di negeri ini.
            Peraturan perundang-undangan multitafsir serta pasal-pasal karet sering memicu kerancuan maupun kegaduhan politik dalam tataran implementatif, dan kerancuan ataupun kegaduhan itu tidak mustahil pula mengganggu roda penyelenggaraan negara atau pemerintahan serta menguras energi besar terbuang sia-sia. Salah satu contoh paling mutahir ialah lahirnya Undang-Undang RI Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3), Undang-Undang RI Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati/Walikota melalui DPRD, yang kemudian disusul keluarnya Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) langsung di detik-detik akhir pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono (SBY)-Boediono yang menjadi salah satu kegaduhan politik di republik ini.
            Akibat lahirnya UU RI Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3 Gedung DPR RI Senayan Jakarta “Terbelah Dua” dengan dua kubu kekuatan politik yakni; kubu Koalisi Merah Putih (KMP) yang terdiri dari Partai Golkar (P. Golkar), Partai Gerakan Indonesia Raya (P. Gerindra), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Demokrat (PD) yang ambigu. Sedangkan di kubu lain ialah kubu Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang terdiri dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-Perjuangan), Partai Nasional Demokrat (P. Nasdem), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Hati Nurani Rakyat (P. Hanura), dan belakangan masuk Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
            Makhluk koalisi perlu dipahami pada dasarnya tidak dikenal dalam sistem pemerintahan presidensial sebab koalisi biasanya terdapat pada sistem pemerintahan parlementer. Pembentukan koalisi apalagi koalisi permanen adalah sebuah “perselingkuhan” politik untuk merampas, merampok atau mengkudeta daulat rakyat yang menganut sistem pemilihan umum (Pemilu) proporsional, langsung, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Rakyat memberikan hak pilihnya terhadap nama calon legislatif yang diusung atau ditawarkan partai politik.
            Kubu-kubuan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebetulnya hanyalah lanjutan dari kubu pengusung calon presiden/wakil presiden pada pemilu presiden (Pilpres) 09 Juli 2014 lalu. Kubu Kolaisi Merah Putih (KMP) mengusung pasangan calon presiden/wakil presiden nomor urut 1 Prabowo Subianto-HM. Hatta Rajasa, Koalisi Indonesia Hebat (KIH) mengusung calon presiden/wakil presiden nomor urut 2 Joko Widodo (Jokowi)-HM. Jusuf Kalla (JK) yang terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia Ketujuh.
            Pasca terpilih dan dilantiknya Joko Widodo (Jokowi) dan HM. Jusuf Kalla (JK) menjadi presiden/wakil presiden kubu-kubuan seharusnya tidak perlu lagi berlanjut hingga gedung DPR RI Senayan Jakarta. Tetapi kontestasi Pilpres Nampak-nampaknya berubah menjadi pertarungan, perseteruan semakin keras di gedung DPR RI hingga memicu kegaduhan politik dan “Dualisme Kepemimpinan” serta mosi tak percaya. 560 anggota DPR RI sepertinya hanya dikendalikan “kartel-kartel” politik yakni pimpinan (ketua umum/presiden) partai politik seolah-olah menunjukkan bahwa anggota DPR, DPRD yang dipilih rakyat melalui pemilihan umum (Pemilu) bukan lagi wakil rakyat melainkan wakil partai politik.
            Aras perjuangan para anggota DPR, DPRD bukan lagi memperjuangkan kepentingan dan aspirasi rakyat seperti janji-janji kampanye, melainkan ajang perebutan kekuasaan partai politik belaka. Dalam situasi kondisi seperti inilah rakyat tersadar bahwa hak pilih (suara-red) rakyat tak lebih dan tak kurang hanya mainan politik belaka dari juragan-juragan (elite-elite) partai politik di negeri ini.
            Mengatasnamakan rakyat demi memuaskan syahwat atau libido kepentingan partai politik sejatinya adalah cermin nyata kudeta daulat rakyat. Bahkan ada anggota DPR RI terpilih dengan “pongah” beraksioma “Salam Dua Jari”, “Salam Tiga Jari” yang dilontarkan Joko Widodo (Jokowi) di saat kampanye akan menjadi “Salam Gigit Jari”. Sadar atau tidak ucapan politisi ini memberi sinyal aroma politik tak sedap dan tak beradab yang akan berlangsung selama lima tahun di era pemerintahan Jokowi-JK.
            Plintiran-plintiran politik terhadap kebijakan pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK) kemungkinan besar merupakan menu empuk yang mewarnai peta politik yang dilancarkan para politisi kubu diluar partai pengusung JKW-JK. Melancarkan kritik-kritik tajam dan keras mengatasnamakan kepentingan rakyat terhadap kebijakan pemerintaha Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) adalah tontonan yang membutuhkan kecermatan dan kecerdasan rakyat agar tidak terjebak intrik-intrik politik canggih dari para politisi “belut berlumur” oli yang mampu membius alam sadar seperti hipnotis yang bisa mengacaukan banyak orang.
            Karena itu, rakyat harus cermat dan cerdas mengerti dan memahami “sandiwara” politik yang akan dilakonkan para politisi dan elite-elite politik yang tak pernah lupa mengatasnamakan rakyat untuk membungkus kemangkusan partai politik yang menjadikan rakyat hanya “Gigit Jari” menyaksikan kenikmatan kekuasaan luar biasa para politisi.  
Kebijakan Pengalihan Subsidi BBM.   
              Persoalan energi, bahan bakar minyak (BBM), utang luar negeri, pembangunan infrastruktur merupakan permasalahan klasik yang telah lama diperdebatkan serta dikeluhkan para pakar ekonomi, politisi, bahkan masyarakat awam di negeri ini. Pergantian rezim pemerintahan dari Seoharto ke BJ Habibie, KH. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, Megawati Soekarnoputri atau Mbak Mega, Susilo Bambang Yudoyono (SBY) hingga Joko Widodo (Jokowi) permasalahan subsidi bahan bakar minyak (BBM) sepertinya tak luput dari perdebatan sengit dan tajam serta melibatkan dua kutub berbeda, yakni; kutub setuju dan kutub tak setuju yang kadangkala memicu gelombang demonstrasi atau unjuk rasa hingga tindakan anarkhistis. 
            Permasalahan subsidi bahan bakar minyak (BBM) bahkan kadangkala dijadikan para politisi melancarkan hak interpelasi terhadap pemerintahan berkuasa apabila  mengurangi besarnya subsidi berekses kenaikan harga BBM yang secara otomatis berpengaruh terhadap rakyat secara langsung.
Setiap kebijakan yang ingin mengurangi subsidi BBM atau lebih lazim dikenal kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) akan selalu mendapat perlawanan keras dari masyarakat, dan tak mustahil memicu gelombang demonstrasi atau unjuk rasa massif dari para mahasiswa di seluruh tanah air. Bahkan gelombang demonstrasi atau unjuk rasa mahasiswa berubah menjadi tindakan anarkhis yang bisa memakan korban, baik harta maupun nyawa. Karena itu, kebijakan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi merupakan kebijakan tak populer (populis) bagi pemerintahan berkuasa. Tak terkecuali rezim pemerintahan mana pun.  
            Setiap kebijakan menaikkan harga BBM bersubsidi selalu diartikan tak pro rakyat, bahkan dianggap mengkhianati amanah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang harus diganjar pemakzulan (impeachment) apalagi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) ditunggangi kepentingan lawan-lawan politik untuk menjatuhkan pemerintahan berkuasa.
            Sebenarnya harus disadari, bahwa subsidi bahan bakar minyak (BBM) telah menjadi kanker ganas stadium empat bagi politik anggaran republik ini dari waktu ke waktu yang berakibat perlambatan pembangunan infrastruktur di segala bidang. Padahal, hampir semua pakar, ahli ekonomi, politisi, serta pengamat kebijakan publik selalu mengeluhkan subsidi bahan bakar minyak (BBM) semakin membengkak seperti  kanker ganas stadium empat menggerogoti anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) setiap tahunnya.
            Sebagaimana dikatakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Forum CEO Kompas 100, 7 November 2014 lalu, “Saya ingin menyampaikan keborosan-keborosan,” kata Jokowi. Dalam lima tahun ini, subsidi BBM Rp 714 triliun, tetapi anggaran kesehatan hanya Rp 229 triliun dan infrastruktur Rp 574 triliun. “Boros enggak kita ? Sangat boros. Setiap hari kita bakar. Karena itu, keborosan yang harus kita hentikan. APBN kita untuk sasaran produktif, bukan konsumtif” tambah Presiden Jokowi. (Kompas, 22-11-2014).
            Alasan atau argumentasi pengalihan subsidi bahan bakar minyak (BBM) pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)- Jusuf Kalla (JK) dari konsumtif ke produktif secara jujur dan obyektif haruslah dinilai suatu kebijakan cerdas dan jenial. Apalagi melihat perbandingan besaran subsidi BBM Rp 714 triliun yang hanya dibakar sia-sia (konsumtif-red) dengan anggaran kesehatan yang hanya Rp 229 triliun, anggaran infrastruktur Rp 574 triliun (produktif-red) dalam kurun waktu lima tahun sungguh sangat memprihatinkan. Belum lagi, subsidi BBM sekitar 70 persen dinikmati kelas menengah ke atas pemilik mobil menjadikan subsidi BBM tidak tepat sasaran.
            Para politisi serta pihak-pihak yang tak ingin terusik kenikmatan menggunakan subsidi BBM tentu sangat setuju dengan kebijakan pengalihan subsidi BBM walaupun dalam hati sanubarinya mengakui kebijakan pemerintahan Jokowi-JK adalah salah satu cara untuk memotong mata rantai kekeliruan politik anggaran yang dilakukan pemerintahan sebelum-sebelumnya.
            Menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi pernah dilakukan pemerintahan Soeharto, KH. Abadurrahman Wahid alias Gus Dur, Megawati Soekarnoputri atau Mbak Mega, dan pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono (SBY) pernah menaikkan dan menurunkan harga BBM dalam pemerintahannya.
            Sekadar menyegarkan ingatan elemen-bangsa bangsa pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono (SBY) alasan atau argumentasi menaikkan harga BBM bersubsidi adalah agar APBN tidak jebol dan kenaikan harga minyak dunia. Alasan atau argumentasi seperti ini tentu sangatlah tidak tepat dan tak masuk akal. Sebab, pada penjelasan Undang-Undang RI Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dikatakan, bahwa “Anggaran adalah alat akuntabilitas, manajemen, dan kebijakan ekonomi. Sebagai instrumen kebijakan ekonomi anggaran berfungsi untuk mewujudkan pertumbuhan dan stabilitas perekonomian serta pemerataan pendapatan dalam rangka mencapai tujuan bernegara.”  Kemudian, menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) berdasarkan harga minyak dunia sangatlah bertentangan dengan pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Dan disinilah perbedaan nyata dan gamblang antara kebijakan pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono (SBY) dengan pemerintahan Joko Widodo (Jokowi).
            Pemerintahan Jokowi-JK mengalihkan subsidi bahan bakar minyak (BBM) dari konsumtif ke produktif karena pemborosan anggaran subsidi telah menggerogoti ruang fiskal untuk membangun sektor-sektor produktif untuk mendorong pertumbuhan perekonomian agar terwujud tujuan berbangsa dan bernegara sebagaimana janji proklamasi 17 Agustus 1945.
            Mengalihkan subsidi BBM dari bersifat konsumtif ke produktif yang berekses kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) tidak ada urusan dengan turunnya harga minyak dunia seperti alasan politisi-politisi dari Koalisi Merah Putih (KMP) bernafsu ingin menggulirkan Hak Interpelasi kepada pemerintahan Joko Widodo (Jokowi).  Malah mereka membuka tameng sendiri yang super nafsu melakukan pemborosan klasik seperti ingin membangun gedung DPR RI di atas fasilitas Hotel berbintang lima, belanja perjalanan dinas, kunjungan reses, kendaraan dinas, dan lain sebagainya yang sangat tidak berkorelasi langsung dengan kinerja legislasi, pengawasan, dan budgeting selama ini. Walaupun selalu di sorot tajam sebagai lembaga paling korup nampak-nampaknya para politisi di gedung Senayan Jakarta sepertinya tidak pernah malu mengatasnamakan rakyat untuk membungkus kepentingan pribadi, kelompok, golongan maupun partai politiknya. Padahal, sebagai wakil rakyat para dewan inilah seharusnya mengawasi anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) agar efektif dan efisien serta dialokasikan pada sektor-sektor produktif supaya percepatan pembangunan di republik ini terwujud segera.
            Jika diperhatikan cermat dan seksama skema alokasi pengalihan subsidi BBM pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) tanggal 18 November 2014 sebagaimana diberitakan Harian Kompas (18/11/2014), bahwa Infastruktur yang bisa dibiayai dari penghematan subsidi BBM ialah Dalam rencana pembangunan 2015 ada kekuarangan dana mencapai Rp 85,7 triliun untuk pembangunan infrastruktur. Dana ini akan dibiayai dengan meningkatkan peran swasta, penugasan BUMN, jaminan ketersediaan tanah, dan penyediaan skema pembiayaan, antara lain untuk:  
·         Peningkatan Ketahanan air
-       Pembangunan/peningkatan jaringan irigasi seluas 71.000 hektar, rawa seluas 39 ha.
-       Pembanguna (lanjutan) 21 waduk, 9 waduk baru dan embung sebanyak 513,
-       Pengendalian banjir sepanjang 600 km dan rehabilitasi banjir sepanjang 450 km.
-       Pembangunan sarana dan prasarana air baku 11 m² detik.
·         Peningkatan Ketersediaan Infrastruktur Pelayanan Dasar
-       Meningkatkan rasio elektrifikasi dari 83,2 persen menjadi 85,2 persen.
-       Meningkatkan akses air minum dari 70 persen menjadi 70,25 persen melalui pembangunan SPAM kawasan MBR sebanyak 206, regional di lima kawasan IKK sebanyak 133, SPAM di 316 desa, SPAM di 25 kawasan khusus.
-       Meningkatkan akses sanitasi dari 60,5 persen  menjadi 62,4 persen melalui infrastruktur air limbah di 240 kawasan, drainase perkotaan di 34 kabupaten/kota, tempat memproses akhir sampah 54 kabupaten/kota, tempat pengolahan sampah terpadu di 97 kawasan.
-       Menangani perumahan kumuh dari 10 persen menjadi 8 persen melalui pembangunan PSU sebanyak 105.000 unit, penataan kumuh seluas 2.000 ha, pembangunan perumahan swadaya 5.000 unit, dan penyediaan infrastruktur permukiman perkotaan di 85 kawasan.
·         Penguatan Konektivitas Nasional
-       Preservasi jembatan 9.652 m, peningkatan kapasitas/pelebaran jalan 1.237 km, penggantian jembatan 2.296 m, pembangunan jalan baru 258,9 km, pembangunan “flayover”/ “underpass” 2.044,8 m, pembangunan jalan tol 23,32 km, serta pembangunan jalan dan jembatan di kawasan strategis, perbatasan, pulau terpencil dan terluar sepanjang 739,4 km dan 1.414 m.
-       Pembangunan jalur kreta api sepanjang 100 km dan peningkatan kapasitas sepanjang 700 km antara lain di Jabodetabek, Surabaya, Bandung, Yogyakarta, Medan, Lintas Selatan Jawa, dan Lintas Timur Sumatera.
-       Pembangunan prasarana penyeberangan baru di 59  lokasi, 14 dermaga sungai dan 3 dermaga danau.
-       Penyediaan armada perintis 13 kapal di wilayah timur Indonesia, pembangunan/peningkatan pelabuhan 167 lokasi. Pengembangan 8 bandara yang akan dioperasikan tahun 2015, pengadaan 2 pesawar kalibrasi, pengadaan 2 pesawat penumpang perintis, lanjutan pembangunan Bandara Tjilik Riwut dan Singkawang.
-       Peningkatan jumlah pemancar sebanyak 15 unit dan studio sebanyak 10 unit.
            Dari gambaran program pengalihan subsidi harga bahan bakar minyak (BBM) Jokowi-JK sangatlah cerdas dan jenial serta merupakan terobosan baru pengelolaan anggaran negara dari anggaran konsumtif ke  anggaran produktif, walaupun ujung-ujungnya berakibat kenaikan harga BBM yang akan membebani rakyat miskin dalam kurun waktu pendek.
              Bila program Jokowi-JK bisa berjalan efektif serta sesuai sasaran pengorbanan rakyat atas pengalihan subsidi bahan bakar minyak (BBM) konsumtif ke produktif akan menjadi faktor pengungkit percepatan kemajuan pembangunan serta pemerataan berkeadilan sebagai koreksi total kebijakan salah sasaran dari rezim pemerintahan sebelumnya.
              Oleh sebab itu, diperlukan kecerdasan untuk menilai kebijakan pengalihan subsidi BBM agar tidak terjebak politisasi para politikus yang bernafsu memelintir serta membelokkan niat baik pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla(JK) semata-mata menu politik ataupun menimbulkan kegaduhan, kebisingan politik belaka.
             
                                                                                                Medan, 25 November 2014

                                                                                                Thomson Hutasoit.
(Alumni Pemantapan Nilai-nilai Kebangsaan Lemhannas RI bagi kalangan Akademisi, Birokrasi, Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama, Tokoh Adat, Tokoh Pemuda, Provinsi Sumatera Utara tahun 2014).
             
             

Selasa, 11 November 2014

Pintar Merasa vs Merasa Pintar



Pintar Merasa vs Merasa Pintar
Oleh: Thomson Hutasoit
Direktur Eksekutif LSM Kajian Transparansi Instansi Publik (ATRAKTIP)

            Salah satu fenomena sosial di alam demokrasi saiki ialah munculnya mental atau karakter Pintar Merasa di satu sisi sedangkan di sisi sebaliknya munculnya mental, karakter Merasa Pintar. Fenomena ini bukan semata-mata kebetulan saja ataupun akibat penggunaan hukum diterangkan dan/atau menerangkan (DM/MD) dalam bahasa Indonesia, tetapi mental atau karakter menggejala mewarnai pola pikir, pola laku manusia-manusia di era millennia ini.
            Menurut KBBI (2007) Merasa ialah mengalami rangsangan yang mengenai (menyentuh) indra, seperti yang dialami lidah, kulit, atau badan. Sehingga merasa adalah proses penginderaan langsung terhadap segala sesuatu yang mengenai atau menyentuh terhadap diri seseorang, masyarakat, bangsa maupun negara. Sedangkan Pintar adalah pandai, cakap, mahir (melakukan atau mengerjakan sesuatu). Dengan demikian, Pintar Merasa ialah suatu kondisi menunjukkan kepandaian, kecakapan, kemahiran mengetahui, memahami sesuatu keadaan dari pengalaman langsung atau fakta empirik yang dirasakan seseorang, masyarakat, bangsa maupun negara.
            Pintar Merasa ialah suatu kemampuan, kepandaian, kecakapan, kemahiran memaknai segala sesuatu didasari fakta-fakta empirik serta pengalaman langsung.  Karena itu, Pintar Merasa bukanlah sekadar analisis teori tetapi kerangka praktik nyata sehingga bukan asumsi-asumsi, postulat-postulat yang didasarkan atas kerangka teoritis belaka. Misalnya, memaknai kemiskinan oleh orang miskin itu sendiri akan jauh berbeda dengan rumusan-rumusan kemiskinan dijabarkan para elite-elite politik  yang sarat nuansa politis. Orang miskin merasakan langsung betapa pahit dan getirnya kemiskinan itu dalam hidup sehari-hari, sementara para elite-elite politik apalagi yang berasal dari keluarga mapan tidak pernah sama sekali merasakan kemiskinan dalam alam nyata, sehingga analisis-analisis kemiskinan hanyalah Merasa Pintar bukan Pintar Merasa. Akibatnya, berbagai kebijakan penanggulangan kemiskinan kadangkala tidak memiliki relevansi secara empirik.
            Berbagai tafsir pemaknaan yang tidak dialaskan pengalaman empirik tentu akan menimbulkan bias realita antara harapan dan kenyataan. Hal itulah salah satu penyebab utama mengapa berbagai agenda-agenda kerja penanggulangan permasalahan yang dihadapi masyarakat, bangsa maupun negara tidak pernah maksimal sebab aneka kebijakan belum mengurai akar permasalahan secara komprehensif paripurna.   
            Salah satu gejala sosial di alam demokrasi belakangan ini ialah terbukanya ruang diskusi publik seluas-luasnya terhadap segala hal ikhwal perikehidupan masyarakat, bangsa maupun negara. Ruang diskusi terbuka hingga debat kusir memberi ruang kesempatan publik untuk memberi komentar, analisis ataupun kritik, baik konstruktif maupun destruktif yang kadangkala tidak masuk akal.    
            Acapkali muncul di ruang publik komentator-komentator hebat yang seolah-olah tiada tandingan di atas bumi ini, misalnya, seorang komentator bola Indonesia yang memberi komentar macam-macam ketika klub Bacelona bertanding dengan Real Madrid. Para komentator itu sungguh luar biasa memberi analisis strategi jitu untuk memenangkan pertandingan. Tapi perlu diingat serta direnungkan dalam-dalam, bahwa  klub sepakbola Indonesia semua tahu tidak pernah menjadi kampiun di ajang sepakbola dunia, bahkan di tingkat Asia pun hingga kini belum mampu menunjukkan taringnya, sehingga analisa komentator sepakbola yang begitu piawai dan berapi-api hanyalah analisis belaka tanpa didasari pengalaman riil. Bahkan, tidak tertutup kemungkinan para komentator bola itu pun sama sekali tidak pernah pesepakbola di alam nyata.  Karena itu, bukanlah Pintar Merasa melainkan Merasa Pintar dengan berbagai kerangka teoritis yang belum tentu relevan dengan fakta empirik.
            Analogi komentator sepakbola pada era demokrasi belakangan ini tumbuh subur bagaikan jamur di musim penghujan, dimana-mana komentator Merasa Pintar tanpa didukung pijakan logika kerapkali menimbulkan kegaduhan, kekacauan menambah situasi semakin tak karukaruan.  
            Belum lagi fenomena munculnya public figure yang tidak dilandasi kredibilitas, kapasitas, kapabilitas, serta integritas dalam menduduki suatu posisi karena fakta empirik menunjukkan keterpilihan seseorang menjadi pemimpin publik (pejabat)  semata-mata karena elektabilitas yang tidak mustahil berkolaborasi dengan isinitas (keuangan-red) untuk melancarkan politik transaksional.  
            Problem menghadirkan pemimpin publik memiliki kredibilitas, kapasitas, kapabilitas, serta integritas yang ditunjukkan rekam jejak kinerja (track record)  sungguh merupakan kerja berat, apalagi pada situasi masih cenderung mengutamakan nomor piro wani piro/NPWP sehingga figur-figur kredibel, kapabel, serta berintegritas akan sulit muncul kepermukaan tanpa kemampuan finansial. Rekam jejak kinerja (track record) kadangkala dikalahkan isinitas (keuangan) seseorang sehingga sangat sulit diharapkan kehadiran pemimpin-pemimpin publik yang “Pintar Merasa”, malah yang muncul kepermukaan adalah para pemimpi “Merasa Pintar” yang belum pernah menunjukkan kesuksesan kinerja di alam nyata.   
            Memberi komentar, kritik bukan lah suatu kesalahan apalagi dosa, tetapi komentar, kritik yang diperlukan dalam membangun suatu harapan bersama adalah komentar, kritik konstruktif, bukan apriori atau kalau bukan kelompoknya semua salah tak ada yang benar.  
            Bila diamati era belakangan ini, orang yang belum pernah menjadi bupati/walikota, gubernur, presiden merasa lebih pintar (Merasa Pintar) daripada orang yang sudah pernah menjadi bupati/walikota, gubernur ataupun presiden seperti analogi komentator sepakbola yang tak pernah pesepakbola di lapangan rumput. Merasa Pintar seringkali memberikan statemen atau komentar tanpa dilandasi bukti dan fakta empirik sehingga bisa menimbulkan aneka kegaduhan, dan kekisruhan ditengah-tengah kehidupan masyarakat, bangsa maupun negara.
            Komentator bukanlah orang-orang paling pintar, paling hebat, paling maha tahu sehingga tidak pantas dan layak memosisikan diri menggurui pihak lain yang notabene telah Pintar Merasa, bukan hanya Merasa Pintar sebagaimana dilakonkan sebahagian besar komentator ataupun kritikus di negeri antah berantah.
Komentar atau kritik seharusnya ditujukan untuk memberi masukan atau sumbangsih pemikiran untuk meluruskan berbagai kekeliruan, kesalahan serta  tidak lupa pula memberi support atas kinerja-kinerja yang baik dari pihak manapun.    
            Seorang komentator atau kritikus harus mampu memosisikan diri di sudut netral dan obyaktif sehingga hanya berpihak pada kebenaran dan keadilan universal semata. Subyektivitas yang dilandasi faktor like or dislike seringkali mempengaruhi obyektivitas komentar atau kritik, akibatnya komentar, kritik lebih cenderung bersifat tendensius dan penghakiman terhadap pihak lain daripada sumbangan pemikiran untuk mengurai serta meluruskan kekeliruan atau ketidakbenaran suatu kebijakan.    
            Merasa Pintar sering memosisikan diri paling hebat, paling mampu daripada pihak lain sehingga sering memosiskan pihak lain dibawah grade, padahal itu hanya lah ilusi semata karena belum pernah terbukti dalam kerja nyata. Oleh sebab itu, Pintar Merasa jauh lebih baik daripada Merasa Pintar, sebab Merasa Pintar masih sekadar analisa atau asumsi sedangkan Pintar Merasa adalah pengalaman nyata yang pernah dilakoni sehingga tidak sekadar analisa, asumsi ataupun ilusi semata.  
                                                                                                            Medan, 5 Nopember 2014

                                                                                                            Thomson Hutasoit.

Menilik Makna Kabinet Kerja Jokowi-JK



Menilik Makna Kabinet Kerja Jokowi-JK
Oleh: Thomson Hutasoit
Direktur Eksekutif LSM Kajian Transparansi Kinerja Instansi Publik (ATRAKTIP) 

Pendahuluan.
            Pemberian nama terhadap sesuatu hal tentu tidak asal buat tanpa memikirkan apa makna nama tersebut walau dalam benak pihak-pihak tertentu pembuatan nama itu tidaklah terlalu urgen atau penting. Tapi jangan lupa nama adalah identitas yang melekat serta penanda nyata keberadaan si pemakai nama. Sebab, segala sesuatu tanpa nama tak akan pernah jelas identitasnya sehingga sering terjebak pada situasi abstrak tak berwujud nyata.
            Anonim atau tanpa nama adalah segala sesuatu yang tidak berindetitas yang hanya lazim dikenal di dunia khayal atau dongeng seperti penyebutan negeri antah-berantah yaitu negeri yang tidak disebut (diketahui) nama dan tempatnya (KBBI, 2007).
            Penamaan terhadap sesuatu bukan sekadar pelekatan nama tanpa arti dan makna, melainkan penunjuk atau penanda nyata identitas yang memiliki makna melalui proses permenungan dari si pembuat nama tersebut. Karena itu, si pembuat nama harus pula memikirkan apa makna dibalik nama yang dilekatkan terhadap sesuatu obyek.
            Pasca pelantikan Presiden/Wakil Presiden Joko Widodo (Jokowi)-HM. Jusuf Kalla (JK) tanggal 20 Oktober 2014 lalu, pemerintahan Jokowi-JK menetapkan nama kabinetnya “Kabinet Kerja Jokowi-JK” untuk periode pemerintahannya 2014-2019. Pemberian nama kabinet yang sedemikian sederhana tetapi sarat makna hakiki mengundang decak kagum berbagai pihak, baik masyarakat di dalam negeri maupun masyarakat internasional. Sebaliknya, menimbulkan kritik aneka ragam dari pihak-pihak penganut konsep-konsep besar tuna makna hingga muncul tudingan-tudingan miring bernada tendensius terhadap nama “Kabinet Kerja Jokowi-JK” tanpa menilik makna dibalik nama kabinet yang terkesan tidak ngetop dan tren di dunia elitisme selama ini.
            Kesederhanaan nama Kabinet Jokowi-JK tentu sangatlah relevan dengan karakter Joko Widodo (Jokowi)-HM. Jusuf Kalla (JK) yang sederhana, bersahaja, pekerja keras, merakyat, peduli terhadap nasib rakyat yang ditunjukkan melalui rekam jejak kinerja (track record)  selama memangku amanah yang dipercayakan di pundak mereka berdua. Kesederhanaan, kesahajaan, kejujuran, kepercayaan atau amanah dalam mengemban tugas dan tanggung jawab sepertinya menjungkirbalikkan pola pikir, pola laku mayoritas ‘pemimpin’ yang selalu memosisikan diri sakral di negeri ini.
            Para pemimpin publik sudah banyak dijangkiti penyakit ‘gila hormat, paranoid, lain di bibir lain di hati, serta mendirikan singgasana di atas bangkai rakyatnya’ sehingga tidak perlu heran apabila tidak setuju terhadap tipologi kepemimpinan Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) yang menjadikan istananya istana rakyat. Karenanya, pola berpakaian kedua pemimpin kerakyatan ini pun tidak luput dari kritik keras dan kasar dari ‘pemimpi-pemimpi’ di republik ini. Belum lagi, pengangkatan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pujiastuti pengusaha sukses di bisnis penerbangan (Susi Air) yang notabene tak lulus jenjang pendidikan sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA) membuat banyak orang uring-uringan. Padahal, para pengkritiknya walau memiliki segudang sertifikat akademisi tidak pernah mampu meraih sukses seperti yang diraih pemanggul ikan yang merambah hingga ke bisnis dirgantara melalui kerja, kerja, dan kerja keras tanpa mengenal kata menyerah.
            Kritik keras dan kasar mungkin juga merupakan letupan kekecewaan dari pihak-pihak yang ‘merasa’ paling pantas dan layak menduduki posisi menteri, apalagi selama ini pendewaan terhadap lulusan-lulusan luar negeri dengan berbagai embel-embel akademik begitu diagung-agungkan walau tanpa rekam kesuksesan atau prestasi gemilang ditengah-tengah masyarakat, bangsa maupun negara. Pengagungan jebolan luar negeri tanpa korelasi prestasi kinerja sejatinya adalah kekeliruan besar serta merendahkan harkat dan martabat lembaga akademisi di negeri ini. Padahal, Ir. Soekarno atau Bung Karno Proklamator, Presiden  Republik Indonesia pertama, Joko Widodo Presiden Republik Indonesia ketujuh adalah produk dalam negeri yang tidak kalah level dengan pemimpin-pemimpin dunia.
            Pidato Kenegaraan pertama Presiden Republik Indonesia pada tanggal 20 Oktober 2014 Joko Widodo dengan tegas dan lantang mengatakan, “Kerja…, Kerja…, dan Kerja…” di depan Sidang Paripurna Majelis Permusyawatan Rakyat (MPR) dan dipancarkan seluruh media, baik media elektronik maupun media cetak ke seluruh penjuru tanah air maupun dunia internasional.
            Apa makna sejati dari Kerja…, Kerja…, dan Kerja… yang diucapkan dan dikumandangkan Joko Widodo (Jokowi) ?
            Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2007) Kerja adalah kegiatan melakukan sesuatu; yang dilakukan (diperbuat), sesuatu yang dilakukan untuk mencari nafkah; mata pencaharian. Sedangkan Kabinet ialah badan atau dewan pemerintahan yang terdiri atas para menteri; kantor kerja (terutama bagi presiden, perdana menteri, dsb). Dengan demikian, makna Kabinet Kerja adalah badan atau dewan pemerintahan yang terdiri atas para menteri untuk melakukan suatu kegiatan untuk meningkatkan nafkah atau mata pencaharian seluruh rakyat Indonesia. Kantor kerja presiden diarahkan ditujukan untuk kerja…, kerja…, dan kerja… demi membangun Indonesia Hebat sehingga bangsa ini Berdaulat di bidang politik, Berkepribadian di bidang kebudayaan, berdiri di atas kaki sendiri (Berdikari) di bidang ekonomi sebagaimana diamantkan TRI SAKTI Bung Karno.
            Oleh sebab itu, Kabinet Kerja Jokowi-JK adalah sebuah nama sederhana mengandung sejuta makna operasional yang memberi harapan baru bagi seluruh rakyat republik ini, serta antitesa kabinet-kabinet sebelumnya yang cenderung “Omong Doang/Omdo” alias cakap-cakap dan retorika tanpa prestasi kinerja yang bisa diukur.
            Nama sederhana Kabinet Kerja Jokowi-JK dan tidak multitafsir mengajak seluruh pemangku kekuasaan di negeri ini lebih mengutamakan bekerja daripada beretorika aneh-aneh sebab menyelesaikan permasalahan republik ini tidaklah cukup dengan cakap-cakap, retorika dan rapat-rapat belaka seperti hoby para elitis yang membicarakan, mendiskusikan kemiskinan di hotel berbintang lima.

Kerja…, Kerja…., dan Kerja…
            Kerja…., Kerja…, dan Kerja… adalah makna sejati eksekutif (presiden, gubernur, bupati/walikota) sebagaimana diamanatkan pasal 4 s/d pasal 18 B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (Amanden). Pasal 4 ayat (1), Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar, dan (2), Dalam melakukan kewajibannya Presiden dibantu oleh satu orang Wakil Presiden.
            Memegang kekuasaan pemerintahan, menurut penjelasan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (Amanden) pada angka Romawi IV Sistem Pemerintahan Negara, selengkapnya berbunyi; Presiden ialah Penyelenggara Pemerintahan Negara yang Tertinggi di bawah Majelis. Di bawah Majelis Permusyawaratan Rakyat, Presiden ialah penyelenggaraan Pemerintah Negara yang tertinggi. Dalam menjalankan Pemerintahan Negara, kekuasaan dan tanggung jawab adalah di tangan Presiden (concentration of power and responsibility upon the President).
            Penyelenggara Pemerintahan Negara adalah pelaksana (eksekutor) kekuasaan pemerintahan sehingga harus dilakukan melalui kerja…, kerja…., dan kerja…, bukan hanya sekadar retorika atau berbicara (parle) sebagaimana para parlemen (DPR, DPD, DPRD-red) yang kerjanya rapat…., rapat…, dan rapat siang dan malam hingga akhir periode sesuai yang termaktub pada pasal 19 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 (Amandemen) selengkapnya berbunyi; Dewan Perwakilan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam setahun.  
            Jokowi-JK dengan Kabinet Kerja nya adalah makna tunggal, hakiki, dan sejati sesuai amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, baik Asli maupun Amandemen sehingga penamaan Kabinet Kerja Jokowi-JK patut dimaknai pemahaman sistem pemerintahan presidensial komprehensif paripurna, bukan sekadar nama tanpa makna.
            Yang patut dicermati lima tahun ini ialah bagaimana Pemerintahan Jokowi-JK melakukan “Revolusi Mental” di jajaran eksekutif (presiden, gubernur, bupati/walikota) yang telah “terjangkit penyakit” gemar atau doyan rapat-rapat sehingga alokasi waktu, belanja rapat dinas maupun rutin mendominasi anggaran, baik Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) setiap tahunnya.
            Selain pemborosan atau inefisiensi anggaran, efektivitas dan produktivitas kinerja eksekutif (presiden, gubernur, bupati/walikota) mengeksekusi berbagai program, termasuk blusukan untuk memastikan suatu program berjalan atau tidak agar tidak terulang lagi laporan ‘asal bapak senang/ABS’ dari perangkat-perangkat pelaksana di lapangan. Untuk itu, Pemerintahan Jokowi-JK sudah seharusnya mengevaluasi berbagai jenis-jenis rapat, perjalanan dinas yang boros anggaran agar Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) digunakan efisien, efektif sesuai amanat Undang-undang seperti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
            Rencana pemerintahan Jokowi-JK yang ingin mengevaluasi sistem anggaran, termasuk memangkas belanja-belanja tak urgen adalah suatu langkah cerdas dan jenial sebab perbandingan alokasi belanja aparatur dengan alokasi belanja pembangunan amat sangat jomblang serta tidak masuk akal. Belum lagi peluang-peluang korupsi anggaran dengan memanfaatkan multitafsir atau pasal karet yang terdapat pada peraturan perundang-undangan maupun peraturan daerah (Perda) yang ada saat ini.
            Revolusi Mental dicanangkan Joko Widodo (Jokowi) didukung Kabinet Kerja Jokowi-JK adalah harapan baru bangsa ini yang telah lama dicengkram mental-mental Pangreh Praja serta mensakralkan jabatan menjadikan daulat rakyat terabaikan dalam penyelenggaraan negara atau pemerintahan. Mental-mental Pangreh Praja para pejabat publik harus benar-benar direvolusi oleh pemerintahan Jokowi-JK sebab sejatinya eksekutif (presiden, gubernur, bupati/walikota) adalah Pamong Praja (Parhobas-red) untuk mewujudkan masyarakat makmur, adil dan sejahtera sesuai janji Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945.
            Sebagai Kabinet Kerja menteri-menteri pemerintahan Jokowi-JK tentu harus mampu mengartikulasikan agenda-agenda besar Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) dalam wujud kerja nyata, terukur, terpadu, terintegrasi dengan menghilangkan egoisme sektoral masing-masing menteri, gubernur, bupati/walikota sebagai wujud nyata Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
            Konektivitas antar wilayah melalui pembangunan kemaritiman yang dicanangkan Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) membuka peluang bangsa ini pusat perdagangan terbesar di abad ini. Selain daripada itu, daerah-daerah tapal batas yang selama ini termarjinalkan dalam kebijakan pembangunan akan diberdayakan secara optimal benteng-benteng ketahanan negara menjaga berbagai ancaman, gangguan dari luar. Pemberdayaan masyarakat tapal batas melalui peningkatan ekonomi dan kesejahteraan merupakan kunci utama keutuhan bangsa di masa akan datang.
            Sungguh luar biasa apa yang dikatakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam pidato perdananya, bahwa sudah lama bangsa ini memunggungi laut, teluk, pantai, padahal 2/3 luas wilayah republik ini terdiri dari laut serta memiliki sumber kekayaan negara sangat luar biasa untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat maupun negara.
            Berteriak, mengerang atas pencurian, penjarahan kekayaan laut yang dilakukan bangsa-bangsa asing tanpa kerja…, kerja…, dan kerja… nyata untuk menghentikannya adalah pekerjaan sia-sia. Bahkan, pencaplokan pulau-pulau sebagaimana nasib pulau Sipadan dan Ligitan adalah akibat pengabaian menjaga dan mempertahankan wilayah kedaulatan Republik Indonesia yang harus menjadi pelajaran berharga dan tidak boleh terulang kembali di masa-masa mendatang.
            Oleh sebab itu, agenda besar pemerintahan Jokowi-JK dengan Kabinet Kerja Jokowi-JK adalah jawaban nyata untuk “Melanjutkan Revolusi Belum Selesai” yang dititipkan Bung Karno untuk segera menghadirkan daulat rakyat, daulat bangsa, daulat negara yang bukan hanya mimpi semata, tapi nyata…, nyata…, dan nyata di republik ini.
            Inilah cita-cita para Pahlawan Bangsa yang mengorbankan harta, jiwa demi Indonesia Merdeka.
            Jawaharlal Nehru (1947) mengatakan, “Ambisi utama para orang besar di zaman kita adalah menghapus air mata. Mungkin tugas ini takkan terselesaikan seumur hidup kita. Namun yang jelas, selama masih ada air mata, selama itu pula kita masih harus bekerja. Inilah yang harus kita lakukan, yakni bekerja dan bekerja, guna mewujudkan mimpi-mimpi kita” (Haris Munandar, Terj, 2008).  
            Selamat bekerja Kabinet Kerja Jokowi-JK untuk mewujudkan Indonesia Hebat.
                                                                                                Medan, 10 November 2014

                                                                                                Thomson Hutasoit.
(Alumni Pemantapan Nilai-Nilai Kebangsaan Lemhannas RI bagi kalangan Akademisi, Birokrasi, Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama, Tokoh Adat, Tokoh Pemuda Provinsi Sumatera Utara, tahun 2014).