Politik Belah Sel
Oleh: Thomson Hutasoit.
Pasca pemilihan umum legislatif
(Pileg) 9 April 2014 babak baru perpolitikan
republik ini tertuju pada pemilihan umum presiden/wakil presiden
(Pilpres) 9 Juli 2014 akan datang. Partai-partai politik pun mulai memasang
taktik dan strategi untuk mengusung pasangan calon presiden/wakil presiden yang
menurut undang-undang pasangan calon
presiden/wakil presiden diusulkan atau diusung partai politik atau gabungan
partai politik dengan syarat pencalonan 25 persen suara sah nasional atau 20
persen kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Syarat pencalonan itu memaksa partai
politik harus berkoalisi atau bekerja sama sebab hasil pemilihan legislatif
(Pileg) 9 April 2014 lalu tidak ada satu partai politik pun meraih 25 persen
suara sah nasional atau 20 persen kursi DPR sesuai hasil hitung cepat (quick count) berbagai survey di negeri
ini.
Jika ketika pemilihan legislatif
(Pileg) masing-masing partai politik mengumbar visi-misi atau platform partainya berbeda dan/atau berseberangan
dengan partai lain, maka kini partai-partai tersebut mencari kesamaan atau
kemiripan seperti dua sejoli yang ingin kawin. Partai-partai politik yang
selama ini saling mengumbar diri ‘paling dan paling’ berpihak pada rakyat dan
negara ataupun alasan sektarian lainnya, kini berputar haluan dengan membangun
berbagai alibi tak masuk akal semata-mata mengejar boarding pass mengajukan pasangan calon presiden/wakil presiden.
Partai politik mulai menunjukkan
habitatnya sebagai pedagang politik dengan menjadikan suara rakyat komoditas
politik yang siap ‘dijual’ kepada partai lain asal saja cocok harga yakni;
bagi-bagi kekuasaan, seperti wakil presiden, menteri-menteri dan kompensasi
politik lain mahar jual-beli suara rakyat yang didapatkan pada pemilihan legislatif
(Pileg) lalu.
Bila diamati dengan cermat dan
cerdas inilah salah satu awal politik transaksional atau politik uang (money politics) yang dilancarkan
juragan-juragan politik pada saat pemilihan legislatif (Pileg). Sebab, walau
seberapa besar pun dana yang dikeluarkan untuk mendapatkan suara rakyat tidak
akan pernah rugi karena suara rakyat masih bisa ‘dijual’ juragan-juragan partai
politik untuk mendapat kompensasi kerugian Pileg, apakah bentuk uang, jatah
wakil presiden, menteri-mentari ataupun kompensasi politik lainnya.
Suara rakyat menjadi salah satu
komoditas paling laris manis dalam pertarungan perebutan kekuasaan, sementara
rakyat pemberi suara tidak pernah menyadarinya apakah suaranya benar-benar
untuk mendukung partai politik tertentu memperjuangkan nasibnya atau tidak. Rakyat
yang lugu dan polos dalam berpolitik terbuai mendengar retorika politik partai
pada masa-masa kampanye pemilihan legislatif (Pileg) tak pernah menyadari bahwa
suaranya bakal dibawa kemana.
Kepiawian, kecerdikan, kemahiran,
kelihaian pembingkaian (framing) kata-kata oleh para politisi telah berhasil
‘membius’ alam sadar rakyat, apalagi dibumbui aneka kebaikan palsu, seperti;
bagi-bagi sembako, sumbangan sosial, perilaku tiba-tiba baik, dermawan sesaat
serta peduli penderitaan rakyat membuat akal sehat bisa jadi tumpul tanpa
menyadari, bahwa suara rakyat nanti akan dijadikan alat bargaining politik untuk mendapatkan kekuasaan dari partai politik
lain. Bahkan, tanpa meminta persetujuan dari rakyat pemilik suara juragan-jurangan
partai politik bebas dan sesuka hati mengarahkan, ‘menjual’ suara rakyat
kemana mereka suka. Sebab para juragan
partai politik merasa telah mutlak absolut memiliki dan berkuasa atas suara rakyat yang
diperolehnya pada pemilihan legislatif (Pileg) lalu.
Kedaulatan rakyat yang dijamin
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 sepertinya telah terjual
ataupun tergadaikan pada partai politik sehingga suara rakyat mutlak absolut
milik partai politik dan sepenuhnya bebas diarahkan kemana sesuai keinginan
juragan partai politik. Hal inilah yang menjadi makna sejati gerilya
juragan-juragan partai politik super agresif melakukan lobi-lobi politik dalam
membentuk koalisi atau kerja sama partai politik untuk mengusung pasangan calon
presiden/wakil presiden 2014 nanti.
Rakyat pemilik suara tak berdaya
sama sekali menghempang “drama bagi-bagi kekuasaan” yang dilakukan para juragan
partai politik pasca penyerahan suaranya pada pemilihan legislatif (Pileg)
sebab para juragan partai politik memaknai suara rakyat adalah suara partai,
bukan lagi suara rakyat. Rakyat dipaksa pasrah melihat, menonton “drama-drama
sabun” berikutnya dengan berbagai alibi retoris pragmatis seperti kesamaan,
kemiripan visi-misi atau platform partai
politik membangun bangsa dan negara. Padahal, alibi-alibi itu tak sesuai keinginan
rakyat pemilik suara dan hanyalah instrument mewujudkan libido kekuasaan.
Belah Sel.
Bila dianalisis makna kata kesamaan,
kemiripan visi-misi atau platform partai
politik yang dilontarkan para juragan partai politik, sadar atau tidak adalah
suatu pengakuan verbal, bahwa sejatinya partai-partai politik di negeri ini
adalah hasil “Politik Belah Sel” dari satu pohon partai politik yang sama. Sehingga
visi-misi atau platform satu partai
dengan partai lain memiliki kesamaan, kemiripan satu sama lain.
Sekedar menyegarkan ingatan
perpolitikan di zaman orde baru (Orba), bahwa partai politik di republik ini
hanya tiga, yakni; Golongan Karya (Golkar), Partai Demokrasi Indonesia (PDI),
Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Golkar yang terdiri dari tiga jalur, yaitu;
Jalur A (ABRI), Jalur B (Birokrasi), dan Jalur G (Golongan). Sedangkan Partai
Demokrasi Indonesia (PDI), Partai Persatuan Pembangunan (PPP) merupakan fusi
partai-partai politik yang memiliki kesamaan, kemiripan visi-misi atau platform partai politik. Karena itu,
partai politik dijaman orde baru (Orba) dikategorikan tiga haluan, yakni;
partai berhaluan nasionalis, partai berhaluan agamis, dan berhaluan berkarya.
Akan tetapi, yang paling aneh bin ajaib Golongan Karya (Golkar) tidak pernah
mengakui dirinya sebagai partai politik.
Seiring dengan bergulirnya reformasi
1998 ditandai lengsernya Presiden Soeharto yang telah berkuasa ± 32 tahun,
partai-partai politik tumbuh bagaikan jamur di musim penghujan sehingga partai
politik pada Pemilu 1999 hingga ratusan partai politik. Pertumbuhan partai
politik multipartai itu patut diduga keras adalah hasil “Politik Belah Sel”
sehingga amat sulit dan sukar membedakan visi-misi atau platform spesifik satu sama lain. Pada Pemilu 2004 jumlah partai
politik sebanyak 48 partai, Pemilu 2009 jumlah partai politik sebanyak 24
partai, Pemilu 2014 jumlah partai politik sebanyak 15 partai, 12 partai
nasional dan 3 partai lokal.
Selanjutnya, bila diamati dengan
cermat dan seksama, bahwa ketua umum atau Pembina partai politik saat ini
tidaklah terlalu sulit mengetahui dari pohon mana partai itu membelah sel.
Sebab, petinggi-petinggi partai politik di era reformasi ini masih sangat mudah
melacaknya, apalagi bila menggunakan dalilnya Stephen P Robbins, PhD “Prediktor
terbaik masa depan seseorang adalah perilakunya di masa lalu”. Sehingga tidak
lah amat-amat sukar dan sulit.
Jika diamati 12 partai nasional pada
Pemilu 2014 antara lain; Partai Nasional Demokrat (Partai Nasdem), Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan (PDI-Perjuangan), Partai Golongan Karya (Partai Golkar),
Partai Gerakan Indonesia Raya (Partai Gerindra), Partai Demokrat (PD), Partai
Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Hati Nurani
Rakyat (Partai Hanura), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Keadilan Persatuan
Indonesia (PKP-Indonesia) sungguh sulit terbantahkan hanyalah hasil “Politik
Belah Sel” dari 3 (tiga) partai politik di masa orde baru (Orba) sebab para
petinggi partai politik yang ada saat ini masih tokoh-tokoh politik masa lalu.
Bila diamati seksama “Politik Belah
Sel” cenderung diakibatkan “perselisihan, perseteruan” pertarungan para
petinggi partai. Misalnya, gusur-menggusur pasca pertarungan perebutan pucuk
pimpinan partai atau pemilihan ketua umum partai. Pasca pemilihan ketua umum
partai politik muncul faksi-faksi, dan ketua umum atau petinggi partai politik
terpilih cenderung melakukan pembersihan pengaruh atau pengikut kandidat yang
kalah. Kandidat yang kalah, kemudian mendirikan partai politik baru dengan
melahirkan alasan-alasan mengoreksi kekeliruan partai yang ditinggalkan.
Sehingga partai politik baru yang didirikan seolah-olah antithesa kekeliruan,
bukan ekses kekalahan pertarungan perebutan kursi singgasana partai politik.
Padahal, cikal bakal “Politik Belah
Sel” patut ditengarai buah kekecewaan kekalahan pertarungan perebutan kursi
singgasana partai politik semata. Memang harus diakui pasca reformasi partai-partai
tandingan sudah jarang terjadi, bahkan tidak ada sebagaimana di masa orde baru
(Orba) seperti dialami Partai Demokrasi Indonesia (PDI) maupun Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) yang tidak terlepas dari “campur tangan” pemerintah ketika
itu. Tetapi, bila diamati mendetail terbentuknya partai-partai baru yang
membelah sel dari satu pohon partai politik setali tiga uang saja, hanya
kesingnya berbeda.
Jika pada masa orde baru (Orba) partai
politik dibatasi hanya 3 (tiga) maka pasca reformasi pendirian partai politik
justru sebaliknya, bebas dibentuk sepanjang memenuhi syarat pendirian partai
politik yang diatur dalam undang-undang. Sehingga, bila seseorang “tergusur”
dari partai politik tertentu sangat mudah mendirikan partai politik baru
asalkan saja bisa memenuhi syarat undang-undang. Partai-partai tandingan tidak
diperlukan lagi, sebab mendirikan partai baru lebih mudah dan gampang. Hal
inilah salah satu perubahan nyata dalam peta perpolitikan di negeri ini pasca
reformasi.
Bercermin pada tiga partai politik
di masa orde baru (Orba) yakni; Golongan Karya (Golkar), Partai Demokrasi
Indonesia (PDI), Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dengan branding partai politik;
golongan karya, nasionalis, dan agamis maka “Politik Belah Sel” di era reformasi
menunjukkan kesamaan, kemiripan visi-misi atau platform partai politik dalam tiga kategori, antara lain;
Pertama; Belah Sel Golkar; Partai Nasional Demokrat
(Partai Nasdem), Partai Gerakan Indonesia Raya (Partai Gerindra), Partai
Demokrat (PD), Partai Hati Nurani Rakyat (Partai Hanura), Partai Keadilan
Persatuan Indonesia (PKP-Indonesia) karena Ketua Umum atau Pembina
partai-partai ini dulunya bernaung di bawah pohon beringin. Sehingga sulit dan
sukar mengingkari, bahwa partai-partai ini adalah hasil “Politik Belah Sel”
dari pohon yang sama.
Kedua; Belah Sel Partai Persatuan Pembangunan
(PPP); Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai
Amanat Nasional (PAN), Partai Bulan Bintang (PBB). Sebab, partai berbasis
agamis di masa orde baru (Orba) adalah hasil fusi, dan pasca reformasi fusi itu
menjadi longgar seiring kebebasan mendirikan partai politik sepanjang memenuhi
syarat undang-undang.
Ketiga; Belah Sel Partai Demokrasi Indonesia (PDI);
Ketika roda reformasi 1998 atau persisnya pada Pemilu 1999 dan 2009 muncul
berbagai partai politik yang membelah sel dari PDI hasil fusi, seperti; Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-Perjuangan), Partai Nasional Banteng
Kemerdekaan (PNBK), Partai Nasional Indonesia Marhaen (PNI-Marhaen), Partai
Pelopor, Partai Demokrasi Indonesia (PDI), dan lain-lain. Tetapi pada Pimilu
2014 partai nasionalis di masa orde baru (Orba) tinggal hanya Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan (PDI-Perjuangan).
Memperhatikan “Politik Belah Sel”
sebagaimana diuraikan di atas sesungguhnya bisa dijadikan alat analisis
memahami pembentukan koalisi atau kerja sama antar partai politik mengusung
pasangan calon presiden/wakil presiden periode 2014-2019, apakah benar koalisi
atau kerja sama antar partai demi memperkuat sistem presidensial atau
sebaliknya, politik dagang sapi dengan mahar bagi-bagi kekuasaan, seperti;
jatah wakil presiden, menteri-menteri atau kompensasi politik lainnya.
“Politik Belah Sel” sebenarnya
adalah suatu kelihaian memainkan taktik strategi politik dengan membelah diri
atas beberapa partai politik dari satu pohon partai politik dengan tujuan
merebut kekuasaan. Melahirkan visi-misi atau platform politik seolah-olah baru ditengarai hanyalah sebuah siasat
cerdik dari aktor-aktor partai politik membangun citera. Padahal, kenyataannya
hanya ganti merek ataupun ganti simbol tanpa perbedaan visi-misi atau platform politik spesifik. Buktinya,
ketika membentuk koalisi atau kerja sama antar partai politik mengusung
pasangan calon presiden/wakil presiden selalu disebut-sebut alasan koalisi atau
kerja sama. Artinya, partai-partai politik pada dasarnya tidak ada perbedaan
visi-misi atau platform yang
benar-benar berbeda. Justru yang berbeda hanyalah perbedaan kepentingan
sehingga amat sangat benar idiom mengatakan, “Tidak ada kawan atau lawan yang
abadi dalam politik, yang abadi hanyalah kepentingan”. Inilah yang perlu
diketahui, dipahami rakyat pemilik suara menyikapi eksistensi partai-partai di negeri
ini agar tidak mudah terbuai rayuan maut atau rayuan gombal.
Oleh karena itu, bila partai-partai
politik ingin memperkuat sistem presidensial ke depan maka pembentukan koalisi
atau kerja sama antar partai politik mengusung pasangan calon presiden/wakil
presiden 2014 yang katanya dilandasi kesamaan, kemiripan platform politik hendaknya dipermanenkan melaui fusi partai politik
agar jumlah partai politik di republik ini semakin sedikit. Bukan hanya sebatas
mengusung pasangan calon pasangan presiden/wakil presiden saja agar tudingan
masyarakat terhadap partai politik bagi-bagi kekuasaan bisa ditepis. Sebab,
bila koalisi atau kerja sama antar partai politik hanya sebatas mengusung
pasangan calon presiden/wakil presiden tidak ada jaminan sistem presidensial
terbangun kuat. Karena, ketika kepentingan partai politik tak terakomodasi sesuai
selera partai akan muncul manuver-manuver
atau tekanan-tekanan politik sebagaimana dialami koalisi partai politik dengan
pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono 2009-2014 yang penuh
kegaduhan politik. Sebab koalisi Partai Politik
dan Pemerintahan SBY-Boediono
bukan koalisi yang dilandasi kesamaan platform
politik Karenanya, partai-partai politik koalisi pemerintahan SBY-Boediono
sering melakukan manuver atau tekanan politik terhadap pemerintahan Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono mengakibatkan sistem presidensial tak pernah
kuat.
Jika diamati cermat dan seksama peta
perpolitikan republik ini, kepiwaian Partai Golkar memainkan taktik strategi “Politik
Belah Sel” patut diacungi jempol. Sebab, pada pemilihan presiden (Pilpres)
2004, Partai Golkar yang mengusung pasangan Wiranto-KH. Solahuddin Wahid,
PDI-Perjuangan mengusung Megawati Soekarnoputri-KH. Hasym Muzadi, Partai
Demokrat mengusung pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-HM.Yusuf Kalla (JK),
adalah politik belah sel. Sebab, ketika pasangan SBY-JK keluar sebagai
pemenang Pilpres 2004 HM. Jusuf Kalla (JK) yang tidak diusung Partai Golkar
menjadi Ketua Umum Partai Golkar. Demikian juga di Provinsi Sumatera Utara, H.
Syamsul Arifin SE yang tidak diusung Partai Golkar, begitu menang pemilihan
gubernur (Pilgub) terpilih menjadi Ketua DPD Partai Golkar Provinsi Sumatera
Utara.
Inilah salah satu bukti kepiawian
Partai Golkar memainkan taktik strategi “Politik Belah Sel” sehingga Partai
Golkar tak pernah di luar orbit kekuasaan selama ini. Nah, apakah pada Pilpres
2014 “Politik Belah Sel” akan menjadi taktik strategi dalam membentuk
“perkawinan politik” masih perlu ditunggu. Tapi harus diingat, Bung Karno
pernah mengatakan, bahwa “Hanya bangsa keledai yang mau terperosok dua kali ke
dalam satu lobang yang sama”. Sejarah lah yang akan membuktikan.
Medan, 4 Mei 2014.
Thomson
Hutasoit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar