Bagian Kedua.
Aek
godang tu aek laut, dos ni roha sibahen na saut.
Bila diamati dengan cermat bahwa adat Batak-Toba telah mengalami
perkembangan dari waktu ke waktu, baik disebabkan penguruh persebaran tempat,
perkawinan antar daerah, perkawinan antar suku bangsa, pengaruh agama maupun
perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) sehingga adat
tidak mungkin lagi dipertahankan secara kaku.
Walau demikian, perkembangan itu tentu tidak boleh menggerus nilai-nilai
luhur yang terkandung di dalam adat itu sendiri sebagai simbol peradaban
Batak-Toba ditengah-tengah bangsa beradab di atas kulit bumi ini.
Prinsip dasar adat “Jongjong pe adat i ndang jadi tabaon, peak pe adat i
sitongka langkaan” harus dilestarikan serta dibumikan seperti wejangan
para leluhur “Ompu na parjolo
martungkothon siala gundi, pinungka ni ompunta na parjolo siihuthonon ni na
umpudi” sebab adat Batak, khususnya Batak-Toba telah menjadi jati diri
masyarakat beradat dan beradab.
Setiap perkembangan hendaknya merupakan upaya-upaya mengupdate agar sesuai dengan perkembangan
kemajuan pengetahuan semakin canggih.
Karena itu, wejangan leluhur “Ompu na parjolo martungkothon siala gundi,
pinungka ni ompunta na parjolo siihuthonon ni na umpudi” bisa menjadi “Ompu na
parjolo martungkothon siala gundi, pinungka ni ompunta na parjolo dipauli-uli
na umpudi”.
Memperbaiki, melestarikan adat merupakan tugas dan tanggungjawab generasi
Batak-Toba sepanjang masa.
Menjaga serta melestarikan adat harus dilakukan terus menerus bukan setelah
diklaim pihak lain baru kebakaran jenggot seperti yang terjadi masa-masa
belakangan ini.
Bila ada hal-hal yang tidak sesuai dengan perkembangan zaman boleh
diperbaiki supaya tidak ketinggalan zaman (out
of date).
Tetapi amat sangat tidak cerdas mengangung-agungkan adat budaya pihak asing
sembari mengabaikan milik bangsa sendiri.
Sekaitan dengan interaksi adat antar daerah, suku bangsa, agama, adat
budaya dan lain sebagainya maka leluhur Batak-Toba sudah sejak dahulu
memberikan solusi jika terjadi perbedaan adat yakni melalui prinsip “Aek godang
tu aek laut, dos ni roha sibahen na saut”.
Artinya, penyelesaian permasalahan adat dapat ditempuh melalui kata sepakat
(baca: mardos roha, mardos tahi) antara pihak-pihak
yang terlibat di dalam adat tersebut.
Kompromi didasari musyawarah menuju mufakat adalah salah satu solusi paling
bijaksana untuk menyelesaikan permasalahan perbedaan adat.
Karena itu pula lah sebelum hari Hajatan (baca: mata ni ulaon adat) tiba
selalu dilakukan musyawarah adat (baca: martonggo raja manang marria raja)
bertujuan menyamakan persepsi (baca: pados roha, pados tahi) agar pada saat
pelaksanaan adat puncak (baca: mata ni ulaon adat) tidak terjadi lagi
kegaduhan, gesekan, maupun persoalan tak berguna.
Walau tidak sesuai persis dengan ketentuan adat masing-masing sebagai
akibat perbedaan daerah, suku bangsa, agama, dan lain sebagainya, bila perbedaan
adat diselesaikan dengan prinsip “Aek
godang tu aek laut, dos ni roha sibahen na saut” maka solusi permasalahan dapat
dicapai dengan baik dan tuntas.
Sebaliknya, penyelesaian permasalahan perbedaan adat tanpa prinsip “Aek
godang tu aek laut, dos ni roha sibahen na saut” alias mempertahankan kebenaran
adat masing-masing dipastikan mengalami
jalan buntu atau gagal mendapat solusi.
Solusi penyelesaian perbedaan adat melalui prinsip “Aek godang tu aek laut,
dos ni roha sibahen na saut” merupakan kearifan lokal Batak-Toba yang perlu
diadopsi dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan sosial kemasyarakatan
berbangsa dan bernegara sebagaimana prinsip sejati demokrasi Pancasila, UUD
Republik Indonesia 1945.
Pluralisme atau kemajemukan rakyat
Nusantara dengan segala bentuk, jenis, macam perbedaan di dalamnya mampu
melahirkan sebuah konsensus nasional (baca: dos ni roha bangso) yakni; Lahirnya
negara-bangsa Indonesia yang menjamin pluralisme adat budaya serta aneka
kemajemukan lainnya di atas fondasi Pancasila dan UUD Republik Indonesia 1945.
Pluralisme adalah pelangi kehidupan paling indah konstruksi Ilahi terhadap
dunia semesta sehingga apabila ada pihak-pihak alergi terhadap pluralisme
adalah cerminan pengingkaran terhadap diri sendiri serta pemberontakan terhadap
karya cipta Ilahi atas alam semesta.
Siapa pun tidak boleh lupa bahwa laki-laki dan perempuan, siang dan malam,
terang dan gelap, panas dan dingin, hitam dan putih, kecil dan besar, gemuk dan
kurus, cantik dan jelek, dan lain sebagainya adalah pelangi kehidupan mewarnai
perjalanan kehidupan seluruh karya cipta Tuhan Yang Maha Esa di atas dunia ini.
Kemampuan merajut aneka perbedaan, kemajemukan atau pluralisme melalui
konsensus-konsensus (baca: dos ni roha, dos ni tahi) mewujudkan terciptanya harmoni
kehidupan paling indah.
Tidak ada permasalahan yang tidak bisa diselesaikan melalui musyawarah
menuju mufakat yang baik dan benar seperti pandangan hidup Batak-Toba “Aek
godang tu aek laut, dos ni roha sibahen na saut”.
Melakukan “Aek godang tu aek laut, dos ni roha sibahen na saut” harus mampu
mengeliminir sifat, sikap super ego atau keakuan, kemudian merubah menjadi sifat
soliditas antar sesama (baca: hata ningku tu hata ninnta) sehingga tercipta kebahagiaan
(baca: las ni roha) bersama.
Sifat saling menghargai, menghormati atas perbedaan, kemajemukan
masing-masing merupakan kata kunci terjaminnya pluralisme dalam segala hal
perikehidupan alam semesta.
Sebaliknya, sifat merendahkan, mendegradasikan, mengintimidasi, mengintervensi
atas nama perbedaan atau kemajemukan menjadi mesin pemusnah pluralisme paling
dahsyat di atas dunia ini.
Pemahaman dasar demikian harus diketahui serta dipahami setiap orang bila
ingin menciptakan kedamaian dan kebahagiaan hidup diseluruh penjuru seantero
dunia.
(Bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar