Jumat, 20 Juni 2014

Integritas vs isinitas



Integritas vs isinitas
Oleh: Thomson Hutasoit.

            Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2007) Integritas ialah mutu, sifat, atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan; kejujuran. Integritas nasional wujud keutuhan prinsip moral dan etika bangsa dalam kehidupan bernegara.
            Integritas dari konteks KBBI ialah suatu kepribadian yang dicerminkan  kejujuran, sikap, sifat, moral dan etika yang dimiliki seseorang sehingga memiliki potensi dan kemampuan memancarkan kewibawaan, kepribadian mulia dan luhur dalam perilaku berbangsa dan benegara.
            Pada masyarakat, bangsa beradat dan beradab, integritas adalah salah satu hal fundamental dan elementer dalam membangun karakter bangsa (nation character) dan kepribadian unggul yang dilandasi prinsip-prinsip moral, mental, dan etika sehingga mampu memancarkan kewibawaan, kejujuran dalam kehidupan keseharian. Moral dan etika berperan mengukur benar atau salah, baik atau buruk, pantas atau tidak pantas, dilakukan dalam perilaku hidup berbangsa dan bernegara. Segala tindakan individu harus pula disesuaikan dengan prinsip moral dan etika masyarakat, bangsa yang menunjukkan kesatuan yang utuh memancarkan kewibawaan ditengah-tengah kehidupan berbangsa dan bernegara.
            Individu-individu dalam masyarakat, bangsa tentu tidak bisa memisahkan diri dari prinsip moral dan etika yang dipahami dan dijunjung tinggi suatu komunitas tertentu, sebab pada hakikatnya manusia adalah makhluk bermasyarakat “Zoon Politicon” sebagaimana ditegaskan Aristoteles. Karena itu, ukuran baik buruk, benar salah, pantas tak pantas tidak terlepas dari prinsip moral, mental yang dipahami masyarakat, bangsa bersangkutan. Bukan tergantung pada selera atau keinginan individu-individu.
            Salah satu ungkapan Batak-Toba, “Tumagon mamora di roha marpogos di arta, unang apala mamora di arta marpogos di roha” yakni; lebih baik kaya moral miskin harta daripada kaya harta buruk moral adalah suatu prinsip moral dan etika yang dipahami komunitas Batak-Toba sejak dahulu.
Prinsip moral dan etika itulah salah satu parameter menilai seseorang  memiliki integritas atau tidak ditengah-tengah masyarakat. Tapi prinsip moral, etika itu sepertinya telah terabaikan dalam kehidupan masyarakat modern yang terjebak arus globalisasi yang ditandai munculnya perilaku-perilaku individualisme, hedonisme, konsumerisme, hampa solidaritas yang menimbulkan menipisnya harmoni ditengah-tengah masyarakat, bangsa maupun negara.
Fenomena inilah salah satu akar permasalahan bangsa yang perlu segera direvolusi melalui gerakan “Revolusi Mental” sebagaimana dicetuskan Joko Widodo atau Jokowi agar moral, mental bangsa ini dapat diperbaiki dengan tuntas menuju Indonesia hebat dan berdaya saing.
Kerusakan karakter mental, moral, etika harus pula dipahami sumber dari segala kerusakan dalam berbangsa dan bernegara. Tindakan koruptif, kolutif, nepotif, penyelewengan kekuasaan, pengkhianatan amanah, pelacuran intelektual, kemunafikan, manipulasi, penghambaan diri pada harta kekayaan, menghalalkan segala cara demi uang dan kekuasaan adalah akar segala karut marut permasalahan bangsa hingga republik ini belum mampu memberikan kemakmuran, kesejahteraan, keadilan, dan kebahagiaan anak-anak Ibu Pertiwi.    
            Sedangkan Isinitas ialah tumpukan harta, uang yang tidak berkorelasi sama sekali dengan integritas. Sebab, penumpukan harta kekayaan, uang acap kali diperoleh dari jalan yang berlawanan dengan prinsip moral, etika, kebenaran dan keadilan. Misalnya, tindak pidana korupsi, kolusi, nepotisme, memperjualbelikan kekuasaan, melanggar sumpah/janji jabatan, serta tindakan melawan hukum lainnya demi menumpuk harta kekayaan.
            Memperhambakan diri demi harta kekayaan, jabatan dan uang, mengingkari dan mengkhianati hati nurani, menjual prinsip, serta membohongi diri sendiri dan orang lain demi memperoleh kedudukan atau kekuasaan, sadar atau tidak adalah suatu perilaku paling hina dan tak terpuji yang tidak pantas dilakukan bangsa beradat dan beradab.
            Menjual martabat demi memperoleh sepotong martabak adalah suatu tindakan yang merendahkan atau menghina harkat kemanusiaan. Dan hanya manusia-manusia bodoh dan tolol yang mau melakukan dalam hidupnya. Harkat kemanusiaan jauh lebih tinggi dari harta kekayaan, kekuasaan dan strata apapun di atas jagat raya ini.
            Karena itu pulalah Oliver Cromwell (1653) dengan tegas mengatakan, “Tibalah saatnya bagiku untuk mengakhiri kedudukan kalian di sini, yang telah kalian cermarkan dengan pelecehan terhadap semua nilai kebaikan dan setiap keburukan yang kalian paraktikkan; kalian semua adalah sumber kebusukan dan musuh bagi semua pemerintahan yang baik; kalian semua hanyalah segerombolan pencari untung. Seperti Esau yang mau menjual negara demi semangkuk sup, dan seperti Yudas yang mau mengkhianati Tuhan hanya demi beberapa keping uang; masih adakah satu saja kebaikan yang tersisa dalam diri kalian ? Adakah satu keburukan saja yang tidak kalian punyai ? Wahai kalian yang lebih tidak beragama daripada kudaku; emas adalah tuhan kalian; siapakah di antara kalian yang belum menukar hati nurani dengan sup ?. Bukankah kalian tak ubahnya seperti pelacur yang telah mengotori tempat suci ini, yang sudah mencemarkan rumah Tuhan ini menjadi sarang penyamun dengan segenap prinsip tak bermoral; dan praktik jahat kalian ? Kalian kian menjadi beban tak tertanggungkan bagi bangsa yang telah kalian khianati kepercayaan ini.” (Munandar, 2009).
            Manusia tanpa integritas adalah manusia tanpa kejujuran, moral dan etika, tak bermutu, tidak memiliki sikap, sifat, atau keadaan yang menunjukkan kesatuan utuh potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan dan kejujuran dalam hidup.
            Padahal, kejujuran, moral dan etika adalah penanda nyata kepribadian luhur dan mulia yang tidak mudah terombang-ambing, tergoyahkan, tergoda oleh harta, tahta, dan wanita yang menjadi salah satu penyakit jaman edan ini.
            Mengkhianati hati nurani, membohongi diri sendiri dan orang lain demi mendapatkan setumpuk kekuasaan, segepok uang adalah perilaku buruk dan mental bobrok. Menjual dan menggadaikan negara demi semangkuk sup, mengkhianati Tuhan demi beberapa keping uang adalah perilaku Esau dan Yudas yang menjadi legenda pengkhianatan sepanjang masa.  
            Perilaku-perilaku seperti ini sangat mudah ditemukan pada diri seseorang maniak kuasa. Dan demi tahta, harta, dan wanita tidak segan-segan melacurkan diri, menjual prinsip, menelan muntah sendiri, melakukan pembelokan dan manipulasi fakta sejarah, kemunafikan, pembohongan, dan pembodohan terhadap diri sendiri maupun orang lain, tanpa memiliki urat malu dan merasa bersalah. Inilah salah satu perilaku buruk yang perlu direvolusi saat ini.
            Mengukur integritas seseorang tidaklah sulit-sulit amat, sebab integritas bisa dilacak dari kejujuran, moral, etika yang dimiliki seseorang dalam hidup sehari-hari.  Pribadi luhur dan mulia selalu berpegang teguh atas kejujuran, kebenaran, keadilan, moral, sopan santun, etika. Dan integritas seperti inilah yang menjadi elemen dasar bahan pertimbangan dalam memilih sesorang pemimpin di segala level kepemimpinan.
            McChain & Mark Salter (2009) mengatakan, “Demi prinsip, banyak orang baik menderita. Beberapa orang mati demi mempertahankan prinsip. Tetapi betapapun kejam akhir kisah itu, dan mereka punya karakter untuk menjalani hidup yang baik. Selama telah memilih dengan baik, bertindak adil, dan memiliki karakter yang layak dalam menghadapi tantangan pilihan, mereka tak peduli apa orang lain tahu keberanian mereka atau tidak. Mereka tak menyerah pada nasib yang pasti terjadi. Mereka percaya bahwa nilai mereka ialah kekuatan yang mengarahkan hidup, menerangi dunia tempat kita menyalakan lilin-lilin kecil, sebelum pekerjaan itu selesai dan kita istirahat. “Nama dan wajah orang-orang dungu memang sering muncul di muka publik.”
            Demikian juga tentang arti kejujuran yang dipahami Thomas More ketika menghadapi hukuman pancung, meminta waktu sebentar untuk mengatur janggut agar tak terpotong kampak, karena sepengetahuannya, janggutnya tak menggangu raja. Ia berkata, “saya sendiri mustahil bersumpah, tetapi saya tak menyalahkan siapa pun yang telah bersumpah.”
            Integritas mulia seperti ditunjukkan anak manusia yang memiliki kepribadian luhur inilah seharusnya ditunjukkan para calon-calon pemimpin di republik ini agar kejujuran, kebenaran, keadilan terwujud dengan nyata. Bukan membangun alibi-alibi tak masuk akal untuk menutup-nutupi kebobrokan bagaikan “kucing menyembunyikan taiknya” tanpa merasa bersalah dan bernoda.
            Mengingkari kebenaran demi isinitas (kekuasaan, kedudukan, harta maupun uang) adalah sebuah pembohongan besar, kemunafikan, pembodohan, manipulasi dan akal buruk paling berbahaya dalam hidup. Dan, membuat seseorang selalu dibayangi penyesalan sepanjang masa. Hidup tak pernah tenang, aman dan nyaman karena selalu dibayang-bayangi perasaan bersalah dan berbohong.
            Oleh karena itu, langkah-langkah konkrit melaksanakan revolusi mental  untuk membangun integritas bangsa merupakan suatu keniscayaan yang tidak boleh ditunda-tunda agar terlahir manusia-manusia unggul berintegritas (jujur, bermoral, beretika)  memegang tampuk kepemimpinan di negeri ini. Tanpa revolusi mental merubah mental-mental isinitas menjadi manusia berintegritas sangat sulit diwujudkan secara nyata.
            Harus diingat, kemajuan suatu bangsa ditentukan manusia-manusia berintegritas, bukan manusia-manusia yang bisa dibeli isinitas. Kepribadian luhur dan mulia hanyalah milik manusia-manusia jujur, bermoral, dan beretika. Dan di sinilah hakikat kemanusian sejati. Manusia beradat dan beradab selalu mengedepankan kejujuran, moral dan etika, bukan menghembuskan fitnah dan kebohongan.
Selamat melaksanakan “Revolusi Mental”. (Penulis: Penulis buku “Kepemimpinan” Ditinjau dari Kultur Budaya Batak-Toba).

                                                                                                            Medan,  13 Juni 2014

                                                                                                            Thomson Hutasoit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar