Selasa, 11 November 2014

Pintar Merasa vs Merasa Pintar



Pintar Merasa vs Merasa Pintar
Oleh: Thomson Hutasoit
Direktur Eksekutif LSM Kajian Transparansi Instansi Publik (ATRAKTIP)

            Salah satu fenomena sosial di alam demokrasi saiki ialah munculnya mental atau karakter Pintar Merasa di satu sisi sedangkan di sisi sebaliknya munculnya mental, karakter Merasa Pintar. Fenomena ini bukan semata-mata kebetulan saja ataupun akibat penggunaan hukum diterangkan dan/atau menerangkan (DM/MD) dalam bahasa Indonesia, tetapi mental atau karakter menggejala mewarnai pola pikir, pola laku manusia-manusia di era millennia ini.
            Menurut KBBI (2007) Merasa ialah mengalami rangsangan yang mengenai (menyentuh) indra, seperti yang dialami lidah, kulit, atau badan. Sehingga merasa adalah proses penginderaan langsung terhadap segala sesuatu yang mengenai atau menyentuh terhadap diri seseorang, masyarakat, bangsa maupun negara. Sedangkan Pintar adalah pandai, cakap, mahir (melakukan atau mengerjakan sesuatu). Dengan demikian, Pintar Merasa ialah suatu kondisi menunjukkan kepandaian, kecakapan, kemahiran mengetahui, memahami sesuatu keadaan dari pengalaman langsung atau fakta empirik yang dirasakan seseorang, masyarakat, bangsa maupun negara.
            Pintar Merasa ialah suatu kemampuan, kepandaian, kecakapan, kemahiran memaknai segala sesuatu didasari fakta-fakta empirik serta pengalaman langsung.  Karena itu, Pintar Merasa bukanlah sekadar analisis teori tetapi kerangka praktik nyata sehingga bukan asumsi-asumsi, postulat-postulat yang didasarkan atas kerangka teoritis belaka. Misalnya, memaknai kemiskinan oleh orang miskin itu sendiri akan jauh berbeda dengan rumusan-rumusan kemiskinan dijabarkan para elite-elite politik  yang sarat nuansa politis. Orang miskin merasakan langsung betapa pahit dan getirnya kemiskinan itu dalam hidup sehari-hari, sementara para elite-elite politik apalagi yang berasal dari keluarga mapan tidak pernah sama sekali merasakan kemiskinan dalam alam nyata, sehingga analisis-analisis kemiskinan hanyalah Merasa Pintar bukan Pintar Merasa. Akibatnya, berbagai kebijakan penanggulangan kemiskinan kadangkala tidak memiliki relevansi secara empirik.
            Berbagai tafsir pemaknaan yang tidak dialaskan pengalaman empirik tentu akan menimbulkan bias realita antara harapan dan kenyataan. Hal itulah salah satu penyebab utama mengapa berbagai agenda-agenda kerja penanggulangan permasalahan yang dihadapi masyarakat, bangsa maupun negara tidak pernah maksimal sebab aneka kebijakan belum mengurai akar permasalahan secara komprehensif paripurna.   
            Salah satu gejala sosial di alam demokrasi belakangan ini ialah terbukanya ruang diskusi publik seluas-luasnya terhadap segala hal ikhwal perikehidupan masyarakat, bangsa maupun negara. Ruang diskusi terbuka hingga debat kusir memberi ruang kesempatan publik untuk memberi komentar, analisis ataupun kritik, baik konstruktif maupun destruktif yang kadangkala tidak masuk akal.    
            Acapkali muncul di ruang publik komentator-komentator hebat yang seolah-olah tiada tandingan di atas bumi ini, misalnya, seorang komentator bola Indonesia yang memberi komentar macam-macam ketika klub Bacelona bertanding dengan Real Madrid. Para komentator itu sungguh luar biasa memberi analisis strategi jitu untuk memenangkan pertandingan. Tapi perlu diingat serta direnungkan dalam-dalam, bahwa  klub sepakbola Indonesia semua tahu tidak pernah menjadi kampiun di ajang sepakbola dunia, bahkan di tingkat Asia pun hingga kini belum mampu menunjukkan taringnya, sehingga analisa komentator sepakbola yang begitu piawai dan berapi-api hanyalah analisis belaka tanpa didasari pengalaman riil. Bahkan, tidak tertutup kemungkinan para komentator bola itu pun sama sekali tidak pernah pesepakbola di alam nyata.  Karena itu, bukanlah Pintar Merasa melainkan Merasa Pintar dengan berbagai kerangka teoritis yang belum tentu relevan dengan fakta empirik.
            Analogi komentator sepakbola pada era demokrasi belakangan ini tumbuh subur bagaikan jamur di musim penghujan, dimana-mana komentator Merasa Pintar tanpa didukung pijakan logika kerapkali menimbulkan kegaduhan, kekacauan menambah situasi semakin tak karukaruan.  
            Belum lagi fenomena munculnya public figure yang tidak dilandasi kredibilitas, kapasitas, kapabilitas, serta integritas dalam menduduki suatu posisi karena fakta empirik menunjukkan keterpilihan seseorang menjadi pemimpin publik (pejabat)  semata-mata karena elektabilitas yang tidak mustahil berkolaborasi dengan isinitas (keuangan-red) untuk melancarkan politik transaksional.  
            Problem menghadirkan pemimpin publik memiliki kredibilitas, kapasitas, kapabilitas, serta integritas yang ditunjukkan rekam jejak kinerja (track record)  sungguh merupakan kerja berat, apalagi pada situasi masih cenderung mengutamakan nomor piro wani piro/NPWP sehingga figur-figur kredibel, kapabel, serta berintegritas akan sulit muncul kepermukaan tanpa kemampuan finansial. Rekam jejak kinerja (track record) kadangkala dikalahkan isinitas (keuangan) seseorang sehingga sangat sulit diharapkan kehadiran pemimpin-pemimpin publik yang “Pintar Merasa”, malah yang muncul kepermukaan adalah para pemimpi “Merasa Pintar” yang belum pernah menunjukkan kesuksesan kinerja di alam nyata.   
            Memberi komentar, kritik bukan lah suatu kesalahan apalagi dosa, tetapi komentar, kritik yang diperlukan dalam membangun suatu harapan bersama adalah komentar, kritik konstruktif, bukan apriori atau kalau bukan kelompoknya semua salah tak ada yang benar.  
            Bila diamati era belakangan ini, orang yang belum pernah menjadi bupati/walikota, gubernur, presiden merasa lebih pintar (Merasa Pintar) daripada orang yang sudah pernah menjadi bupati/walikota, gubernur ataupun presiden seperti analogi komentator sepakbola yang tak pernah pesepakbola di lapangan rumput. Merasa Pintar seringkali memberikan statemen atau komentar tanpa dilandasi bukti dan fakta empirik sehingga bisa menimbulkan aneka kegaduhan, dan kekisruhan ditengah-tengah kehidupan masyarakat, bangsa maupun negara.
            Komentator bukanlah orang-orang paling pintar, paling hebat, paling maha tahu sehingga tidak pantas dan layak memosisikan diri menggurui pihak lain yang notabene telah Pintar Merasa, bukan hanya Merasa Pintar sebagaimana dilakonkan sebahagian besar komentator ataupun kritikus di negeri antah berantah.
Komentar atau kritik seharusnya ditujukan untuk memberi masukan atau sumbangsih pemikiran untuk meluruskan berbagai kekeliruan, kesalahan serta  tidak lupa pula memberi support atas kinerja-kinerja yang baik dari pihak manapun.    
            Seorang komentator atau kritikus harus mampu memosisikan diri di sudut netral dan obyaktif sehingga hanya berpihak pada kebenaran dan keadilan universal semata. Subyektivitas yang dilandasi faktor like or dislike seringkali mempengaruhi obyektivitas komentar atau kritik, akibatnya komentar, kritik lebih cenderung bersifat tendensius dan penghakiman terhadap pihak lain daripada sumbangan pemikiran untuk mengurai serta meluruskan kekeliruan atau ketidakbenaran suatu kebijakan.    
            Merasa Pintar sering memosisikan diri paling hebat, paling mampu daripada pihak lain sehingga sering memosiskan pihak lain dibawah grade, padahal itu hanya lah ilusi semata karena belum pernah terbukti dalam kerja nyata. Oleh sebab itu, Pintar Merasa jauh lebih baik daripada Merasa Pintar, sebab Merasa Pintar masih sekadar analisa atau asumsi sedangkan Pintar Merasa adalah pengalaman nyata yang pernah dilakoni sehingga tidak sekadar analisa, asumsi ataupun ilusi semata.  
                                                                                                            Medan, 5 Nopember 2014

                                                                                                            Thomson Hutasoit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar