Sabtu, 03 November 2012



Degradasi Sumpah Pemuda 1928
Sebuah refleksi antara harapan dan fakta empirik kekinian 

Oleh : Thomson Hutasoit
Direktur Eksekutif LSM Kajian Transparansi Kinerja Instansi Publik (ATRAKTIP)


            Momentum memperingati Hari Ulang Tahun (HUT) Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 ke 84 yang dirayakan pada tanggal 28 Oktober 2012 dengan berbagai pernak-pernik kemegahan diseluruh penjuru seantero Nusantara adalah merupakan perhelatan akbar para kawula-kawula muda di republik ini.
            Peringatan Hari Sumpah Pemuda 1928 adalah salah satu penggalan sejarah perjalanan perjuangan bangsa memiliki nilai hakiki perubahan mindset atau pola pikir rakyat Nusantara dari sifat sektoral-primordial ke pola pikir nasional atau kebangsaan diikat sebuah sumpah ”Bertanah air satu,  Berbangsa satu,  Berbahasa satu, yaitu Indonesia”.
            Makna hakiki dari sumpah ”satu tanah air, satu bangsa, satu bahasa,   INDONESIA” adalah lahirnya Nasionalisme Indonesia sejak dari Sabang hingga ke Merauke sebagai saudara sekandung putra-putri Ibu Pertiwi Nusantara tanpa mempertentangkan perbedaan, keragaman, kemajemukan, cermin nyata Bhinneka Tunggal Ika atau pluralisme bangsa Indonesia.
            Aneka macam perbedaan, keragaman, kemajemukan adalah kekayaan Nusantara yang harus dijaga, dirawat dan dilestarikan di dalam ”Rumah Besar Indonesia” sepanjang masa. Sehingga peringatan Sumpah Pemuda 28 Oktober setiap tahun tidak sekadar upacara seremonial hampa arti dan makna bagi pemuda-pemudi di seluruh penjuru Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
            Sebagai penggalan sejarah perjalanan perjuangan bangsa maka peringatan hari Sumpah Pemuda perlu dimaknai melalui sebuah refleksi antara harapan dan fakta empirik kekinian, dimana pada era belakangan ini kerap terjadi tawuran antar pelajar, bentrok antar mahasiswa, bentrok antar organisasi kepemudaan (OKP), tindakan kriminal geng motor, penggunaan Narkoba, seks bebas menimbulkan berbagai ekses negatif seperti; keresahan, ketakutan, situasi mencekam, pengrusakan fasilitas umum, penghilangan nyawa, dekadensi moral serta berbagai tindak kriminal lain mengusik rasa aman dan nyaman masyarakat, bangsa maupun negara.
            Tindakan demikian tentu sangat merugikan eksistensi pemuda serta sangat kontra produktif dengan karya monumental Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 lahirnya Nasionalisme bangsa Indonesia jilid I yakni menggapai kemerdekaan 17 Agustus 1945.
            Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 telah mampu melahirkan sebuah konsensus nasional mempersatukan aneka perbedaan, keragamanan, kemajemukan rakyat Nusantara sebagai satu bangsa yakni bangsa Indonesia, dan dengan segala kebijaksanaan, kebajikan, serta keluhuran jiwa para pemuda sejak dari Sabang hingga ke Merauke bersumpah untuk membangun kebangsaan dan keindonesiaan dilandasi saling menghormati, saling menghargai aneka perbedaan, keragaman, kemajemukan dalam kesetaraan, kesederajatan sesama mahkluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.
            Karya monumental itu tidak terlepas dari penginderaan serta pengalaman empirik perjuangan rakyat Nusantara yang tidak pernah berhasil merebut kemerdekaan karena masih bersifat kedaerahan ataupun bersifat sektoral. Penginderaan serta pengalaman empirik itulah salah satu elemen dasar melahirkan kesadaran baru (nasionalisme-red) bagi para pemuda-pemudi di seluruh penjuru Nusantara dimotori tokoh-tokoh pemuda yang telah memiliki intelektualitas di masa itu.
            Harus  disadari pula bahwa peran strategis pemuda pada suatu bangsa merupakan aset maha dahsyat sehingga apabila suatu bangsa gagal membangun sumber daya manusia (SDM) pemuda berkarakter maka bangsa tersebut akan punah atau lenyap dari muka bumi ini, seperti; negara Uni Sovyet Rusia, Jugoslavia, dan lain-lain.
            Pemuda adalah pewaris bangsa, pemegang tongkat estafet kepemimpinan, pemilik masa depan sehingga harus benar-benar disiapkan melalui pembangunan karakter bangsa (national character building)  sebagaimana telah diingatkan pendiri bangsa (founding fathers) Bung Karno. Bahkan Bung Karno dengan gamblang menyatakan,”Berikan saya sepuluh orang pemuda-pemudi terbaik akan saya goncang dunia”. Pernyataan sedemikian lantang dan gamblang bukanlah isapan jempol semata, tetapi bukti dan fakta nyata pemahaman seorang pemikir besar yang telah melihat, memahami paripurna betapa strategis peran dan fungsi pemuda sebagai agen pembaharuan yang mampu mengubah wajah dunia. Misalkan saja, Thomas Alfa Edision penemu listrik, Bill Microsoft Gate yang menemukan mikrosoft, dan lain-lain.

Pemuda pemegang tongkat estafet kepemimpinan.
            Perkembangan suatu bangsa ditandai dengan proses regenerasi kepemimpinan alamiah sebab bagaimana pun para pemimpin-pemimpin bangsa akan otomatis mengalami pergantian sesuai perputaran waktu yang tidak ada satu orang pun mampu untuk menahan atau menundanya.
            Seandainya dilakukan penelitian komprehensif maka para pemuda pelaku sejarah Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 lalu mungkin hanya tinggal hitungan jari tangan saja sebab peristiwa bersejarah itu sudah 84 tahun, sementara rata-rata harapan hidup bangsa Indonesia dikisaran 65-70 tahun. Sehingga para pelaku sejarah Sumpah Pemuda 1928 kini hanya tinggal beberapa orang saja.
            Para pemimpin bangsa saat ini tentu merupakan regenerasi pelaku sejarah Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, bahkan belum lahir ketika peristiwa bersejarah itu terjadi. Oleh sebab itu, tidak mustahil pula tidak mengetahui, memahami makna hakiki Sumpah Pemuda secara paripurna walau kini telah menduduki posisi strategis kepemimpinan nasional ataupun daerah sehingga sering berpikir dan bertindak setback yakni menonjolkan fanatisme suku, agama, ras, antargolongan/SARA maupun kedaerahan.
            Pola pikir dan pola tindak demikian tentu saja sangat kontroversial dengan makna sejati Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 lalu yang dengan jiwa besar memandang perbedaan, keragaman, kemajemukan merupakan modal besar kekayaan Indonesia harus dijaga, dirawat, serta dikembangkan melalui saling menghormati, saling menghargai sesama anak Ibu Pertiwi Nusantara yang memiliki hak hidup dan punya masa depan dalam kesetaraan, kesederajatan, dan kesimbangan tanpa kecuali.
            Suku Batak, suku Nias, suku Minangkabau, suku Melayu, suku Jawa, suku Aceh, suku Ambon, suku Sunda, suku Bali, suku Asmat, suku Anak Dalam, suku Bugis, suku Papua, suku Toraja, Tionghoa, dan lain-lain adalah saudara sekandung putra-putri Ibu Pertiwi pewaris negara-bangsa Indonesia sebagaimana telah diikrarkan melalui Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.
            Sebagai pemegang tongkat estafet kepemimpinan bangsa para pemuda-pemudi bangsa tentu harus mengetahui, memahami paripurna makna sejati peristiwa bersejarah itu sehingga para pemuda-pemudi bangsa Indonesia tidak mudah dibenturkan, dikotak-kotakkan dengan alasan apa pun yang akan menciderai, melukai, serta mendegradasi eksistensi pemuda di republik ini.
            Para pemuda harus bangkit di garda terdepan untuk melawan segala upaya yang bermasuk serta bertujuan mencabik-cabik keutuhan bangsa sebab pemuda merupakan pemegang tongkat estafet kepemimpinan di republik ini. Pemahaman paripurna makna sejati Sumpah Pemuda 1928 merupakan alat evaluasi eksistensi kepemudaan apakah masih tetap teguh mempertahankan ”Bertanah air satu, Berbangsa satu, Berbahasa satu yaitu INDONESIA”. Dengan demikian para pemuda di republik ini tidak pernah sekali-sekali pun berpikir melakukan pengkotak-kotakan sesama anak bangsa walau dengan alasan apa pun.
            Peran strategis pemuda ditengah-tengah masyarakat, bangsa maupun negara tidak boleh dianggap sepele sebab regenerasi kepemimpinan bangsa akan berlangsung alamiah sesuai dengan perputaran waktu dari masa ke masa, sehingga para pemuda harus benar-benar dipersiapkan komprehensif paripurna supaya regenerasi kepemimpinan bangsa berlangsung tanpa hambatan apa-apa. Karena biar bagaimana pun pergantian tampuk kepemimpinan nasional ataupun daerah akan berlangsung secara otomatis sesuai pergantian masa. 
            Oleh karena itu, pendidikan kader bangsa merupakan suatu keniscayaan atau keharusan yang perlu segera dilakukan secara berkesinambungan untuk melahirkan kandidat-kandidat pemimpin untuk memegang tongkat estafet kepemimpinan di segala lini agar bangsa ini tidak mengalami defisit pemimpin negarawan yang menghormati, menghargai pluralisme Indonesia sebagaimana telah diikrarkan para tokoh-tokoh pemuda 28 Oktober 1928 lalu.
            Kelanggengan (survival) suatu bangsa tidak terlepas dari kemampuan bangsa bersangkutan untuk mempersiapkan proses regenerasi alamiah melalui langkah-langkah nyata pendidikan kader bangsa sehingga terlahir pemimpin-pemimpin bangsa mumpuni serta berkarakter kebangsaan dan keindonesiaan ditandai pertumbuhan dan perkembangan nasionalisme bangsa Indonesia di segala sektor perikehidupan berbangsa dan bernegara.
Nasionalisme bangsa yang kuat ditandai tumbuhnya rasa cinta terhadap bangsa di atas segala kepentingan sektoral, atau dengan perkataan lain menempatkan kepentingan nasional di atas kepentingan mana pun juga. 
            Hal itu lah yang telah diwariskan para tokoh-tokoh pemuda 1928 sebagai warisan luhur yang harus dijaga, dirawat, dilestarikan para pemuda bangsa Indonesia sepanjang masa, bukan hanya sekadar melaksanakan upacara seremonial hampa arti dan makna, selain menghabiskan dana, menguras pikiran dan tenaga ataupun acara-acara seremoni memperingati hari Sumpah Pemuda setiap tahunnya.

Paradoks  Sumpah Pemuda 1928.
            Bila 84 tahun lalu para pemuda memotori lahirnya nasionalisme kebangsaan keindonesiaan melalui Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 maka era belakangan ini justru terjadi hal kontroversial dimana para pemuda sering melakukan tindakan-tindakan tak terpuji seperti tawuran antar pelajar, tawuran/bentrok antar mahasiswa, bentrok antar organisasi kepemudaan (OKP), tindakan kriminal geng motor, terlibat Narkoba, seks bebas, dan lain sebagainya sehingga menimbulkan ”Sumpah Serapah” ditengah-tengah masyarakat, bangsa maupun negara.
            Hal itu menjadikan eksistensi pemuda ditengah-tengah masyarakat, bangsa maupun negara semakin terdegradasi hingga ke titik nadir ketidakpercayaan sebagai generasi penerus pewaris bangsa. Situasi kondisi demikian tentu sangat tidak menguntungkan dalam kebersinambungan atau kelanggengan perjalanan bangsa ke depan.
            Sungguh memprihatinkan sekaligus mencemaskan hasil jajak pendapat ”Kompas” 29 Oktober 2012, dimana dikatakan, ”Opini publik ini mencerminkan kenyataan di lapangan. Tawuran, misalnya, kejadiannya memang meningkat pesat dalam setahun terakhir. Data Komisi Nasional Perlindungan Anak merekam angka kejadian tawuran pelajar dari 128 kejadian pada tahun 2010 menjadi 339 kejadian pada tahun 2011.
            Aksi kekerasan berkelompok yang ditunjukkan para geng remaja dalam tawuran dan bentrokan menunjukkan perilaku berorganisasi kaum muda telah tercerabut dari ikatan norma harmonisasi dalam masuarakat tradisional. Komunitas masa kini merupakan imajinatif, tidak melulu terjadi secara alamiah terikat pada tempat geografis, tetapi juga berdasarkan kesamaan persepsi dan perasaan.
            Secara psikologis, individu muda terserak dan terkotak dalam komunitas imajiner. Hasrat untuk berbagi dalam komunitas menjadi lebih penting ketimbang kebutuhan merawat mekanisme sosial dalam masyarakat yang lebih luas”.
            Situasi kondisi demikian tentu sangat kontra produktif dengan apa yang telah ditorehkan para pemuda di masa silam. Sehingga peran strategis pemuda sebagai perekat bangsa semakin terdegradasi secara nyata era belakangan ini.
            Peran strategis para pemuda yang memiliki keberanian serta kekuatan pendobrak sekat-sekat sektarianis-primordialis yang menjadi salah satu ancaman pluralisme kebangsaan Indonesia semakin tidak tampak dengan nyata sebab para pemuda serta organisasi kepemudaan (OKP) telah terjebak pada kepentingan individu, kelompok maupun golongan menjadikan pemuda surut kebelakang (setback) dalam berpikir dan bertindak.
            Padahal sebagai generasi penerus bangsa pola pikir dan pola tindak demikian merupakan salah satu ancaman nyata keutuhan serta kelanggengan berbangsa dan bernegara di masa akan datang. Para pemuda harus memahami paripurna bahwa kelangsungan perjalanan bangsa tidak terlepas dari kesiapan pemuda untuk melanjutkan tongkat estafet kepemimpinan seiring dengan lengsernya para kaum tua dari tampuk kepemimpinan di segala lini. Akan tetapi bila para pemuda masih terjebak dengan pertarungan kepentingan individu, kelompok maupun golongan maka akan sulit ditemukan pemimpin negarawan untuk melanjutkan kesinambungan kepemimpinan ke depan.
            Oleh karena itu, tawuran antar pelajar, tawuran antar mahasiswa, bentrok antar organisasi kepemudaan (OKP), terlibat Narkoba, tindakan kriminal geng motor, kebebasan seksual yang melibatkan para pemuda patut disayangkan sekaligus mencerminkan degradasi Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 perlu diwaspadai segera oleh seluruh stakeholders republik ini agar para pemuda kembali ke habitatnya sebagai kekuatan pendobrak, garda terdepan mempertahankan keutuhan bangsa sebagaimana telah ditunjukkan para pemuda di era 1928 lalu.
            Energi pemuda maha dahsyat perlu diarahkan untuk melahirkan karya-karya jenial monumental sehingga para pemuda benar-benar menjadi kekuatan bangsa di fora internasional serta kebanggaan bangsa di mata dunia.
            Patut diacungi jempol sikap para pemuda di Kota Solo Jawa Tengah, dan sekitarnya mendeklarasikan Sumpah Pemuda Jilid II. Dalam deklarasi yang digelar Gerakan Anti-Korupsi Solo Raya Bramastia di Joglo Taman Sriwedari, Kota Solo yang membacakan tiga butir tambahan yang berbunyi, ”Kami Putra-Putri Indonesia Berideologi Satu, Ideologi Pancasila, dan Kami Putra-Putri Indonesia Mengembalikan Konstitusi kepada UUD 1945 yang asli”.
            Ketua Gerakan Pemuda Anti-Korupsi Solo Raya Bramastia menyatakan, reformasi semestinya tidak membuat bangsa ini melupakan gagasan para pendiri bangsa mengenai bangsa ini.
            Wakil Gubernur Jawa Tengah Rustriningsih, dalam sambutan yang dibacakan Kepala Bidang Pembangunan Badan Koordinasi Wilayah II Jawa Tengah Bambang Sudarmono, mengatakan deklarasi ini hendaknya tidak sebatas seremoni, tetapi diwujudkan dalam bentuk kebangkitan pemuda untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam mengisi kemerdekaan.
            Di titik nol kilometer Yogyakarta, ratusan siswa sekolah menengah atas menggelar deklarasi sekolah Indonesia sejahtera. Deklarasi ini muncul sebagai bentuk keprihatinan terhadap maraknya aksi kekerasan, khususnya kekerasan di lingkungan sekolah.
            Dalam kesempatan ini, sekitar 400 siswa dari beberapa SMA dan SMK se-Yogyakarta menyampaikan empat poin deklarasi. Poin pertama, pernyataan kecintaan pada Tanah air; poin kedua, komitmen menjunjung tinggi nilai budaya; poin ketiga, berjanji saling menghormati dan menghargai perbedaan; serta poin keempat, berkomitmen saling menjaga dan tidak saling menjatuhkan”.
            Selain anak-anak SMA dan SMK, ribuan mahasiswa dan pelajar dari berbagai macam asrama di Yogyakarta juga menyampaikan deklarasi kongres pemuda Nusantara yang berbunyi, tolak bentuk kekerasan apa pun, kembali ke ideologi Pancasila, optimalkan peran lembaga dan media untuk selesaikan persoalan kekerasan, serta membangun komitmen dan kesadaran bersama untuk memberantas korupsi.
            Rektor Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, Pratikno, yang juga hadir dalam upacara tersebut mengatakan spirit Sumpah Pemuda jangan sampai berhenti pada pernyataan deklarasi semata, tetapi membutuhkan implementasi dalam kehidupan sehari-hari. ”Pemuda harus mampu meningkatkan kualitas akademis, integritas moral, serta meningkatkan kemampuan kepemimpinan dan manajerial untuk menyongsong masa depan”(Kompas, Senin 29 Oktober 2012, Halaman 4, Kolom 5-7).
            Deklarasi pemuda jilid II yang dikumandangkan dari kota pelajar yang selalu berkomitmen kuat untuk menjaga serta melestarikan kearifan lokal itu patut dimaknai sebuah permenungan serta refleksi Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 di sela-sela terjadinya degradasi karakter moral para pemuda masa kini akibat ulah segelintir pemuda yang doyan tawuran, bentrok, pengguna Narkoba, seks bebas, geng motor, serta aneka tindakan kriminal lainnya. Sehingga berbagai prestasi gemilang yang telah diraih putra-putri bangsa di fora internasional seperti juara Olimpiade Matematika, Fisika, serta mobil Esemka, juara dunia tinju dan lain-lain tenggelam akibat ulah segelintir pemuda yang menimbulkan keresahan, kecemasan, ketidaknyamanan, ketidakamanan, serta situasi mencekam sebagaimana diberitakan media massa di republik ini.


Nasionalisme Pemuda Jilid II.
            Pembentukan karakter kebangsaan dan keindonesiaan dimulai sejak Gerakan Budi Utomo 1908, Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, selanjutnya Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 sebagai pernyataan atau maklumat ke seluruh dunia lahirnya sebuah negara-bangsa merdeka yaitu Negara Republik Indonesia.
            Para pemuda di seluruh penjuru Nusantara telah mampu melahirkan Nasionalisme Jilid I yakni perjuangan perebutan kemerdekaan dari tangan kolonial melalui perjuangan bersama seluruh rakyat Nusantara dimotori para pemuda tampil di garda terdepan rela menanggalkan fanatisme sektarianis-primordialis seperti; suku, agama, ras, antargolongan/SARA maupun faham kedaerahan menjadi faham kebangsaan dan keindonesian sebagaimana isi Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 yakni; bertanah air satu, tanah air Indonesia, berbangsa satu, bangsa Indonesia, berbahasa satu, bahasa Indonesia.
            Nasionalisme Jilid I merupakan jawaban nyata seluruh rakyat Indonesia atas kekejaman, kekejian, serta kebiadaban penjajah kolonial di bumi Nusantara, dimana seluruh anak-anak Nusantara tanpa pandang bulu dijadikan lahan eksploitasi tanpa kedaulatan. Hasil kekayaan Nusantara diboyong ke negara asal penjajah sementara rakyat Nusantara diperlakukan secara tidak berkeadilan. Kerja rodi, tanaman paksa, romusa, dan lain sebagainya adalah contoh nyata pengalaman pahit yang dirasakan rakyat Nusantara sebagai konsekwensi negara terjajah di masa lalu.
            Kesamaan senasib sependeritaan, perlakuan ketidakadilan, pemerkosaan hak-hak rakyat di bumi Nusantara itulah mempersatukan perjuangan seluruh rakyat Nusantara menuju perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Sehingga Nasioanalisme Jilid I bangsa Indonesia yang dimotori para pemuda adalah perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945.
            Kini setelah 84 tahun Sumpah Pemuda peran strategis pemuda Indonesia sebagai garda terdepan perekat bangsa terkesan mengalami degradasi ditengah-tengah masyarakat, bangsa maupun negara karena fakta kekinian menunjukkan situasi kondisi paradoksal seperti maraknya tawuran antar pelajar, tawuran antar mahasiswa, bentrok antar organisasi kepemudaan (OKP), tindakan kriminal, geng motor, penyalahgunaan Narkoba, seks bebas, dan lain-lain menjadikan eksistensi pemuda semakin dipertanyakan.
            Peran strategis pemuda seluruh Indonesia untuk mencapai kemerdekaan bangsa adalah fakta sejarah yang tidak boleh dilupakan serta diingkari sehingga tidaklah terlalu berlebihan bila dikatakan pemuda adalah aset bangsa, tiang bangsa, serta pewaris tongkat estafet kepemimpinan bangsa maha penting bagi kelangsungan, kelanggengan bangsa Indonesia sepanjang masa.
            Akan tetapi, perjuangan Pemuda Jilid I yakni merebut kemerdekaan bangsa Indonesia dari tangan penjajah kolonial belum lah usai sebab pada Alinea kedua Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 secara gamblang dikatakan, ”Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa menghantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur”.
            Para pemuda sebelum dan saat kemerdekaan bangsa Indonesia yakni Gerakan Bung Utomo 1908, Sumpah Pemuda 28 Oktober 1945, Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945  telah menghantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia dengan selamat sentosa yang merupakan saat yang berbahagia yakni lahirnya satu bangsa merdeka, berdaulat di percaturan bangsa-bangsa dunia.
            Pernyataan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia bermakna bahwa proklamasi kemerdekaan adalah jembatan untuk mewujudkan kemerdekaan sejati yakni terwujudnya masyarakat makmur, sejahtera, serta berkeadilan. Sebab makna sejati sebuah kemerdekaan sebagaimana ditegaskan  Ho Chi Minh adalah, ”Bahwa kemerdekaan bangsa adalah kemerdekaan mayoritas rakyat, adalah untuk menciptakan kebahagiaan murni dan merata kepada seluruh rakyat, dan kemerdekaan hanya pantas dinamakan sebagai kemerdekaan adalah dalam hal dalam negeri dimaksud tidak ada lagi yang masih menderita atau yang masih belum mengalami kebahagiaan dalam hidupnya” (Fajar As, 1998).
            Peran strategis pemuda pemegang tongkat estafet kepemimpinan bangsa pasca kemerdekaan tentu harus mampu mengisi kemerdekaan itu secara nyata. Sebab kemerdekaan bukanlah akhir dari perjuangan pergerakan pemuda Indonesia, tetapi titik awal mewujudkan kehidupan kebangsaan yang bebas, merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
            Oleh karena itu, aras perjuangan pergerakan pemuda jilid II adalah memenuhi janji-janji kemerdekaan yakni mendorong terwujudnya perlindungan segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa kecuali.
            Fakta empirik yang terjadi ditengah-tengah kehidupan masyarakat, bangsa pasca kemerdekaan adalah angka kemiskinan, angka pengangguran, angka kebodohan, ketidakadilan, diskriminasi, ketidaknyamanan, korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) masih tinggi sehingga janji kemerdekaan untuk menghadirkan kebahagiaan kepada seluruh rakyat Indonesia masih belum terwujud hingga saat ini.
            Pemuda sebagai pewaris bangsa, agen pembaharuan dan pembangunan, pemegang tongkat estafet kepemimpinan bangsa tentu memiliki tanggung jawab untuk merumuskan ikon perjuangan pergerakan pemuda dari fakta emprik yang membelenggu bangsa saat ini.
            Issu kemiskinan, pengangguran, kebodohan, ketidakadilan, diskriminasi, KKN, serta penguasaan investasi asing atas kekayaan negara, termasuk sumber-sumber kekayaan negara yang menguasai hajat hidup rakyat banyak harus segera dijadikan musuh bersama seluruh pemuda di bumi Nusantara agar bangsa Indonesia memiliki kedaulatan di mata dunia internasional. Bukan justru sebaliknya, membangkitkan kembali faham-faham sektarianis-primordialis seperti; suku, agama, ras, antargolongan/SARA maupun fanatisme kedaerahan menjadi sumbu pemantik disintegrasi bangsa yang mengancam ”bubar” republik ini.
            Para pemuda dengan tingkat intelektualitas yang semakin meningkat bila dibandingkan ketika republik ini memperjuangkan kemerdekaan di masa lalu  seharusnya lebih cerdas mengetahui, memahami makna sejati kebangsaan dan keindonesiaan pluralistik sehingga gesekan, benturan, ataupun konflik yang dilatari perbedaan, keragaman, kemajemukan bangsa Indonesia tidak pelu lagi dipertentangkan, dibenturkan, termasuk pada pemilihan kepala daerah (Pilkada) di seluruh Indonesia.
            Oleh karena itu, mempertentangkan issu-issu sektarianis-primordialis dengan alasan apapun juga merupakan pengingkaran, pengkhianatan terang-benderang terhadap makna sejati Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, serta Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 yang menjadi ancaman laten keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan Pancasila, UUD Republik Indonesia 1945, serta Bhinneka Tunggal Ika. 

Penutup.
            Peringatan hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 yang dirayakan setiap tahun bukanlah sekadar upacara seremoni, tetapi napak tilas lahirnya INDONESIA melalui komunike bersama putra-putri seluruh rakyat Nusantara bersumpah dan mengakau, ”Bertanah air satu, tanah air Indonesia, berbangsa satu, bangsa Indonesia, berbahasa satu, bahasa Indonesia”.
            Satu Indonesia untuk seluruh rakyat, seluruh rakyat untuk satu Indonesia. Indonesia adalah “Rumah Besar” warisan segenap rakyat Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.
            Satu nusa, satu bangsa, satu bahasa kita yaitu INDONESIA. Hai Pemuda-Pemudi Indonesia di pundak mu lah menjaga, merawat, melestarikan, membangun kejayaan Indonesia sepanjang masa.
                                                                                      Medan, 28 Oktober 2012

                                                                                      Thomson Hutasoit.     

Senin, 10 September 2012

Sinode Godang HKBP 2012 Harus Menjadi Terang Dunia


Medan, DETEKSINEWS.

Direktur Eksekutif Lembaga Swadaya Masyarakat Kajian Transparansi Kinerja Instansi Publik (ATRAKTIP) Drs. Thomson Hutasoit mengatakan, ” Sinode Godang HKBP 2012 di Pearaja Tarutung harus menjadi terang Dunia” agar Sinode para imam ini benar-benar menjadi contoh tauladan berdemokrasi dilandasi iman dan etika yang masih barang langka di republik ini.

Hal itu dikatakannya kepada wartawan Deteksinews hari Sabtu (8/9) di Medan.

Sinode Godang HKBP tahun 2012 merupakan momentum strategis sekaligus pembuktian kebenaran suara nabiah yang selama ini dikumandangkan para imam-imam Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) kepada seluruh umat HKBP maupun kepada seluruh umat manusia di atas bumi ini, tegas anggota jemat HKBP Maranatha Resort HKBP Maranatha Jalan Perkutut Medan.

Sebagai anggota jemat HKBP kita sangat mengharapkan agar suksesi kepemimpinan HKBP tahun 2012 berlangsung dengan penuh damai serta sejuk sehingga suksesi kepemimpinan di HKBP benar-benar menjadi terang dunia.

Siapa pun yang terpilih menjadi pucuk pimpinan HKBP biarlah sesuai  kehendak Tuhan Yesus Kristus agar HKBP benar-benar menjadi terang, dan garam dunia, tegasnya.

Kita berharap kepada seluruh peserta Sinode Godang HKBP tahun 2012 di Pearaja Tarutung agar tetap mengandalkan Tuhan dalam menentukan pilihan siapa pimpinan HKBP di masa-masa yang akan datang.

Seluruh jemat HKBP di seluruh dunia tentu sangat berharap kesuksesan pelaksanaan Sinode Godang HKBP di Pearaja Tarutung dan siapa pun yang terpilih menjadi pucuk pimpinan HKBP biarlah kehendak Tuhan yang terjadi di dalam gerejanya, ujarnya.

Sinode Godang HKBP adalah perhelatan demokrasi didasari iman percaya maka pelaksanaan Sinode Godang HKBP di Pearaja Tarutung sejak awal hingga akhir harus mampu memancarkan sinar terang ke seluruh penjuru dunia, pintanya. (D01).

 

Sabtu, 08 September 2012

Menilik Iklan Dato' Seri H. Syamsul Arifin, SE


Bagian Kelima (Habis).

Saat butuh dekati sahabat dan rakyat. Kalau tidak butuh ditinggalkan, (lupa diri, lupa berterima kasih).

Salah satu hal penting yang tidak boleh luput dari perhatian rakyat Sumatera Utara pada calon-calon Pilgubsu 2013 adalah munculnya ”sahabat-sahabat palsu” yang hanya mendekati sahabat dan rakyat saat butuh, kalau tidak butuh ditinggalkan.

Hal itu, bisa diketahui melalui pengamatan obyektif komprehensif dari para calon Gubernur Sumatera Utara periode 2013-2018 dengan membuka memori di masa lalu dari calon-calon tersebut.

Seluruh pasangan calon Gubsu 2013 menyatakan diri ”sahabat rakyat”, mendekati, mendatangi dengan sejuta kedermawanan palsu di saat-saat menjelang pemilihan gubernur Sumatera Utara (Pilgubsu) agar rakyat memberikan hak pilih pada pemilihan nanti.

Sahabat seperti itu adalah sahabat palsu yang hanya mendekati sahabat dan rakyat di saat-saat butuh yakni butuh dukungan suara agar bisa memenangi Pilgubsu dan memangku kekuasaan nomor satu di provinsi Sumatera Utara.

Perlu diingat bahwa sahabat palsu adalah saat butuh dekati sahabat dan rakyat, kalau tidak butuh ditinggalkan.

Sahabat palsu akan lupa diri, lupa berterima kasih ketika kekuasaan telah benar-benar berada ditangannya.

Mereka lupa diri, lupa berterima kasih terhadap kebaikan-kebaikan, dukungan  pihak lain terhadap dirinya, dan dengan serta merta membangun tembok pemisah dengan sahabat dan rakyat karena tidak dibutuhkan lagi.

Padahal, Pdt. Halomoan Marpaung, STh, MPSi mengatakan, ”Jadilah menjadi pelupa, tapi hanya untuk 2 (dua) hal saja yakni; Lupakanlah ”Kebaikan” yang kita lakukan kepada orang lain, dan Lupakanlah ”Kesalahan” orang lain kepada kita”.

Orang yang lupa kebaikan yang diberikan kepada orang lain menjadikan seseorang rendah hati, tidak sombong, tidak angkuh karena tidak pernah menghitung-hitung kebaikannya terhadap orang lain.

Apa yang mampu diperbuat (kebaikan-red) selalu dimaknai merupakan suatu kewajaran serta kewajiban solidaritas kemanusiaan yang harus dilakukan.

Orang yang lupa atas kesalahan orang lain menjadikan seseorang panjang sabar, pemaaf, serta mampu menghargai harkat kemanusiaan sejati.

Sahabat sejati tercermin dari kesahajaan dan konsistensi menjalin hubungan persahabatan abadi yang bukan saja dibutuhkan saat-saat butuh, tetapi ketika tidak dibutuhkan ditinggalkan.

Oleh sebab itu, untuk mengetahui apakah calon-calon Gubernur Sumatera Utara 2013-2018 benar-benar sahabat rakyat maka perlu dilacak dari masa lalu calon bersangkutan.

Sebab, Stephen P. Robbins, Ph.D mengatakan, “Prediktor terbaik perilaku seseorang di masa depan ialah perilakunya di masa lalu”.

Artinya, bila seorang Cagubsu di masa lalu tidak pernah peduli dengan sahabat dan rakyat sulit dipercaya bila menyatakan diri sahabat rakyat ketika menjelang masa-masa Pilgubsu.

Pernyataan sahabat rakyat patut diduga suatu kamuflase politik ataupun persahabatan palsu saat butuh dekati sahabat dan rakyat, kalau tidak butuh ditinggalkan, (lupa diri, lupa berterima kasih).

Karakter seperti itu adalah karakter oportunis hanya mengenal, membutuhkan  sahabat dan rakyat ketika dibutuhkan mewujudkan kepentingan diri, kelompok maupun golongannya.

Kebaikan palsu, kedermawanan palsu, persahabatan palsu, dan kepedulian palsu akan diobral para calon oportunis untuk menyesatkan kesadaran rakyat menjelang Pilgubsu akan datang, sehingga rakyat harus cerdas, cermat untuk meneliti sahabat-sahabat palsu agar tidak terkecoh dalam menentukan pilihan pada calon Pilgubsu 2013.

Sahabat sejati tidak akan pernah meninggalkan sahabat dan rakyat ketika menderita, tapi mendukung serta mendorong sahabatnya dan rakyat dari penderitaannya melalui pemikiran dan perbuatan tanpa memperhitungkan untung rugi.

Sebab sahabat bukan hanya diperlukan saat butuh, kalau tidak butuh ditinggalkan.

Salah satu faktor menurunnya elektabilitas pemilihan adalah wanprestasi janji-janji kampanye, dimana pada saat-saat kampanye para calon presiden, gubernur,  bupati/walikota menyatakan diri peduli dengan penderitaan rakyat, tetapi ketika calon itu memenangi pemilihan semua janji-janjinya terlupakan.

Malah berubah menjadi ”monster” melalui berbagai peraturan perundang-undangan, peraturan daerah (Perda) yang mencekik leher rakyat.

Perilaku demikian mendorong tumbuhnya kecurigaan atau ketidakpercayaan  rakyat terhadap para calon sekaligus menimbulkan politik transaksional.

Rakyat berkesimpulan semua calon adalah ”pembohong” siapa yang mampu memberi uang itulah yang akan dipilih sebab semuanya sama, hanya membutuhkan rakyat pada saat pemilihan, ketika pemilihan usai rakyat ditinggalkan.

Pandangan seperti itu harus segera diluruskan melalui pengamatan, penilaian, serta penjajakan masa lalu para calon secara obyektif komprehensif.

Penutup.

Pesan moral iklan Dato’ Seri H. Syamsul Arifin Silaban, SE merupakan suara  ”nabiah” yang perlu dicamkan dan diperhatikan seluruh rakyat Sumatera Utara dalam pesta demokrasi suksesi Gubernur Sumatera Utara periode 2013-2018.

Rakyat Sumatera Utara harus mampu melepaskan diri dari subyektivitas agar mampu menerima dan memahami pesan moral Dato’ Seri H. Syamsul Arifin Silaban, SE sebagai gubernur non aktif akibat tersandung kasus hukum sewaktu menjadi Bupati Langkat.

Sebagai gubernur aktif selama ± 2 tahun memimpin Sumatera Utara dan memantau jarak jauh (dari penjara-red) perjalanan provinsi Sumatera Utara tentu memiliki penilaian tersendiri tentang Cagubsu 2013-2018 akan datang.

Penilaian Dato’ Seri H. Syamsul Arifin Silaban, SE harus pula dilihat dari sudut positif agar pesan moral “suara nabiah” melalui iklan Hari Ulang Tahun (HUT) kemerdekaan RI ke 67 sekaligus himbauan mempererat persatuan dan kesatuan di Provinsi Sumatera Utara dalam pelaksanaan pemilihan pemimpin di Sumatera Utara.

Sebagai gubernur non aktif Dato’ Seri H. Syamsul Arifin Silaban, SE memesankan Pilihlah Pemimpin yang :

  1. Orang yang taat kepada agama.
  2. Orang yang tidak serakah.
  3. Orang yang tidak sombong.
  4. Orang yang tidak munafik. Saat butuh dekati sahabat dan rakyat. Kalau tidak butuh ditinggalkan, (lupa diri, lupa berterima kasih).

Pesan moral itu merupakan himbauan sekaligus peringatan kepada seluruh rakyat Sumatera Utara agar tidak salah pilih terhadap calon-calon yang bertebaran saat ini.

Semua calon gubernur Sumatera Utara (Cagubsu) 2013-2018 menyatakan diri sahabat rakyat, tatapi rakyat harus cerdas dan cermat melihat mana sahabat sejati, mana pula sahabat palsu.

Sahabat sejati tidak akan pernah meninggalkan sahabatnya ketika menderita.

Sedangkan sahabat palsu, saat butuh dekati sahabat dan rakyat, kalau tidak butuh ditinggalkan, (lupa diri, lupa berterima kasih).

Himbauan sekaligus peringatan ini merupakan hal sangat penting sehingga rakyat Sumatera Utara memperhatikan dengan seksama dalam menentukan pilihan pada pemilihan gubernur Sumatera Utara (Pilgubsu) 2013.

Medan, 25 Agustus 2012

Thomson Hutasoit.

Penulis: penulis buku Meneropong serta Mengamati Visi-Misi Gubernur Sumatera Utara H. Syamsul Arifin Silaban, SE ’ Rakyat Tidak Lapar, Rakyat Tidak Bodoh, Rakyat Tidak Sakit, dan Punya Masa Depan’, tinggal di Medan.    

   



    







Jumat, 07 September 2012

Menilik Iklan Dato' Seri H. Syamsul Arifin, SE


Bagian Keempat.

Orang yang tidak munafik.

Salah satu penyakit manusia paling berbahaya adalah mengidap sifat munafik.

Sebab menurut KBBI (2007) Munafik adalah berpura-pura percaya atau setia dan sebagainya kepada agama dan sebagainya, tetapi sebenarnya di hatinya tidak; suka (selalu) mengatakan sesuatu yang tidak sesuai dengan perbuatannya; bermuka dua.

Degradasi karakter moral paling mengkhawatirkan era belakangan ini adalah ketidaksejajaran antara perkataan dengan perbuatan atau perlakuan alias munafik.

Seseorang bisa berbicara sangat religius akan tetapi tindak-tanduknya sangat bejat dan menjijikkan serta biadab.

Dalam tatanan kata-kata atau kalimat semua orang sangat membenci tindak pidana korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) tetapi sangat sulit menemukan orang yang benar-benar bersih dari tindakan-tindakan tercela serta melanggar hukum.

Bila diperhatikan dengan cermat bahwa bangsa ini sangat malu bila disebut tidak beragama tetapi keberagamaan belum secara nyata membuat orang malu melakukan tidakan tercela, korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) serta penyelewengan amanah.

Bahkan sangat memprihatinkan sekaligus memalukan hampir di seluruh lini kehidupan berbangsa dan bernegara tindakan-tindakan sangat bertentangan dengan ajaran religius kerap dilakukan tanpa urat malu.

Sifat munafik atau keberpura-puraan yang dibungkus dengan berbagai kemahiran menggunakan kaidah-kaidah religius menjadikan seseorang bermuka ”malaikat” berjiwa ”setan” menabur angin menuai badai.

Seseorang pemimpin memiliki sifat munafik akan mendatangkan malapetaka terhadap rakyat yang dipimpinnya sebab seluruh kata-kata terlontar dari mulutnya hanyalah kepalsuan walau dilontarkan ala ”nabiah”.

Orang munafik selalu bermuka dua yakni lain perkataan dengan perbuatan atau perlakuan sehingga muncul pameo ”muka nabi pikiran kotor”.

Akibatnya, kepercayaan terhadap pemimpin menjadi suatu kemustahilan.

Padahal esensi kepemimpinan adalah kepercayaan sebab mustahil memimpin orang yang tidak memercayai.

Stephen P. Robbins, Ph.D (2009) seorang pemimpin harus mampu membangun hubungan saling memercayai, antara lain:

  1. Bersikap terbuka; Ketidakpercayaan berasal dari apa yang orang tidak ketahui dan dari apa yang mereka ketahui, sama banyaknya. Jagalah agar orang-orang tetap memperoleh informasi, buatlah kriteria dengan sangat gamblang mengenai bagaimana keputusan dibuat, jelaskan alasan yang mendasari keputusan, bersikaplah terus terang mengenai berbagai persoalan, dan bukalah sepenuhnya informasi yang relevan.
  2. Bersikap adil; Sebelum membuat keputusan atau mengambil tindakan, pertimbangkanlah bagaimana orang lain akan mempersepsikannya dalam pengertian obyektivitas dan keadilan. Berikan penghargaan kepada seseorang yang memang berhak menerimanya, bersikaplah obyektif dan tidak memihak di dalam penilaian kerja, dan berilah perhatian pada persepsi keadilan dalam distribusi penghargaan.
  3. Ungkapkan perasaan Anda; Para menajer yang hanya menyampaikan fakta-fakta keras dianggap dingin dan berjarak. Jika Anda berbagi perasaan, orang lain akan memandang Anda sebagai nyata dan manusiawi.
  4. Katakan kebenaran; Kebenaran adalah bagian inheren dari integritas. Sekali Anda berbohong dan ketahuan, kemampuan Anda untuk memperoleh dan menjaga kepercayaan sangat merosot. Orang-orang pada umumnya lebih toleran terhadap pengetahuan yang mereka ”tidak ingin dengar”daripada mendapati manajer mereka membohongi mereka.
  5. Tunjukkan konsistensi; Orang menginginkan bahwa segala sesuatu dapat diperkirakan (predictable). Ketidakpercayaan muncul karena tidak mengetahui apa yang diharapkan. Biarlah nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan inti Anda memandu tindakan-tindakan Anda. Ini meningkatkan konsistensi dan membangun kepercayaan.
  6. Penuhi janji Anda; Kepercayaan mensyaratkan bahwa orang meyakini Anda dapat diandalkan. Jadi, Anda perlu memastikan bahwa Anda memegang kata-kata dan komitmen Anda.
  7. Jaga kerahasiaan; Orang-orang memercayai mereka yang bijaksana dan kepada siapa mereka dapat bersandar. Mereka perlu merasa yakin bahwa Anda tidak akan membicarakan rahasia. Jika orang mempersepsikan Anda sebagai seseorang yang membocorkan rahasia pribadi atau seseorang yang tidak dapat diandalkan, Anda tidak akan dipersepsikan sebagai layak dipercaya.

Tujuh point yang menjadi faktor membangun kepercayaan terhadap seorang pemimpin sebagaimana dikatakan Stephen P. Robbins, Ph.D inilah yang sulit ditemukan dari seseorang yang mengidap penyakit munafik.

Kepalsuan demi kepalsuan, kebohongan demi kebohongan, keberpura-puraan demi keberpura-puraan, dan aneka tindakan bermuka dua lah yang sering dipertontonkan para pemimpin di republik ini.

M.T. Zen mengemukakan, ”krisis moral semacam itu membuat nilai-nilai moral dan etika meluncur bagaikan longsoran salju (lawina) di lereng Pegunungan Alpen. Lawina itulah yang menghancurkan ”dua dunia”, antara right (benar) dan wrong (salah) serta antara good (baik) dan evil (buruk)”(Herry Tjahjono, 2002).

Kemunafikan adalah pembohongan kebenaran dan keadilan, baik  terhadap diri sendiri, orang lain, bahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Orang munafik sering membohongi hati nuraninya sendiri.

Konon lagi orang lain bahkan Tuhan Yang Maha Esa yang berada diluar dirinya.

Menurut Akh. Muwafik Saleh, S. Sos, M. Si (2009) ciri perilaku pembohong, antara lain:

  1. Saat seseorang berbohong, akan tampak dalam bahasa tubuhnya.
  2. Hati dan perasaannya akan selalu dihantui kegelisahan dan ketakutan.
  3. Kebohongan 1+1 = keterusan.

Menipu, berbohong, dan berdusta pada orang lain sesungguhnya adalah penipuan terhadap diri sendiri.

Memang, seseorang yang berbohong, seolah-olah, kebohongan itu untuk orang lain.

Padahal, dia telah membohongi dirinya sendiri, meskipun secara fitrah, dirinya tidak bisa menerima kenyataan tersebut.
(bersambung)






Rabu, 05 September 2012

Menilik Iklan Dato' Seri H. Syamsul Arifin, SE


Bagian Ketiga.

Orang yang tidak sombong.    

Salah satu karakter manusia paling buruk adalah sombong.

Dari berbagai rekam jejak kejatuhan para pemimpin di atas planet bumi bahwa  kejatuhan seorang pemimpin selalu diawali dengan kesombongan.

Menurut KBBI (2007) sombong adalah menghargai diri secara berlebihan; congkak; pongah: tabiatnya agak aneh.

Bila seseorang telah diselimuti kesombongan maka akan terpancar sifat keangkuhan, kecongkakan, takabur, membanggakan diri, membual dan lain sebagainya.

Padahal Allah SAW sangat melarang perilaku sombong dan amat murka pada para pelakunya.

Larangan bersikap sombong dijelaskan Allah SAW dalam firman-Nya:

”Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh.

Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri” (Q.S. Luqman:18).

” Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung” (Q.S. Al-Israa’:37).

” Adapun orang-orang yang beriman dan berbuat amal saleh, maka Allah akan menyempurnakan pahala mereka dan menambah untuk mereka sebagian dari karunia-Nya.

Adapun orang-orang yang enggan dan menyombongka diri, maka Allah akan menyiksa mereka dengan siksaan pedih, dan mereka tidak akan memperoleh bagi diri mereka, pelindung dan penolong selain dari Allah” (Q.S. An-Nisaa’:173).

” Maka, masukilah pintu-pintu neraka Jahanam, kamu kekal di dalamnya. Maka, amat buruklah tempat orang-orang yang menyombongkan diri itu” (Q.S. An-Nahl:29) (Akh. Muwafik Saleh, S. Sos, M.Si, 2009).

Sebagai pemimpin nomor 1 (satu) di provinsi seorang gubernur tentu tidak boleh memiliki sifat sombong agar mampu menyerap denyut, detak penderitaan rakyatnya.

Seorang gubernur tidak boleh menjadikan diri menara gading terhadap rakyat.
Jabatan gubernur tidak boleh diartikan kekuasaan an sich tetapi jabatan puncak pengabdian diri terhadap seluruh rakyat daerah sekaligus bapak rakyat yang mampu melindungi dan mengayomi tanpa kecuali.

Tetapi dikala kesombongan telah menguasai hati dan pikiran maka tali hubungan persaudaraan akan terputus sebab gubernur telah mengubah habitatnya menjadi kasta tertinggi dari rakyat yang dipimpinnya.

Padahal, ketika masa-masa pencalonan, kampanye memelas dukungan dan hak pilih rakyat tanpa membedakan tingkat intelektualitas, strata sosial, suku, agama, ras, antar golongan/SARA maupun asal-usul.

Bahkan melakukan politik transaksional seperti; bagi-bagi uang, sembako, pengobatan gratis, bantuan-bantuan sosial maupun janji-janji serta komitmen politik lainnya seolah-olah sinterklas atau dewa penolong.  

Pemberian aneka bantuan sosial tidak mustahil pula berasal dari dana-dana anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) ataupun dari dana lain hasil penyelewengan jabatan yang dilarang peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Orang yang sombong sangat gemar dengan aneka protokoler serta berbagai pengawalan pribadi super ketat untuk memisahkan dirinya dengan rakyat yang dipimpinnya.

Bahkan tidak mustahil pula aneka protokoler itu telah menimbulkan berbagai kerugian serta kekecewaan publik.

Dan yang tidak masuk akal, ketika terjadi suatu bencana urusan protokoler pejabat lebih diutamakan daripada upaya penanggulangan atau pemulihan dampak bencana sehingga keberadaan pejabat publik terkesan amat sangat politis dan penciteraan belaka.  

Sementara orang yang tidak sombong tidak menginginkan dan menggandrungi hal demikian sebab dirinya tidak pernah suka terpisah dengan rakyat yang dipimpinnya.

Misalnya, Presiden RI pertama Ir. Soekarno yang lebih populer dengan sebutan Bung Karno, Presiden RI keempat KH. Abdurrahman Wahid  atau Gus Dur, Sri Sultan Hamengku Buwono X, Gubernur Sumatera Utara EWP Tambunan, Joko Widodo (Jakowi) dan lain-lain.

Mereka-mereka ini adalah pemimpin yang tidak sombong sekalipun tampuk kekuasaan berada di tangannya sebab mereka mengabdikan diri demi rakyat dan bangsanya dengan penuh kesederhanaan, kesahajaan dalam pengabdian.

Karena itulah Pdt. Halomoan Marpaung, STh, MPSi mengatakan, Kecewa itu ”biasa”, tapi tetap memberkati meski dikecewakan, itu ”luar biasa” (Mat 5:44).

Memaafkan itu ”biasa”, tapi memaafkan meskipun disakiti berkali-kali, itu ”luar biasa” (Mat 5:40).

Bersyukur itu ”biasa”, tapi bersyukur ketika tidak punya apa-apa ”luar biasa” (2 Kor 2:14).

Marilah menjadi orang yang ”biasa-biasa” tapi memiliki sikap & karakter yang ”luar biasa”.

Orang yang tidak sombong selalu memosisikan diri ”biasa-biasa” saja tapi selalu berusaha untuk melakukan hal-hal terbaik dari dirinya sehingga seluruh pikiran dan tindakannya menjadi sangat ”luar biasa”.

Di dalam kesederhanaan dan kerendahan hati para tokoh-tokoh kesohor dunia telah mengukir sejarah yang tidak pernah lapuk di telan zaman.

Kesombongan mendatangkan kebencian, ketidaksenangan dari manusia lain serta kemurkaan dari Tuhan Yang Maha Esa.

Tetapi kerendahan hati mengundang simpati, empati dari pihak lain serta berkat dan anugerah dari Tuhan Yang Maha Kuasa.

Orang sombong gemar dengan pujian, sanjungan, dan penghargaan, sementara orang rendah hati pujian, sanjungan, dan penghargaan dijadikan alat instropeksi diri.

Orang sombong selalu menganggap dirinya paling pintar, paling tahu, paling hebat sehingga segala bentuk kritik dan saran dianggap tidak berguna sama sekali.

Orang sombong memilih dan memilah siapa jadi teman, kawan, dan sahabat karena dirinya silau dengan aneka kemewahan dan kemegahan serta kekuasaan.

Akh. Muwafik Saleh, S.Sos, M.Si dalam bukunya ” Bekerja dengan Hati Nurani” mengatakan, ”Sombong adalah makhluk kecil berpura-pura besar”.

Mereka mengobral kelebihan yang melekat pada dirinya dan selalu mengedepankan keakuannya.

Bahkan, di antara mereka cenderung meremehkan harkat martabat orang lain.

Tidakkah mereka sadar bahwa sesungguhnya mereka sedang dihinggapi penyakit mematikan, yaitu sombong ?

Ciri sifat sombong antara lain:

  1. Suka meremehkan orang lain.
  2. Egois dan angkuh (akuisme).
  3. Menolak kebenaran.
  4. Memilih-milih dalam bergaul.
  5. Suka membanggakan diri dan keturunan.
  6. Gila hormat dan suka dikedepankan.
  7. Jalannya dibuat-buat supaya tampak indah dan gagah.

Rasulullah SAW, juga bersabda dalam beberapa hadisnya tentang larangan sikap sombong ini, antara lain:

”Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada sifat sombong walaupun hanya sebesar atom.

Ada seorang laki-laki berkata: ”Sesungguhnya seseorang itu suka memakai pakaian yang bagus dan sandal/sepatu yang bagus pula”.

Beliau bersabda:”Sesungguhnya Allah itu indah, suka pada keindahan. Sombong itu menolak kebenaran dan merendahkan sesama manusia”. (HR. Muslim).
(Akh. Muwafik Saleh, S. Sos, M.Si, 2009).
(Bersambung)