Rabu, 15 Oktober 2014

Ambivalensi Demokrasi



Ambivalensi Demokrasi
Oleh: Thomson Hutasoit
Dierektur Eksekutif LSM Kajian Transparansi Kinerja Insatansi Publik (ATRAKTIP)

            Mencermati polemik politik seputar Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilu Kada) langsung pasca Pemilihan Presiden 9 Juni  2014 lalu, dimana pemilihan tersebut dimenangkan pasangan calon presiden/wakil presiden Joko Widodo (Jokowi)/ Jusuf Kalla (JK) mengalahkan pasangan calon presiden Prabowo Subianto/HM Hatta Rajasa satu putaran sesuai Keputusan dan Penetapan Komisi Pemilihan Umum (KPU) tanggal 22 Juli 2014 yang kemudian ditetapkan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia pada tanggal 21 Agustus 2014.
            Pasangan calon presiden nomor urut 1 Prabowo Subianto/HM Hatta Rajasa yang didukung Koalisi Merah Putih (KMP), terdiri dari Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Bulan Bintang (PBB), sementara Partai Demokrat tidak secara tegas menyatakan dukungannya walau kader-kadernya menyatakan dukungan kepada pasangan calon presiden/wakil presiden nomor urut 1.
Sedangkan pasangan calon presiden/wakil presiden nomor urut 2 Joko Widodo (Jokowi) /HM Jusuf Kalla (JK) hanya didukung atau diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ( PDI-Perjuangan), Partai Nasional Demokrat (Partai Nasdem), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Hati Nurani Rakyat (Partai Hanura), PKP-Indonesia yang memiliki kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI minoritas priode 2009-2014 disebut Koalisi Indonesia Hebat (KIH).  
            Buntut kekalahan konstestasi pilpres 2014 memang harus diakui sangatlah pahit apalagi Koalisi Merah Putih (KMP) yang didukung partai-partai besar dan memiliki kursi mayoritas di parlemen menjadikan partai-partai pengusung pasangan calon presiden/wakil presiden nomor urut 1 sangat sulit menerima kekalahan secara kesatria dan legowo. Tetapi harus diingat bahwa, kalkulasi politik tidaklah selalu linier dengan logika politik rakyat yang sudah semakin cerdas memilih, mendaulat pemimpinnya.          Rakyat sudah pintar dan cerdas membedakan antara memilih calon wakil rakyat (DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota) dengan pemilihan presiden/wakil presiden sehingga jumlah kursi di DPR tidaklah jaminan mutlak absolut berkorelasi linier perolehan suara terhadap pasangan calon presiden/wakil presiden sebagaimana dibuktikan beberapa pemilihan, seperti Pemilukada Gubernur DKI Jakarta 2012, dan paling mutahir Pilpres 2014 lalu yang dimenangkan Joko Widodo (Jokowi)/HM. Jusuf Kalla (JK) mengalahkan Prabowo Subianto/HM. Hatta Rajasa.  
            Bila diperhatikan dengan cermat pertarungan politik pemilihan presiden/wakil presiden 2014 menunjukkan betapa kontrasnya perbedaan antara politik elite dengan politik rakyat pada dua kubu pasangan calon presiden/wakil presiden. Walau dengan berbagai taktik strategi dilancarkan masing-masing kandidat untuk merebut simpatik rakyat, termasuk berbagai penciteraan dengan berbagai iming-iming, rakyat yang semakin cerdas mampu memilah dan memilih mana emas mana pula loyang menurut pelacakan rekam jejak kinerja para kandidat.
Rakyat berdaulat menentukan pilihan secara langsung  terhadap calon pemimpin yang menurut penilaiannya kredibel, kapabel, dan berintegritas mengemban tugas dan tanggung jawab pemimpin dari rekam jejak kinerja (track record) sebelum-sebelumnya. Jadi tidak lagi cukup mengandalkan aneka penciteraan melalui iklan/propaganda ala iklan kecap nomor satu. Model-model rekayasa kemasan hampa isi sudah sangat ketinggalan zaman alias out of date yang masih banyak melekat dan mendarah daging bagi sebahagian besar politisi di republik ini adalah cermin ketidakmampuan menangkap tanda-tanda zaman. Sebab masih banyak politisi di negeri ini belum mampu menerima perubahan paradigma baru, sehingga muncul pameo paradigma telah berubah tapi orangnya belum. Belum lagi penyakit post power syndrom yang selalu mengagung-agungkan masa lalu yang tak pernah terbukti membawa pengaruh signifikan terhadap kemaslahatan masyarakat, bangsa maupun negara secara riil.
Memosisikan rakyat mengidap penyakit agnosia (lupa ingatan-red) atas sepak terjang para politisi di masa lalu sangatlah tidak bijaksana dan tak beradab sebab tindakan seperti itu adalah penghinaan terhadap kemanusiaan yang sangat tak terpuji.    
            Kekeliruan dan sesat pikir memosisikan rakyat masih buta atas tindak tanduk sebahagian besar politisi yang doyan mempermainkan nasib rakyat pada pemilihan presiden/wakil presiden 2014 mendapat tamparan keras dari pemilik kedaulatan (suara) hingga muncul ambivalensi demokrasi ingin mengembalikan pemilihan langsung kepala daerah (gubernur, bupati/walikota) menjadi pemilihan kepala daerah tak langsung melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) seperti di era Orde Baru (Orba) yang ditumbangkan era reformasi 1998 lalu yang membangun oligarkhi elite-elite partai politik serta sandiwara politik yang memasung serta membajak hak kedaulatan rakyat menjadi kedaulatan elite-leite partai politik.   
            Koreksi kekeliruan orde baru (Orba) yang melakonkan sandiwara politik serta pemasungan hak daulat rakyat adalah makna sejati lahirnya reformasi di republik ini, tapi reformasi bermahar darah mahasiswa dan rakyat bumi Nusantara kini sepertinya sedang menuju Ret in Peace (RIP) alias “Dison Maradian” oleh mental-mental ambivalen ambigu dalam berdemokrasi.   
            Yang sungguh mengherankan ialah sikap, pola pikir para politisi berkuasa saat ini yang notabene dilahirkan reformasi sepertinya telah terjangkit penyakit agnosia hingga tulalit ingatan, bahwa sistem pemilihan langsung saat ini tidak lain dan tidak bukan adalah anak kandung reformasi 1998 lalu sebagai antitesa demokrasi semu yang dimotori elite-elite partai politik  merampas kedaulatan rakyat menjadi kedaulatan partai politik dalam memilih pemimpin di republik ini.   
            Sungguh tidak masuk akal dan keliru besar perjuangan berdarah-darah para pejuang reformasi 1998 lalu harus dikhianati akibat kekecewaan politik kontestasi dan kepentingan politik sesaat, apalagi sampai menutup mata dan telinga terhadap aspirasi rakyat yang masih konsisten melanjutkan reformasi untuk membangun demokrasi substantif di negeri ini.
Berbagai kekurangan dan kelemahan yang masih menyelimuti pemilihan kepala daerah langsung selama ini tidak memiliki landasan kuat untuk mengulangi kesalahan yang sama kedua kalinya, sebab seperti kata Bung Karno “Hanya keledai mau terperosok dua kali kedalam satu lobang yang sama”. Dan para orang bijak mengatakan, memushakan tikus tidak perlu membakar rumah sekaligus, sebab tidakan demikian adalah tindakan bodoh dan konyol.
            Sikap, sifat konsisten melakukan perbaikan terus menerus hingga mencapai hasil maksimal adalah salah satu cara membangun demokrasi substantif di republik ini, sebab berbagai bukti dan fakta membuktikan gonta-ganti sistem menjadikan negeri ini semakin jauh dipersimpangan jalan. Dan pola pikir seperti itulah salah satu yang perlu dilakukan dalam Revolusi Mental yang digulirkan presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi) agar bangsa ini tidak terus terombang ambing, tanpa kemandirian disegala segmen kehidupan.  
            Sikap, sifat ambivalensi yang menimbulkan kebimbangan, keragu-raguan, serta tidak percaya diri harus benar-benar di revolusi agar bangsa ini memiliki kemandirian dalam berbangsa dan bernegara. Sebab sesuatu yang baik bagi bangsa lain belum tentu baik bagi bangsa Indonesia apalagi tidak sesuai dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Bhinneka Tunggal Ika dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagaimana dicita-citakan para pendiri bangsa ini.  
            Para politisi harus menyadari seksama bila tuan-tuan masih bangga menyandang predikat wakil rakyat, seharusnya tidak pernah menutup mata dan telinga  terhadap aspirasi rakyat, sebab bila tidak rakyat akan menarik dukungannya dari Anda melalui mosi tak percaya sebagai wujud  penyesalan terlanjur memberi hak pilih pada orang yang mengkhianati aspirasinya.
            Melihat dan mencermati pertarungan politik pasca Pilpres 2014 sadar atau tidak telah membuka pandora ruang gelap masker-masker politik yang tak pernah lupa mengatasnamakan rakyat. Nama rakyat selalu disebut walau dalam kenyataannya rakyat hanyalah mahkluk tanpa wujud dalam pandangan para elite-elite partai politik. Para politisi tak pernah lupa melontarkan gagasan, ide atas nama rakyat. Tapi yang menjadi pertanyaan, atas nama rakyat yang mana tak pernah jelas sebab banyak gagasan, ide, kebijakan yang ditelorkan para politisi di republik ini sangat berbanding terbalik dengan logika publik (rakyat).
             Dalam berbagai diskusi antara penulis dengan para wakil rakyat hal itu selalu muncul kepermukaan, apalagi bila sorotan kritis dan tajam terhadap wakil rakyat era belakangan ini sangat luar biasa gaduhnya. Diantara para wakil rakyat kadangkala mempertanyakan apa bedanya wakil rakyat (legislatif) dengan eksekutif (presiden, gubernur, bupati/walikota) yang notabene sama-sama dipilih rakyat.
            Pertanyaan seperti itu mungkin juga merupakan representase wakil rakyat (DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota) di republik ini, apalagi bila dikorelasikan dengan berbagai produk legislasi yang tidak pro rakyat. Berbagai produk legislasi, budgeting, pengawasan yang merupakan hak konstitusional melekat pada para wakil rakyat malah dibelokkan untuk menanggok keuntungan pribadi, kelompok, golongan, terlebih keuntungan partai politik pengusungnya. Sehingga DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota tidak mampu lagi memosisikan diri di atas seluruh kepentingan. Akibatnya, mereka bukan lagi wakil rakyat tetapi wakil partai yang dipenuhi syahwat maniak kuasa.
            Ketidakmampuan memosisikan diri sebagai wakil rakyat yang berfungsi dan berperan untuk menampung aspirasi serta memperjuangkan maksimal di dalam arah kebijakan pemerintahan menjadikan para wakil rakyat tidak pernah tahu membedakan dirinya wakil rakyat (legislatif) dengan eksekutif (presiden, gubernur, bupati/walikota) walaupun telah terpilih berulang kali.
            Jika pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi)/Wakil Presiden H.M. Jusuf Kalla (JK) mampu menunjukkan kebijakan pro rakyat mendapat perlawanan atau penolakan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD) berarti DPR, DPD tidak layak lagi menyandang nama wakil rakyat, apalagi menyandang predikat yang terhormat, sebab predikat wakil rakyat yang terhormat hanya pantas diberikan kepada orang-orang yang tidak mau mengkhianati kepercayaan rakyat.
            Rakyat di negeri ini kini menunggu pembuktian nyata siapakah sebenarnya yang peduli dengan nasib rakyat yang hingga saat ini masih dililit kemiskinan, kebodohan, ketertinggalan, intimidasi, diskriminasi, serta perlakuan tidak adil lainnya, apakah pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)/Jusuf Kalla (JK) atau wakil-wakil rakyat yang bersinggasana di Gedung Senayan, mari kita tunggu lima tahun ke depan.
            Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dipilih rakyat untuk menampung aspirasi serta memperjuangkannya dalam pemerintahan, Joko Widodo (Jokowi)/Jusuf Kalla (JK) dipilih rakyat menjalankan pemerintahan, siapakah lebih peduli terhadap nasih rakyat, bangsa, negara ini rakyatlah yang menjadi juri sebab rakyatlah yang merasakan akibatnya secara langsung.
            Rakyat di republik ini telah muak dan jijik retorika-retorika palsu, penuh kebohongan, apalagi penuh kemunafikan, yang diinginkan dan didambakan adalah bukti nyata untuk mewujudkan janji Proklamasi, masyarakat makmur, sejahtera dan berkeadilan.
            Rakyat sudah capek dan lelah atas kegaduhan-kegaduhan politik tak bermutu walau dibungkus kepiawian merangkai kata-kata indah hampa isi, sebab pada ujung-ujungnya rakyatlah yang menderita. Karena itu, wahai politisi di negeri ini berhentilah mempermainkan nasib rakyat, bekerjalah untuk nusa dan bangsa sebelum rakyat menggugat legitimasi mu.
            Ingat sejarah tak pernah bohong ! Penulis sejarah lah yang kadangkala bohong.
                                                                                                            Medan, 10 Oktober 2014

                                                                                                            Thomson Hutasoit.
   
             
              
              
                

Tidak ada komentar:

Posting Komentar