Minggu, 18 Mei 2014

Politik Belah Sel



Politik Belah Sel
Oleh: Thomson Hutasoit.

            Pasca pemilihan umum legislatif (Pileg) 9 April 2014 babak baru perpolitikan  republik ini tertuju pada pemilihan umum presiden/wakil presiden (Pilpres) 9 Juli 2014 akan datang. Partai-partai politik pun mulai memasang taktik dan strategi untuk mengusung pasangan calon presiden/wakil presiden yang menurut undang-undang  pasangan calon presiden/wakil presiden diusulkan atau diusung partai politik atau gabungan partai politik dengan syarat pencalonan 25 persen suara sah nasional atau 20 persen kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
            Syarat pencalonan itu memaksa partai politik harus berkoalisi atau bekerja sama sebab hasil pemilihan legislatif (Pileg) 9 April 2014 lalu tidak ada satu partai politik pun meraih 25 persen suara sah nasional atau 20 persen kursi DPR sesuai hasil hitung cepat (quick count) berbagai survey di negeri ini.
            Jika ketika pemilihan legislatif (Pileg) masing-masing partai politik mengumbar visi-misi atau platform partainya berbeda dan/atau berseberangan dengan partai lain, maka kini partai-partai tersebut mencari kesamaan atau kemiripan seperti dua sejoli yang ingin kawin. Partai-partai politik yang selama ini saling mengumbar diri ‘paling dan paling’ berpihak pada rakyat dan negara ataupun alasan sektarian lainnya, kini berputar haluan dengan membangun berbagai alibi tak masuk akal semata-mata mengejar boarding pass mengajukan pasangan calon presiden/wakil presiden.
            Partai politik mulai menunjukkan habitatnya sebagai pedagang politik dengan menjadikan suara rakyat komoditas politik yang siap ‘dijual’ kepada partai lain asal saja cocok harga yakni; bagi-bagi kekuasaan, seperti wakil presiden, menteri-menteri dan kompensasi politik lain mahar jual-beli suara rakyat yang didapatkan pada pemilihan legislatif (Pileg) lalu.
            Bila diamati dengan cermat dan cerdas inilah salah satu awal politik transaksional atau politik uang (money politics) yang dilancarkan juragan-juragan politik pada saat pemilihan legislatif (Pileg). Sebab, walau seberapa besar pun dana yang dikeluarkan untuk mendapatkan suara rakyat tidak akan pernah rugi karena suara rakyat masih bisa ‘dijual’ juragan-juragan partai politik untuk mendapat kompensasi kerugian Pileg, apakah bentuk uang, jatah wakil presiden, menteri-mentari ataupun kompensasi politik lainnya.
            Suara rakyat menjadi salah satu komoditas paling laris manis dalam pertarungan perebutan kekuasaan, sementara rakyat pemberi suara tidak pernah menyadarinya apakah suaranya benar-benar untuk mendukung partai politik tertentu memperjuangkan nasibnya atau tidak. Rakyat yang lugu dan polos dalam berpolitik terbuai mendengar retorika politik partai pada masa-masa kampanye pemilihan legislatif (Pileg) tak pernah menyadari bahwa suaranya bakal dibawa kemana.
            Kepiawian, kecerdikan, kemahiran, kelihaian pembingkaian (framing)  kata-kata oleh para politisi telah berhasil ‘membius’ alam sadar rakyat, apalagi dibumbui aneka kebaikan palsu, seperti; bagi-bagi sembako, sumbangan sosial, perilaku tiba-tiba baik, dermawan sesaat serta peduli penderitaan rakyat membuat akal sehat bisa jadi tumpul tanpa menyadari, bahwa suara rakyat nanti akan dijadikan alat bargaining politik untuk mendapatkan kekuasaan dari partai politik lain. Bahkan, tanpa meminta persetujuan dari rakyat pemilik suara juragan-jurangan partai politik bebas dan sesuka hati mengarahkan, ‘menjual’ suara rakyat kemana  mereka suka. Sebab para juragan partai politik merasa telah mutlak absolut  memiliki dan berkuasa atas suara rakyat yang diperolehnya pada pemilihan legislatif (Pileg) lalu.
            Kedaulatan rakyat yang dijamin Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 sepertinya telah terjual ataupun tergadaikan pada partai politik sehingga suara rakyat mutlak absolut milik partai politik dan sepenuhnya bebas diarahkan kemana sesuai keinginan juragan partai politik. Hal inilah yang menjadi makna sejati gerilya juragan-juragan partai politik super agresif melakukan lobi-lobi politik dalam membentuk koalisi atau kerja sama partai politik untuk mengusung pasangan calon presiden/wakil presiden 2014 nanti.
            Rakyat pemilik suara tak berdaya sama sekali menghempang “drama bagi-bagi kekuasaan” yang dilakukan para juragan partai politik pasca penyerahan suaranya pada pemilihan legislatif (Pileg) sebab para juragan partai politik memaknai suara rakyat adalah suara partai, bukan lagi suara rakyat. Rakyat dipaksa pasrah melihat, menonton “drama-drama sabun” berikutnya dengan berbagai alibi retoris pragmatis seperti kesamaan, kemiripan visi-misi atau platform partai politik membangun bangsa dan negara. Padahal, alibi-alibi itu tak sesuai keinginan rakyat pemilik suara dan hanyalah instrument mewujudkan libido kekuasaan.   
Belah Sel.
            Bila dianalisis makna kata kesamaan, kemiripan visi-misi atau platform partai politik yang dilontarkan para juragan partai politik, sadar atau tidak adalah suatu pengakuan verbal, bahwa sejatinya partai-partai politik di negeri ini adalah hasil “Politik Belah Sel” dari satu pohon partai politik yang sama. Sehingga visi-misi atau platform satu partai dengan partai lain memiliki kesamaan, kemiripan satu sama lain.
            Sekedar menyegarkan ingatan perpolitikan di zaman orde baru (Orba), bahwa partai politik di republik ini hanya tiga, yakni; Golongan Karya (Golkar), Partai Demokrasi Indonesia (PDI), Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Golkar yang terdiri dari tiga jalur, yaitu; Jalur A (ABRI), Jalur B (Birokrasi), dan Jalur G (Golongan). Sedangkan Partai Demokrasi Indonesia (PDI), Partai Persatuan Pembangunan (PPP) merupakan fusi partai-partai politik yang memiliki kesamaan, kemiripan visi-misi atau platform partai politik. Karena itu, partai politik dijaman orde baru (Orba) dikategorikan tiga haluan, yakni; partai berhaluan nasionalis, partai berhaluan agamis, dan berhaluan berkarya. Akan tetapi, yang paling aneh bin ajaib Golongan Karya (Golkar) tidak pernah mengakui dirinya sebagai partai politik.
            Seiring dengan bergulirnya reformasi 1998 ditandai lengsernya Presiden Soeharto yang telah berkuasa ± 32 tahun, partai-partai politik tumbuh bagaikan jamur di musim penghujan sehingga partai politik pada Pemilu 1999 hingga ratusan partai politik. Pertumbuhan partai politik multipartai itu patut diduga keras adalah hasil “Politik Belah Sel” sehingga amat sulit dan sukar membedakan visi-misi atau platform spesifik satu sama lain. Pada Pemilu 2004 jumlah partai politik sebanyak 48 partai, Pemilu 2009 jumlah partai politik sebanyak 24 partai, Pemilu 2014 jumlah partai politik sebanyak 15 partai, 12 partai nasional dan 3 partai lokal.
            Selanjutnya, bila diamati dengan cermat dan seksama, bahwa ketua umum atau Pembina partai politik saat ini tidaklah terlalu sulit mengetahui dari pohon mana partai itu membelah sel. Sebab, petinggi-petinggi partai politik di era reformasi ini masih sangat mudah melacaknya, apalagi bila menggunakan dalilnya Stephen P Robbins, PhD “Prediktor terbaik masa depan seseorang adalah perilakunya di masa lalu”. Sehingga tidak lah amat-amat sukar dan sulit.
            Jika diamati 12 partai nasional pada Pemilu 2014 antara lain; Partai Nasional Demokrat (Partai Nasdem), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-Perjuangan), Partai Golongan Karya (Partai Golkar), Partai Gerakan Indonesia Raya (Partai Gerindra), Partai Demokrat (PD), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Hati Nurani Rakyat (Partai Hanura), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Keadilan Persatuan Indonesia (PKP-Indonesia) sungguh sulit terbantahkan hanyalah hasil “Politik Belah Sel” dari 3 (tiga) partai politik di masa orde baru (Orba) sebab para petinggi partai politik yang ada saat ini masih tokoh-tokoh politik masa lalu.
            Bila diamati seksama “Politik Belah Sel” cenderung diakibatkan “perselisihan, perseteruan” pertarungan para petinggi partai. Misalnya, gusur-menggusur pasca pertarungan perebutan pucuk pimpinan partai atau pemilihan ketua umum partai. Pasca pemilihan ketua umum partai politik muncul faksi-faksi, dan ketua umum atau petinggi partai politik terpilih cenderung melakukan pembersihan pengaruh atau pengikut kandidat yang kalah. Kandidat yang kalah, kemudian mendirikan partai politik baru dengan melahirkan alasan-alasan mengoreksi kekeliruan partai yang ditinggalkan. Sehingga partai politik baru yang didirikan seolah-olah antithesa kekeliruan, bukan ekses kekalahan pertarungan perebutan kursi singgasana partai politik.
            Padahal, cikal bakal “Politik Belah Sel” patut ditengarai buah kekecewaan kekalahan pertarungan perebutan kursi singgasana partai politik semata. Memang harus diakui pasca reformasi partai-partai tandingan sudah jarang terjadi, bahkan tidak ada sebagaimana di masa orde baru (Orba) seperti dialami Partai Demokrasi Indonesia (PDI) maupun Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang tidak terlepas dari “campur tangan” pemerintah ketika itu. Tetapi, bila diamati mendetail terbentuknya partai-partai baru yang membelah sel dari satu pohon partai politik setali tiga uang saja, hanya kesingnya berbeda.
            Jika pada masa orde baru (Orba) partai politik dibatasi hanya 3 (tiga) maka pasca reformasi pendirian partai politik justru sebaliknya, bebas dibentuk sepanjang memenuhi syarat pendirian partai politik yang diatur dalam undang-undang. Sehingga, bila seseorang “tergusur” dari partai politik tertentu sangat mudah mendirikan partai politik baru asalkan saja bisa memenuhi syarat undang-undang. Partai-partai tandingan tidak diperlukan lagi, sebab mendirikan partai baru lebih mudah dan gampang. Hal inilah salah satu perubahan nyata dalam peta perpolitikan di negeri ini pasca reformasi.  
            Bercermin pada tiga partai politik di masa orde baru (Orba) yakni; Golongan Karya (Golkar), Partai Demokrasi Indonesia (PDI), Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dengan branding  partai politik; golongan karya, nasionalis, dan agamis maka “Politik Belah Sel” di era reformasi menunjukkan kesamaan, kemiripan visi-misi atau platform partai politik dalam tiga kategori, antara lain;
Pertama; Belah Sel Golkar; Partai Nasional Demokrat (Partai Nasdem), Partai Gerakan Indonesia Raya (Partai Gerindra), Partai Demokrat (PD), Partai Hati Nurani Rakyat (Partai Hanura), Partai Keadilan Persatuan Indonesia (PKP-Indonesia) karena Ketua Umum atau Pembina partai-partai ini dulunya bernaung di bawah pohon beringin. Sehingga sulit dan sukar mengingkari, bahwa partai-partai ini adalah hasil “Politik Belah Sel” dari pohon yang sama.
Kedua; Belah Sel Partai Persatuan Pembangunan (PPP); Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Bulan Bintang (PBB). Sebab, partai berbasis agamis di masa orde baru (Orba) adalah hasil fusi, dan pasca reformasi fusi itu menjadi longgar seiring kebebasan mendirikan partai politik sepanjang memenuhi syarat undang-undang.
Ketiga; Belah Sel Partai Demokrasi Indonesia (PDI); Ketika roda reformasi 1998 atau persisnya pada Pemilu 1999 dan 2009 muncul berbagai partai politik yang membelah sel dari PDI hasil fusi, seperti; Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-Perjuangan), Partai Nasional Banteng Kemerdekaan (PNBK), Partai Nasional Indonesia Marhaen (PNI-Marhaen), Partai Pelopor, Partai Demokrasi Indonesia (PDI), dan lain-lain. Tetapi pada Pimilu 2014 partai nasionalis di masa orde baru (Orba) tinggal hanya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-Perjuangan).
            Memperhatikan “Politik Belah Sel” sebagaimana diuraikan di atas sesungguhnya bisa dijadikan alat analisis memahami pembentukan koalisi atau kerja sama antar partai politik mengusung pasangan calon presiden/wakil presiden periode 2014-2019, apakah benar koalisi atau kerja sama antar partai demi memperkuat sistem presidensial atau sebaliknya, politik dagang sapi dengan mahar bagi-bagi kekuasaan, seperti; jatah wakil presiden, menteri-menteri atau kompensasi politik lainnya.
            “Politik Belah Sel” sebenarnya adalah suatu kelihaian memainkan taktik strategi politik dengan membelah diri atas beberapa partai politik dari satu pohon partai politik dengan tujuan merebut kekuasaan. Melahirkan visi-misi atau platform politik seolah-olah baru ditengarai hanyalah sebuah siasat cerdik dari aktor-aktor partai politik membangun citera. Padahal, kenyataannya hanya ganti merek ataupun ganti simbol tanpa perbedaan visi-misi atau platform politik spesifik. Buktinya, ketika membentuk koalisi atau kerja sama antar partai politik mengusung pasangan calon presiden/wakil presiden selalu disebut-sebut alasan koalisi atau kerja sama. Artinya, partai-partai politik pada dasarnya tidak ada perbedaan visi-misi atau platform yang benar-benar berbeda. Justru yang berbeda hanyalah perbedaan kepentingan sehingga amat sangat benar idiom mengatakan, “Tidak ada kawan atau lawan yang abadi dalam politik, yang abadi hanyalah kepentingan”. Inilah yang perlu diketahui, dipahami rakyat pemilik suara  menyikapi eksistensi partai-partai di negeri ini agar tidak mudah terbuai rayuan maut atau rayuan gombal.   
            Oleh karena itu, bila partai-partai politik ingin memperkuat sistem presidensial ke depan maka pembentukan koalisi atau kerja sama antar partai politik mengusung pasangan calon presiden/wakil presiden 2014 yang katanya dilandasi kesamaan, kemiripan platform politik hendaknya dipermanenkan melaui fusi partai politik agar jumlah partai politik di republik ini semakin sedikit. Bukan hanya sebatas mengusung pasangan calon pasangan presiden/wakil presiden saja agar tudingan masyarakat terhadap partai politik bagi-bagi kekuasaan bisa ditepis. Sebab, bila koalisi atau kerja sama antar partai politik hanya sebatas mengusung pasangan calon presiden/wakil presiden tidak ada jaminan sistem presidensial terbangun kuat. Karena, ketika kepentingan partai politik tak terakomodasi sesuai selera partai akan muncul manuver-manuver atau tekanan-tekanan politik sebagaimana dialami koalisi partai politik dengan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono 2009-2014 yang penuh kegaduhan politik. Sebab koalisi Partai Politik  dan  Pemerintahan SBY-Boediono bukan koalisi yang dilandasi kesamaan platform politik Karenanya, partai-partai politik koalisi pemerintahan SBY-Boediono sering melakukan manuver atau tekanan politik terhadap pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono mengakibatkan sistem presidensial tak pernah kuat.   
            Jika diamati cermat dan seksama peta perpolitikan republik ini, kepiwaian Partai Golkar memainkan taktik strategi “Politik Belah Sel” patut diacungi jempol. Sebab, pada pemilihan presiden (Pilpres) 2004, Partai Golkar yang mengusung pasangan Wiranto-KH. Solahuddin Wahid, PDI-Perjuangan mengusung Megawati Soekarnoputri-KH. Hasym Muzadi, Partai Demokrat mengusung pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-HM.Yusuf Kalla (JK), adalah  politik belah sel. Sebab,   ketika pasangan SBY-JK keluar sebagai pemenang Pilpres 2004 HM. Jusuf Kalla (JK) yang tidak diusung Partai Golkar menjadi Ketua Umum Partai Golkar. Demikian juga di Provinsi Sumatera Utara, H. Syamsul Arifin SE yang tidak diusung Partai Golkar, begitu menang pemilihan gubernur (Pilgub) terpilih menjadi Ketua DPD Partai Golkar Provinsi Sumatera Utara.   
            Inilah salah satu bukti kepiawian Partai Golkar memainkan taktik strategi “Politik Belah Sel” sehingga Partai Golkar tak pernah di luar orbit kekuasaan selama ini. Nah, apakah pada Pilpres 2014 “Politik Belah Sel” akan menjadi taktik strategi dalam membentuk “perkawinan politik” masih perlu ditunggu. Tapi harus diingat, Bung Karno pernah mengatakan, bahwa “Hanya bangsa keledai yang mau terperosok dua kali ke dalam satu lobang yang sama”. Sejarah lah yang akan membuktikan.  
                                                                                                            Medan, 4 Mei 2014.

                                                                                                            Thomson Hutasoit.
               
           
              
           

                   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar