Sok di Atas Hukum
Oleh: Thomson Hutasoit
Direktur Eksekutif LSM Kajian Transparansi Kinerja
Instansi Publik (ATRAKTIP)
Pernyataan Presiden Republik
Indonesia ke Tujuh Joko Widodo (Jokowi) “Sok di Atas Hukum” terkait kisruh
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan Kepolisian Republik Indonesia
sangatlah fundamental dan esensial sekaligus peringatan keras terhadap seluruh
elemen masyarakat yang saat ini mengidap penyakit “Sok” seperti sok pintar, sok
suci, sok bersih, sok hebat, sok paling tak top, sok kuasa, sok jago, serta
sok-sok lainnya.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI, 2007) Sok ialah berlagak (suka pamer dsb), merasa mampu dsb tetapi
sebenarnya tidak. Fenomena seperti itu, pada era reformasi yang memberi ruang
terbuka secara bebas membuat banyak pihak seperti orang latah memberi komentar
atau statement sok di atas hukum atau konstitusi apalagi didukung gelombang
unjuk rasa atau demonstrasi untuk menekan dan memaksakan kehendak terhadap
pihak lain walaupun jelas-jelas di luar koridor hukum atau peraturan
perundang-undangan yang absah. Kondisi demikian tentu sangat kontra produktif
dalam membangun kepastian hukum itu sendiri.
Fenomena “Sok di Atas Hukum” adalah
suatu pola laku, pola tindak yang menerabas azas-azas serta etika dalam
menjalankan otoritas kewenangan yang seharusnya tidak boleh sekali-sekali
diabaikan oleh lembaga manapun juga. Kealpaan terhadap azas dan etika dalam
menjalankan otoritas kewenangan akan memancing reaksi keras dari pihak-pihak
ataupun instansi yang merasa termarjinalisasi atau terlecehkan. Azas dan etika
inilah yang kerap dilanggar “Sok di Atas Hukum” sebab telah mendewakan dirinya di
level paling hebat, paling top dibandingkan pihak lain.
Memosisikan diri “Sok di Atas Hukum”
sungguh sangat berbahaya dan merupakan ancaman laten dalam berdemokrasi karena
akan muncul monopoli tafsir kebenaran dan keadilan mutlak absolut ataupun
tafsir tunggal. Padahal, demokrasi substantif dan sehat hanya mungkin terbangun
apabila tercipta kesamaan kedudukan di depan hukum (equality before the law) yang berlaku terhadap siapa pun, tanpa
kecuali.
Kesetaraan, kesederajatan di depan
hukum adalah penanda nyata berjalannya demokrasi yang menghargai dan menjunjung
tinggi hak asasi manusia (HAM) sehingga selalu dibatasi berbagai hak imunitas
seminimal mungkin. Karena itu pula lah praduga tak bersalah (presumption of innoncence) merupakan azas peradilan yang merdeka,
terbuka, jujur dan tidak memihak (fairtrial),
azas cepat, sederhana dan biaya ringan agar hak asasi manusia (HAM) setiap
orang tidak terciderai sebab yang memiliki otoritas menetapkan vonis bersalah
hanyalah putusan pengadilan, di luar itu tidak ada satu lembaga manapun yang
diberi undang-undang untuk menjatuhkannya. Artinya, sebelum putusan pengadilan
tak seorang pun di vonis bersalah secara hukum.
Jika diamati cermat dan seksama
kisruh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan Kepolisian Republik Indonesia
saat ini tidak terlepas dari pengabian azas dan etika dalam menjalankan fungsi
konstitusional hingga berujung timbulnya gesekan kepentingan mempertahankan
kewibawaan antar lembaga negara pasca pengajuan calon Kepala Kepolisian
Republik Indonesia Komjen Budi Gunawan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia. Sebagaimana dikatakan
Presiden Joko Widodo, bahwa pengajuan Komjen Budi Gunawan sebagai calon Kepala
Kepolisian Republik Indonesia menggantikan Jenderal (Pol) Sutarman telah
melalui seleksi Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) yang bersifat independen
seharusnya menurut pandangan penulis secara azas dan etika kelembagaan
sangatlah kurang arif dan bijaksana ditetapkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) sebagai tersangka satu hari setelah diajukan lembaga kepresidenan. Alangkah
arif dan bijaksananya bila Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunggu waktu
proses ketatanegaraan yang notabene hak prerogatif presiden terlaksana dengan
baik. Dan bila ternyata Komjen Budi Gunawan tersangkut kasus hukum sekalipun
sudah menjadi Kepala Kepolisian Republik Indonesia secara defenitif Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan sebagai tersangka di kemudian hari.
Bukankah selama ini Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) telah bertaring menyeret petinggi-petinggi negara
seperti menteri, DPR/DPRD, gubernur Bank Indonesia, gubernur, bupati/walikota,
petinggi di Kepolisian, Kejaksaan, kehakiman, ketua/presiden partai politik dan
lain sebagainya sebagai pesakitan ? Sehingga tak perlu tergesa-gesa,
terburu-buru menetapkan tersangka dikala proses ketatanegaraan sedang
berlangsung seperti pengajuan calon Kapolri oleh presiden yang memantik polemik
saat ini.
Bila institusi atau lembaga memegang
teguh taat azas dan etika tata kenegaraan kisruh Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) dengan Kepolisian Republik Indonesia tidak akan pernah terjadi kapanpun,
demikian juga lembaga-lembaga negara lainnya
dalam menjalankan tugas, pokok dan fungsi (Tupoksi) sesuai perintah konstitusi.
Setiap penyelenggara negara seharusnya mengedepankan jiwa kenegarawanan bukan
sebaliknya menonjolkan egoisme institusi atau lembaga “Sok di Atas Hukum” sebab
institusi atau lembaga apapun di republik ini bekerja untuk mewujudkan
cita-cita negara.
Pengajuan calon Kepala Kepolisian
Republik Indonesia (Kapolri) adalah hak prerogatif presiden sehingga presiden
tidak berkewajiban meminta pendapat ataupun penilaian dari pihak manapun. Hak
prerogatif adalah hak istimewa melekat pada diri presiden yang diberikan
konstitusi sehingga sungguh aneh bin aneh bila ada pihak-pihak mengintervensi
presiden dalam pengajuan calon Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri)
seperti mendesak agar presiden meminta masukan dari KPK, PPATK dan lain
sebagainya. Desakan-desakan seperti ini juga merupakan cerminan “Sok di Atas
Hukum” sebab tidak satu pasal pun dalam konstitusi republik ini mewajibkan
presiden melakukan hal itu.
Kisruh Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) dengan Kepolisian Republik Indonesia saat ini harus dilihat proporsional,
obyektif dan transparan tanpa mendewa-dewakan satu institusi, sebaliknya
mendegradasi institusi lainnya, sebab KPK dan Kepolisian Republik Indonesia
adalah lembaga negara yang sah dan konstitusional dalam penegakan hukum di republik
ini.
Selain daripada itu, persangkaan
keterlibatan oknum-oknum dalam kasus-kasus hukum harus dipisahkan secara tegas
dengan institusi atau lembaga. Yang harus diselamatkan dan dijaga adalah
institusinya, bukan oknum-oknumnya sehingga jangan dicampuradukkan kepentingan
pribadi dengan kepentingan institusi. Menyelamatkan Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK), Kepolisian Republik Indonesia tidak sama dan indentik
menyelamatkan oknum-oknum petingginya di kedua lembaga ini.
Ketegasan Presiden Joko Widodo
(Jokowi) mengawasi, mengawal pengusutan kasus Wakil Ketua KPK Bambang
Widjojanto dan kasus Komisaris Jenderal Budi Gunawan, terang benderang,
transparan. Dan, agar proses hukum dapat berjalan dengan baik, jangan ada
intervensi dari siapapun. (Kompas, 26/1/2014) sangat cerdas dan jenial serta
mencerminkan kenegarawanan sejati patut diapresiasi seluruh rakyat negeri ini.
Momentum ini juga harus digunakan sebesar-besarnya
untuk melakukan “Revolusi Mental” para penyelenggara negara yang belakangan ini
mengabaikan taat azas dan etika dalam menjalankan hak konstitusional “Sok di
atas Hukum” yang berpotensi memicu gesekan, perseteruan antar institusi atau
antar lembaga. Bukankah selama ini ego sektoral antar institusi atau lembaga
menjadi biang kerok terjadinya stagnasi perwujudan janji proklamasi yakni
masyarakat adil, makmur dan sejahtera tanpa kecuali. Siapapun harus sadar,
konstitusi menjamin kesamaan kedudukan di depan hukum dan pemerintahan, dan
wajib menjunjung hukum dan pemerintahan, tanpa kecuali (pasal 27 ayat (1) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
Jangan ada “Sok di Atas Hukum” haruslah
menjadi kesadaran baru bagi seluruh rakyat republik ini.
Medan,
27 Januari 2014
Thomson
Hutasoit.
(Penulis: Alumni
Pemantapan Nilai-nilai Kebangsaan Lemhannas RI bagi kalangan Birokrasi,
Akademisi, Tokoh Agama, Tokoh Masyarakat, Tokoh Pemuda Provinsi Sumatera Utara,
tahun 2014).