Jumat, 30 Mei 2014

Revolusi Mental Konkritisasi Revolusi Belum Selesai



Revolusi Mental Konkritisasi Revolusi Belum Selesai
Oleh: Thomson Hutasoit

Sadar atau tidak salah satu hal yang sering dilupakan sepanjang sejarah perjalanan bangsa selama ini adalah wejangan para pendiri bangsa (founding fathers) diantaranya wejangan Bung Karno yang mengatakan “Revolusi Belum Selesai” walaupun kemerdekaan secara de jure dan de facto telah berada di pangkuan Ibu Pertiwi. Sebab, kemerdekaan hanyalah jembatan emas menuju bangsa yang makmur, sejahtera, dan berkeadilan.
Sebagai jembatan emas, kemerdekaan tentu harus diisi berbagai program pembangunan di segala bidang, dan salah satu yang paling mendasar adalah pembangunan karakter bangsa (nation character building) agar terlahir manusia-manusia Indonesia berkarakter unggul yang mengerti, memahami paripurna keunggulan dan kelemahan di tataran pergaulan antar bangsa-bangsa di dunia.
Karakter mental harus pula dipahami paripurna merupakan prasyarat pertama dan utama dalam menentukan suatu bangsa menjadi bangsa unggul dan berjati diri, sebab sebagaimana dikatakan Franklin Delano Rosevelt, “Bangsa tak memiliki visi akan musnah”. Visi atau platform tentu dilahirkan dari suatu kesadaran, pengenalan, serta pemahaman paripurna atas eksistensi suatu bangsa ataupun negara yang tentu saja tidak akan sama dan indentik dengan bangsa lain.
Berbagai kearifan kultur budaya yang tumbuh berkembang pada suatu bangsa akan sangat berpengaruh besar dalam pembentukan karakter bangsa bersangkutan. Namun, hal itu kadangkala terlupakan, terabaikan dalam proses pembangunan suatu bangsa, termasuk program pembangunan bangsa Indonesia selama ini. Paradoks  berpikir para pemangku kekuasaan di satu sisi selalu mengagung-angungkan budaya asing, sebaliknya, disisi lain mengabaikan dan membuang budaya sendiri telah mengubah pola pikir (mindset) cenderung meniru atau copy paste keunggulan bangsa lain secara serampangan.
Padahal, pola pikir seperti itu akan melahirkan manusia-manusia “pembeo atau bebekisasi” tanpa jati diri yang sangat berbahaya dalam pembangunan karakter mental masyarakat, bangsa.
Kemajuan pembangunan fisik tanpa diimbangi pembangunan karakter mental bangsa harus pula disadari penyebab pertama dan utama terjadinya dekadensi moral, mental era belakangan ini. Harus diakui, bahwa perkembangan kemajuan pasca kemerdekaan 17 Agustus 1945 telah menunjukkan kemajuan cukup menggembirakan.
 Kemajuan ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek), hukum dan politik telah banyak dicapai bangsa ini jika dibandingkan pada masa penjajahan kolonial. Akan tetapi, perkembangan kemajuan itu semakin jomblang antara pembangunan fisik dengan pembangunan karakter mental. Salah satu indikator nyata ialah munculnya berbagai kasus-kasus korupsi, penyelewengan kekuasaan, pengkhianatan amanah, serta kecenderungan menipisnya nasionalisme, rasa kebangsaan dan keindonesiaan akibat terabaikannya pembangunan karakter bangsa selama ini.
Sungguh amat tepat apa yang dikatakan Joko Widodo (Jokowi) dalam Artikelnya berjudul “Revolusi Mental” di Harian Kompas (10/5/2014) “Indonesia saat ini menghadapi suatu paradoks pelik yang menuntut jawaban dari para pemimpin nasional. Setelah 16 tahun melaksanakan reformasi, kenapa masyarakat kita bertambah resah dan bukannya tambah bahagia, atau dalam istilah anak muda sekarang semakin galau?”.
Joko Widodo secara gamblang menyatakan bahwa “Reformasi yang dilaksanakan di Indonesia sejak tumbangnya rezim Orde Baru Soeharto tahun 1998 baru sebatas melakukan perombakan yang sifatnya institusional. Belum menyentuh paradigma, mindset, atau budaya politik dalam pembangunan bangsa (nation building) agar perubahan benar-benar bermakna dan berkesinambungan, dan sesuai dengan cita-cita Proklamasi Indonesia yang merdeka, adil, dan makmur, kita perlu melakukan revolusi mental.”
Pemikiran cerdas, jenial Joko Widodo (Jokowi) calon presiden Republik Indonesia 2014 ingin melakukan revolusi mental untuk melanjutkan “Revolusi Belum Selesai” sebagaimana dikatakan Bung Karno secara obyektif adalah kerinduan seluruh anak-anak bangsa selama ini agar memiliki jati diri, serta berdaulat di segala segmen kehidupan berbangsa dan bernegara.
Degradasi mental yang sangat memilukan, memalukan pada era belakangan ini seperti yang diberitakan berbagai media adalah fakta nyata yang harus jadi perhatian ekstra serius dari seluruh anak-anak bangsa di negeri ini.
Salah satu hal paling memprihatinkan era belakangan ini ialah munculnya mental-mental yang mengagung-agungkan kehebatan bangsa lain yang tidak sesuai tujuan pendirian Negara Republik Indonesia sebagaimana diamanatkan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dalam Bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sehingga muncul potensi ancaman kedaulatan di segala sektor perikehidupan berbangsa dan bernegara.  
Berbagai kebijakan yang menyimpang dari tujuan pendirian negara kerap digulirkan menjadikan republik ini seperti negara berdaulat tanpa kedaulatan.
 Kebutuhan primer rakyat yang seharusnya bisa disediakan di dalam negeri malah di impor dari negara lain. Program ketahanan pangan yang tidak bertujuan sama sekali membangun kedaulatan pangan adalah fakta nyata kekeliruan besar jebakan liberalisasi yang sangat menyimpang dari konstitusi.
Kebijakan-kebijakan semacam itu adalah buah mental rente, pemburu komisi  dari para pemangku kekuasaan yang perlu segera direvolusi. Menyediakan kebutuhan primer rakyat tak jadi soal dengan cara apa pun, termasuk membuka keran impor serampangan adalah kekeliruan besar serta sesat pikir memahami negeri khatulistiwa yang memiliki keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif di sektor agraris. Sebab, sungguh aneh bin aneh para petani akan menjadi sasaran beras rakyat miskin (Raskin) akibat keliru membangun sektor pertanian yang notabene ruang aktivitas mayoritas rakyat bangsa Indonesia.   
Alangkah aneh dan keliru besar negara agraris, maritim menjadi negara pengimpor beras, jagung, kacang-kacangan, buah-buahan, garam, ikan dan lain sebagainya dari negara lain yang tidak memiliki kekayaan alam seperti dimiliki bangsa ini.
Revolusi mental rente, mental impor, mengagung-agungkan keunggulan bangsa lain adalah salah satu tugas paling penting dan mendesak dilakukan saat ini. Sebab, mental-mental seperti itu telah menguras keuangan negara serta menjatuhkan harga diri republik ini di mata internasional. Alangkah memalukan sebuah negara agraris, maritim tidak mampu menyediakan kebutuhan primer rakyatnya karena para pemangku kebijakan bermental rente, doyan dapat komisi, berkolaborasi dengan pihak asing menguras kekayaan Negara. Komparador-komparador ini memiliki mentel “tempe” dependen dengan pihak asing, tanpa menyadari bahwa tindakannya itu telah menghancurkan kedaulatan bangsa di mata dunia.   
Persoalan bangsa paling pelik dan rumit saat ini ialah permasalahan mental, karakter bangsa sebab segala karut marut yang terjadi di era belakangan ini sadar atau tidak semuanya bermuara pada karakter mental yang sangat jauh menyimpang dari kultur budaya Nusantara.
Karakter individualistis, hedonis, konsumeris, tak solider yang dibonceng globalisasi sangat menyimpang dari karakter bangsa gotong-royong dan peduli terhadap pihak lain sebagaimana kearifan-kearifan yang tumbuh berkembang di bumi Nusantara.
Menonjolkan egoisme dan tak peduli dengan pihak lain menimbulkan jurang pemisah diantara anak-anak bangsa semakin menganga. Padahal, para pendiri bangsa tidak pernah berpikir tujuan negara seperti itu. Negara Indonesia adalah satu untuk semua, semua untuk satu, dengan demikian kebahagiaan seluruh anak-anak bangsa terwujud dibawah pangkuan Ibu Pertiwi.
Revolusi mental dari individualistis, hedonis, konsumtif, tak solider, mental rente, doyan komisi, mengagung-agungkan pihak asing yang merupakan penyimpangan karakter bangsa Indonesia bersifat gotong-royong, ramah-tamah, kesetiakawanan adalah langkah cerdas dan jenial, serta pemahaman paripurna tentang kebangsaan dan keindonesiaan seperti dicita-citakan pendiri bangsa ini.
Langkah konkrit revolusi mental yang harus segera dilakukan adalah menjalankan TRI SAKTI Bung Karno; Berdaulat secara politik, berdiri di atas kaki sendiri (Berdikari) dalam ekonomi, Berkepribadian dalam kebudayaan.
Berdaulat dalam politik bertujuan bahwa bangsa ini tidak didikte pihak manapun dalam menentukan kebijakan politiknya. Sebagai negara merdeka dan berdaulat tidak boleh sekali-sekali diinterversi negara manapun, alasan apapun, dimanapun, kapanpun, sebab Negara Republik Indonesia memiliki kemerdekaan dan kedaulatan menentukan arah kebijakan politiknya. Kerjasama antar negara harus saling menghormati, saling menguntungkan dalam kesetaraan dan kesamaan derajat sesama negara merdeka dan berdaulat.
Berdiri di atas kaki sendiri (Berdikari) atau mandiri dalam ekonomi bertujuan untuk membangun kemandirian atau kedaulatan dalam seluruh sektor ekonomi, pihak lain tidak boleh sekali-sekali mengintervensi kebijakan atau paradigma ekonomi yang dijalankan negara, termasuk berbagai subsidi untuk membangun kedaulatan atau kemandirian ekonomi bangsa.
Bumi, air, angkasa dan kekayaan yang terkandung di dalamnya mutlak absolut untuk kemakmuran dan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Dan, tidak ada satu bangsa lain pun bisa mengintervensi walau dengan alasan apapun. Kerjasama dalam ekonomi mutlak absolut harus saling menguntungkan, sehingga segala kebijakan yang menyimpang dari pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 wajib hukumnya diluruskan dan diperbaiki.
Berkepribadian dalam kebudayaan bertujuan untuk membangun karakter moral, mental bangsa sesuai jati diri serta kearifan-kearifan Nusantara sebagaimana telah disaripatikan di dalam Pancasila. Karena itu, pembumian Pancasila terutama terhadap penyelenggara negara atau pemerintahan harus segera dilaksanakan secara konkrit, sebab keteladanan para penyelenggara negara atau pemerintahan melaksanakan Pancasila dengan baik dan benar akan menjadi acuan bagi seluruh rakyat di negeri ini.
Keprihatinan, kegalauan, kegundahan terjadinya degradasi kepemimpinan di era belakangan ini harus pula disadari akibat dekadensi mental dari para pemangku kekuasaan yang tidak mampu menunjukkan keteladanan kepemimpinan ditengah-tengah masyarakat, bangsa maupun negara.
Mental korup, kolusi, nepotisme, aji mumpung, mengkhianati amanah yang dipercayakan di pundaknya telah mempermalukan bangsa ini di mata dunia. Dan disinilah perlu dan pentingnya melakukan “Revolusi Mental” yang dimaksudkan Joko Widodo (Jokowi) mantan Walikota Surakarta Solo, Gubernur DKI Jakarta yang saat ini calon presiden Republik Indonesia 2014-2019 untuk melanjutkan “Revolusi Belum Selesai” yang dititipkan Bung Karno sang proklamator republik ini.   
Semua bangsa di atas jagat raya ini memiliki kepribadian dan kebudayaan masing-masing, dan hanya bangsa yang berhasil membangun kepribadian bangsanya bisa tampil menjadi bangsa unggul dan hebat di percaturan antar bangsa-bangsa di dunia.
Selamat menyambut Revolusi Mental menuju Indonesia Hebat !, Indonesia Raya ! Indonesia Berdaya Saing !. ( Penulis buku Kepemimpinan Ditinjau dari Kultur Budaya Batak-Toba).
            Medan, 25 Mei 2014
 Thomson Hutasoit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar