Minggu, 29 Juli 2012

Fenomena Patortor Parumaen pada Batak-Toba


(Unang niboniagahon adat)
Oleh : Thomson Hutasoit.

Pendahuluan. 

Adat budaya  suku atau bangsa merupakan suatu tradisi yang dilakukan terus-menerus serta diyakini merupakan kebenaran komunal, dipermanenkan menjadi aturan (baca:adat) yang mengikat bagi setiap elemen komunitas tersebut.

Adat Batak-Toba dikenal tiga jenis yakni; adat didasarkan pada akar adat (baca: adat sian urat ni adat), adat yang diresmikan atau disahkan berdasarkan daerah setempat (baca: adat na ni adathon), serta adat berdasarkan situasi tertentu (baca: adat na taradat). Sehingga pada Batak-Toba mengenal jenis atau macam adat yakni adat sian urat ni adat, adat na niadathon, dan adat na taradat. 

Pada awalnya bahwa “Patortor Parumaen” bukanlah suatu adat berdasarkan urat ni adat, tetapi “Patortor Parumaen” pada era belakangan ini sudah menjadi salah satu jenis adat, dan penulis belum tahu secara pasti kapan “Patortor Parumaen” dijadikan menjadi salah satu jenis ulaon, serta dimulai dari daerah mana. Akan tetapi menurut pengamatan penulis bahwa “Patortor Parumaen” telah dilangsungkan di beberapa tempat, baik perantauan maupun di bona pasogit. Patortor Parumaen adalah salah satu jenis ulaon adat na niadathon yakni suatu adat yang dulunya tidak ada, serta dilakukan pada daerah-daerah tertentu.
Karena “Patortor Parumaen” bukan merupakan adat sian urat ni adat maka sering terjadi perbedaan persepsi bagi pihak-pihak yang terkait dengan hajatan (baca: hasuhuton) yakni; hasuhuton paranak maupun hasuhuton parboru dalam suatu pesta perkawinan. Dan tidak mustahil menjadi cikal bakal keretakan hubungan harmoni kekeluargaan (baca: na martondong) di belakang hari. Apalagi jika masing-masing pihak mempertahankan adatnya sesuai dengan adat setempat maka hampir dapat dipastikan bahwa “Patortor Parumaen” akan berpotensi menimbulkan ketidakharmonisan kekeluargaan (baca: na martondong).

Fenomena “Patortor Parumaen” sepertinya semakin melebar dan meluas sehingga perlu dilakukan pembahasan lebih mendalam untuk menjernihkan arti dan makna “Patortor Parumaen” apakah murni berkaitan adat budaya atau sebaliknya sebuah upaya terselubung memperoleh uang dengan tameng “Patortor Parumaen”. Sebab dari berbagai pihak yang melaksanakan “Partortor Parumaen” telah dijadikan menjadi kalkulasi sumber penerimaan pada sebuah pesta adat perkawinan.
Menjadikan “Patortor Parumaen” sebagai sumber penerimaan atau pemasukan dana pesta perkawinan telah menggeser arti dan makna hakiki ulaon adat Batak-Toba sebagai perhelatan adat budaya menjadi ajang kalkulasi untung rugi hampa arti dan makna adat budaya yang pada ujung-ujungnya akan mendegrasikan adat budaya Batak-Toba dikemudian hari. 
Dari pengamatan penulis tentang “Patortor Parumaen” ada beberapa hal yang perlu dicermati dengan seksama antara lain:

Patortor Parumaen merusak logika adat. 

Ulaon marunjuk/mangadati atau pasahat sulang-sulang ni pahompu laos pasahat adat na gok menurut adat adalah membayar hutang (baca: manggarar utang) adat dari pihak paranak kepada pihak parboru karena telah mempersunting (baca: mangalap/mangoli) anak perempuan (baca: boru) keluarga perempuan (baca: parboru). Karena manggarar utang maka pihak paranak lah yang memberikan sejumlah mahar (baca: boli, tuhor) kepada pihak parboru. Selanjutnya, setelah pihak paranak manggarar utang adat kepada pihak parboru maka pihak parboru akan memberikan kewajiban adat kepada pihak paranak sesuai ketentuan adat Batak-Toba. Sebab prinsip manggarar adat adalah mangalehon dohot manjalo. Artinya, bukan hanya memberi tetapi juga menerima sesuai ketentuan adat Batak-Toba.

Pengertian mangalehon adalah menyerahkan sejumlah mahar (baca: sinamot, tuhor, boli) menantu (baca: parumaen) oleh pihak paranak kepada pihak parboru, termasuk pesta perkawinan (baca: marunjuk/mangadati atau pasahat sulang-sulang ni pahompu huhut pasahat adat na gok) serta panandaion kepada sanak saudara, keluarga maupun kerabat pihak parboru. Selanjutnya, pihak parboru memberikan ulos passamot, ulos hela dan ulos suhi ni ampang na opat serta ulos holong. Artinya, bahwa setelah pihak paranak menunaikan kewajiban adat kepada pihak parboru barulah pihak parboru menunaikan kewajiban adat kepada pihak paranak. Hal inilah logika adat Batak-Toba pada ulaon adat marunjuk/mangadati ataupun pasahat sulang-sulang ni pahompu huhut manggarar ulaon adat na gok.

Tetapi pada era belakangan ini ketika “Patortor Parumaen” dilakukan logika adat demikian telah dirusak karena begitu selesai pemberkatan (baca: pamasu-masuon) di gereja maka pihak paranak melakukan “Patortor Parumaen” sebelum ulaon adat marunjuk/magadati atau pasahat sulang-sulang ni pahompu huhut pasahat adat na gok kepada pihak parboru.
Pihak paranak meminta kepada pihak parboru untuk manabe-nabei pengantin dan keluarga pihak paranak, selanjutnya pihak parboru manortor sekaligus memberikan sejumlah uang kepada boru dan helanya bahkan mertua borunya yang disebut marmeme.

Pemberian ulos sabe-sabe, marmeme dari pihak parboru  kepada pihak paranak sebelum ulaon adat marunjuk/mangadati ataupun pasahat sulang-sulang ni pahompu huhut pasahat adat na gok sangat merusak logika adat Batak-Toba karena tidak sesuai dengan prinsip mengelehon dohot manjalo. Apakah benar pihak parboru memberi ulos sabe-sabe sedangkan ulos passamot, ulos hela dan ulos suhi ni ampang na opat belum diberikan kepada pihak paranak. Demikian juga marmeme terasa kurang tepat sebab mahar (baca: boli/tuhor) borunya belum diterima sudah harus memberikan uang kepada si pengantin walau direkayasa dengan bahasa adat yakni marmeme.
Ada ungkapan Batak-Toba yang tidak boleh dilupakan yakni; Ndang jadi marsomba sonduk ni parboru tu paranak”. Artinya, sebelum kewajiban adat (baca: mangalehon) pihak paranak kepada pihak parboru tidak lah tepat menerima (baca: manjalo) adat dari pihak parboru. Pemberkatan perkawinan (baca: pamasu-masuon parrumatanggaon) di gereja harus dipahami bukanlah ulaon adat marunjuk/magadati ataupun pasahat sulang-sulang ni pahompu huhut manggarar adat na gok. Sehingga “Patortor Parumaen” adalah merusak logika adat serta kekeliruan yang harus segera diluruskan agar tidak menjadi tradisi keliru dalam pelestarian adat budaya Batak-Toba dikemudian hari.

Apakah pantas dan wajar memberikan ulos sabe-sabe kepada pihak paranak sebelum memberikan ulos passamot, ulos hela, ulos suhi ni ampang na opat ? Apakah tidak keliru bila pihak parboru marmeme pihak paranak yang belum dikenal (baca: na so tinandana) ? Bukankah pihak parboru belum mengenal  pihak paranak secara adat sebelum manggarar adat na gok sesuai ketentuan adat Batak-Toba ?.

Perlu disadari pemberian panandaion dari pihak paranak kepada pihak parboru menunjukkan bahwa barulah setelah ulaon adat marunjuk/magadati ataupun pasahat sulang-sulang ni pahompu huhut manggarar adat na gok menjadi bahagian tak terpisahkan dari prosesi adat Batak-Toba. Artinya, sejak pemberian panandaion itu lah secara adat pihak paranak mengenal pihak parboru. Sehingga amat aneh bin ajaib apabila pihak parboru marmeme pihak paranak yang belum dikenal secara adat.

Kerusakan nilai-nilai luhur adat budaya ditandai tindakan inkonsisten (baca: sigoje-goje, marnida lomak ni imbulu) sehingga menjadikan “Patortor Parumaen” sebagai adat baru atas dasar kebiasaan daerah tertentu (baca: adat na niadathon) tanpa dilandasi logika adat sungguh sangat tidak tepat serta berpotensi menimbulkan hal-hal negatif. Adat adalah aturan yang berlaku universal pada suatu komunitas suku atau bangsa sehingga harus mampu membawa kebahagiaan seperti ungkapan mengatakan ” Sinuan bulu sibahen na las, Sinuan partuturan sibahen na horas” sehingga tidak perlu digunakan “Ijuk di para-para hotang di parlabian, na bisuk nampuna hata na oto tu pargadisan”. Artinya, jangan merekayasa simbol-simbol adat demi memenuhi maksud-maksud tertentu yang pada ujung-ujungnya merusak makna sejati adat tersebut. 
  
Patortor Parumaen motif cari uang.
    
Bila diamati dengan cermat bahwa “Patortor Parumaen” merupakan strategi cari uang daripada bermakna adat budaya sebab makna “Patortor Parumaen” tidak memiliki landasan adat yang kuat. Ulaon adat marunjuk/mangadati ataupun pasahat sulang-sulang ni pahompu huhut manggarar adat na gok adalah menunaikan kewajiban adat (manggarar utang) sehingga tidak memiliki logika bila ulaon adat marunjuk/mangadati ataupun pasahat sulang-sulang ni pahompu huhut pasahat adat na gok dikomersialisasikan  atau dijadikan ajang cari duit (baca: mangahut sinamot) dari pihak lain. Sebab ulaon adat bukan hitungan untung rugi secara financial.
  
Meminta bantuan atau partisipasi (baca: mangido panumpahion, pangurupion) pada suatu ulaon adat Batak-Toba biasanya berasal dari na mardongan tubu, dongan sahuta, boru, bere, pariban, ale-ale yang dilaksanakan sebelum atau ketika pesta perkawinan dilangsungkan. Biasanya, keluarga dan kerabat dekat (baca: paidua ni hasuhuton dohot sisolhot) dilaksanakan sebelum pelaksanaan ulaon adat yang disebut musyawarah keluarga (baca: tonggo saripe). Dan ketika  itulah yang punya hajatan (baca: hasuhuton) menyamakan persepsi (baca: pa dos tahi) mengatur  partording ni parjambaran sesuai tata hirarkhi silsilah (baca: tarombo) sebab bagi Batak-Toba parjambaran adalah tarombo. Sementara keluarga jauh dan handai tolan biasanya akan memberikan bantuan (baca: panumpahion) pada saat pesta perkawinan dilangsungkan yang disebut martumpak di alaman. Oleh sebab itu, sangat mudah mengetahui apakah seseorang merupakan keluarga dekat atau keluarga jauh. Bila seseorang memberikan tumpak di alaman maka seseorang itu adalah keluarga jauh maupun handai tolan (sahabat, teman, famili) yang tidak masuk kategori keluarga dekat (baca: martumpak di jabu). Sedangkan apabila seseorang memberikan tumpak di jabu maka seseorang itu merupakan bahagian keluarga dekat (baca: horong sisolhot) hasuhuton. Akan tetapi, pasca diterapkannya “Patortor Parumaen” belakangan ini batasan-batasan itu sudah semakin semu sebab kelompok (baca: horong) hula-hula yakni; hula-hula, tulang, bona tulang, bona niari, tulang rorobot, hula-hula na marhaha maranggi, hula-hula parsiat/naposo  sudah ikut memberikan bantuan (baca: silehon tumpak) kepada pihak paranak melalui sebutan “marmeme”. Dan yang paling tidak masuk akal para undangan hula-hula terpaksa akan merogoh kantong karena malu tidak ikut berpartisipasi. 

Patortor Parumaen lebih cenderung bermotif cari uang daripada bermakna nilai-nilai adat budaya murni, bahkan muncul tudingan bahwa “Patortor Parumaen” sama seperti “pengamen” untuk mencari uang menutupi biaya pesta perkawinan. Sementara adat budaya bukan lah kalkulasi untung rugi tetapi hak dan kewajiban adat yang harus dilaksanakan pada saat pesta perkawinan.

Oleh karena itu, ulaon adat tidak bisa dijadikan menjadi ajang bisnis yang mencari keuntungan dengan menggunakan uang orang lain seperti dikatakan Steven P. Robinson’s, PhD bahwa bisnis adalah menggunakan uang orang lain. Membayar hutang (baca: manggarar utang) adat mengharapkan bantuan (baca: tumpak) orang lain, apalagi dari pihak hula-hula sungguh sangat kurang tepat sebab hula-hula lah muara daripada membayar hutang (baca: manggarar utang) adat tersebut.

Pemutar balikan fakta atas pelaksanaan “Patortor Parumaen” harus segera diluruskan agar tidak menjadi preseden buruk serta mendegradasikan nilai-nilai luhur adat budaya Batak-Toba dikemudian hari. Asumsi  pemasukan dana lebih besar dari “Patortor Parumaen” perlu juga dianalisis dengan paripurna sebab tidak tertutup kemungkinan bahwa uang yang diberikan pada saat “marmeme” adalah sebahagian dari tumpak yang seharusnya diberikan. Artinya, tumpak yang direncanakan semula dibagi untuk “marmeme” dan panumpahion biasa sehingga jumlahnya sama saja.

Pengamatan penulis sebagai praktisi adat “Patortor Parumen” di Kota Medan tidak lazim dilaksanakan hingga kini, selain kurang abdol juga menimbulkan inefisiensi waktu, serta kerumitan dalam pelaksanaan adat. Upaya-upaya efisiensi, efektifitas adat semakin diupayakan seperti menyederhanakan panjouon panandaion beberapa kelompok saja. Tetapi apabila “Patortor Parumaen” yang cenderung bermotif cari uang dilegalkan maka akan terjadi paradoksal pelaksanaan ulaon adat. Hal itulah yang perlu dipikirkan lebih mendalam agar makna adat budaya tidak melenceng atau menyimpang dari makna hakikinya.

Patortor Parumaen merusak kesehatan.  
      
Ekses negatif “Patortor Parumaen” dari segi kesehatan adalah terganggunya waktu makan siang, padahal tidak semua orang serapan pagi harinya. Kalau biasanya waktu makan siang adalah pukul 12.00-13.30 WIB maka pasca penerapan “Patortor Parumaen” maka makan siang pada pesta perkawinan bisa menjadi pukul 15.00 WIB bahkan pukul 16.00 WIB. Makan pukul 15.00 WIB atau pukul 16.00 WIB apakah masih cocok disebut makan siang atau lebih tepat disebut makan sore ? 

Keterlambatan makan akan sangat berpengaruh terhadap kesehatan, misalnya menimbulkan penyakit maag dan lain sebagainya. Orang sehat saja bila sering terlambat makan akan rentan terkena penyakit maag konon lagi orang yang sudah mengidap penyakit maag harus “dipaksa” makan siang pukul 15.00 WIB hingga pukul 16.00 WIB akibat “Patortor Parumaen” sungguh tidak masuk akal serta sangat membahayakan terhadap kesehatan para tamu dan undangan pesta perkawinan tersebut. Tindakan demikian adalah suatu tindakan amat sangat keliru dan tidak masuk akal. Merusak waktu makan siang normal demi “Patortor Parumaen” yang tidak memiliki logika adat atau demi mencari uang sangatlah keliru besar. Hal itu bisa dianalogikan mengundang orang lain untuk disiksa waktu makannya atau dirusak kesehatannya. Tindakan demikian sangat tidak dapat diterima akal sehat serta dapat menimbulkan stigma negatif “pergi ke pesta perkawinan mendapatkan penyakit” (baca: laho tu pesta mangalap sahit). Belum lagi ketika “Patortor Parumaen” tidak mempedulikan efisiensi waktu, dimana pihak-pihak tertentu memanfaatkan acara panortoron untuk memuaskan hasrat (baca: patombus tagas) dengan umpasa atau umpama bertele-tele agar semua orang tahu bahwa yang bersangkutan memiliki kemampuan marumpasa atau marumpama. Mereka tidak menyadari bahwa orang lain sudah bosan, dongkol bahkan merengkel atas tindakan inefisiensi waktu tersebut. Akibatnya bisa menimbulkan dosa antar sesama.

Memuaskan hasrat (baca: pasombu tagas) manortor pada saat “Patortor Parumaen”  sama seperti “siar-siaran manortori na so gondangna” artinya, memuaskan hasrat yang bukan pada tempatnya. Apakah tepat meminta tua ni gondang, gondang somba-somba, gondang mangaliat, gondang sitio-tio dan gondang hasahatan pada saat pesta perkawinan ? Apakah ulaon adat marunjuk/mangadati atau pasahat sulang-sulang ni pahompu huhut manggarar adat na gok ulaon horja sehingga diadakan panortoron ? Apakah bijaksana demi “Patortor Parumaen” mengganggu waktu makan siang yang bisa berakibat pada gangguan kesehatan ? Hal itu perlu dipikirkan dengan baik dan benar agar ulaon adat tidak menimbulkan penyakit atau menggangu kesehatan.

Sebagaimana telah diuraikan di awal tulisan ini bahwa prinsip dasar melaksanakan adat budaya adalah “Sinuan bulu sibahen na las, Sinuan partuturan sibahen na horas” bukan mendatangkan penyakit (baca: pa ro sahit). Prinsip dasar ini perlu dibumikan dengan baik dan benar agar tudingan-tudingan miring atau negatif dari pihak-pihak gerakan anti adat budaya mampu ditepis.

Patortor Parumaen merusak prosesi adat.

Prosesi ulaon adat Batak-Toba seperti ulaon adat marunjuk/mangadati atau pasahat sulang-sulang ni pahompu huhut pasahat adat na gok diawali dengan perjamuan makan (baca: marsipanganon), membagi parjambaran juhut (baca: tudu-tudu ni sipanganon), mangkatai atau marsisungkunan antara parsinabung, parsinabul, parsaut kedua belah pihak (baca: panak dohot parboru), pasahat panggohi ni sinamot, panandaion, pasahat tintin marangkup, kemudian pihak parboru dan/atau tulang ni hela memberikan ulos passamot, ulos hela, ulos suhi ni ampang na opat, ulos holong dan ulos tulang tintin marangkup/siungkap hombung, dan diakhiri mangkatahon olop-olop.

Akan tetapi, prosesi ulaon adat tidak lagi terlaksana dengan baik sebab sebahagian besar waktu telah habis untuk “Patortor Parumaen” sehingga prosesi ulaon adat yang menjadi inti materi acara hanya sekadarnya saja (baca: ambe-ambe laos) mengakibatkan ulaon adat kurang bermakna (baca: mago-mago so seang) alias sia-sia belaka. Pemberian ulos passamot, ulos hela, ulos suhi ni ampang na opat dan ulos holong yang seyogiyanya diberikan pada saat mata hari terbit (baca: di torang ni ari) berubah menjadi pada malam hari (baca: di golap ni ari) semata-mata akibat inefisiensi waktu “Patortor Parumaen” yang tidak memiliki makna adat sama sekali.
Pemberian wejangan atau nasihat bernas (baca: poda na tur) kepada pengantin melalui untaian umpasa maupun umpama dari kelompok hula-hula yang menjadi inti ulaon adat tidak ada waktu yang cukup sebab sebahagian besar waktu telah terbuang sia-sia pada saat “Patortor Parumaen”. Akibatnya, ulaon adat inti menjadi tak bermakna sama sekali. Apakah bijaksana inti ulaon adat terdesak atau terpinggirkan oleh “Patortor Parumaen” yang tidak berkaitan sama sekali dengan makna ulaon adat marunjuk/mangadati atau pasahat sulang-sulang ni pahompu huhut manggarar adat na gok ? Inilah salah satu kekeliruan besar dalam pelaksanaan “Patortor Parumaen” yang semakin merambah pada Batak-Toba karena “eme na masak digagat ursa, ima na masa ima taula” walau hal itu tidak memiliki landasan adat budaya yang kuat dan benar.

Pelanggengan “Patortor Parumaen” bisa merusak prosesi ulaon adat Batak-Toba secara sistemik karena sebahagian besar waktu, pemikiran, tenaga sudah tertumpah atau tersita padahal “Patortor Parumaen” semata-mata untuk mengejar materi (baca: masi hepeng) yang sangat menyimpang dari makna ualon adat Batak-Toba.

Peranan Lembaga Adat.

Berbagai kekeliruan pelaksanaan ulaon adat belakangan ini perlu menjadi perhatian serius dari lembaga-lembaga adat, misalnya Lembaga Adat Dalihan Natolu (LADN), Forum Komunikasi Antar Lembaga Adat (FORKALA) dan lain sebagainya agar nilai-nilai luhur adat budaya dapat dijaga, dilestarikan, serta dipertahankan sehingga nilai-nilai adat budaya benar-benar bermanfaat mendatangkan kebahagiaan dalam berbangsa dan bernegara.
  
Lembaga-lembaga adat perlu melakukan penelitian serta pengkajian komprehensif tentang perkembangan adat budaya ditengah-tengah kehidupan masyarakat dan bangsa sebab tidak mustahil akan muncul adat budaya baru didasarkan atas kepentingan tertentu yang berpotensi menimbulkan gesekan ataupun konflik. Lembaga-lembaga adat perlu berperan aktif menginventarisir, menganalisis, meluruskan apabila terjadi penyimpangan pelaksanaan adat budaya agar tidak menimbulkan ekses negatif ditengah-tengah kehidupan masyarakat dan bangsa. 

Selain daripada itu, eksistensi lembaga-lembaga adat harus pula nampak dengan nyata melalui tindakan konkrit ditengah-tengah masyarakat atau komunitas, tidak hanya sekadar nama saja tanpa manfaat apa-apa. Misalnya, peran aktif lembaga adat untuk memperjuangkan eksistensi masyarakat hukum adat termasuk hak-hak keperdataannya, seperti perjuangan kepastian hak masyarakat hukum adat tentang tanah, hutan dan hak ulayat melalui pengusulan  peraturan daerah (Perda) bahkan undang-undang agar hak-hak keperdataan masyarakat hukum adat terlindungi sebagaimana amanah UUD Republik Indonesia 1945.

Sesungguhnya peran aktif lembaga adat dalam menyelesaikan permasalahan masyarakat hukum adat tentang hak-hak keperdataan serta berbagai prosesi adat budaya memiliki posisi amat strategis. Akan tetapi sangat disayangkan peran strategis itu belum bisa dilakukan dengan maksimal hingga muncul tudingan lembaga adat hanya sekadar nama saja. Bukan kah tujuan pembentukan lembaga adat ini untuk menjaga, mempertahankan, melestarikan, serta memperjuangkan eksistensi adat budaya dan hak-hak keperdataan masyarakat hukum adat? 

Tetapi dikala masyarakat hukum adat menghadapi berbagai permasalahan baik prosesi adat budaya maupun perjuangan hak-hak keperdataan peran lembaga-lembaga adat tidak maksimal memberikan asistensi, advokasi terhadap masyarakat hukum adat. Hal inilah yang perlu menjadi perhatian serius untuk mempertajam peran lembaga-lembaga adat ditengah-tengah masyarakat dan bangsa.

Medan, 29 Juni 2012 
Thomson Hutasoit.
 Penulis: Direktur Eksekutif LSM Kajian Transparansi Kinerja Instansi Publik (ATRAKTIP), Sekretaris Umum Punguan Borsak Bimbinan Hutasoit, Boru, Bere Kota Medan Sekitarnya, Wakil Sekretaris II Parsadaan Pomparan Toga Sihombing (PARTOGI) Kota Medan Sekitarnya, Penasehat Punguan Toga Lumban Gaol Sektor Helvetia Medan, Wakil Sekretaris Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM) Provinsi Sumatera Utara, Wakil Pemimpin Redaksi SKI ASPIRASI, Kontributor Tabloid Pusuk Buhit, tinggal di Medan.

       
             

Tidak ada komentar:

Posting Komentar