Selasa, 11 November 2014

Menilik Makna Kabinet Kerja Jokowi-JK



Menilik Makna Kabinet Kerja Jokowi-JK
Oleh: Thomson Hutasoit
Direktur Eksekutif LSM Kajian Transparansi Kinerja Instansi Publik (ATRAKTIP) 

Pendahuluan.
            Pemberian nama terhadap sesuatu hal tentu tidak asal buat tanpa memikirkan apa makna nama tersebut walau dalam benak pihak-pihak tertentu pembuatan nama itu tidaklah terlalu urgen atau penting. Tapi jangan lupa nama adalah identitas yang melekat serta penanda nyata keberadaan si pemakai nama. Sebab, segala sesuatu tanpa nama tak akan pernah jelas identitasnya sehingga sering terjebak pada situasi abstrak tak berwujud nyata.
            Anonim atau tanpa nama adalah segala sesuatu yang tidak berindetitas yang hanya lazim dikenal di dunia khayal atau dongeng seperti penyebutan negeri antah-berantah yaitu negeri yang tidak disebut (diketahui) nama dan tempatnya (KBBI, 2007).
            Penamaan terhadap sesuatu bukan sekadar pelekatan nama tanpa arti dan makna, melainkan penunjuk atau penanda nyata identitas yang memiliki makna melalui proses permenungan dari si pembuat nama tersebut. Karena itu, si pembuat nama harus pula memikirkan apa makna dibalik nama yang dilekatkan terhadap sesuatu obyek.
            Pasca pelantikan Presiden/Wakil Presiden Joko Widodo (Jokowi)-HM. Jusuf Kalla (JK) tanggal 20 Oktober 2014 lalu, pemerintahan Jokowi-JK menetapkan nama kabinetnya “Kabinet Kerja Jokowi-JK” untuk periode pemerintahannya 2014-2019. Pemberian nama kabinet yang sedemikian sederhana tetapi sarat makna hakiki mengundang decak kagum berbagai pihak, baik masyarakat di dalam negeri maupun masyarakat internasional. Sebaliknya, menimbulkan kritik aneka ragam dari pihak-pihak penganut konsep-konsep besar tuna makna hingga muncul tudingan-tudingan miring bernada tendensius terhadap nama “Kabinet Kerja Jokowi-JK” tanpa menilik makna dibalik nama kabinet yang terkesan tidak ngetop dan tren di dunia elitisme selama ini.
            Kesederhanaan nama Kabinet Jokowi-JK tentu sangatlah relevan dengan karakter Joko Widodo (Jokowi)-HM. Jusuf Kalla (JK) yang sederhana, bersahaja, pekerja keras, merakyat, peduli terhadap nasib rakyat yang ditunjukkan melalui rekam jejak kinerja (track record)  selama memangku amanah yang dipercayakan di pundak mereka berdua. Kesederhanaan, kesahajaan, kejujuran, kepercayaan atau amanah dalam mengemban tugas dan tanggung jawab sepertinya menjungkirbalikkan pola pikir, pola laku mayoritas ‘pemimpin’ yang selalu memosisikan diri sakral di negeri ini.
            Para pemimpin publik sudah banyak dijangkiti penyakit ‘gila hormat, paranoid, lain di bibir lain di hati, serta mendirikan singgasana di atas bangkai rakyatnya’ sehingga tidak perlu heran apabila tidak setuju terhadap tipologi kepemimpinan Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) yang menjadikan istananya istana rakyat. Karenanya, pola berpakaian kedua pemimpin kerakyatan ini pun tidak luput dari kritik keras dan kasar dari ‘pemimpi-pemimpi’ di republik ini. Belum lagi, pengangkatan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pujiastuti pengusaha sukses di bisnis penerbangan (Susi Air) yang notabene tak lulus jenjang pendidikan sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA) membuat banyak orang uring-uringan. Padahal, para pengkritiknya walau memiliki segudang sertifikat akademisi tidak pernah mampu meraih sukses seperti yang diraih pemanggul ikan yang merambah hingga ke bisnis dirgantara melalui kerja, kerja, dan kerja keras tanpa mengenal kata menyerah.
            Kritik keras dan kasar mungkin juga merupakan letupan kekecewaan dari pihak-pihak yang ‘merasa’ paling pantas dan layak menduduki posisi menteri, apalagi selama ini pendewaan terhadap lulusan-lulusan luar negeri dengan berbagai embel-embel akademik begitu diagung-agungkan walau tanpa rekam kesuksesan atau prestasi gemilang ditengah-tengah masyarakat, bangsa maupun negara. Pengagungan jebolan luar negeri tanpa korelasi prestasi kinerja sejatinya adalah kekeliruan besar serta merendahkan harkat dan martabat lembaga akademisi di negeri ini. Padahal, Ir. Soekarno atau Bung Karno Proklamator, Presiden  Republik Indonesia pertama, Joko Widodo Presiden Republik Indonesia ketujuh adalah produk dalam negeri yang tidak kalah level dengan pemimpin-pemimpin dunia.
            Pidato Kenegaraan pertama Presiden Republik Indonesia pada tanggal 20 Oktober 2014 Joko Widodo dengan tegas dan lantang mengatakan, “Kerja…, Kerja…, dan Kerja…” di depan Sidang Paripurna Majelis Permusyawatan Rakyat (MPR) dan dipancarkan seluruh media, baik media elektronik maupun media cetak ke seluruh penjuru tanah air maupun dunia internasional.
            Apa makna sejati dari Kerja…, Kerja…, dan Kerja… yang diucapkan dan dikumandangkan Joko Widodo (Jokowi) ?
            Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2007) Kerja adalah kegiatan melakukan sesuatu; yang dilakukan (diperbuat), sesuatu yang dilakukan untuk mencari nafkah; mata pencaharian. Sedangkan Kabinet ialah badan atau dewan pemerintahan yang terdiri atas para menteri; kantor kerja (terutama bagi presiden, perdana menteri, dsb). Dengan demikian, makna Kabinet Kerja adalah badan atau dewan pemerintahan yang terdiri atas para menteri untuk melakukan suatu kegiatan untuk meningkatkan nafkah atau mata pencaharian seluruh rakyat Indonesia. Kantor kerja presiden diarahkan ditujukan untuk kerja…, kerja…, dan kerja… demi membangun Indonesia Hebat sehingga bangsa ini Berdaulat di bidang politik, Berkepribadian di bidang kebudayaan, berdiri di atas kaki sendiri (Berdikari) di bidang ekonomi sebagaimana diamantkan TRI SAKTI Bung Karno.
            Oleh sebab itu, Kabinet Kerja Jokowi-JK adalah sebuah nama sederhana mengandung sejuta makna operasional yang memberi harapan baru bagi seluruh rakyat republik ini, serta antitesa kabinet-kabinet sebelumnya yang cenderung “Omong Doang/Omdo” alias cakap-cakap dan retorika tanpa prestasi kinerja yang bisa diukur.
            Nama sederhana Kabinet Kerja Jokowi-JK dan tidak multitafsir mengajak seluruh pemangku kekuasaan di negeri ini lebih mengutamakan bekerja daripada beretorika aneh-aneh sebab menyelesaikan permasalahan republik ini tidaklah cukup dengan cakap-cakap, retorika dan rapat-rapat belaka seperti hoby para elitis yang membicarakan, mendiskusikan kemiskinan di hotel berbintang lima.

Kerja…, Kerja…., dan Kerja…
            Kerja…., Kerja…, dan Kerja… adalah makna sejati eksekutif (presiden, gubernur, bupati/walikota) sebagaimana diamanatkan pasal 4 s/d pasal 18 B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (Amanden). Pasal 4 ayat (1), Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar, dan (2), Dalam melakukan kewajibannya Presiden dibantu oleh satu orang Wakil Presiden.
            Memegang kekuasaan pemerintahan, menurut penjelasan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (Amanden) pada angka Romawi IV Sistem Pemerintahan Negara, selengkapnya berbunyi; Presiden ialah Penyelenggara Pemerintahan Negara yang Tertinggi di bawah Majelis. Di bawah Majelis Permusyawaratan Rakyat, Presiden ialah penyelenggaraan Pemerintah Negara yang tertinggi. Dalam menjalankan Pemerintahan Negara, kekuasaan dan tanggung jawab adalah di tangan Presiden (concentration of power and responsibility upon the President).
            Penyelenggara Pemerintahan Negara adalah pelaksana (eksekutor) kekuasaan pemerintahan sehingga harus dilakukan melalui kerja…, kerja…., dan kerja…, bukan hanya sekadar retorika atau berbicara (parle) sebagaimana para parlemen (DPR, DPD, DPRD-red) yang kerjanya rapat…., rapat…, dan rapat siang dan malam hingga akhir periode sesuai yang termaktub pada pasal 19 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 (Amandemen) selengkapnya berbunyi; Dewan Perwakilan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam setahun.  
            Jokowi-JK dengan Kabinet Kerja nya adalah makna tunggal, hakiki, dan sejati sesuai amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, baik Asli maupun Amandemen sehingga penamaan Kabinet Kerja Jokowi-JK patut dimaknai pemahaman sistem pemerintahan presidensial komprehensif paripurna, bukan sekadar nama tanpa makna.
            Yang patut dicermati lima tahun ini ialah bagaimana Pemerintahan Jokowi-JK melakukan “Revolusi Mental” di jajaran eksekutif (presiden, gubernur, bupati/walikota) yang telah “terjangkit penyakit” gemar atau doyan rapat-rapat sehingga alokasi waktu, belanja rapat dinas maupun rutin mendominasi anggaran, baik Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) setiap tahunnya.
            Selain pemborosan atau inefisiensi anggaran, efektivitas dan produktivitas kinerja eksekutif (presiden, gubernur, bupati/walikota) mengeksekusi berbagai program, termasuk blusukan untuk memastikan suatu program berjalan atau tidak agar tidak terulang lagi laporan ‘asal bapak senang/ABS’ dari perangkat-perangkat pelaksana di lapangan. Untuk itu, Pemerintahan Jokowi-JK sudah seharusnya mengevaluasi berbagai jenis-jenis rapat, perjalanan dinas yang boros anggaran agar Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) digunakan efisien, efektif sesuai amanat Undang-undang seperti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
            Rencana pemerintahan Jokowi-JK yang ingin mengevaluasi sistem anggaran, termasuk memangkas belanja-belanja tak urgen adalah suatu langkah cerdas dan jenial sebab perbandingan alokasi belanja aparatur dengan alokasi belanja pembangunan amat sangat jomblang serta tidak masuk akal. Belum lagi peluang-peluang korupsi anggaran dengan memanfaatkan multitafsir atau pasal karet yang terdapat pada peraturan perundang-undangan maupun peraturan daerah (Perda) yang ada saat ini.
            Revolusi Mental dicanangkan Joko Widodo (Jokowi) didukung Kabinet Kerja Jokowi-JK adalah harapan baru bangsa ini yang telah lama dicengkram mental-mental Pangreh Praja serta mensakralkan jabatan menjadikan daulat rakyat terabaikan dalam penyelenggaraan negara atau pemerintahan. Mental-mental Pangreh Praja para pejabat publik harus benar-benar direvolusi oleh pemerintahan Jokowi-JK sebab sejatinya eksekutif (presiden, gubernur, bupati/walikota) adalah Pamong Praja (Parhobas-red) untuk mewujudkan masyarakat makmur, adil dan sejahtera sesuai janji Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945.
            Sebagai Kabinet Kerja menteri-menteri pemerintahan Jokowi-JK tentu harus mampu mengartikulasikan agenda-agenda besar Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) dalam wujud kerja nyata, terukur, terpadu, terintegrasi dengan menghilangkan egoisme sektoral masing-masing menteri, gubernur, bupati/walikota sebagai wujud nyata Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
            Konektivitas antar wilayah melalui pembangunan kemaritiman yang dicanangkan Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) membuka peluang bangsa ini pusat perdagangan terbesar di abad ini. Selain daripada itu, daerah-daerah tapal batas yang selama ini termarjinalkan dalam kebijakan pembangunan akan diberdayakan secara optimal benteng-benteng ketahanan negara menjaga berbagai ancaman, gangguan dari luar. Pemberdayaan masyarakat tapal batas melalui peningkatan ekonomi dan kesejahteraan merupakan kunci utama keutuhan bangsa di masa akan datang.
            Sungguh luar biasa apa yang dikatakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam pidato perdananya, bahwa sudah lama bangsa ini memunggungi laut, teluk, pantai, padahal 2/3 luas wilayah republik ini terdiri dari laut serta memiliki sumber kekayaan negara sangat luar biasa untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat maupun negara.
            Berteriak, mengerang atas pencurian, penjarahan kekayaan laut yang dilakukan bangsa-bangsa asing tanpa kerja…, kerja…, dan kerja… nyata untuk menghentikannya adalah pekerjaan sia-sia. Bahkan, pencaplokan pulau-pulau sebagaimana nasib pulau Sipadan dan Ligitan adalah akibat pengabaian menjaga dan mempertahankan wilayah kedaulatan Republik Indonesia yang harus menjadi pelajaran berharga dan tidak boleh terulang kembali di masa-masa mendatang.
            Oleh sebab itu, agenda besar pemerintahan Jokowi-JK dengan Kabinet Kerja Jokowi-JK adalah jawaban nyata untuk “Melanjutkan Revolusi Belum Selesai” yang dititipkan Bung Karno untuk segera menghadirkan daulat rakyat, daulat bangsa, daulat negara yang bukan hanya mimpi semata, tapi nyata…, nyata…, dan nyata di republik ini.
            Inilah cita-cita para Pahlawan Bangsa yang mengorbankan harta, jiwa demi Indonesia Merdeka.
            Jawaharlal Nehru (1947) mengatakan, “Ambisi utama para orang besar di zaman kita adalah menghapus air mata. Mungkin tugas ini takkan terselesaikan seumur hidup kita. Namun yang jelas, selama masih ada air mata, selama itu pula kita masih harus bekerja. Inilah yang harus kita lakukan, yakni bekerja dan bekerja, guna mewujudkan mimpi-mimpi kita” (Haris Munandar, Terj, 2008).  
            Selamat bekerja Kabinet Kerja Jokowi-JK untuk mewujudkan Indonesia Hebat.
                                                                                                Medan, 10 November 2014

                                                                                                Thomson Hutasoit.
(Alumni Pemantapan Nilai-Nilai Kebangsaan Lemhannas RI bagi kalangan Akademisi, Birokrasi, Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama, Tokoh Adat, Tokoh Pemuda Provinsi Sumatera Utara, tahun 2014).        
                
             
             
                    
    
           
                     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar