Ambivalensi Demokrasi
Oleh: Thomson Hutasoit
Dierektur Eksekutif LSM Kajian Transparansi Kinerja
Insatansi Publik (ATRAKTIP)
Mencermati polemik politik seputar
Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilu Kada) langsung pasca Pemilihan Presiden 9
Juni 2014 lalu, dimana pemilihan
tersebut dimenangkan pasangan calon presiden/wakil presiden Joko Widodo
(Jokowi)/ Jusuf Kalla (JK) mengalahkan pasangan calon presiden Prabowo
Subianto/HM Hatta Rajasa satu putaran sesuai Keputusan dan Penetapan Komisi
Pemilihan Umum (KPU) tanggal 22 Juli 2014 yang kemudian ditetapkan Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia pada tanggal 21 Agustus 2014.
Pasangan calon presiden nomor urut 1
Prabowo Subianto/HM Hatta Rajasa yang didukung Koalisi Merah Putih (KMP),
terdiri dari Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN),
Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Bulan
Bintang (PBB), sementara Partai Demokrat tidak secara tegas menyatakan
dukungannya walau kader-kadernya menyatakan dukungan kepada pasangan calon
presiden/wakil presiden nomor urut 1.
Sedangkan
pasangan calon presiden/wakil presiden nomor urut 2 Joko Widodo (Jokowi) /HM
Jusuf Kalla (JK) hanya didukung atau diusung Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan ( PDI-Perjuangan), Partai Nasional Demokrat (Partai Nasdem), Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Hati Nurani Rakyat (Partai Hanura),
PKP-Indonesia yang memiliki kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI minoritas
priode 2009-2014 disebut Koalisi Indonesia Hebat (KIH).
Buntut kekalahan konstestasi pilpres
2014 memang harus diakui sangatlah pahit apalagi Koalisi Merah Putih (KMP) yang
didukung partai-partai besar dan memiliki kursi mayoritas di parlemen
menjadikan partai-partai pengusung pasangan calon presiden/wakil presiden nomor
urut 1 sangat sulit menerima kekalahan secara kesatria dan legowo. Tetapi harus
diingat bahwa, kalkulasi politik tidaklah selalu linier dengan logika politik
rakyat yang sudah semakin cerdas memilih, mendaulat pemimpinnya. Rakyat sudah pintar dan cerdas
membedakan antara memilih calon wakil rakyat (DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD
Kabupaten/Kota) dengan pemilihan presiden/wakil presiden sehingga jumlah kursi
di DPR tidaklah jaminan mutlak absolut berkorelasi linier perolehan suara
terhadap pasangan calon presiden/wakil presiden sebagaimana dibuktikan beberapa
pemilihan, seperti Pemilukada Gubernur DKI Jakarta 2012, dan paling mutahir
Pilpres 2014 lalu yang dimenangkan Joko Widodo (Jokowi)/HM. Jusuf Kalla (JK)
mengalahkan Prabowo Subianto/HM. Hatta Rajasa.
Bila diperhatikan dengan cermat
pertarungan politik pemilihan presiden/wakil presiden 2014 menunjukkan betapa
kontrasnya perbedaan antara politik elite dengan politik rakyat pada dua kubu
pasangan calon presiden/wakil presiden. Walau dengan berbagai taktik strategi
dilancarkan masing-masing kandidat untuk merebut simpatik rakyat, termasuk
berbagai penciteraan dengan berbagai iming-iming, rakyat yang semakin cerdas
mampu memilah dan memilih mana emas mana pula loyang menurut pelacakan rekam
jejak kinerja para kandidat.
Rakyat
berdaulat menentukan pilihan secara langsung
terhadap calon pemimpin yang menurut penilaiannya kredibel, kapabel, dan
berintegritas mengemban tugas dan tanggung jawab pemimpin dari rekam jejak
kinerja (track record) sebelum-sebelumnya.
Jadi tidak lagi cukup mengandalkan aneka penciteraan melalui iklan/propaganda
ala iklan kecap nomor satu. Model-model rekayasa kemasan hampa isi sudah sangat
ketinggalan zaman alias out of date
yang masih banyak melekat dan mendarah daging bagi sebahagian besar politisi di
republik ini adalah cermin ketidakmampuan menangkap tanda-tanda zaman. Sebab
masih banyak politisi di negeri ini belum mampu menerima perubahan paradigma
baru, sehingga muncul pameo paradigma telah berubah tapi orangnya belum. Belum
lagi penyakit post power syndrom yang
selalu mengagung-agungkan masa lalu yang tak pernah terbukti membawa pengaruh
signifikan terhadap kemaslahatan masyarakat, bangsa maupun negara secara riil.
Memosisikan
rakyat mengidap penyakit agnosia (lupa ingatan-red) atas sepak terjang para
politisi di masa lalu sangatlah tidak bijaksana dan tak beradab sebab tindakan
seperti itu adalah penghinaan terhadap kemanusiaan yang sangat tak terpuji.
Kekeliruan dan sesat pikir
memosisikan rakyat masih buta atas tindak tanduk sebahagian besar politisi yang
doyan mempermainkan nasib rakyat pada pemilihan presiden/wakil presiden 2014
mendapat tamparan keras dari pemilik kedaulatan (suara) hingga muncul
ambivalensi demokrasi ingin mengembalikan pemilihan langsung kepala daerah
(gubernur, bupati/walikota) menjadi pemilihan kepala daerah tak langsung melalui
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) seperti di era Orde Baru (Orba) yang
ditumbangkan era reformasi 1998 lalu yang membangun oligarkhi elite-elite
partai politik serta sandiwara politik yang memasung serta membajak hak
kedaulatan rakyat menjadi kedaulatan elite-leite partai politik.
Koreksi kekeliruan orde baru (Orba)
yang melakonkan sandiwara politik serta pemasungan hak daulat rakyat adalah
makna sejati lahirnya reformasi di republik ini, tapi reformasi bermahar darah
mahasiswa dan rakyat bumi Nusantara kini sepertinya sedang menuju Ret in Peace (RIP) alias “Dison Maradian” oleh mental-mental
ambivalen ambigu dalam berdemokrasi.
Yang sungguh mengherankan ialah
sikap, pola pikir para politisi berkuasa saat ini yang notabene dilahirkan reformasi sepertinya telah terjangkit penyakit agnosia
hingga tulalit ingatan, bahwa sistem pemilihan langsung saat ini tidak lain dan
tidak bukan adalah anak kandung reformasi 1998 lalu sebagai antitesa demokrasi
semu yang dimotori elite-elite partai politik merampas kedaulatan rakyat menjadi kedaulatan
partai politik dalam memilih pemimpin di republik ini.
Sungguh tidak masuk akal dan keliru
besar perjuangan berdarah-darah para pejuang reformasi 1998 lalu harus
dikhianati akibat kekecewaan politik kontestasi dan kepentingan politik sesaat,
apalagi sampai menutup mata dan telinga terhadap aspirasi rakyat yang masih
konsisten melanjutkan reformasi untuk membangun demokrasi substantif di negeri
ini.
Berbagai
kekurangan dan kelemahan yang masih menyelimuti pemilihan kepala daerah
langsung selama ini tidak memiliki landasan kuat untuk mengulangi kesalahan
yang sama kedua kalinya, sebab seperti kata Bung Karno “Hanya keledai mau
terperosok dua kali kedalam satu lobang yang sama”. Dan para orang bijak
mengatakan, memushakan tikus tidak perlu membakar rumah sekaligus, sebab
tidakan demikian adalah tindakan bodoh dan konyol.
Sikap, sifat konsisten melakukan
perbaikan terus menerus hingga mencapai hasil maksimal adalah salah satu cara
membangun demokrasi substantif di republik ini, sebab berbagai bukti dan fakta
membuktikan gonta-ganti sistem menjadikan negeri ini semakin jauh
dipersimpangan jalan. Dan pola pikir seperti itulah salah satu yang perlu dilakukan
dalam Revolusi Mental yang digulirkan presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi)
agar bangsa ini tidak terus terombang ambing, tanpa kemandirian disegala segmen
kehidupan.
Sikap, sifat ambivalensi yang
menimbulkan kebimbangan, keragu-raguan, serta tidak percaya diri harus
benar-benar di revolusi agar bangsa ini memiliki kemandirian dalam berbangsa
dan bernegara. Sebab sesuatu yang baik bagi bangsa lain belum tentu baik bagi
bangsa Indonesia apalagi tidak sesuai dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia 1945, Bhinneka Tunggal Ika dalam bingkai Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagaimana dicita-citakan para pendiri
bangsa ini.
Para politisi harus menyadari
seksama bila tuan-tuan masih bangga menyandang predikat wakil rakyat,
seharusnya tidak pernah menutup mata dan telinga terhadap aspirasi rakyat, sebab bila tidak
rakyat akan menarik dukungannya dari Anda melalui mosi tak percaya sebagai
wujud penyesalan terlanjur memberi hak
pilih pada orang yang mengkhianati aspirasinya.
Melihat dan mencermati pertarungan
politik pasca Pilpres 2014 sadar atau tidak telah membuka pandora ruang gelap
masker-masker politik yang tak pernah lupa mengatasnamakan rakyat. Nama rakyat
selalu disebut walau dalam kenyataannya rakyat hanyalah mahkluk tanpa wujud
dalam pandangan para elite-elite partai politik. Para politisi tak pernah lupa
melontarkan gagasan, ide atas nama rakyat. Tapi yang menjadi pertanyaan, atas
nama rakyat yang mana tak pernah jelas sebab banyak gagasan, ide, kebijakan
yang ditelorkan para politisi di republik ini sangat berbanding terbalik dengan
logika publik (rakyat).
Dalam berbagai diskusi antara penulis dengan
para wakil rakyat hal itu selalu muncul kepermukaan, apalagi bila sorotan
kritis dan tajam terhadap wakil rakyat era belakangan ini sangat luar biasa
gaduhnya. Diantara para wakil rakyat kadangkala mempertanyakan apa bedanya
wakil rakyat (legislatif) dengan eksekutif (presiden, gubernur,
bupati/walikota) yang notabene sama-sama
dipilih rakyat.
Pertanyaan seperti itu mungkin juga
merupakan representase wakil rakyat (DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD
Kabupaten/Kota) di republik ini, apalagi bila dikorelasikan dengan berbagai
produk legislasi yang tidak pro rakyat. Berbagai produk legislasi, budgeting,
pengawasan yang merupakan hak konstitusional melekat pada para wakil rakyat
malah dibelokkan untuk menanggok keuntungan pribadi, kelompok, golongan,
terlebih keuntungan partai politik pengusungnya. Sehingga DPR, DPD, DPRD
Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota tidak mampu lagi memosisikan diri di atas seluruh
kepentingan. Akibatnya, mereka bukan lagi wakil rakyat tetapi wakil partai yang
dipenuhi syahwat maniak kuasa.
Ketidakmampuan memosisikan diri
sebagai wakil rakyat yang berfungsi dan berperan untuk menampung aspirasi serta
memperjuangkan maksimal di dalam arah kebijakan pemerintahan menjadikan para
wakil rakyat tidak pernah tahu membedakan dirinya wakil rakyat (legislatif)
dengan eksekutif (presiden, gubernur, bupati/walikota) walaupun telah terpilih
berulang kali.
Jika pemerintahan Presiden Joko
Widodo (Jokowi)/Wakil Presiden H.M. Jusuf Kalla (JK) mampu menunjukkan
kebijakan pro rakyat mendapat perlawanan atau penolakan dari Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD) berarti DPR, DPD tidak layak lagi menyandang
nama wakil rakyat, apalagi menyandang predikat yang terhormat, sebab predikat
wakil rakyat yang terhormat hanya pantas diberikan kepada orang-orang yang
tidak mau mengkhianati kepercayaan rakyat.
Rakyat di negeri ini kini menunggu
pembuktian nyata siapakah sebenarnya yang peduli dengan nasib rakyat yang
hingga saat ini masih dililit kemiskinan, kebodohan, ketertinggalan,
intimidasi, diskriminasi, serta perlakuan tidak adil lainnya, apakah
pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)/Jusuf Kalla (JK) atau wakil-wakil rakyat yang
bersinggasana di Gedung Senayan, mari kita tunggu lima tahun ke depan.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan
Perwakilan Daerah (DPD) dipilih rakyat untuk menampung aspirasi serta
memperjuangkannya dalam pemerintahan, Joko Widodo (Jokowi)/Jusuf Kalla (JK)
dipilih rakyat menjalankan pemerintahan, siapakah lebih peduli terhadap nasih
rakyat, bangsa, negara ini rakyatlah yang menjadi juri sebab rakyatlah yang
merasakan akibatnya secara langsung.
Rakyat di republik ini telah muak
dan jijik retorika-retorika palsu, penuh kebohongan, apalagi penuh kemunafikan,
yang diinginkan dan didambakan adalah bukti nyata untuk mewujudkan janji
Proklamasi, masyarakat makmur, sejahtera dan berkeadilan.
Rakyat sudah capek dan lelah atas
kegaduhan-kegaduhan politik tak bermutu walau dibungkus kepiawian merangkai
kata-kata indah hampa isi, sebab pada ujung-ujungnya rakyatlah yang menderita.
Karena itu, wahai politisi di negeri ini berhentilah mempermainkan nasib rakyat,
bekerjalah untuk nusa dan bangsa sebelum rakyat menggugat legitimasi mu.
Ingat sejarah tak pernah bohong !
Penulis sejarah lah yang kadangkala bohong.
Medan,
10 Oktober 2014
Thomson
Hutasoit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar