Minggu, 19 Agustus 2012

Mengukur Kedewasaan Kebangsaan Indonesia


Bagian Kedua

Membangun karakter kebangsaan Indonesia.

Konsep pembangunan yang dilaksanakan selama 67 tahun kemerdekaan republik ini cenderung lebih berfokus pada pembangunan fisik semata, akibatnya perkembangan pembangunan fisik tidak seimbang dengan perkembangan pembangunan karakter kebangsaan Indonesia.

Degradasi karakter bangsa pun terjadi menuju titik nadir sehingga sangat sulit menemukan pemimpin-pemimpin berjiwa negarawan hingga terjadi defisit pemimpin negarawan.

Pembangunan fisik cenderung melahirkan pemimpin-pemimpin berkarakter hedonis, individualis, konsumtif, insolider, intoleran bahkan paranoid sehingga karakteristik spesifik bangsa Indonesia bersifat gotong-royong, solidaritas, menghormati pluralisme merupakan barang langka.

Padahal, karakter itulah salah satu kearifan lokal milik rakyat di bumi nusantara  yang menjadi energi besar mempersatukan visi nasional merebut kemerdekaan dari tangan pemerintah kolonial di masa lalu.

Bangsa ini lupa bahwa perjuangan kemerdekaan yang dilancarkan para pejuang bangsa di masa lalu bukanlah karena memiliki kekuatan perang yang hebat, tetapi semangat nasionalisme  berapi-api dengan tekad lebih baik mati daripada dijajah.

Mempertaruhkan harta, nyawa demi kemerdekaan bangsa adalah mulia dan kesatria sehingga para syuhada anak-anak ibu pertiwi rela keluar masuk penjara bahkan menjadi tulang-tulang berserakan tanpa pamrih merebut kemerdekaan bangsanya.

Di benak mereka tidak pernah terpikir mendapatkan berbagai macam penghargaan sebagaimana menjadi penyakit maniak kuasa saat ini.

Perjuangan mereka bukan hanya untuk dirinya, kelompoknya ataupun golongannya tetapi untuk seluruh bangsanya serta generasi-generasi yang belum lahir di seluruh sisik bumi Indonesia.

Mereka membangun persaudaraan abadi di atas seluruh perbedaan, keragaman, kemajemukan atau pluralisme dan bersumpah satu nusa, satu bangsa, satu bahasa yaitu INDONESIA. 

Suku Jawa, Suku Batak, Suku Nias, Suku Melayu, Suku Deli, Suku Pesisir, Suku Sunda, Suku Betawi, Suku Banten, Suku Aceh, Suku Menado, Suku Ambon, Suku Mentawai, Suku Minangkabau, Suku Bali, Suku Toraja, Suku Bugis, Suku Tidore, Suku Asmat, Suku Amungme, Suku Dayak, Suku Anak Dalam dan lain sebagainya adalah Saudara sekandung anak-anak Ibu Pertiwi Indonesia.

Keluruhan karakter itulah menjadi mutiara yang hilang di negeri ini sebab konsep pembangunan bangsa yang dilaksanakan selama ini tidak pernah diarahkan untuk memperkuat karakter kebangsaan dan keindonesiaan secara nyata.

Konsep-konsep pembangunan karakter kebangsaan dan keindonesia  telah dibajak para ”kloning” karakter kolonial serta maniak kuasa yang menghalalkan segala cara demi memenuhi hasrat berkuasa dan imperium kapital.

Bila para pendiri bangsa dengan sukarela mengorbankan sentimen sektarian-primordial demi kebangsaan dan keindonesiaan maka kini para maniak politik mencabik-cabik, mengobok-obok, merusak, membenturkan karakter kebangsaan keindonesiaan itu  demi kepentingan pribadi, kelompok dan golongannya.

Para maniak kuasa tidak merasa bersalah dan berdosa memolitisasi agama dan kepercayaan, suku, daerah ataupun sentimen-sentimen sektarianis-peimordialis lainnya demi mendapatkan segenggam kekuasaan.

Padahal, cara-cara demikian merupakan tindakan tak beradab yang sangat bertentangan dengan sila kedua Pancasila ”Kemanusiaan yang adil dan beradab”.

Melacurkan diri demi uang, jabatan atau kekuasaan, menjual martabat untuk mendapatkan martabak merupakan kerusakan karakter kebangsaan dan keindonesia paling buruk yang sudah dianggap jadi kelaziman di era edan ini.

Pemegang amanah atau kepercayaan telah mengkhianati amanah dan kepercayaan itu dengan sangat memalukan seperti melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) serta penyelewengan jabatan dengan melanggar sumpah.  

Tindak pidana korupsi merajalela di segala lini termasuk di departemen agama yang seharusnya menjadi benteng garda moral di republik ini.

Hakim  yang dipersonifikasikan wakil Tuhan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan tidak luput juga dari aib memalukan melakukan tindak pidana korupsi mempertegas pameo ”hubungi aku kalau ingin menang/HAKIM, atau kasih uang habis perkara/KUHP”.

Oknum Hakim nakal, jaksa, polisi, anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD kabupaten/kota, menteri, gubernur, bupati/walikota, pegawai dirjen pajak, gubernur Bank Indonesia, pejabat badan usaha milik negara (BUMN), badan usaha milik daerah (BUMD), pegawai negeri sipil (PNS), serta pejabat instansi publik lainnya menjadi penghuni ”hotel prodeo” atau penjara karena melakukan tindak pidana korupsi maupun penyelewengan amanah.

Inilah bukti nyata kegagalan fatal membangun karakter kebangsaan Indonesia sehingga republik ini seperti ”negara antah-berantah, negara bedebah, negara munafik, negara penuh kebohongan, negara edan”.

Semua mengklaim diri paling benar, paling bersih, paling istimewa, tetapi ketika bukti-bukti membuka tabir kebusukan, kebohongan, kemunafikan dengan serta membangun alibi membentengi diri untuk menutupi tindakan biadab itu.

Padahal, orang bijak mengatakan ”mengakui kesalahan dan meminta maaf atas kesalahan adalah cerminan kebesaran jiwa”.

Sebaliknya,”mempertahankan kesalahan serta menutup-nutupi dengan mengkambinghitamkan pihak lain adalah pertanda kepicikan dan kekerdilan jiwa”.

Oleh karena itu, prioritas pembangunan karakter bangsa perlu segera dilakukan dan tidak boleh ditunda-tunda sebelum negeri ini benar-benar menjadi ”Negara Gagal” sebagaimana kekhawatiran para anak-anak bangsa yang belum menggadaikan atau menjual martabat serta jati dirinya.

Sebab indikator bangsa bangkrut adalah ”Gagal mengenali jati diri, Tidak mampu melaksanakan konstitusi, Gagal meletakkan peta jalan pembangunan, Lembaga negara tidak berwibawa, Gagal mempertahankan kedaulatan, Gagal membangun karakter bangsa, Melupakan sejarah bangsa, dan Defisit pemimpin jenial”. (Drs.Thomson Hutasoit, 2011).

Meluruskan kekeliruan pola pikir tidak sesuai dengan tujuan berdirinya negara-bangsa Indonesia merupakan agenda strategis harus segera dilakukan agar ancaman disintegrasi bisa diredam dan diselesaikan dengan tuntas.

Sektor pendidikan harus diorientasikan pada upaya-upaya membangun karakter kebangsaan Indonesia dengan nyata.

Sebab sektor pendidikan adalah jendela bangsa sebagaimana Gerakan Budi Utomo tahun 1908 yang mampu mencetak kader-kader bangsa mewujudkan kemerdekaan Indonesia 67 tahun silam.

Pendidikan memerdekakan pola pikir disertai perkuatan akhlak moral menjadi senjata paling ampuh untuk menyelesaikan karut marut berbangsa dan bernegara saat ini.

Konsep-konsep pendidikan bertujuan membangun karakter kebangsaan dan keindonesiaan perlu segera dilaksanakan agar mampu melahirkan putera-puteri bangsa berjiwa negarawan, jenial, ambisius mengangkat kebanggaan dan harga diri bangsanya di fora dunia internasional.

Sebab tingkat intelektualitas tanpa dibarengi jiwa nasionalisme tidak mustahil akan berubah jadi ”pengkhianat” bangsanya sendiri sebagaimana dilakukan politikus-politikus busuk mengobok-obok, mencabik-cabik serta mengadu domba sesama anak-anak Ibu Pertiwi demi mewujudkan ambisi politiknya.

Politisasi sektor pendidikan harus segera dihentikan agar sektor pendidikan benar-benar berdaulat melahirkan kader-kader bangsa serta pemimpin-pemimpin negarawan, jenial, ambisius, mengenal jati diri serta mampu mengangkat martabat dan kedaulatan bangsa di segala bidang kehidupan.

Dengan demikian, seluruh anak-anak Indonesia memiliki kebanggaan serta harga diri di forum internasional.

”AKU BANGGA ANAK INDONESIA ” merupakan gerakan nasional yang perlu ditanamkan kepada seluruh anak-anak bangsa terutama anak-anak usia dini sebagai sumber inspirasi menanamkan jiwa nasionalisme Indonesia.
(Bersambung).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar