Selasa, 11 November 2014

Kudeta Daulat Rakyat



Kudeta Daulat Rakyat
Oleh: Thomson Hutasoit
Direktur Eksekutif LSM Kajian Transparansi Kinerja Instansi Publik (ATRAKTIP)
Pendahuluan.
            Kedaulatan rakyat dengan tegas dan gamblang diatur pada pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (Amandemen) selengkapnya berbunyi; “Kedaulatan berada ditangan rakyat, dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Sebagai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tentu haruslah menjadi acuan, pedoman serta landasan bagi seluruh peraturan perundang-undangan dibawahnya. Sebab, apabila ada peraturan perundang-undangan yang menyimpang dari Undang-Undang Dasar maka peraturan perundang-undangan itu telah melanggar atau menyalahi struktur perundang-undangan di republik ini.
            Di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, baik Asli maupun Amandemen telah diatur hak dan kewajiban konstitusional setiap lembaga-lembaga negara, seperti; Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden,  Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial (KY), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Dewan Pertimbangan, Kementerian Negara, Pemerintah Daerah, Pertahanan dan Keamanan Negara, Wilayah Negara, Warga Negara dan Penduduk, Hak Asasi Manusia (HAM). Sementara lembaga-lembaga negara lainnya diatur di dalam Undang-Undang (UU) yang tentu saja tidak boleh sekali-sekali menyimpang dari amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 sebagai hukum dasar tertulis selain hukum dasar tak tertulis (hukum Adat).
            Namun dalam implementasi pembuatan peraturan perundang-undangan, termasuk peraturan daerah (Perda) kerap kali terjadi penyimpangan dan/atau penyelundupan peraturan perundang-undangan yang menyalahi amanah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang menimbulkan karut marut berbangsa dan bernegara saat ini. Salah satu contoh konkrit ialah lahirnya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) yang ditengarai sarat muatan politis ketika DPR RI periode 2009-2014 tinggal menghitung hari mengakhiri periodenya.
            Membuat Undang-Undang (UU) harus diakui merupakan hak konstitusional Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama Presiden Republik Indonesia sesuai pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (Amandemen) selengkapnya berbunyi; ayat (1), Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang, (2), Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama, (3), Jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi, (4), Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang, (5), Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.
            Ketentuan pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (Amandemen) kadangkala tidak begitu diperhatikan publik untuk menelisik siapakah sebenarnya patut dipersalahkan jika sebuah Undang-Undang menimbulkan kontroversi ditengah-tengah masyarakat, bangsa maupun negara. Harus disadari, bahwa dalam melahirkan sebuah Undang-Undang hak konstitusional DPR dan Presiden memiliki hak seimbang yakni 50 persen sebagaimana diatur pada pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (Amandemen) sehingga tidaklah adil bila beban kesalahan hanya diletakkan di pundak DPR bila sebuah undang-undang (UU) mendapat sorotan, kritik, bahkan penolakan dari rakyat. Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) tidak bisa cuci tangan ala Pontius Pilatus terhadap berbagai undang-undang (UU) yang lahir diujung kekuasaannya yang menimbulkan kegaduhan politik memalukan saat ini. Artinya, kegaduhan dan kisruh politik yang terjadi saat ini adalah warisan buruk pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono (SBY)-Boediono yang menjadi catatan sejarah dikemudian hari.

Merampas, Merampok Daulat Rakyat.  
            Pasal 19 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (Amandemen) selengkapnya berbunyi; ayat (1), Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dipilih melalui pemilihan umum, (2), Susunan Dewan Perwakilan Rakyat diatur dengan undang-undang, (3), Dewan Perwakilan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam setahun. Sedangkan pada pasal 22 E Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 (Amandemen) selengkapnya berbunyi; ayat (1), pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali, (2), Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, (3), Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik, (4), Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorangan, (5), Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri, (6), Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-undang.
            Dari kedua pasal ini jelas, tegas, terang-benderang tergambar bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat sebagaimana juga ditegaskan pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (Amandemen) sehingga tidak perlu ditafsirkan atau diselewengkan untuk merampas, merampok atau mengkudeta kedaulatan dari tangan rakyat.
            Dewan Perwakilan Rakyat yang dipilih melalui pemilihan umum pasal 19 ayat (1) adalah pilihan rakyat melalui pemilihan umum yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali pasal 22 E ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (Amandemen) sehingga anggota Dewan Perwakilan Rakyat tidak boleh sekali-sekali menjadikan dirinya Dewan Perwakilan Partai Politik.
            Bila Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang dipilih rakyat secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil melalui pemilihan umum lebih megedepankan dan/atau mengutamakan kepentingan partai politik maka anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah nyata-nyata mengkhianati dan mengkudeta kedaulatan rakyat secara telanjang. Kudeta daulat rakyat secara konstitusional adalah suatu tindakan perilaku buruk dan tak beradab dalam sebuah proses demokrasi yang mengedepankan kejujuran serta menjunjung keadilan publik.
            Kudeta konstitusional daulat rakyat melalui berbagai undang-undang seperti Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) ataupun Undang-undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pilkada yang menyatakan Pilkada melalui DPRD di era pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono (SBY)-Boediono sangatlah disayangkan dan disesalkan, apalagi libido juragan-juragan partai politik membentuk kartel politik merampas, mencaplok daulat rakyat menjadi daulat partai politik sangat bernafsu.  
            Apakah tidak keliru besar dan sesat pikir jika juragan-juragan partai politik membentuk kartel politik (koalisi) permanen semata-mata untuk merebut kekuasaan di parlemen (DPR RI) yang tidak memiliki relevansi sama sekali dengan perjuangan aspirasi serta penderitaan rakyat.
            Pemilu sistem proporsional terbuka dengan memilih nama calon legislatif serta  keterpilihan melalui suara terbanyak menunjukkan bahwa rakyat memilih calon legislatif secara langsung, bukan memilih partai politik. Partai politik adalah wadah pencalonan, tetapi keterpilihan absolut pilihan rakyat terhadap seseorang calon, sehingga mengekang kebebasan anggota legislatif (DPR, DPRD) adalah perampasan, perampokan daulat rakyat secara nyata. Belum lagi rezim recall yang menjadi momok bagi anggota legislatif juga merupakan taktik strategi partai politik untuk mengkudeta daulat rakyat menjadi daulat partai politik. Anggota legislatif yang berseberangan dengan partai politik walaupun nyata-nyata menunjukkan keberpihakan terhadap aspirasi rakyat juga menjadi biang kerok mandulnya laras perjuangan kepentingan rakyat di lembaga legislatif selama ini.
            Juragan-juragan partai politik yang lebih condong memperjuangkan kepentingan partai politik yakni merebut kekuasaan daripada memperjuangkan aspirasi rakyat adalah sesat pikir dan buruk rupa perilaku elite-elite politik yang menjadi  salah satu pemicu perseteruan, kegaduhan politik hingga muncul dualisme kepemimpinan lembaga DPR RI yang jadi cacatan buruk perpolitikan negeri ini sepanjang sejarah.     
Koalisi Merah Putih (KMP) yang terdiri dari Partai Golongan Karya (P. Golkar), Partai Gerakan Indonesia Raya (P. Gerindra), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Demokrat yang memiliki kursi mayoritas di parlemen bernafsu menguasai kursi pimpinan dan alat kelengkapan dewan (AKD) melalui kartel politik merampas, merampok daulat rakyat atas nama kudeta konstitusional undang-undang MD3 cacat sejak lahir dari ‘perselingkuhan’ politik.  
Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang terdiri dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-Perjuangan), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Nasional Demokrat (P. Nasdem), Partai Hati Nurani Rakyat (P. Hanura), belakangan bergabung Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang notabene pendukung Presiden Joko Widodo (Jokowi)-M. Jusuf Kalla (JK) terpaksa gigit jari karena memiliki kursi minoritas di DPR RI. Sementara Koalisi Merah Putih (KMP) yang pada masa pemilihan presiden (Pilpres) merupakan pendukung Prabowo Subianto-HM Hatta Rajasa telah merancang skenario sikat habis kursi pimpinan dan alat kelengkapan dewan (AKD) melalui Undang-Undang MD3 serta tata tertib DPR sistem paket di akhir masa periode DPR RI 2009-2014 lalu.   
Lembaga Dewan Perwakilan Rakyat yang bersifat kolektif kolegial sangatlah tidak pantas dan layak jika terbelah, padahal sistem paket tidak pernah dikenal dalam konstruksi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, baik Asli maupun Amandemen sehingga DPR RI kubu-kubuan atau koalisi-koalisian adalah prahara politik paling buruk sepanjang sejarah republik ini. DPR RI yang memiliki hak legislasi, hak pengawasan, hak budgeting harus dijalankan seluruh anggota DPR RI secara kolektif kolegial atas nama lembaga DPR RI. Sehingga tidak ada satu kubu pun di DPR RI yang berhak mengklaim dirinya paling sah mengatasnamakan rakyat.
Kudeta daulat rakyat tampak terang-benderang di Gedung DPR RI Senayan Jakarta, dimana Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-Perjuangan) selaku pemenang pemilihan legislatif (Pileg) 09 April 2014 berdasarkan pilihan rakyat (daulat rakyat-red) tidak satu pun memperoleh kursi pimpinan parlemen maupun kursi alat kelengkapan dewan (AKD) adalah cerminan nyata perampasan, perampokan hak konstitusional (hak pilih-red) rakyat yang dijamin Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dan Undang-undang Pemilu. Padahal, pada pemilihan legislatif (Pileg) 2009 lalu, Partai Demokrat selaku pemenang pemilu secara otomatis menduduki kursi Ketua DPR RI. Disinilah bukti nyata kudeta daulat rakyat yang dirancang melalui ‘perselingkuhan’ politik undang-undang MD3 yang menjadi catatan buram perpolitikan negeri ini.
Susunan Dewan Perwakilan Rakyat diatur dengan undang-undang (pasal 19 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (Amandemen) secara terang-terangan telah dibelokkan undang-undang MD3 tahun 2014 sistem paket dalam mengisi Pimpinan DPR serta alat kelengkapan dewan (AKD) adalah kudeta konstitusional.  Sehingga  harus diingat dan dimaknai komprehensif paripurna, bahwa undang-undang MD3 sarat muatan politis serta ‘perselingkuhan’ sekaligus biang kerok kudeta daulat rakyat yang dirancang kartel politik haus kekuasaan.   
Sungguh menyedihkan, mengecewakan dan memalukan gedung rakyat Senayan Jakarta terbelah dua dengan membentuk kepemimpinan ganda (dua kubu) yakni  kubu Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) menjadikan para anggota Dewan Perwakilan Rakyat bukan lagi wakil rakyat melainkan wakil partai politik yang dikendalikan ‘Kartel Politik’.
Para wakil rakyat seharusnya meyadari, bahwa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah lembaga terhormat mengemban daulat rakyat, bukan daulat partai politik sehingga sangat memalukan bila terjadi “Dualisme Kepemimpinan” yang memberi pendidikan politik buruk terhadap rakyat di negeri ini.  
Oleh sebab itu, untuk tidak terulang kembali kisruh politik memalukan dikemudian hari perlu dilakukan penataan ulang partai politik di republik ini. Bila perlu melakukan amandemen Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 supaya tidak terjadi lagi kudeta daulat rakyat di masa akan datang.
Kisrus politik memalukan yang dilakonkan para maniak kuasa telah menjadi catatan buruk di memori rakyat sebagai pemilik kedaulatan, sehingga bila terjadi degradasi kepercayaan rakyat terhadap legislatif (DPR, DPRD) bahkan ada yang mengajukan petisi mosi tidak percaya terhadap para wakil rakyat tidak perlu disalahkan.
Rakyat memberi hak pilih terhadap wakil rakyat semata-mata gantungan harapan memperjuangkan nasibnya, bukan menggadaikan suaranya untuk memperbesar kekuasaan elite-elite atau juragan partai politik.     
                                                                                                Medan, 4 November 2014
                                                                                                Thomson Hutasoit.
(Alumni Pemantapan Nilai-Nilai Kebangsaan Lemhannas RI bagi kalangan Akademisi, Birokrat, Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama, Tokoh Adat, Tokoh Pemuda, Provinsi Sumatera Utara, tahun 2014).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar