Presiden Rakyat vs Wakil Rakyat
Oleh: Thomson Hutasoit
Direktur Eksekutif LSM Kajian Transparansi Kinerja
Instansi Publik (ATRAKTIP)
Salah
satu diskusi paling menguras pemikiran di era belakangan ini ialah klaim
mengatasnamakan ‘rakyat’ sehingga diperlukan suatu pemikiran ekstra serius
untuk mengelaborasi secara mendalam, mendetail, serta komprehensif paripurna.
Sebab klaim mengatasnamakan rakyat sepertinya sudah merupakan tradisi bagi
sebahagian besar elite-elite politik yang tidak lain dan tidak bukan hanyalah
kosmetika politik untuk menarik simpatik terutama di musim-musim kontestasi,
baik pemilihan legislatif, eksekutif tingkat daerah maupun nasional.
Klaim-klaim atas nama rakyat tanpa
spesifikasi tegas dan jelas menimbulkan kerancuan yang amat sangat
membingungkan, bukan saja terhadap rakyat itu sendiri tetapi juga kepada
pihak-pihak pengklaim sebagaimana dapat dibuktikan dengan mata telanjang tindak-tanduk
para pemangku kekuasaan yang notabene mendapat
mandat dari daulat rakyat di waktu kontestasi.
Salah satu sistem pemerintahan yang
paling banyak dianut negara-negara di atas jagat raya ini ialah sistem demokrasi
yakni dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat yang sadar atau tidak sejatinya
sistem pemerintahan itu bermuara terhadap kepentingan rakyat. Walau demikian,
rakyat mana yang dimaksudkan masih terbuka lebar ruang untuk menafsirkan sesuai
sudut pandang masing-masing. Sehingga apa saja pun yang dilakukan para pemangku
kekuasaan bisa dianggap benar dan sahih dengan membangun logika-logika politik
pembenar untuk mengelabui logika publik.
Sebagai suatu sistem pemerintahan
dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat tidaklah terlalu salah bila legislatif
(DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kebupaten/Kota) mengklaim diri atas nama rakyat
apalagi predikat wakil rakyat itu diatur dan dijamin konstitusi republik ini.
Demikian juga eksekutif (presiden, gubernur, bupati/walikota) yang dipilih dari
rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat tidak juga berdosa bila mengklaim dirinya
presiden rakyat, gubernur rakyat, bupati/walikota rakyat.
Yang menjadi pertanyaan besar ialah
wakil rakyat mana ? masih belum jelas. Sebab dalam kenyataannya suara, aspirasi,
keinginan rakyat justru sangat berseberangan dengan kepentingan para wakil
rakyat yang dirasuki syahwat berkuasa,
padahal di saat-saat musim pemilihan
para wakil rakyat itu mempropagandakan perjuangan nasib rakyat yang tidak
mendapat perhatian serius dari pemerintah. Tidak ada satu kontestan pun
menyatakan diri berseberangan dengan rakyat ketika pemilihan, tetapi pasca
pemilihan suara, aspirasi rakyat mana sebenarnya yang diperjuangkan sama sekali
tidak jelas. Malah setelah terpilih dan menggenggam kekuasaan justru gaduh memperebutkan
kekuasaan, dengan mempermainkan nasib rakyat secara telanjang. Kegaduhan para
wakil rakyat yang menyandang predikat yang terhormat hampir tidak pernah
disebabkan perjuangan nasib rakyat, seperti bagaimana meningkatkan taraf hidup
rakyat tani, nelayan, pekebun, buruh, serta sektor informal lainnya yang hingga
kini masih sangat menyedihkan.
Sebagai wakil rakyat, sekali lagi,
sebagai wakil rakyat, tuan-tuan, puan-puan yang terhormat itu seharusnya
menyadari bahwa, di pundak mereka digantungkan suatu harapan, amanah, kepercayaan
perjuangan perbaikan nasibnya, bukan memberi legalitas untuk bebas berbuat
apapun, termasuk ‘membajak, mencaplok’ hak-hak rakyat kemudian menjadikan suara
rakyat yang diperolehnya bargaining
politik untuk merebut kekuasaan, pribadi, kelompok, golongan ataupun partai
politik.
Wakil rakyat tidaklah sama dan
indentik dengan toke rakyat sehingga sangat keliru besar apabila wakil rakyat
membajak, mencaplok, membelokkan kedaulatan rakyat menjadi kedaulatan partai.
Dan ketika itulah para wakil rakyat tidak pantas dan layak lagi menyandang
predikat wakil rakyat apalagi sebutan yang terhormat sebab mereka telah
mengubah habitatnya menjadi wakil partai yang cenderung haus kekuasaan.
Apa yang kita persaksikan dari
tindaj-tanduk tuan-puan di Gedung DPR RI
Senayan Jakarta yang diberitakan luas media elektronik maupun media
cetak pasca Pilpres 2014, tidak lain dan tidak bukan hanyalah pertarungan
kekuasaan partai-partai politik dan sama sekali tidak berhubungan dengan nasib
rakyat, walaupun mengatasnamakan rakyat. Sandiwara politik tak bermutu yang
dibungkus aneka kamuflase ending nya sangat mudah ditebak seluruh rakyat
di sisik bumi negeri ini. Karena itu, jangan salahkan rakyat pemilik kedaulatan
di republik ini bila tidak percaya lagi kepada para wakil rakyat sebagai
gantungan harapan perbaikan nasibnya, dan ketika para wakil rakyat itu
kunjungan reses mendapat penolakan dari rakyat.
Jika rakyat berkesimpulan bahwa
kunjungan reses, kunjungan kerja tidak lain dan tidak bukan hanyalah
menghabiskan anggaran negara tanpa manfaat apa-apa sekalipun mempunyai landasan
konstitusi tidak perlu terlalu disalahkan, sebab rakyat telah menyaksikan
dengan mata kepala sendiri betapa kentalnya aroma nafsu kuasa yang dipertontonkan
para wakil rakyat di negeri ini.
Salah satu hal paling menyedihkan
dari para wakil rakyat belakangan ini ialah ketidakmampuan memosisikan diri
pemimpin publik sebab lebih cenderung memosisikan diri wakil partai politik
daripada rakyat secara keseluruhan, padahal para wakil rakyat itu terpilih
bukan hanya atas pilihan anggota partai politik. Timbul pertanyaan, rakyat
pemilih yang bukan anggota partai politik siapa wakilnya ?, dan mengapa ketika
pemilihan para wakil rakyat ini tidak pernah membedakan anggota partai dengan
rakyat yang bukan anggota partai politik ? Ini kan aneh, bin ajaib serta keliru
besar bila wakil rakyat membeda-bedakan rakyat pasca terpilih.
Jika logikanya mengutamakan partai
politik maka tidak ada salahnya bila predikat wakil rakyat dirubah menjadi
wakil partai, maka pertarungan perebutan kekuasaan yang dipertontonkan para
wakil rakyat sah-sah saja dan tidak perlu disalahkan.
Oleh sebab itu, eksistensi partai
politik sebagai wadah pendidikan politik rakyat perlu diluruskan agar partai
politik yang mengemban tugas mulai mencetak, memasok kader-kader terbaiknya
untuk memimpin bangsa justru sebaliknya dijadikan lembaga pembodohan rakyat,
serta melahirkan pengkotak-kotakan ditengah-tengah kehidupan masyarakat, bangsa
maupun negara.
Sebagai pemimpin bangsa, apalagi
berani menyebut diri negarawan para wakil rakyat tidak boleh sekali-sekali
melahirkan sekat-sekat sosial yang berpotensi menimbulkan ancaman persatuan
bangsa serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Sebagaimana telah diuraikan di awal
tulisan ini bahwa, sistem pemerintahan demokrasi yakni; dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat eksekutif
(presiden, gubernur, bupati/walikota) juga atas pilihan rakyat melalui
pemilihan langsung.
Negara Republik Indonesia yang
menganut sistem presidensial tidak bertanggung jawab kepada parlemen, tetapi
bertanggung jawab kepada rakyat secara langsung. Presiden yang dipilih rakyat
secara langsung adalah presiden rakyat, bukan presiden partai sebagaimana
dianut sistem parlementer.
Sebagai pilihan rakyat maka
eksekutif (presiden, gubernur, bupati/walikota) harus mengemban tugas dan
tanggung jawab sesuai aspirasi, keinginan seluruh rakyat, bukan keinginan
partai yang cenderung diselimuti libido kekuasaan. Walaupun presiden, gubernur,
bupati/walikota diusulkan atau diusung partai politik atau gabungan partai
politik sesuai undang-undang bukan berarti bahwa presiden, gubernur,
bupati/walikota adalah presiden, gubernur, bupati/walikota nya partai politik
pengusung.
Partai politik pengusul, pengusung
hanyalah berfungsi untuk menawarkan putera-puteri terbaik calon pemimpin
bangsa, baik berasal dari kader-kader partai maupun non kader untuk di pilih
seluruh rakyat di negeri ini. Jadi sungguh keliru besar jika partai politik
pengusung calon presiden, gubernur, bupati/walikota menarik-narik presiden,
gubernur, bupati/walikota terpilih miliknya, bukan milik rakyat. Bukankah presiden,
gubernur, bupati/walikota pasca terpilih sudah menjadi pemimpin publik ? Tapi
mengapa partai politik masih ingin menonjolkan syahwat kepentingannya dalam
berbangsa dan bernegara ? Inilah salah satu kekeliruan besar yang kadangkala
tidak disadari, atau mungkin juga sengaja diselundupkan para elite-elite
politik di republik ini.
Salah satu bukti nyata ialah
ketidakrelaan partai politik apabila presiden, gubernur, bupati/walikota,
menteri-menteri menanggalkan baju partai politik pasca terpilih. Sebab, efektifitas
dan kelancaran pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) hanya
bisa terjamin bila ‘Mono Loyalitas’ dari pusat ke daerah berjalan dengan baik.
Pemerintah, pemerintah daerah harus seiring sejalan dalam mengeksekusi
kebijakan sehingga pasca terpilih presiden, gubernur, bupati/walikota harus
menanggalkan kepentingan partai politik masing-masing.
Bila partai politik masih kukuh
ingin mempertahankan keterlibatan eksekutif (presiden, menteri, gubernur,
bupati/walikota) sebagai ketua atau petinggi partai politik haruslah dimaknai wujud
nyata ketidakrelaan partai politik memperkuat sistem pemerintahan presidensial
secara nyata. Partai politik masih ingin mencengkeramkan kukunya di
pemerintahan sebagaimana habitat sistem parlementer. Sehingga presiden,
menteri, gubernur, bupati/walikota bukan milik rakyat tetapi milik partai
politik semata.
Mencermati ketegangan, kegaduhan
politik pasca Pilpres 09 Juli 2014 lalu dimana dua kubu pasangan calon
presiden/wakil presiden head to head
yakni; kubu pengusung calon presiden/wakil presiden Prabowo Subianto/HM Hatta
Rajasa yang disebut Koalisi Merah Putih (KMP) terdiri dari Partai Gerakan
Indonesia Raya (P. Gerindra), Partai Golongan Karya (P. Golkar), Partai Amanat
Nasional (PAN), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Persatuan Pembangunan
(PPP), Partai Bulan Bintang (PBB) tanpa kursi DPR, Partai Demokrat (P.Demokrat)
bersifat malu-malu. Sedangkan kubu pasangan calon presiden/wakil presiden Joko
Widodo (Jokowi/HM. Jusuf Kalla (JK) yang disebut Koalisi Indonesia Hebat (KIH)
terdiri dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-Perjuangan), Partai Nasional
Demokrat (Partai Nasdem), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Hati Nurani
Rakyat (Partai Hanura), Partai Keadilan Persatuan Indonesia (PKP-Indonesia)
telah membelah peta politik negeri ini ke dalam dua blok.
Pasca terpilihnya Joko Widodo (Jokowi)/HM.
Jusuf Kalla (JK) 09 Juli 2014 lalu aroma pertarungan politik kedua kubu ini
sepertinya semakin keras dan intens yang membuat psikologi rakyat mencekam
menyaksikan tindak-tanduk elite politik di Gedung DPR RI Senayan Jakarta.
Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDI-Perjuangan) sebagai pemenang pemilihan legislatif (Pileg) 9
April 2014 lalu tidak menduduki satu
kursi pimpinan pun di DPR RI maupun di MPR RI sebab kalah suara dari Koalisi
Merah Putih (KMP) yang notabene
pengusung Prabowo Subianto/Hatta Raja. Padahal, pada pemilu sebelumnya (2009),
partai pemenang pemilihan legislatif (Pileg) yakni Partai Demokrat otomatis
menduduki kursi Ketua DPR RI. Peristiwa seperti itu bukanlah pertama kali
dialami PDI-Perjuangan tetapi untuk kedua kalinya karena PDI-Perjuangan pada
pemilu 1999 lalu juga mengalami hal yang sama.
Menjadi pertanyaan ialah apakah peristiwa
yang dialami PDI-Perjuangan untuk kedua kalinya konstitusional ? tentu
jawabannya konstitusional. Tapi yang paling disesalkan dan disyangkan ialah
sifat inskonsisten dari para elite-elite politik yang selalu berubah-ubah bagaikan bunglon, pongah
dan arogan mengubah undang-undang untuk merebut kekuasaan sekalipun harus
menelan muntah sendiri. Situasi kondisi seperti itu tentu sangat tidak elegan
dalam membangun demokrasi yang sehat, sebab perjalanan demokrasi maju mundur
mencerminkan sifat ambivalen berdemokrasi.
Selain daripada itu, sekalipun konstitusional
merubah undang-undang semata-mata mengejar kepentingan politik sesaat adalah
suatu perilaku buruk tak beretika dalam berpolitik sebab telah membajak tujuan
mulia politik menjadi ajang perebutan kekuasaan belaka apalagi jika dijadikan
ajang balas dendam yang sama sekali tidak bermanfaat untuk kemaslahatan publik.
Perseteruan antar pengurus negara
(legislatif, eksekutif, yudikatif) yang notabene
dari, oleh, untuk rakyat sangatlah memprihatinkan sekaligus mengecewakan
rakyat pemilik kedaulatan di negara demokrasi. Perseteruan antar lembaga tidak
seharusnya terjadi apabila masing-masing pihak menyadari, memahami tugas, pokok
dan fungsi (Tupoksi) melekat sesuai hak dan kewajiban konstitusinya.
Legislatif, Eksekutif, Yudikatif yang
mendapat amanah dan kepercayaan dari rakyat seharusnya bertugas, berfungsi,
berperan melakukan koreksi dan penyeimbang (check
and balances) dalam tugas lembaga. Dengan demikian, tujuan negara
mewujudkan masyarakat adil, makmur dan sejahtera bukan sekadar retorika politik
maupun menu perdebatan elite-elite politik di negeri ini.
Oleh sebab itu, Presiden/Wakil Presiden, Joko
Widodo (Jokowi)/HM. Jusuf Kalla (JK) yang dipilih 52 persen lebih pada Pilpres
9 Juli 2014 lalu adalah presiden rakyat bukan presiden partai politik apalagi
presiden elite-elite partai politik di republik ini sehingga tidak perlu tunduk
dan manut pada elite-elite yang dirasuki nafsu kekuasaan. Jika Joko Widodo
(Jokowi)/Jusuf Kalla (JK) tetap konsisten terhadap janji-janji politik ketika
masa kampanye, tidak satu orang yang sadar dan cinta republik ini mengusiknya.
Bila ada wakil rakyat tidak setuju dengan kebijakan Jokowi/JK yang pro rakyat
maka rakyat pemegang kedaulatan akan mencabut kembali amanah, kepercayaan itu
dari wakil rakyat sebab telah mengkhianti amanah, kepercayaan rakyat.
Apakah masih layak menyandang predikat wakil
rakyat jika menolak kebijakan pemerintah pro rakyat ? Rakyat mana yang
diwakili, apakah istri/suami, anak-anaknya, orang tua/mertua, keluarga,
kerabat, kelompok, golongan atau partai politik harus tegas dan jelas. Sebab
para wakil rakyat selalu mengatasnamakan rakyat, padahal hanyalah masker untuk
membungkus kepentingan kroni-kroninya.
Sadar atau tidak, inilah salah satu penyebab tergerusnya
kepercayaan (trust) terhadap
elite-elite politik, termasuk partai politik yang cenderung wanprestasi
memperjuangkan nasib rakyat. Sebaliknya, Presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi)
adalah satu-satunya presiden negeri ini yang paling lengkap memimpin
pemerintahan, semenjak walikota Solo, Gubernur DKI Jakarta, dan tanggal 20
Oktober 2014 akan dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia ke Tujuh. Sungguh
luar biasa !
Prestasi yang diukir Jokowi meniliti karier
politik dari walikota, gubernur hingga presiden harus dipandang satu kebanggaan
seluruh rakyat Indonesia, sebab kemungkinan besar hanya Joko Widodo (Jokowi)
yang mampu mengukir prestasi fenomenal di dunia hingga millennia ketiga ini.
Obyektivitas penilaian atas prestasi Jokowi
inilah seharusnya membuka alam sadar para elite di negeri ini, bukan
subyektivitas yang menganggap diri paling hebat, tanpa bukti nyata yang bisa
dipertanggungjawabkan. Jangan menggunakan dalil,”segudang kebenaran, segenggam
kekuasaan, kekuasaan lah pemenang”.
Kini lembaran sejarah baru negeri ini akan di
tulis sekaligus pembuktian siapakah sebenarnya yang pantas dan layak
mengatasnamakan rakyat. Apakah Presiden pilihan rakyat atau sebaliknya DPR,
DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota juga pilihan rakyat yang selama ini
selalu disebut-sebut “Wakil Rakyat” pantas dan layak atau tidak menyandang
predikat itu akan kita buktikan lima tahun ke depan.
Rakyat menunggu bukti nyata bukan janji palsu
sebab rakyat telah bosan, capek, lelah bahkan muak terhadap janji-janji politik
para elite yang paham benar lirik lagu “Memang lidah tak bertulang, tak
terbatas kata-kata, tinggi gunung seribu janji, lain di bibir lain di hati”.
Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)/Jusuf Kalla
(JK) periode 2014-2019 adalah era pembuktian siapa yang pantas dan layak
mengatasnamakan “Rakyat”.
Selamat membuktikan ! Bertandinglah beradat dan beradab.
Medan,
11 Oktober 2014
Thomson
Hutasoit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar