Rabu, 15 Oktober 2014

Presiden Rakyat vs Wakil Rakyat



Presiden Rakyat vs Wakil Rakyat
Oleh: Thomson Hutasoit
Direktur Eksekutif LSM Kajian Transparansi Kinerja Instansi Publik (ATRAKTIP)

            Salah satu diskusi paling menguras pemikiran di era belakangan ini ialah klaim mengatasnamakan ‘rakyat’ sehingga diperlukan suatu pemikiran ekstra serius untuk mengelaborasi secara mendalam, mendetail, serta komprehensif paripurna. Sebab klaim mengatasnamakan rakyat sepertinya sudah merupakan tradisi bagi sebahagian besar elite-elite politik yang tidak lain dan tidak bukan hanyalah kosmetika politik untuk menarik simpatik terutama di musim-musim kontestasi, baik pemilihan legislatif, eksekutif tingkat daerah maupun nasional.
            Klaim-klaim atas nama rakyat tanpa spesifikasi tegas dan jelas menimbulkan kerancuan yang amat sangat membingungkan, bukan saja terhadap rakyat itu sendiri tetapi juga kepada pihak-pihak pengklaim sebagaimana dapat dibuktikan dengan mata telanjang tindak-tanduk para pemangku kekuasaan yang notabene mendapat mandat dari daulat rakyat di waktu kontestasi.
            Salah satu sistem pemerintahan yang paling banyak dianut negara-negara di atas jagat raya ini ialah sistem demokrasi yakni dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat yang sadar atau tidak sejatinya sistem pemerintahan itu bermuara terhadap kepentingan rakyat. Walau demikian, rakyat mana yang dimaksudkan masih terbuka lebar ruang untuk menafsirkan sesuai sudut pandang masing-masing. Sehingga apa saja pun yang dilakukan para pemangku kekuasaan bisa dianggap benar dan sahih dengan membangun logika-logika politik pembenar untuk mengelabui logika publik.
            Sebagai suatu sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat tidaklah terlalu salah bila legislatif (DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kebupaten/Kota) mengklaim diri atas nama rakyat apalagi predikat wakil rakyat itu diatur dan dijamin konstitusi republik ini. Demikian juga eksekutif (presiden, gubernur, bupati/walikota) yang dipilih dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat tidak juga berdosa bila mengklaim dirinya presiden rakyat, gubernur rakyat, bupati/walikota rakyat.
            Yang menjadi pertanyaan besar ialah wakil rakyat mana ? masih belum jelas. Sebab dalam kenyataannya suara, aspirasi, keinginan rakyat justru sangat berseberangan dengan kepentingan para wakil rakyat  yang dirasuki syahwat berkuasa, padahal  di saat-saat musim pemilihan para wakil rakyat itu mempropagandakan perjuangan nasib rakyat yang tidak mendapat perhatian serius dari pemerintah. Tidak ada satu kontestan pun menyatakan diri berseberangan dengan rakyat ketika pemilihan, tetapi pasca pemilihan suara, aspirasi rakyat mana sebenarnya yang diperjuangkan sama sekali tidak jelas. Malah setelah terpilih dan menggenggam kekuasaan justru gaduh memperebutkan kekuasaan, dengan mempermainkan nasib rakyat secara telanjang. Kegaduhan para wakil rakyat yang menyandang predikat yang terhormat hampir tidak pernah disebabkan perjuangan nasib rakyat, seperti bagaimana meningkatkan taraf hidup rakyat tani, nelayan, pekebun, buruh, serta sektor informal lainnya yang hingga kini masih sangat menyedihkan.
            Sebagai wakil rakyat, sekali lagi, sebagai wakil rakyat, tuan-tuan, puan-puan yang terhormat itu seharusnya menyadari bahwa, di pundak mereka digantungkan suatu harapan, amanah, kepercayaan perjuangan perbaikan nasibnya, bukan memberi legalitas untuk bebas berbuat apapun, termasuk ‘membajak, mencaplok’ hak-hak rakyat kemudian menjadikan suara rakyat yang diperolehnya bargaining politik untuk merebut kekuasaan, pribadi, kelompok, golongan ataupun partai politik.
            Wakil rakyat tidaklah sama dan indentik dengan toke rakyat sehingga sangat keliru besar apabila wakil rakyat membajak, mencaplok, membelokkan kedaulatan rakyat menjadi kedaulatan partai. Dan ketika itulah para wakil rakyat tidak pantas dan layak lagi menyandang predikat wakil rakyat apalagi sebutan yang terhormat sebab mereka telah mengubah habitatnya menjadi wakil partai yang cenderung haus kekuasaan.
            Apa yang kita persaksikan dari tindaj-tanduk tuan-puan di Gedung DPR RI  Senayan Jakarta yang diberitakan luas media elektronik maupun media cetak pasca Pilpres 2014, tidak lain dan tidak bukan hanyalah pertarungan kekuasaan partai-partai politik dan sama sekali tidak berhubungan dengan nasib rakyat, walaupun mengatasnamakan rakyat. Sandiwara politik tak bermutu yang dibungkus aneka kamuflase ending  nya sangat mudah ditebak seluruh rakyat di sisik bumi negeri ini. Karena itu, jangan salahkan rakyat pemilik kedaulatan di republik ini bila tidak percaya lagi kepada para wakil rakyat sebagai gantungan harapan perbaikan nasibnya, dan ketika para wakil rakyat itu kunjungan reses mendapat penolakan dari rakyat.
            Jika rakyat berkesimpulan bahwa kunjungan reses, kunjungan kerja tidak lain dan tidak bukan hanyalah menghabiskan anggaran negara tanpa manfaat apa-apa sekalipun mempunyai landasan konstitusi tidak perlu terlalu disalahkan, sebab rakyat telah menyaksikan dengan mata kepala sendiri betapa kentalnya aroma nafsu kuasa yang dipertontonkan para wakil rakyat di negeri ini.
            Salah satu hal paling menyedihkan dari para wakil rakyat belakangan ini ialah ketidakmampuan memosisikan diri pemimpin publik sebab lebih cenderung memosisikan diri wakil partai politik daripada rakyat secara keseluruhan, padahal para wakil rakyat itu terpilih bukan hanya atas pilihan anggota partai politik. Timbul pertanyaan, rakyat pemilih yang bukan anggota partai politik siapa wakilnya ?, dan mengapa ketika pemilihan para wakil rakyat ini tidak pernah membedakan anggota partai dengan rakyat yang bukan anggota partai politik ? Ini kan aneh, bin ajaib serta keliru besar bila wakil rakyat membeda-bedakan rakyat pasca terpilih.
            Jika logikanya mengutamakan partai politik maka tidak ada salahnya bila predikat wakil rakyat dirubah menjadi wakil partai, maka pertarungan perebutan kekuasaan yang dipertontonkan para wakil rakyat sah-sah saja dan tidak perlu disalahkan.
            Oleh sebab itu, eksistensi partai politik sebagai wadah pendidikan politik rakyat perlu diluruskan agar partai politik yang mengemban tugas mulai mencetak, memasok kader-kader terbaiknya untuk memimpin bangsa justru sebaliknya dijadikan lembaga pembodohan rakyat, serta melahirkan pengkotak-kotakan ditengah-tengah kehidupan masyarakat, bangsa maupun negara.
            Sebagai pemimpin bangsa, apalagi berani menyebut diri negarawan para wakil rakyat tidak boleh sekali-sekali melahirkan sekat-sekat sosial yang berpotensi menimbulkan ancaman persatuan bangsa serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).     
            Sebagaimana telah diuraikan di awal tulisan ini bahwa, sistem pemerintahan demokrasi  yakni; dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat eksekutif (presiden, gubernur, bupati/walikota) juga atas pilihan rakyat melalui pemilihan langsung.
            Negara Republik Indonesia yang menganut sistem presidensial tidak bertanggung jawab kepada parlemen, tetapi bertanggung jawab kepada rakyat secara langsung. Presiden yang dipilih rakyat secara langsung adalah presiden rakyat, bukan presiden partai sebagaimana dianut sistem parlementer.
            Sebagai pilihan rakyat maka eksekutif (presiden, gubernur, bupati/walikota) harus mengemban tugas dan tanggung jawab sesuai aspirasi, keinginan seluruh rakyat, bukan keinginan partai yang cenderung diselimuti libido kekuasaan. Walaupun presiden, gubernur, bupati/walikota diusulkan atau diusung partai politik atau gabungan partai politik sesuai undang-undang bukan berarti bahwa presiden, gubernur, bupati/walikota adalah presiden, gubernur, bupati/walikota nya partai politik pengusung.
            Partai politik pengusul, pengusung hanyalah berfungsi untuk menawarkan putera-puteri terbaik calon pemimpin bangsa, baik berasal dari kader-kader partai maupun non kader untuk di pilih seluruh rakyat di negeri ini. Jadi sungguh keliru besar jika partai politik pengusung calon presiden, gubernur, bupati/walikota menarik-narik presiden, gubernur, bupati/walikota terpilih miliknya, bukan milik rakyat. Bukankah presiden, gubernur, bupati/walikota pasca terpilih sudah menjadi pemimpin publik ? Tapi mengapa partai politik masih ingin menonjolkan syahwat kepentingannya dalam berbangsa dan bernegara ? Inilah salah satu kekeliruan besar yang kadangkala tidak disadari, atau mungkin juga sengaja diselundupkan para elite-elite politik di republik ini.
            Salah satu bukti nyata ialah ketidakrelaan partai politik apabila presiden, gubernur, bupati/walikota, menteri-menteri menanggalkan baju partai politik pasca terpilih. Sebab, efektifitas dan kelancaran pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) hanya bisa terjamin bila ‘Mono Loyalitas’ dari pusat ke daerah berjalan dengan baik. Pemerintah, pemerintah daerah harus seiring sejalan dalam mengeksekusi kebijakan sehingga pasca terpilih presiden, gubernur, bupati/walikota harus menanggalkan kepentingan partai politik masing-masing.
            Bila partai politik masih kukuh ingin mempertahankan keterlibatan eksekutif (presiden, menteri, gubernur, bupati/walikota) sebagai ketua atau petinggi partai politik haruslah dimaknai wujud nyata ketidakrelaan partai politik memperkuat sistem pemerintahan presidensial secara nyata. Partai politik masih ingin mencengkeramkan kukunya di pemerintahan sebagaimana habitat sistem parlementer. Sehingga presiden, menteri, gubernur, bupati/walikota bukan milik rakyat tetapi milik partai politik semata.
            Mencermati ketegangan, kegaduhan politik pasca Pilpres 09 Juli 2014 lalu dimana dua kubu pasangan calon presiden/wakil presiden head to head yakni; kubu pengusung calon presiden/wakil presiden Prabowo Subianto/HM Hatta Rajasa yang disebut Koalisi Merah Putih (KMP) terdiri dari Partai Gerakan Indonesia Raya (P. Gerindra), Partai Golongan Karya (P. Golkar), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Bulan Bintang (PBB) tanpa kursi DPR, Partai Demokrat (P.Demokrat) bersifat malu-malu. Sedangkan kubu pasangan calon presiden/wakil presiden Joko Widodo (Jokowi/HM. Jusuf Kalla (JK) yang disebut Koalisi Indonesia Hebat (KIH) terdiri dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-Perjuangan), Partai Nasional Demokrat (Partai Nasdem), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Hati Nurani Rakyat (Partai Hanura), Partai Keadilan Persatuan Indonesia (PKP-Indonesia) telah membelah peta politik negeri ini ke dalam dua blok.
            Pasca terpilihnya Joko Widodo (Jokowi)/HM. Jusuf Kalla (JK) 09 Juli 2014 lalu aroma pertarungan politik kedua kubu ini sepertinya semakin keras dan intens yang membuat psikologi rakyat mencekam menyaksikan tindak-tanduk elite politik di Gedung DPR RI Senayan Jakarta.
            Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-Perjuangan) sebagai pemenang pemilihan legislatif (Pileg) 9 April 2014 lalu tidak menduduki  satu kursi pimpinan pun di DPR RI maupun di MPR RI sebab kalah suara dari Koalisi Merah Putih (KMP) yang notabene pengusung Prabowo Subianto/Hatta Raja. Padahal, pada pemilu sebelumnya (2009), partai pemenang pemilihan legislatif (Pileg) yakni Partai Demokrat otomatis menduduki kursi Ketua DPR RI. Peristiwa seperti itu bukanlah pertama kali dialami PDI-Perjuangan tetapi untuk kedua kalinya karena PDI-Perjuangan pada pemilu 1999 lalu juga mengalami hal yang sama.
Menjadi pertanyaan ialah apakah peristiwa yang dialami PDI-Perjuangan untuk kedua kalinya konstitusional ? tentu jawabannya konstitusional. Tapi yang paling disesalkan dan disyangkan ialah sifat inskonsisten dari para elite-elite politik yang  selalu berubah-ubah bagaikan bunglon, pongah dan arogan mengubah undang-undang untuk merebut kekuasaan sekalipun harus menelan muntah sendiri. Situasi kondisi seperti itu tentu sangat tidak elegan dalam membangun demokrasi yang sehat, sebab perjalanan demokrasi maju mundur mencerminkan sifat ambivalen berdemokrasi.
Selain daripada itu, sekalipun konstitusional merubah undang-undang semata-mata mengejar kepentingan politik sesaat adalah suatu perilaku buruk tak beretika dalam berpolitik sebab telah membajak tujuan mulia politik menjadi ajang perebutan kekuasaan belaka apalagi jika dijadikan ajang balas dendam yang sama sekali tidak bermanfaat untuk kemaslahatan publik.
Perseteruan antar pengurus negara (legislatif, eksekutif, yudikatif) yang notabene dari, oleh, untuk rakyat sangatlah memprihatinkan sekaligus mengecewakan rakyat pemilik kedaulatan di negara demokrasi. Perseteruan antar lembaga tidak seharusnya terjadi apabila masing-masing pihak menyadari, memahami tugas, pokok dan fungsi (Tupoksi) melekat sesuai hak dan kewajiban konstitusinya.
Legislatif, Eksekutif, Yudikatif yang mendapat amanah dan kepercayaan dari rakyat seharusnya bertugas, berfungsi, berperan melakukan koreksi dan penyeimbang (check and balances) dalam tugas lembaga. Dengan demikian, tujuan negara mewujudkan masyarakat adil, makmur dan sejahtera bukan sekadar retorika politik maupun menu perdebatan elite-elite politik di negeri ini.
Oleh sebab itu, Presiden/Wakil Presiden, Joko Widodo (Jokowi)/HM. Jusuf Kalla (JK) yang dipilih 52 persen lebih pada Pilpres 9 Juli 2014 lalu adalah presiden rakyat bukan presiden partai politik apalagi presiden elite-elite partai politik di republik ini sehingga tidak perlu tunduk dan manut pada elite-elite yang dirasuki nafsu kekuasaan. Jika Joko Widodo (Jokowi)/Jusuf Kalla (JK) tetap konsisten terhadap janji-janji politik ketika masa kampanye, tidak satu orang yang sadar dan cinta republik ini mengusiknya. Bila ada wakil rakyat tidak setuju dengan kebijakan Jokowi/JK yang pro rakyat maka rakyat pemegang kedaulatan akan mencabut kembali amanah, kepercayaan itu dari wakil rakyat sebab telah mengkhianti amanah, kepercayaan rakyat.
Apakah masih layak menyandang predikat wakil rakyat jika menolak kebijakan pemerintah pro rakyat ? Rakyat mana yang diwakili, apakah istri/suami, anak-anaknya, orang tua/mertua, keluarga, kerabat, kelompok, golongan atau partai politik harus tegas dan jelas. Sebab para wakil rakyat selalu mengatasnamakan rakyat, padahal hanyalah masker untuk membungkus kepentingan kroni-kroninya.
Sadar atau tidak, inilah salah satu penyebab tergerusnya kepercayaan (trust) terhadap elite-elite politik, termasuk partai politik yang cenderung wanprestasi memperjuangkan nasib rakyat. Sebaliknya, Presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi) adalah satu-satunya presiden negeri ini yang paling lengkap memimpin pemerintahan, semenjak walikota Solo, Gubernur DKI Jakarta, dan tanggal 20 Oktober 2014 akan dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia ke Tujuh. Sungguh luar biasa !
Prestasi yang diukir Jokowi meniliti karier politik dari walikota, gubernur hingga presiden harus dipandang satu kebanggaan seluruh rakyat Indonesia, sebab kemungkinan besar hanya Joko Widodo (Jokowi) yang mampu mengukir prestasi fenomenal di dunia hingga millennia ketiga ini.
Obyektivitas penilaian atas prestasi Jokowi inilah seharusnya membuka alam sadar para elite di negeri ini, bukan subyektivitas yang menganggap diri paling hebat, tanpa bukti nyata yang bisa dipertanggungjawabkan. Jangan menggunakan dalil,”segudang kebenaran, segenggam kekuasaan, kekuasaan lah pemenang”.  
Kini lembaran sejarah baru negeri ini akan di tulis sekaligus pembuktian siapakah sebenarnya yang pantas dan layak mengatasnamakan rakyat. Apakah Presiden pilihan rakyat atau sebaliknya DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota juga pilihan rakyat yang selama ini selalu disebut-sebut “Wakil Rakyat” pantas dan layak atau tidak menyandang predikat itu akan kita buktikan lima tahun ke depan. 
Rakyat menunggu bukti nyata bukan janji palsu sebab rakyat telah bosan, capek, lelah bahkan muak terhadap janji-janji politik para elite yang paham benar lirik lagu “Memang lidah tak bertulang, tak terbatas kata-kata, tinggi gunung seribu janji, lain di bibir lain di hati”.
Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)/Jusuf Kalla (JK) periode 2014-2019 adalah era pembuktian siapa yang pantas dan layak mengatasnamakan “Rakyat”.
Selamat membuktikan !  Bertandinglah beradat dan beradab.  
                                                                                                Medan, 11 Oktober 2014

                                                                                                Thomson Hutasoit.


              
               
             
           
              

Tidak ada komentar:

Posting Komentar