Mengelaborasi Pengalihan Subsidi BBM
Oleh: Thomson Hutasoit
Direktur Eksekutif LSM Kajian Transparansi Kinerja
Instansi Publik (ATRAKTIP)
Salah
satu perintah atau amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
(Amandemen), pasal 33 selengkapnya berbunyi; ayat (1) Perekonomian disusun
sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan, (2) Cabang-cabang produksi
yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh
negara, (3) Bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, (4) Perekonomian
nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip
keadilan, kebersamaan, efisiensi, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, serta
dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional, (5)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.
Selanjutnya pada penjelasan
disebutkan; Dalam pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi
dikerjakan oleh semua, untuk semua dibawah pimpinan atau penilikan
anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran
orang-seorang. Sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan
asas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi.
Perekonomian berdasar atas demokrasi
ekonomi, kemakmuran bagi semua orang. Sebab itu cabang-cabang produksi yang
penting bagi negara dan yang menguasai hidup orang banyak harus dikuasai oleh
negara. Kalau tidak, tampuk produksi jatuh ketangan orang-seorang yang berkuasa
dan rakyat banyak ditindasnya. Hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat
hidup orang banyak boleh ada ditangan orang-seorang.
Bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Pengertian dan makna menguasai yang
dimaksudkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, baik Asli
maupun Amandemen bukanlah sama dan indentik dengan memiliki, tetapi mengatur
manajemen pengelolaan sumber-sumber kekayaan negara agar benar-benar dimanfaatkan
sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Tujuan utama dari pembentukan Negara
Kesatuan Republik Indonesia amat sangat jelas dan tegas dikatakan dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (Asli); Melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial.
Seluruh agenda kerja negara atau
pemerintahan tentu tidak boleh menyimpang dari tujuan pendirian negara
sebagimana diatur dalam Pembukaan UUD RI 1945, termasuk dalam mengelola
sumber-sumber kekayaan negara.
Namun demikian, amanat Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia 1945, baik Asli maupun Amandemen sering
terdistorsi peraturan perundang-undangan dibawahnya, seperti; Undang-undang
(UU), Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Daerah (Perda), dan lain sebagainya
akibat tarikan-tarikan kepentingan politik sektoral menjadikan timbulnya
karut-marut di negeri ini.
Peraturan perundang-undangan
multitafsir serta pasal-pasal karet sering memicu kerancuan maupun kegaduhan
politik dalam tataran implementatif, dan kerancuan ataupun kegaduhan itu tidak
mustahil pula mengganggu roda penyelenggaraan negara atau pemerintahan serta
menguras energi besar terbuang sia-sia. Salah satu contoh paling mutahir ialah lahirnya
Undang-Undang RI Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3),
Undang-Undang RI Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati/Walikota melalui DPRD, yang kemudian disusul keluarnya Peraturan
Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala
Daerah (Pilkada) langsung di detik-detik akhir pemerintahan Susilo Bambang
Yudoyono (SBY)-Boediono yang menjadi salah satu kegaduhan politik di republik
ini.
Akibat lahirnya UU RI Nomor 17 Tahun
2014 tentang MD3 Gedung DPR RI Senayan Jakarta “Terbelah Dua” dengan dua kubu
kekuatan politik yakni; kubu Koalisi Merah Putih (KMP) yang terdiri dari Partai
Golkar (P. Golkar), Partai Gerakan Indonesia Raya (P. Gerindra), Partai
Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Demokrat
(PD) yang ambigu. Sedangkan di kubu lain ialah kubu Koalisi Indonesia Hebat
(KIH) yang terdiri dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-Perjuangan),
Partai Nasional Demokrat (P. Nasdem), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai
Hati Nurani Rakyat (P. Hanura), dan belakangan masuk Partai Persatuan
Pembangunan (PPP).
Makhluk koalisi perlu dipahami pada
dasarnya tidak dikenal dalam sistem pemerintahan presidensial sebab koalisi
biasanya terdapat pada sistem pemerintahan parlementer. Pembentukan koalisi
apalagi koalisi permanen adalah sebuah “perselingkuhan” politik untuk merampas,
merampok atau mengkudeta daulat rakyat yang menganut sistem pemilihan umum
(Pemilu) proporsional, langsung, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Rakyat
memberikan hak pilihnya terhadap nama calon legislatif yang diusung atau
ditawarkan partai politik.
Kubu-kubuan di Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) sebetulnya hanyalah lanjutan dari kubu pengusung calon
presiden/wakil presiden pada pemilu presiden (Pilpres) 09 Juli 2014 lalu. Kubu
Kolaisi Merah Putih (KMP) mengusung pasangan calon presiden/wakil presiden
nomor urut 1 Prabowo Subianto-HM. Hatta Rajasa, Koalisi Indonesia Hebat (KIH)
mengusung calon presiden/wakil presiden nomor urut 2 Joko Widodo (Jokowi)-HM.
Jusuf Kalla (JK) yang terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia Ketujuh.
Pasca terpilih dan dilantiknya Joko
Widodo (Jokowi) dan HM. Jusuf Kalla (JK) menjadi presiden/wakil presiden
kubu-kubuan seharusnya tidak perlu lagi berlanjut hingga gedung DPR RI Senayan
Jakarta. Tetapi kontestasi Pilpres Nampak-nampaknya berubah menjadi
pertarungan, perseteruan semakin keras di gedung DPR RI hingga memicu kegaduhan
politik dan “Dualisme Kepemimpinan” serta mosi tak percaya. 560 anggota DPR RI
sepertinya hanya dikendalikan “kartel-kartel” politik yakni pimpinan (ketua
umum/presiden) partai politik seolah-olah menunjukkan bahwa anggota DPR, DPRD
yang dipilih rakyat melalui pemilihan umum (Pemilu) bukan lagi wakil rakyat
melainkan wakil partai politik.
Aras perjuangan para anggota DPR,
DPRD bukan lagi memperjuangkan kepentingan dan aspirasi rakyat seperti
janji-janji kampanye, melainkan ajang perebutan kekuasaan partai politik
belaka. Dalam situasi kondisi seperti inilah rakyat tersadar bahwa hak pilih
(suara-red) rakyat tak lebih dan tak kurang hanya mainan politik belaka dari
juragan-juragan (elite-elite) partai politik di negeri ini.
Mengatasnamakan rakyat demi
memuaskan syahwat atau libido kepentingan partai politik sejatinya adalah
cermin nyata kudeta daulat rakyat. Bahkan ada anggota DPR RI terpilih dengan
“pongah” beraksioma “Salam Dua Jari”, “Salam Tiga Jari” yang dilontarkan Joko
Widodo (Jokowi) di saat kampanye akan menjadi “Salam Gigit Jari”. Sadar atau
tidak ucapan politisi ini memberi sinyal aroma politik tak sedap dan tak
beradab yang akan berlangsung selama lima tahun di era pemerintahan Jokowi-JK.
Plintiran-plintiran politik terhadap
kebijakan pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK) kemungkinan besar
merupakan menu empuk yang mewarnai peta politik yang dilancarkan para politisi
kubu diluar partai pengusung JKW-JK. Melancarkan kritik-kritik tajam dan keras
mengatasnamakan kepentingan rakyat terhadap kebijakan pemerintaha Joko Widodo
(Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) adalah tontonan yang membutuhkan kecermatan dan
kecerdasan rakyat agar tidak terjebak intrik-intrik politik canggih dari para
politisi “belut berlumur” oli yang mampu membius alam sadar seperti hipnotis
yang bisa mengacaukan banyak orang.
Karena itu, rakyat harus cermat dan
cerdas mengerti dan memahami “sandiwara” politik yang akan dilakonkan para
politisi dan elite-elite politik yang tak pernah lupa mengatasnamakan rakyat
untuk membungkus kemangkusan partai politik yang menjadikan rakyat hanya “Gigit
Jari” menyaksikan kenikmatan kekuasaan luar biasa para politisi.
Kebijakan Pengalihan Subsidi BBM.
Persoalan
energi, bahan bakar minyak (BBM), utang luar negeri, pembangunan infrastruktur
merupakan permasalahan klasik yang telah lama diperdebatkan serta dikeluhkan
para pakar ekonomi, politisi, bahkan masyarakat awam di negeri ini. Pergantian
rezim pemerintahan dari Seoharto ke BJ Habibie, KH. Abdurrahman Wahid alias Gus
Dur, Megawati Soekarnoputri atau Mbak Mega, Susilo Bambang Yudoyono (SBY)
hingga Joko Widodo (Jokowi) permasalahan subsidi bahan bakar minyak (BBM)
sepertinya tak luput dari perdebatan sengit dan tajam serta melibatkan dua
kutub berbeda, yakni; kutub setuju dan kutub tak setuju yang kadangkala memicu
gelombang demonstrasi atau unjuk rasa hingga tindakan anarkhistis.
Permasalahan subsidi bahan bakar
minyak (BBM) bahkan kadangkala dijadikan para politisi melancarkan hak
interpelasi terhadap pemerintahan berkuasa apabila mengurangi besarnya subsidi berekses kenaikan
harga BBM yang secara otomatis berpengaruh terhadap rakyat secara langsung.
Setiap
kebijakan yang ingin mengurangi subsidi BBM atau lebih lazim dikenal kenaikan
harga bahan bakar minyak (BBM) akan selalu mendapat perlawanan keras dari masyarakat,
dan tak mustahil memicu gelombang demonstrasi atau unjuk rasa massif dari para
mahasiswa di seluruh tanah air. Bahkan gelombang demonstrasi atau unjuk rasa
mahasiswa berubah menjadi tindakan anarkhis yang bisa memakan korban, baik
harta maupun nyawa. Karena itu, kebijakan menaikkan harga bahan bakar minyak
(BBM) bersubsidi merupakan kebijakan tak populer (populis) bagi pemerintahan
berkuasa. Tak terkecuali rezim pemerintahan mana pun.
Setiap kebijakan menaikkan harga BBM
bersubsidi selalu diartikan tak pro rakyat, bahkan dianggap mengkhianati amanah
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang harus diganjar
pemakzulan (impeachment) apalagi
kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) ditunggangi kepentingan lawan-lawan
politik untuk menjatuhkan pemerintahan berkuasa.
Sebenarnya harus disadari, bahwa
subsidi bahan bakar minyak (BBM) telah menjadi kanker ganas stadium empat bagi
politik anggaran republik ini dari waktu ke waktu yang berakibat perlambatan
pembangunan infrastruktur di segala bidang. Padahal, hampir semua pakar, ahli
ekonomi, politisi, serta pengamat kebijakan publik selalu mengeluhkan subsidi
bahan bakar minyak (BBM) semakin membengkak seperti kanker ganas stadium empat menggerogoti
anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) setiap tahunnya.
Sebagaimana dikatakan Presiden Joko
Widodo (Jokowi) di Forum CEO Kompas 100, 7 November 2014 lalu, “Saya ingin
menyampaikan keborosan-keborosan,” kata Jokowi. Dalam lima tahun ini, subsidi
BBM Rp 714 triliun, tetapi anggaran kesehatan hanya Rp 229 triliun dan
infrastruktur Rp 574 triliun. “Boros enggak kita ? Sangat boros. Setiap hari
kita bakar. Karena itu, keborosan yang harus kita hentikan. APBN kita untuk
sasaran produktif, bukan konsumtif” tambah Presiden Jokowi. (Kompas,
22-11-2014).
Alasan atau argumentasi pengalihan
subsidi bahan bakar minyak (BBM) pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)- Jusuf Kalla
(JK) dari konsumtif ke produktif secara jujur dan obyektif haruslah dinilai
suatu kebijakan cerdas dan jenial. Apalagi melihat perbandingan besaran subsidi
BBM Rp 714 triliun yang hanya dibakar sia-sia (konsumtif-red) dengan anggaran
kesehatan yang hanya Rp 229 triliun, anggaran infrastruktur Rp 574 triliun
(produktif-red) dalam kurun waktu lima tahun sungguh sangat memprihatinkan. Belum
lagi, subsidi BBM sekitar 70 persen dinikmati kelas menengah ke atas pemilik
mobil menjadikan subsidi BBM tidak tepat sasaran.
Para politisi serta pihak-pihak yang
tak ingin terusik kenikmatan menggunakan subsidi BBM tentu sangat setuju dengan
kebijakan pengalihan subsidi BBM walaupun dalam hati sanubarinya mengakui
kebijakan pemerintahan Jokowi-JK adalah salah satu cara untuk memotong mata
rantai kekeliruan politik anggaran yang dilakukan pemerintahan
sebelum-sebelumnya.
Menaikkan harga bahan bakar minyak
(BBM) bersubsidi pernah dilakukan pemerintahan Soeharto, KH. Abadurrahman Wahid
alias Gus Dur, Megawati Soekarnoputri atau Mbak Mega, dan pemerintahan Susilo
Bambang Yudoyono (SBY) pernah menaikkan dan menurunkan harga BBM dalam
pemerintahannya.
Sekadar menyegarkan ingatan
elemen-bangsa bangsa pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono (SBY) alasan
atau argumentasi menaikkan harga BBM bersubsidi adalah agar APBN tidak jebol
dan kenaikan harga minyak dunia. Alasan atau argumentasi seperti ini tentu
sangatlah tidak tepat dan tak masuk akal. Sebab, pada penjelasan Undang-Undang
RI Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dikatakan, bahwa “Anggaran
adalah alat akuntabilitas, manajemen, dan kebijakan ekonomi. Sebagai instrumen
kebijakan ekonomi anggaran berfungsi untuk mewujudkan pertumbuhan dan
stabilitas perekonomian serta pemerataan pendapatan dalam rangka mencapai
tujuan bernegara.” Kemudian, menaikkan
harga bahan bakar minyak (BBM) berdasarkan harga minyak dunia sangatlah
bertentangan dengan pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
1945. Dan disinilah perbedaan nyata dan gamblang antara kebijakan pemerintahan
Susilo Bambang Yudoyono (SBY) dengan pemerintahan Joko Widodo (Jokowi).
Pemerintahan Jokowi-JK mengalihkan
subsidi bahan bakar minyak (BBM) dari konsumtif ke produktif karena pemborosan
anggaran subsidi telah menggerogoti ruang fiskal untuk membangun sektor-sektor
produktif untuk mendorong pertumbuhan perekonomian agar terwujud tujuan
berbangsa dan bernegara sebagaimana janji proklamasi 17 Agustus 1945.
Mengalihkan subsidi BBM dari
bersifat konsumtif ke produktif yang berekses kenaikan harga bahan bakar minyak
(BBM) tidak ada urusan dengan turunnya harga minyak dunia seperti alasan
politisi-politisi dari Koalisi Merah Putih (KMP) bernafsu ingin menggulirkan
Hak Interpelasi kepada pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Malah mereka membuka tameng sendiri yang
super nafsu melakukan pemborosan klasik seperti ingin membangun gedung DPR RI
di atas fasilitas Hotel berbintang lima, belanja perjalanan dinas, kunjungan
reses, kendaraan dinas, dan lain sebagainya yang sangat tidak berkorelasi
langsung dengan kinerja legislasi, pengawasan, dan budgeting selama ini. Walaupun
selalu di sorot tajam sebagai lembaga paling korup nampak-nampaknya para
politisi di gedung Senayan Jakarta sepertinya tidak pernah malu mengatasnamakan
rakyat untuk membungkus kepentingan pribadi, kelompok, golongan maupun partai
politiknya. Padahal, sebagai wakil rakyat para dewan inilah seharusnya
mengawasi anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) agar efektif dan
efisien serta dialokasikan pada sektor-sektor produktif supaya percepatan
pembangunan di republik ini terwujud segera.
Jika diperhatikan cermat dan seksama
skema alokasi pengalihan subsidi BBM pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf
Kalla (JK) tanggal 18 November 2014 sebagaimana diberitakan Harian Kompas
(18/11/2014), bahwa Infastruktur yang bisa dibiayai dari penghematan subsidi
BBM ialah Dalam rencana pembangunan 2015 ada kekuarangan dana mencapai Rp 85,7
triliun untuk pembangunan infrastruktur. Dana ini akan dibiayai dengan
meningkatkan peran swasta, penugasan BUMN, jaminan ketersediaan tanah, dan
penyediaan skema pembiayaan, antara lain untuk:
·
Peningkatan
Ketahanan air
- Pembangunan/peningkatan
jaringan irigasi seluas 71.000 hektar, rawa seluas 39 ha.
- Pembanguna
(lanjutan) 21 waduk, 9 waduk baru dan embung sebanyak 513,
- Pengendalian
banjir sepanjang 600 km dan rehabilitasi banjir sepanjang 450 km.
- Pembangunan
sarana dan prasarana air baku 11 m² detik.
·
Peningkatan
Ketersediaan Infrastruktur Pelayanan Dasar
- Meningkatkan
rasio elektrifikasi dari 83,2 persen menjadi 85,2 persen.
- Meningkatkan
akses air minum dari 70 persen menjadi 70,25 persen melalui pembangunan SPAM
kawasan MBR sebanyak 206, regional di lima kawasan IKK sebanyak 133, SPAM di
316 desa, SPAM di 25 kawasan khusus.
- Meningkatkan
akses sanitasi dari 60,5 persen menjadi 62,4
persen melalui infrastruktur air limbah di 240 kawasan, drainase perkotaan di
34 kabupaten/kota, tempat memproses akhir sampah 54 kabupaten/kota, tempat
pengolahan sampah terpadu di 97 kawasan.
- Menangani
perumahan kumuh dari 10 persen menjadi 8 persen melalui pembangunan PSU
sebanyak 105.000 unit, penataan kumuh seluas 2.000 ha, pembangunan perumahan
swadaya 5.000 unit, dan penyediaan infrastruktur permukiman perkotaan di 85
kawasan.
·
Penguatan
Konektivitas Nasional
- Preservasi
jembatan 9.652 m, peningkatan kapasitas/pelebaran jalan 1.237 km, penggantian
jembatan 2.296 m, pembangunan jalan baru 258,9 km, pembangunan “flayover”/
“underpass” 2.044,8 m, pembangunan jalan tol 23,32 km, serta pembangunan jalan
dan jembatan di kawasan strategis, perbatasan, pulau terpencil dan terluar
sepanjang 739,4 km dan 1.414 m.
- Pembangunan
jalur kreta api sepanjang 100 km dan peningkatan kapasitas sepanjang 700 km
antara lain di Jabodetabek, Surabaya, Bandung, Yogyakarta, Medan, Lintas
Selatan Jawa, dan Lintas Timur Sumatera.
- Pembangunan
prasarana penyeberangan baru di 59
lokasi, 14 dermaga sungai dan 3 dermaga danau.
- Penyediaan
armada perintis 13 kapal di wilayah timur Indonesia, pembangunan/peningkatan
pelabuhan 167 lokasi. Pengembangan 8 bandara yang akan dioperasikan tahun 2015,
pengadaan 2 pesawar kalibrasi, pengadaan 2 pesawat penumpang perintis, lanjutan
pembangunan Bandara Tjilik Riwut dan Singkawang.
- Peningkatan
jumlah pemancar sebanyak 15 unit dan studio sebanyak 10 unit.
Dari
gambaran program pengalihan subsidi harga bahan bakar minyak (BBM) Jokowi-JK
sangatlah cerdas dan jenial serta merupakan terobosan baru pengelolaan anggaran
negara dari anggaran konsumtif ke
anggaran produktif, walaupun ujung-ujungnya berakibat kenaikan harga BBM
yang akan membebani rakyat miskin dalam kurun waktu pendek.
Bila program Jokowi-JK bisa
berjalan efektif serta sesuai sasaran pengorbanan rakyat atas pengalihan
subsidi bahan bakar minyak (BBM) konsumtif ke produktif akan menjadi faktor
pengungkit percepatan kemajuan pembangunan serta pemerataan berkeadilan sebagai
koreksi total kebijakan salah sasaran dari rezim pemerintahan sebelumnya.
Oleh sebab itu, diperlukan
kecerdasan untuk menilai kebijakan pengalihan subsidi BBM agar tidak terjebak
politisasi para politikus yang bernafsu memelintir serta membelokkan niat baik
pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla(JK) semata-mata menu politik
ataupun menimbulkan kegaduhan, kebisingan politik belaka.
Medan,
25 November 2014
Thomson Hutasoit.
(Alumni Pemantapan
Nilai-nilai Kebangsaan Lemhannas RI bagi kalangan Akademisi, Birokrasi, Tokoh
Masyarakat, Tokoh Agama, Tokoh Adat, Tokoh Pemuda, Provinsi Sumatera Utara
tahun 2014).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar