Kamis, 02 Agustus 2012

Solusi Perbedaan Adat pada Batak-Toba


Bagian Kedua.

Aek godang tu aek laut, dos ni roha sibahen na saut. 

Bila diamati dengan cermat bahwa adat Batak-Toba telah mengalami perkembangan dari waktu ke waktu, baik disebabkan penguruh persebaran tempat, perkawinan antar daerah, perkawinan antar suku bangsa, pengaruh agama maupun perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) sehingga adat tidak mungkin lagi dipertahankan secara kaku. 

Walau demikian, perkembangan itu tentu tidak boleh menggerus nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam adat itu sendiri sebagai simbol peradaban Batak-Toba ditengah-tengah bangsa beradab di atas kulit bumi ini.

Prinsip dasar adat “Jongjong pe adat i ndang jadi tabaon, peak pe adat i sitongka langkaan” harus dilestarikan serta dibumikan seperti wejangan para  leluhur “Ompu na parjolo martungkothon siala gundi, pinungka ni ompunta na parjolo siihuthonon ni na umpudi” sebab adat Batak, khususnya Batak-Toba telah menjadi jati diri masyarakat beradat dan beradab. 

Setiap perkembangan hendaknya merupakan upaya-upaya mengupdate agar sesuai dengan perkembangan kemajuan pengetahuan semakin canggih. 

Karena itu, wejangan leluhur “Ompu na parjolo martungkothon siala gundi, pinungka ni ompunta na parjolo siihuthonon ni na umpudi” bisa menjadi “Ompu na parjolo martungkothon siala gundi, pinungka ni ompunta na parjolo dipauli-uli na umpudi”. 

Memperbaiki, melestarikan adat merupakan tugas dan tanggungjawab generasi Batak-Toba sepanjang masa. 

Menjaga serta melestarikan adat harus dilakukan terus menerus bukan setelah diklaim pihak lain baru kebakaran jenggot seperti yang terjadi masa-masa belakangan ini. 

Bila ada hal-hal yang tidak sesuai dengan perkembangan zaman boleh diperbaiki supaya tidak ketinggalan zaman (out of date)

Tetapi amat sangat tidak cerdas mengangung-agungkan adat budaya pihak asing sembari mengabaikan milik bangsa sendiri. 

Sekaitan dengan interaksi adat antar daerah, suku bangsa, agama, adat budaya dan lain sebagainya maka leluhur Batak-Toba sudah sejak dahulu memberikan solusi jika terjadi perbedaan adat yakni melalui prinsip “Aek godang tu aek laut, dos ni roha sibahen na saut”. 

Artinya, penyelesaian permasalahan adat dapat ditempuh melalui kata sepakat (baca: mardos  roha, mardos tahi) antara pihak-pihak yang terlibat di dalam adat tersebut. 

Kompromi didasari musyawarah menuju mufakat adalah salah satu solusi paling bijaksana untuk menyelesaikan permasalahan perbedaan adat. 

Karena itu pula lah sebelum hari Hajatan (baca: mata ni ulaon adat) tiba selalu dilakukan musyawarah adat (baca: martonggo raja manang marria raja) bertujuan menyamakan persepsi (baca: pados roha, pados tahi) agar pada saat pelaksanaan adat puncak (baca: mata ni ulaon adat) tidak terjadi lagi kegaduhan, gesekan, maupun persoalan tak berguna. 

Walau tidak sesuai persis dengan ketentuan adat masing-masing sebagai akibat perbedaan daerah, suku bangsa, agama, dan lain sebagainya, bila perbedaan adat diselesaikan  dengan prinsip “Aek godang tu aek laut, dos ni roha sibahen na saut” maka solusi permasalahan dapat dicapai dengan baik dan tuntas. 

Sebaliknya, penyelesaian permasalahan perbedaan adat tanpa prinsip “Aek godang tu aek laut, dos ni roha sibahen na saut” alias mempertahankan kebenaran adat masing-masing dipastikan  mengalami jalan buntu atau gagal mendapat solusi. 

Solusi penyelesaian perbedaan adat melalui prinsip “Aek godang tu aek laut, dos ni roha sibahen na saut” merupakan kearifan lokal Batak-Toba yang perlu diadopsi dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan sosial kemasyarakatan berbangsa dan bernegara sebagaimana prinsip sejati demokrasi Pancasila, UUD Republik Indonesia 1945.

 Pluralisme atau kemajemukan rakyat Nusantara dengan segala bentuk, jenis, macam perbedaan di dalamnya mampu melahirkan sebuah konsensus nasional (baca: dos ni roha bangso) yakni; Lahirnya negara-bangsa Indonesia yang menjamin pluralisme adat budaya serta aneka kemajemukan lainnya di atas fondasi Pancasila dan UUD Republik Indonesia 1945. 

Pluralisme adalah pelangi kehidupan paling indah konstruksi Ilahi terhadap dunia semesta sehingga apabila ada pihak-pihak alergi terhadap pluralisme adalah cerminan pengingkaran terhadap diri sendiri serta pemberontakan terhadap karya cipta Ilahi atas alam semesta. 

Siapa pun tidak boleh lupa bahwa laki-laki dan perempuan, siang dan malam, terang dan gelap, panas dan dingin, hitam dan putih, kecil dan besar, gemuk dan kurus, cantik dan jelek, dan lain sebagainya adalah pelangi kehidupan mewarnai perjalanan kehidupan seluruh karya cipta Tuhan Yang Maha Esa di atas dunia ini. 

Kemampuan merajut aneka perbedaan, kemajemukan atau pluralisme melalui konsensus-konsensus (baca: dos ni roha, dos ni tahi) mewujudkan terciptanya harmoni kehidupan paling indah. 

Tidak ada permasalahan yang tidak bisa diselesaikan melalui musyawarah menuju mufakat yang baik dan benar seperti pandangan hidup Batak-Toba “Aek godang tu aek laut, dos ni roha sibahen na saut”. 

Melakukan “Aek godang tu aek laut, dos ni roha sibahen na saut” harus mampu mengeliminir sifat, sikap super ego atau keakuan, kemudian merubah menjadi sifat soliditas antar sesama (baca: hata ningku tu hata ninnta) sehingga tercipta kebahagiaan (baca: las ni roha) bersama.  

Sifat saling menghargai, menghormati atas perbedaan, kemajemukan masing-masing merupakan kata kunci terjaminnya pluralisme dalam segala hal perikehidupan alam semesta. 

Sebaliknya, sifat merendahkan, mendegradasikan, mengintimidasi, mengintervensi atas nama perbedaan atau kemajemukan menjadi mesin pemusnah pluralisme paling dahsyat di atas dunia ini. 

Pemahaman dasar demikian harus diketahui serta dipahami setiap orang bila ingin menciptakan kedamaian dan kebahagiaan hidup diseluruh penjuru seantero dunia.
(Bersambung)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar