Selasa, 31 Juli 2012

Solusi Perbedaan Adat pada Batak-Toba


Solusi Perbedaan Adat pada Batak-Toba
Bagian pertama.
Oleh : Thomson Hutasoit

 Pendahuluan.

Perbedaan adat pada Batak-Toba merupakan hal wajar-wajar saja sebab perbedaan adat itu merupakan konsekwensi persebaran tempat tinggal atau daerah  domisili Batak-Toba yang bukan terkonsentrasi lagi pada satu daerah tertentu.

Sesuai perkembangan zaman Batak-Toba yang dulunya berdiam di Sianjur Mula-mula kini telah menyebar ke berbagai daerah bahkan hingga ke penjuru dunia sehingga bentuk, jenis, macam adat semakin variatif antara satu daerah dengan daerah lain. 

Variasi bentuk, jenis, macam adat di satu daerah dengan daerah lain harus bisa dimaknai implementasi ungkapan,”Molo asing dolok asing do duhutna, Molo asing luat asing do nang adatna”. 

Artinya, bahwa perbedaan daerah bisa menimbulkan perbedaan bentuk, jenis, macam adat antar daerah sehingga berpotensi terjadi pergesekan satu sama lain. 

Kebiasaan yang dilakukan terus menerus dan diayakini kebenarannya merupakan adat (aturan) bersama pada suatu daerah tertentu atau adat lokal disebut adat na niadathon.
Adat (aturan) yang belaku pada suatu daerah belum tentu sama dan indentik dengan daerah lain, tetapi walaupun memiliki perbedaan tidak boleh serta merta memvonis bahwa adat yang berlaku di daerah lain salah. 

Kebiasaan yang berlaku pada daerah tertentu merupakan kesepakatan bersama serta dijadikan adat (aturan) lokal yang berlaku di daerah tersebut. 

Ketika bentuk, jenis, macam adat hanya berhubungan dengan masyarakat setempat tentu tidak ada permasalahan, persoalan apa-apa sebab masyarakat setempat telah mempermaklumkan sebagai adat (aturan) yang berlaku dan mengikat seluruh masyarakat di daerah itu.

Tetapi dikala berhubungan atau berinteraksi  dengan adat  masyarakat daerah lain  maka timbul permasalahan perbedaan adat yang disebabkan kebiasaan daerah domisili masing-masing. 

Misalnya, ketika terjadi perkawinan antar daerah berbeda bentuk, jenis, macam adatnya maka bisa timbul gesekan-gesekan karena masing-masing pihak mempertahankan adat kebiasaan di daerahnya. 

Akibat perbedaan adat itu tidak mustahil terjadi disharmoni diantara pihak-pihak (baca: pihak paranak dohot pihak parboru) hingga sirna makna sejati “Sinuan bulu sibahen na las, Sinuan partuturan sibahen na horas”. 

Artinya, makna hakiki menjalin hubungan kekeluargaan dan kekerabatan (baca: martondong) adalah mendatangkan kebahagiaan kepada seluruh keluarga dan kerabat pasca ulaon adat. 

Akan tetapi, karena masing-masing pihak mempertahankan kebenaran adatnya maka timbul perbedaan pendapat, pergesekan, bahkan perselisihan satu sama lain. 

Oleh karena itu, perlu dicari solusi penyelesaian perbedaan adat secara komprehensif agar perbedaan adat yang disebabkan pebedaan daerah dan lain sebagainya tidak merusak harmoni hubungan pada saat, pasca pelaksanaan adat Batak-Toba. 

Perbedaan harus dimaknai pelangi kehidupan sangat indah bukan titik bentur menimbulkan aneka pergesekan, perselisihan dan permasalahan ditengah-tengah masyarakat beradat dan beradab. 

Menemukan solusi permasalahan tentu sangat diperlukan kearifan, kebajikan serta kebesaran jiwa yaitu pemahaman paripurna bagaimana mencapai titik temu untuk mempertemukan aneka perbedaan menjadi sebuah kesepakatan bersama agar kabahagian kolektif bisa terwujud dengan nyata.

Tanpa itu, energi besar (baca: tingki, gogo, pikiran, hasea, hepeng) yang dihabiskan menggelar sebuah perhelatan adat (baca: ulaon adat) Batak-Toba tidak lebih dan tidak kurang hanya lah sebuah acara seremonial hampa arti dan makna (baca: ulaon si soada na so marlapatan). 

Menurut pemikiran penulis,  ada beberapa cara solusi menyelesaikan perbedaan adat sesuai nilai-nilai luhur nenek moyang Batak-Toba yang perlu dibumikan, antara lain:

Sidapot solup do na ro. 

Kalimat “Sidapot solup do na ro”  bukan lagi kalimat asing bagi Batak-Toba. Tetapi makna sejati dan hakiki dari kalimat itu mungkin masih sebatas makna harfiah sehingga perlu menggali makna sejati kalimat “Sidapot solup do na ro” agar tidak disalahartikan atau disalahtafsirkan untuk menjustifikasi seluruh bentuk, jenis, dan macam adat yang ada pada Batak-Toba.

Kalimat “Sidapot solup do na ro” perlu dipahami dari dua sudut pandang yakni, pertama; bermakna tempat, dan kedua; bermakna bentuk, jenis dan macam adat. 

Sidapot solup do na ro bermakna tempat (baca: Asing dolok asing do duhutna, Asing luat asing do nang adatna”) yakni ketika salah satu pihak datang ke daerah pihak lain maka adat setempatlah yang berlaku pada saat itu. 

Sebab, ”Molo disi tano ni dege, disi do langit dijungjung”. Artinya, dimana tanah dipijak disutulah langit dijunjung. 

Misalnya, ulaon adat di jabu (baca: ulaon marupa-upa) maka ulaon adat yang berlaku ditempat itulah akan dilaksanakan sesuai dengan “solup” (aturan, ukuran) atau adat setempat. 

Salah satu prinsip dasar adat adalah memberi dan menerima (baca: mangalehon dohot manjalo) sehingga dikenal ungkapan “Holi-holi nibondut holi-holi niutahon”. 

Artinya, apa yang kita beri kepada pihak lain sejenis itu pula lah yang akan kita terima. Sehingga terjadi interaksi adat timbal balik secara otomatis. 

Karena itu lah pada saat menyamakan persepsi (baca: marsirenggetan, marsiarisan) selalu dikatakan oleh parsinabung, parsinabul, parsaut ahli bait atau punya hajatan (baca: bona ni hasuhuton) “Hatitioran di bungkulan ni ruma, pamintoran do dongan sahuta”. 

Artinya, selalu diminta pendapat atau pertimbangan kepada dongan sahuta tentang kebiasaan adat setempat karena “Sidapot solup do na ro”. 

Dongan sahuta adalah saparadatan bona ni hasuhuton seperti ungkapan mengatakan ”solhot partubu sumolhotan do parhundul” , “Tinallik landorung bontar gotana, si sada anak si sada boru do na mardongan sahuta, atik pe asing-asing margana”. 

Walau marga na mardongan sahuta berbeda-beda tetapi mereka satu hajatan (baca: hasuhuton). Akan tetapi istilah dongan sahuta di Bona Pasogit tidak ada,  yang ada  adalah dongan saparadatan, paradatan bius, raja na niontang dan lain sebagainya. 

Kemudian, Sidapot solup do na ro bermakna bentuk, jenis dan macam adat yakni; bentuk, jenis, dan macam adat apa yang dilaksanakan itu sebab tidak semua bentuk, jenis dan macam adat memiliki makna sama dan indentik. Karena itu, ada ungkapan Batak-Toba “mamereng sundung ni hau do parpeakna”, artinya, tergantung bentuk, jenis dan macam adat lah pelaksanaannya. 

Ada ulaon adat untuk orang hidup (baca: ulaon ni jolma na mangolu) ada pula ualon adat untuk orang meninggal (baca: ulaon pasae ariari, partuat ni natua-tua) yang tentu saja tidak akan sama dan indentik makna dan pelaksanaannya. 

Makna marunjuk/mangadati/pasahat sulang-sulang ni pahompu huhut manggarar adat na gok adalah membayar hutang (baca: manggarar utang) adat dari pihak paranak kepada pihak parboru sebab mempersunting (baca: mangalap, mangoli) anak perempuan (baca: boru) pihak parboru (baca: hula-hula) sehingga “Solup” atau aturan adat pihak parboru lah yang akan dipakai. 

Makna “Sidapot solup do na ro” pada ulaon adat marunjuk/mangadati/pasahat sulang-sulang ni pahompu huhut manggarar adat na gok adalah makna bentuk, jenis, dan macam adat.

Artinya, membayar hutang adat oleh pihak paranak kepada pihak parboru tentu seharusnya bentuk, jenis dan macam adat yang berlaku pada pihak parboru lah dituruti pihak paranak supaya utangnya lunas. 

Bukan sebaliknya, pihak paranak memaksakan adatnya yang didasarkan pada kebiasaan adat daerah setempat.

Bila dianologikan, apakah tepat pihak berpiutang tunduk dengan aturan pihak berutang ? Atau pihak berutang mengatakan kepada pihak berpiutang selesai lah hutangku tanpa persetujuan atau restu dari pihak berpiutang ?

Logika seperti itu perlu dipertimbangkan dengan seksama untuk mencari solusi perbedaan adat agar tidak terjadi benturan atau pergesekan dalam pelaksanaan ulaon adat berbeda tempat. 

Misalnya, kebiasaan adat di Humbang memberikan Osang kepada pihak hula-hula, sedangkan di Toba Habinsaran Osang diberikan kepada pihak boru pada pesta perkawinan (baca: marunjuk/mangadati/pasahat sulang-sulang ni pahompu huhut manggarar adat na  gok”. 

Ketika marunjuk/mangadati/pasahat sulang-sulang ni pahompu huhut manggarar adat na gok, boru (baca: parompuan) dari Humbang yang kawin (baca: marhasohotan, marhamulian, marhuta) dengan anak (baca: baoa, lahi-lahi) dari Toba Habinsaran maka pihak parboru (baca: sian Humbang) akan meminta Osang kepada pihak paranak (baca: sian Toba Habinsaran) karena di Humbang Osang adalah jambar hula-hula. 

Sedangkan pihak paranak (baca: sian Toba Habinsaran) mengatakan kepada pihak parboru (baca: sian Humbang) bahwa Osang adalah jambar boru sesuai dengan kebiasaan adat di Toba Habinsaran. 

Parjambaran demikian adalah sah sesuai adat (baca: nunga dihagabehon) yang berlaku di daerah setempat (adat lokal). 

Yang menjadi persoalan adalah ketika terjadi perkawinan antar daerah dengan perbedaan adat masing-masing. 

Misalnya, perbedaan parjambaran Osang antara Humbang dan Toba Habinsaran tidak mustahil  akan menjadi pembicaraan alot serta melelahkan ketika masing-masing pihak mempertahankan adatnya. 

Kadangkala terlontar juga kalimat “Sidapot solup do na ro” akan tetapi kalimat “Sidapot solup do na ro” ada yang didasarkan bermakna tempat, ada pula bermakna bentuk, jenis dan macam adat. 

Akan tetapi menurut pemikiran penulis, yang paling tepat adalah “Sidapot solup do na ro” bermakna bentuk, jenis dan macam adat, bukan bermakna tempat. 

Sebab, marunjuk/mangadati/pasahat sulang-sulang ni pahompu huhut manggarar adat na gok maknanya adalah membayar hutang (baca: manggarar utang) adat. 

Apakah tepat, hutang adat paranak kepada parboru lunas pada saat yang sama pula pihak parboru harus berhutang kepada hula-hulanya ? 

Bukankah hal itu memindahkan hutang kepada pihak parboru akibat tidak bisa memberikan jambar Osang kepada hula-hula (baca: tulang ni na muli) sebab pihak paranak mempertahankan jambar Osang kepada borunya sesuai adat daerah setempat, sembari menggunakan alasan “Sidapot solup do na ro” bermakna tempat, bukan bermakna bentuk, jenis dan macam adat yakni manggarar utang. 

Pengamatan penulis sebagai praktisi adat (baca: parsinabung, parsinabul, parsaut) sering menemui hal-hal demikian sehingga diperlukan pembahasan secara seksama untuk menemukan solusi terbaik agar makna “Sinuan bulu sibahen na las, sinuan partuturan sibahen na horas” yang ditandai pada saat pelaksanaan adat bisa “Marsilanlan uruk-uruk, silanlan aek toba, na metmet ndang marugut-ungut na matua marlas ni roha” sebab pada ulaon adat demikianlah kebahagiaan terwujud dengan nyata.
(Bersambung)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar