Menilik Makna Kabinet Kerja Jokowi-JK
Oleh: Thomson Hutasoit
Direktur Eksekutif LSM Kajian Transparansi Kinerja
Instansi Publik (ATRAKTIP)
Pendahuluan.
Pemberian nama terhadap sesuatu hal
tentu tidak asal buat tanpa memikirkan apa makna nama tersebut walau dalam
benak pihak-pihak tertentu pembuatan nama itu tidaklah terlalu urgen atau
penting. Tapi jangan lupa nama adalah identitas yang melekat serta penanda
nyata keberadaan si pemakai nama. Sebab, segala sesuatu tanpa nama tak akan
pernah jelas identitasnya sehingga sering terjebak pada situasi abstrak tak
berwujud nyata.
Anonim atau tanpa nama adalah segala
sesuatu yang tidak berindetitas yang hanya lazim dikenal di dunia khayal atau
dongeng seperti penyebutan negeri antah-berantah yaitu negeri yang tidak
disebut (diketahui) nama dan tempatnya (KBBI, 2007).
Penamaan terhadap sesuatu bukan
sekadar pelekatan nama tanpa arti dan makna, melainkan penunjuk atau penanda
nyata identitas yang memiliki makna melalui proses permenungan dari si pembuat
nama tersebut. Karena itu, si pembuat nama harus pula memikirkan apa makna
dibalik nama yang dilekatkan terhadap sesuatu obyek.
Pasca pelantikan Presiden/Wakil Presiden
Joko Widodo (Jokowi)-HM. Jusuf Kalla (JK) tanggal 20 Oktober 2014 lalu,
pemerintahan Jokowi-JK menetapkan nama kabinetnya “Kabinet Kerja Jokowi-JK”
untuk periode pemerintahannya 2014-2019. Pemberian nama kabinet yang sedemikian
sederhana tetapi sarat makna hakiki mengundang decak kagum berbagai pihak, baik
masyarakat di dalam negeri maupun masyarakat internasional. Sebaliknya, menimbulkan
kritik aneka ragam dari pihak-pihak penganut konsep-konsep besar tuna makna
hingga muncul tudingan-tudingan miring bernada tendensius terhadap nama
“Kabinet Kerja Jokowi-JK” tanpa menilik makna dibalik nama kabinet yang
terkesan tidak ngetop dan tren di dunia elitisme selama ini.
Kesederhanaan nama Kabinet Jokowi-JK
tentu sangatlah relevan dengan karakter Joko Widodo (Jokowi)-HM. Jusuf Kalla
(JK) yang sederhana, bersahaja, pekerja keras, merakyat, peduli terhadap nasib
rakyat yang ditunjukkan melalui rekam jejak kinerja (track record) selama
memangku amanah yang dipercayakan di pundak mereka berdua. Kesederhanaan,
kesahajaan, kejujuran, kepercayaan atau amanah dalam mengemban tugas dan
tanggung jawab sepertinya menjungkirbalikkan pola pikir, pola laku mayoritas
‘pemimpin’ yang selalu memosisikan diri sakral di negeri ini.
Para pemimpin publik sudah banyak
dijangkiti penyakit ‘gila hormat, paranoid, lain di bibir lain di hati, serta
mendirikan singgasana di atas bangkai rakyatnya’ sehingga tidak perlu heran
apabila tidak setuju terhadap tipologi kepemimpinan Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf
Kalla (JK) yang menjadikan istananya istana rakyat. Karenanya, pola berpakaian
kedua pemimpin kerakyatan ini pun tidak luput dari kritik keras dan kasar dari
‘pemimpi-pemimpi’ di republik ini. Belum lagi, pengangkatan Menteri Kelautan
dan Perikanan Susi Pujiastuti pengusaha sukses di bisnis penerbangan (Susi Air)
yang notabene tak lulus jenjang
pendidikan sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA) membuat banyak orang
uring-uringan. Padahal, para pengkritiknya walau memiliki segudang sertifikat akademisi
tidak pernah mampu meraih sukses seperti yang diraih pemanggul ikan yang
merambah hingga ke bisnis dirgantara melalui kerja, kerja, dan kerja keras
tanpa mengenal kata menyerah.
Kritik keras dan kasar mungkin juga
merupakan letupan kekecewaan dari pihak-pihak yang ‘merasa’ paling pantas dan
layak menduduki posisi menteri, apalagi selama ini pendewaan terhadap
lulusan-lulusan luar negeri dengan berbagai embel-embel akademik begitu diagung-agungkan
walau tanpa rekam kesuksesan atau prestasi gemilang ditengah-tengah masyarakat,
bangsa maupun negara. Pengagungan jebolan luar negeri tanpa korelasi prestasi
kinerja sejatinya adalah kekeliruan besar serta merendahkan harkat dan martabat
lembaga akademisi di negeri ini. Padahal, Ir. Soekarno atau Bung Karno
Proklamator, Presiden Republik Indonesia
pertama, Joko Widodo Presiden Republik Indonesia ketujuh adalah produk dalam
negeri yang tidak kalah level dengan
pemimpin-pemimpin dunia.
Pidato Kenegaraan pertama Presiden
Republik Indonesia pada tanggal 20 Oktober 2014 Joko Widodo dengan tegas dan
lantang mengatakan, “Kerja…, Kerja…, dan Kerja…” di depan Sidang Paripurna
Majelis Permusyawatan Rakyat (MPR) dan dipancarkan seluruh media, baik media
elektronik maupun media cetak ke seluruh penjuru tanah air maupun dunia
internasional.
Apa makna sejati dari Kerja…,
Kerja…, dan Kerja… yang diucapkan dan dikumandangkan Joko Widodo (Jokowi) ?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI, 2007) Kerja adalah kegiatan melakukan sesuatu; yang dilakukan
(diperbuat), sesuatu yang dilakukan untuk mencari nafkah; mata pencaharian.
Sedangkan Kabinet ialah badan atau dewan pemerintahan yang terdiri atas para
menteri; kantor kerja (terutama bagi presiden, perdana menteri, dsb). Dengan
demikian, makna Kabinet Kerja adalah badan atau dewan pemerintahan yang terdiri
atas para menteri untuk melakukan suatu kegiatan untuk meningkatkan nafkah atau
mata pencaharian seluruh rakyat Indonesia. Kantor kerja presiden diarahkan
ditujukan untuk kerja…, kerja…, dan kerja… demi membangun Indonesia Hebat
sehingga bangsa ini Berdaulat di bidang politik, Berkepribadian di bidang
kebudayaan, berdiri di atas kaki sendiri (Berdikari) di bidang ekonomi
sebagaimana diamantkan TRI SAKTI Bung Karno.
Oleh sebab itu, Kabinet Kerja
Jokowi-JK adalah sebuah nama sederhana mengandung sejuta makna operasional yang
memberi harapan baru bagi seluruh rakyat republik ini, serta antitesa
kabinet-kabinet sebelumnya yang cenderung “Omong Doang/Omdo” alias cakap-cakap
dan retorika tanpa prestasi kinerja yang bisa diukur.
Nama sederhana Kabinet Kerja
Jokowi-JK dan tidak multitafsir mengajak seluruh pemangku kekuasaan di negeri
ini lebih mengutamakan bekerja daripada beretorika aneh-aneh sebab
menyelesaikan permasalahan republik ini tidaklah cukup dengan cakap-cakap,
retorika dan rapat-rapat belaka seperti hoby para elitis yang membicarakan,
mendiskusikan kemiskinan di hotel berbintang lima.
Kerja…, Kerja…., dan Kerja…
Kerja…., Kerja…, dan Kerja… adalah
makna sejati eksekutif (presiden, gubernur, bupati/walikota) sebagaimana
diamanatkan pasal 4 s/d pasal 18 B Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945 (Amanden). Pasal 4 ayat (1), Presiden Republik Indonesia
memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar, dan (2), Dalam
melakukan kewajibannya Presiden dibantu oleh satu orang Wakil Presiden.
Memegang kekuasaan pemerintahan,
menurut penjelasan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (Amanden)
pada angka Romawi IV Sistem Pemerintahan Negara, selengkapnya berbunyi;
Presiden ialah Penyelenggara Pemerintahan Negara yang Tertinggi di bawah
Majelis. Di bawah Majelis Permusyawaratan Rakyat, Presiden ialah
penyelenggaraan Pemerintah Negara yang tertinggi. Dalam menjalankan
Pemerintahan Negara, kekuasaan dan tanggung jawab adalah di tangan Presiden (concentration of power and responsibility
upon the President).
Penyelenggara Pemerintahan Negara
adalah pelaksana (eksekutor) kekuasaan pemerintahan sehingga harus dilakukan
melalui kerja…, kerja…., dan kerja…, bukan hanya sekadar retorika atau
berbicara (parle) sebagaimana para parlemen (DPR, DPD, DPRD-red) yang kerjanya
rapat…., rapat…, dan rapat siang dan malam hingga akhir periode sesuai yang
termaktub pada pasal 19 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945
(Amandemen) selengkapnya berbunyi; Dewan Perwakilan Rakyat bersidang sedikitnya
sekali dalam setahun.
Jokowi-JK dengan Kabinet Kerja nya
adalah makna tunggal, hakiki, dan sejati sesuai amanat Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia 1945, baik Asli maupun Amandemen sehingga penamaan
Kabinet Kerja Jokowi-JK patut dimaknai pemahaman sistem pemerintahan
presidensial komprehensif paripurna, bukan sekadar nama tanpa makna.
Yang patut dicermati lima tahun ini
ialah bagaimana Pemerintahan Jokowi-JK melakukan “Revolusi Mental” di jajaran
eksekutif (presiden, gubernur, bupati/walikota) yang telah “terjangkit
penyakit” gemar atau doyan rapat-rapat sehingga alokasi waktu, belanja rapat
dinas maupun rutin mendominasi anggaran, baik Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) setiap
tahunnya.
Selain pemborosan atau inefisiensi
anggaran, efektivitas dan produktivitas kinerja eksekutif (presiden, gubernur,
bupati/walikota) mengeksekusi berbagai program, termasuk blusukan untuk memastikan suatu program berjalan atau tidak agar
tidak terulang lagi laporan ‘asal bapak senang/ABS’ dari perangkat-perangkat
pelaksana di lapangan. Untuk itu, Pemerintahan Jokowi-JK sudah seharusnya mengevaluasi
berbagai jenis-jenis rapat, perjalanan dinas yang boros anggaran agar Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) digunakan efisien, efektif sesuai amanat Undang-undang seperti
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Rencana pemerintahan Jokowi-JK yang
ingin mengevaluasi sistem anggaran, termasuk memangkas belanja-belanja tak
urgen adalah suatu langkah cerdas dan jenial sebab perbandingan alokasi belanja
aparatur dengan alokasi belanja pembangunan amat sangat jomblang serta tidak
masuk akal. Belum lagi peluang-peluang korupsi anggaran dengan memanfaatkan
multitafsir atau pasal karet yang terdapat pada peraturan perundang-undangan
maupun peraturan daerah (Perda) yang ada saat ini.
Revolusi Mental dicanangkan Joko Widodo
(Jokowi) didukung Kabinet Kerja Jokowi-JK adalah harapan baru bangsa ini yang
telah lama dicengkram mental-mental Pangreh Praja serta mensakralkan jabatan
menjadikan daulat rakyat terabaikan dalam penyelenggaraan negara atau
pemerintahan. Mental-mental Pangreh Praja para pejabat publik harus benar-benar
direvolusi oleh pemerintahan Jokowi-JK sebab sejatinya eksekutif (presiden,
gubernur, bupati/walikota) adalah Pamong Praja (Parhobas-red) untuk mewujudkan
masyarakat makmur, adil dan sejahtera sesuai janji Proklamasi Kemerdekaan
Republik Indonesia 17 Agustus 1945.
Sebagai Kabinet Kerja
menteri-menteri pemerintahan Jokowi-JK tentu harus mampu mengartikulasikan
agenda-agenda besar Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) dalam wujud kerja
nyata, terukur, terpadu, terintegrasi dengan menghilangkan egoisme sektoral
masing-masing menteri, gubernur, bupati/walikota sebagai wujud nyata Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Konektivitas antar wilayah melalui
pembangunan kemaritiman yang dicanangkan Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK)
membuka peluang bangsa ini pusat perdagangan terbesar di abad ini. Selain
daripada itu, daerah-daerah tapal batas yang selama ini termarjinalkan dalam
kebijakan pembangunan akan diberdayakan secara optimal benteng-benteng ketahanan
negara menjaga berbagai ancaman, gangguan dari luar. Pemberdayaan masyarakat
tapal batas melalui peningkatan ekonomi dan kesejahteraan merupakan kunci utama
keutuhan bangsa di masa akan datang.
Sungguh luar biasa apa yang
dikatakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam pidato perdananya, bahwa sudah
lama bangsa ini memunggungi laut, teluk, pantai, padahal 2/3 luas wilayah
republik ini terdiri dari laut serta memiliki sumber kekayaan negara sangat
luar biasa untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat maupun negara.
Berteriak, mengerang atas pencurian,
penjarahan kekayaan laut yang dilakukan bangsa-bangsa asing tanpa kerja…,
kerja…, dan kerja… nyata untuk menghentikannya adalah pekerjaan sia-sia.
Bahkan, pencaplokan pulau-pulau sebagaimana nasib pulau Sipadan dan Ligitan
adalah akibat pengabaian menjaga dan mempertahankan wilayah kedaulatan Republik
Indonesia yang harus menjadi pelajaran berharga dan tidak boleh terulang
kembali di masa-masa mendatang.
Oleh sebab itu, agenda besar
pemerintahan Jokowi-JK dengan Kabinet Kerja Jokowi-JK adalah jawaban nyata
untuk “Melanjutkan Revolusi Belum Selesai” yang dititipkan Bung Karno untuk
segera menghadirkan daulat rakyat, daulat bangsa, daulat negara yang bukan
hanya mimpi semata, tapi nyata…, nyata…, dan nyata di republik ini.
Inilah cita-cita para Pahlawan
Bangsa yang mengorbankan harta, jiwa demi Indonesia Merdeka.
Jawaharlal Nehru (1947) mengatakan,
“Ambisi utama para orang besar di zaman kita adalah menghapus air mata. Mungkin
tugas ini takkan terselesaikan seumur hidup kita. Namun yang jelas, selama
masih ada air mata, selama itu pula kita masih harus bekerja. Inilah yang harus
kita lakukan, yakni bekerja dan bekerja, guna mewujudkan mimpi-mimpi kita”
(Haris Munandar, Terj, 2008).
Selamat bekerja Kabinet Kerja
Jokowi-JK untuk mewujudkan Indonesia Hebat.
Medan,
10 November 2014
Thomson
Hutasoit.
(Alumni Pemantapan Nilai-Nilai Kebangsaan
Lemhannas RI bagi kalangan Akademisi, Birokrasi, Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama,
Tokoh Adat, Tokoh Pemuda Provinsi Sumatera Utara, tahun 2014).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar