Kudeta Daulat Rakyat
Oleh: Thomson Hutasoit
Direktur Eksekutif LSM Kajian Transparansi Kinerja
Instansi Publik (ATRAKTIP)
Pendahuluan.
Kedaulatan rakyat dengan tegas dan
gamblang diatur pada pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
1945 (Amandemen) selengkapnya berbunyi; “Kedaulatan berada ditangan rakyat, dan
dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Sebagai Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia tentu haruslah menjadi acuan, pedoman serta landasan bagi
seluruh peraturan perundang-undangan dibawahnya. Sebab, apabila ada peraturan
perundang-undangan yang menyimpang dari Undang-Undang Dasar maka peraturan
perundang-undangan itu telah melanggar atau menyalahi struktur
perundang-undangan di republik ini.
Di dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945, baik Asli maupun Amandemen telah diatur hak dan
kewajiban konstitusional setiap lembaga-lembaga negara, seperti; Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan
Daerah (DPD), Presiden, Mahkamah Agung
(MA), Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial (KY), Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Dewan Pertimbangan, Kementerian Negara,
Pemerintah Daerah, Pertahanan dan Keamanan Negara, Wilayah Negara, Warga Negara
dan Penduduk, Hak Asasi Manusia (HAM). Sementara lembaga-lembaga negara lainnya
diatur di dalam Undang-Undang (UU) yang tentu saja tidak boleh sekali-sekali
menyimpang dari amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
sebagai hukum dasar tertulis selain hukum dasar tak tertulis (hukum Adat).
Namun dalam implementasi pembuatan
peraturan perundang-undangan, termasuk peraturan daerah (Perda) kerap kali
terjadi penyimpangan dan/atau penyelundupan peraturan perundang-undangan yang
menyalahi amanah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang
menimbulkan karut marut berbangsa dan bernegara saat ini. Salah satu contoh
konkrit ialah lahirnya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD,
dan DPRD (MD3) yang ditengarai sarat muatan politis ketika DPR RI periode
2009-2014 tinggal menghitung hari mengakhiri periodenya.
Membuat Undang-Undang (UU) harus
diakui merupakan hak konstitusional Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama
Presiden Republik Indonesia sesuai pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945 (Amandemen) selengkapnya berbunyi; ayat (1), Dewan Perwakilan
Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang, (2), Setiap rancangan
undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat
persetujuan bersama, (3), Jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat
persetujuan bersama, rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi,
(4), Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama
untuk menjadi undang-undang, (5), Dalam hal rancangan undang-undang yang telah
disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh
hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan
undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.
Ketentuan pasal 20 Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (Amandemen) kadangkala tidak begitu
diperhatikan publik untuk menelisik siapakah sebenarnya patut dipersalahkan
jika sebuah Undang-Undang menimbulkan kontroversi ditengah-tengah masyarakat,
bangsa maupun negara. Harus disadari, bahwa dalam melahirkan sebuah
Undang-Undang hak konstitusional DPR dan Presiden memiliki hak seimbang yakni
50 persen sebagaimana diatur pada pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945 (Amandemen) sehingga tidaklah adil bila beban kesalahan
hanya diletakkan di pundak DPR bila sebuah undang-undang (UU) mendapat sorotan,
kritik, bahkan penolakan dari rakyat. Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY)
tidak bisa cuci tangan ala Pontius Pilatus terhadap berbagai undang-undang (UU)
yang lahir diujung kekuasaannya yang menimbulkan kegaduhan politik memalukan
saat ini. Artinya, kegaduhan dan kisruh politik yang terjadi saat ini adalah
warisan buruk pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono (SBY)-Boediono yang menjadi
catatan sejarah dikemudian hari.
Merampas, Merampok Daulat Rakyat.
Pasal
19 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (Amandemen) selengkapnya
berbunyi; ayat (1), Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dipilih melalui pemilihan
umum, (2), Susunan Dewan Perwakilan Rakyat diatur dengan undang-undang, (3),
Dewan Perwakilan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam setahun. Sedangkan
pada pasal 22 E Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 (Amandemen)
selengkapnya berbunyi; ayat (1), pemilihan umum dilaksanakan secara langsung,
umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali, (2), Pemilihan
umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah, (3), Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat
dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik, (4), Peserta
pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah
perseorangan, (5), Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan
umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri, (6), Ketentuan lebih lanjut
tentang pemilihan umum diatur dengan undang-undang.
Dari kedua pasal ini jelas, tegas,
terang-benderang tergambar bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat sebagaimana
juga ditegaskan pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
1945 (Amandemen) sehingga tidak perlu ditafsirkan atau diselewengkan untuk
merampas, merampok atau mengkudeta kedaulatan dari tangan rakyat.
Dewan Perwakilan Rakyat yang dipilih
melalui pemilihan umum pasal 19 ayat (1) adalah pilihan rakyat melalui
pemilihan umum yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur,
dan adil setiap lima tahun sekali pasal 22 E ayat (1) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia 1945 (Amandemen) sehingga anggota Dewan Perwakilan
Rakyat tidak boleh sekali-sekali menjadikan dirinya Dewan Perwakilan Partai
Politik.
Bila Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
yang dipilih rakyat secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil melalui
pemilihan umum lebih megedepankan dan/atau mengutamakan kepentingan partai
politik maka anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah nyata-nyata
mengkhianati dan mengkudeta kedaulatan rakyat secara telanjang. Kudeta daulat
rakyat secara konstitusional adalah suatu tindakan perilaku buruk dan tak
beradab dalam sebuah proses demokrasi yang mengedepankan kejujuran serta
menjunjung keadilan publik.
Kudeta konstitusional daulat rakyat
melalui berbagai undang-undang seperti Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014
tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) ataupun Undang-undang Nomor 22 Tahun 2014
tentang Pilkada yang menyatakan Pilkada melalui DPRD di era pemerintahan Susilo
Bambang Yudoyono (SBY)-Boediono sangatlah disayangkan dan disesalkan, apalagi
libido juragan-juragan partai politik membentuk kartel politik merampas,
mencaplok daulat rakyat menjadi daulat partai politik sangat bernafsu.
Apakah tidak keliru besar dan sesat
pikir jika juragan-juragan partai politik membentuk kartel politik (koalisi)
permanen semata-mata untuk merebut kekuasaan di parlemen (DPR RI) yang tidak
memiliki relevansi sama sekali dengan perjuangan aspirasi serta penderitaan
rakyat.
Pemilu sistem proporsional terbuka
dengan memilih nama calon legislatif serta
keterpilihan melalui suara terbanyak menunjukkan bahwa rakyat memilih
calon legislatif secara langsung, bukan memilih partai politik. Partai politik
adalah wadah pencalonan, tetapi keterpilihan absolut pilihan rakyat terhadap
seseorang calon, sehingga mengekang kebebasan anggota legislatif (DPR, DPRD) adalah
perampasan, perampokan daulat rakyat secara nyata. Belum lagi rezim recall yang
menjadi momok bagi anggota legislatif juga merupakan taktik strategi partai
politik untuk mengkudeta daulat rakyat menjadi daulat partai politik. Anggota
legislatif yang berseberangan dengan partai politik walaupun nyata-nyata
menunjukkan keberpihakan terhadap aspirasi rakyat juga menjadi biang kerok
mandulnya laras perjuangan kepentingan rakyat di lembaga legislatif selama ini.
Juragan-juragan partai politik yang
lebih condong memperjuangkan kepentingan partai politik yakni merebut kekuasaan
daripada memperjuangkan aspirasi rakyat adalah sesat pikir dan buruk rupa
perilaku elite-elite politik yang menjadi salah satu pemicu perseteruan, kegaduhan
politik hingga muncul dualisme kepemimpinan lembaga DPR RI yang jadi cacatan
buruk perpolitikan negeri ini sepanjang sejarah.
Koalisi
Merah Putih (KMP) yang terdiri dari Partai Golongan Karya (P. Golkar), Partai
Gerakan Indonesia Raya (P. Gerindra), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat
Nasional (PAN), Partai Demokrat yang memiliki kursi mayoritas di parlemen
bernafsu menguasai kursi pimpinan dan alat kelengkapan dewan (AKD) melalui
kartel politik merampas, merampok daulat rakyat atas nama kudeta konstitusional
undang-undang MD3 cacat sejak lahir dari ‘perselingkuhan’ politik.
Koalisi
Indonesia Hebat (KIH) yang terdiri dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
(PDI-Perjuangan), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Nasional Demokrat (P.
Nasdem), Partai Hati Nurani Rakyat (P. Hanura), belakangan bergabung Partai
Persatuan Pembangunan (PPP) yang notabene
pendukung Presiden Joko Widodo (Jokowi)-M. Jusuf Kalla (JK) terpaksa gigit
jari karena memiliki kursi minoritas di DPR RI. Sementara Koalisi Merah Putih
(KMP) yang pada masa pemilihan presiden (Pilpres) merupakan pendukung Prabowo
Subianto-HM Hatta Rajasa telah merancang skenario sikat habis kursi pimpinan
dan alat kelengkapan dewan (AKD) melalui Undang-Undang MD3 serta tata tertib
DPR sistem paket di akhir masa periode DPR RI 2009-2014 lalu.
Lembaga
Dewan Perwakilan Rakyat yang bersifat kolektif kolegial sangatlah tidak pantas
dan layak jika terbelah, padahal sistem paket tidak pernah dikenal dalam konstruksi
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, baik Asli maupun Amandemen sehingga
DPR RI kubu-kubuan atau koalisi-koalisian adalah prahara politik paling buruk
sepanjang sejarah republik ini. DPR RI yang memiliki hak legislasi, hak
pengawasan, hak budgeting harus
dijalankan seluruh anggota DPR RI secara kolektif kolegial atas nama lembaga
DPR RI. Sehingga tidak ada satu kubu pun di DPR RI yang berhak mengklaim
dirinya paling sah mengatasnamakan rakyat.
Kudeta
daulat rakyat tampak terang-benderang di Gedung DPR RI Senayan Jakarta, dimana
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-Perjuangan) selaku pemenang
pemilihan legislatif (Pileg) 09 April 2014 berdasarkan pilihan rakyat (daulat
rakyat-red) tidak satu pun memperoleh kursi pimpinan parlemen maupun kursi alat
kelengkapan dewan (AKD) adalah cerminan nyata perampasan, perampokan hak
konstitusional (hak pilih-red) rakyat yang dijamin Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945 dan Undang-undang Pemilu. Padahal, pada pemilihan
legislatif (Pileg) 2009 lalu, Partai Demokrat selaku pemenang pemilu secara
otomatis menduduki kursi Ketua DPR RI. Disinilah bukti nyata kudeta daulat
rakyat yang dirancang melalui ‘perselingkuhan’ politik undang-undang MD3 yang
menjadi catatan buram perpolitikan negeri ini.
Susunan
Dewan Perwakilan Rakyat diatur dengan undang-undang (pasal 19 ayat (2)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (Amandemen) secara
terang-terangan telah dibelokkan undang-undang MD3 tahun 2014 sistem paket
dalam mengisi Pimpinan DPR serta alat kelengkapan dewan (AKD) adalah kudeta
konstitusional. Sehingga harus diingat dan dimaknai komprehensif
paripurna, bahwa undang-undang MD3 sarat muatan politis serta ‘perselingkuhan’ sekaligus
biang kerok kudeta daulat rakyat yang dirancang kartel politik haus kekuasaan.
Sungguh
menyedihkan, mengecewakan dan memalukan gedung rakyat Senayan Jakarta terbelah
dua dengan membentuk kepemimpinan ganda (dua kubu) yakni kubu Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi
Indonesia Hebat (KIH) menjadikan para anggota Dewan Perwakilan Rakyat bukan lagi
wakil rakyat melainkan wakil partai politik yang dikendalikan ‘Kartel Politik’.
Para
wakil rakyat seharusnya meyadari, bahwa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah
lembaga terhormat mengemban daulat rakyat, bukan daulat partai politik sehingga
sangat memalukan bila terjadi “Dualisme Kepemimpinan” yang memberi pendidikan
politik buruk terhadap rakyat di negeri ini.
Oleh
sebab itu, untuk tidak terulang kembali kisruh politik memalukan dikemudian
hari perlu dilakukan penataan ulang partai politik di republik ini. Bila perlu
melakukan amandemen Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 supaya tidak
terjadi lagi kudeta daulat rakyat di masa akan datang.
Kisrus
politik memalukan yang dilakonkan para maniak kuasa telah menjadi catatan buruk
di memori rakyat sebagai pemilik kedaulatan, sehingga bila terjadi degradasi
kepercayaan rakyat terhadap legislatif (DPR, DPRD) bahkan ada yang mengajukan
petisi mosi tidak percaya terhadap para wakil rakyat tidak perlu disalahkan.
Rakyat
memberi hak pilih terhadap wakil rakyat semata-mata gantungan harapan memperjuangkan
nasibnya, bukan menggadaikan suaranya untuk memperbesar kekuasaan elite-elite
atau juragan partai politik.
Medan,
4 November 2014
Thomson
Hutasoit.
(Alumni Pemantapan Nilai-Nilai Kebangsaan Lemhannas RI
bagi kalangan Akademisi, Birokrat, Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama, Tokoh Adat,
Tokoh Pemuda, Provinsi Sumatera Utara, tahun 2014).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar