Integritas vs isinitas
Oleh: Thomson Hutasoit.
Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2007) Integritas ialah mutu, sifat, atau keadaan
yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan
yang memancarkan kewibawaan; kejujuran. Integritas nasional wujud keutuhan
prinsip moral dan etika bangsa dalam kehidupan bernegara.
Integritas dari konteks KBBI ialah
suatu kepribadian yang dicerminkan
kejujuran, sikap, sifat, moral dan etika yang dimiliki seseorang
sehingga memiliki potensi dan kemampuan memancarkan kewibawaan, kepribadian
mulia dan luhur dalam perilaku berbangsa dan benegara.
Pada masyarakat, bangsa beradat dan
beradab, integritas adalah salah satu hal fundamental dan elementer dalam
membangun karakter bangsa (nation
character) dan kepribadian unggul yang dilandasi prinsip-prinsip moral,
mental, dan etika sehingga mampu memancarkan kewibawaan, kejujuran dalam
kehidupan keseharian. Moral dan etika berperan mengukur benar atau salah, baik
atau buruk, pantas atau tidak pantas, dilakukan dalam perilaku hidup berbangsa
dan bernegara. Segala tindakan individu harus pula disesuaikan dengan prinsip
moral dan etika masyarakat, bangsa yang menunjukkan kesatuan yang utuh
memancarkan kewibawaan ditengah-tengah kehidupan berbangsa dan bernegara.
Individu-individu dalam masyarakat,
bangsa tentu tidak bisa memisahkan diri dari prinsip moral dan etika yang
dipahami dan dijunjung tinggi suatu komunitas tertentu, sebab pada hakikatnya
manusia adalah makhluk bermasyarakat “Zoon
Politicon” sebagaimana ditegaskan Aristoteles. Karena itu, ukuran baik
buruk, benar salah, pantas tak pantas tidak terlepas dari prinsip moral, mental
yang dipahami masyarakat, bangsa bersangkutan. Bukan tergantung pada selera
atau keinginan individu-individu.
Salah satu ungkapan Batak-Toba,
“Tumagon mamora di roha marpogos di arta, unang apala mamora di arta marpogos
di roha” yakni; lebih baik kaya moral miskin harta daripada kaya harta buruk
moral adalah suatu prinsip moral dan etika yang dipahami komunitas Batak-Toba
sejak dahulu.
Prinsip
moral dan etika itulah salah satu parameter menilai seseorang memiliki integritas atau tidak
ditengah-tengah masyarakat. Tapi prinsip moral, etika itu sepertinya telah
terabaikan dalam kehidupan masyarakat modern yang terjebak arus globalisasi
yang ditandai munculnya perilaku-perilaku individualisme, hedonisme,
konsumerisme, hampa solidaritas yang menimbulkan menipisnya harmoni
ditengah-tengah masyarakat, bangsa maupun negara.
Fenomena
inilah salah satu akar permasalahan bangsa yang perlu segera direvolusi melalui
gerakan “Revolusi Mental” sebagaimana dicetuskan Joko Widodo atau Jokowi agar
moral, mental bangsa ini dapat diperbaiki dengan tuntas menuju Indonesia hebat
dan berdaya saing.
Kerusakan
karakter mental, moral, etika harus pula dipahami sumber dari segala kerusakan
dalam berbangsa dan bernegara. Tindakan koruptif, kolutif, nepotif,
penyelewengan kekuasaan, pengkhianatan amanah, pelacuran intelektual,
kemunafikan, manipulasi, penghambaan diri pada harta kekayaan, menghalalkan
segala cara demi uang dan kekuasaan adalah akar segala karut marut permasalahan
bangsa hingga republik ini belum mampu memberikan kemakmuran, kesejahteraan,
keadilan, dan kebahagiaan anak-anak Ibu Pertiwi.
Sedangkan Isinitas ialah tumpukan
harta, uang yang tidak berkorelasi sama sekali dengan integritas. Sebab,
penumpukan harta kekayaan, uang acap kali diperoleh dari jalan yang berlawanan
dengan prinsip moral, etika, kebenaran dan keadilan. Misalnya, tindak pidana
korupsi, kolusi, nepotisme, memperjualbelikan kekuasaan, melanggar sumpah/janji
jabatan, serta tindakan melawan hukum lainnya demi menumpuk harta kekayaan.
Memperhambakan diri demi harta
kekayaan, jabatan dan uang, mengingkari dan mengkhianati hati nurani, menjual
prinsip, serta membohongi diri sendiri dan orang lain demi memperoleh kedudukan
atau kekuasaan, sadar atau tidak adalah suatu perilaku paling hina dan tak
terpuji yang tidak pantas dilakukan bangsa beradat dan beradab.
Menjual martabat demi memperoleh
sepotong martabak adalah suatu tindakan yang merendahkan atau menghina harkat
kemanusiaan. Dan hanya manusia-manusia bodoh dan tolol yang mau melakukan dalam
hidupnya. Harkat kemanusiaan jauh lebih tinggi dari harta kekayaan, kekuasaan
dan strata apapun di atas jagat raya ini.
Karena itu pulalah Oliver Cromwell
(1653) dengan tegas mengatakan, “Tibalah saatnya bagiku untuk mengakhiri
kedudukan kalian di sini, yang telah kalian cermarkan dengan pelecehan terhadap
semua nilai kebaikan dan setiap keburukan yang kalian paraktikkan; kalian semua
adalah sumber kebusukan dan musuh bagi semua pemerintahan yang baik; kalian
semua hanyalah segerombolan pencari untung. Seperti Esau yang mau menjual
negara demi semangkuk sup, dan seperti Yudas yang mau mengkhianati Tuhan hanya
demi beberapa keping uang; masih adakah satu saja kebaikan yang tersisa dalam
diri kalian ? Adakah satu keburukan saja yang tidak kalian punyai ? Wahai
kalian yang lebih tidak beragama daripada kudaku; emas adalah tuhan kalian;
siapakah di antara kalian yang belum menukar hati nurani dengan sup ?. Bukankah
kalian tak ubahnya seperti pelacur yang telah mengotori tempat suci ini, yang
sudah mencemarkan rumah Tuhan ini menjadi sarang penyamun dengan segenap
prinsip tak bermoral; dan praktik jahat kalian ? Kalian kian menjadi beban tak
tertanggungkan bagi bangsa yang telah kalian khianati kepercayaan ini.”
(Munandar, 2009).
Manusia tanpa integritas adalah
manusia tanpa kejujuran, moral dan etika, tak bermutu, tidak memiliki sikap,
sifat, atau keadaan yang menunjukkan kesatuan utuh potensi dan kemampuan yang
memancarkan kewibawaan dan kejujuran dalam hidup.
Padahal, kejujuran, moral dan etika
adalah penanda nyata kepribadian luhur dan mulia yang tidak mudah
terombang-ambing, tergoyahkan, tergoda oleh harta, tahta, dan wanita yang
menjadi salah satu penyakit jaman edan ini.
Mengkhianati hati nurani, membohongi
diri sendiri dan orang lain demi mendapatkan setumpuk kekuasaan, segepok uang
adalah perilaku buruk dan mental bobrok. Menjual dan menggadaikan negara demi
semangkuk sup, mengkhianati Tuhan demi beberapa keping uang adalah perilaku
Esau dan Yudas yang menjadi legenda pengkhianatan sepanjang masa.
Perilaku-perilaku seperti ini sangat
mudah ditemukan pada diri seseorang maniak kuasa. Dan demi tahta, harta, dan
wanita tidak segan-segan melacurkan diri, menjual prinsip, menelan muntah
sendiri, melakukan pembelokan dan manipulasi fakta sejarah, kemunafikan,
pembohongan, dan pembodohan terhadap diri sendiri maupun orang lain, tanpa
memiliki urat malu dan merasa bersalah. Inilah salah satu perilaku buruk yang
perlu direvolusi saat ini.
Mengukur integritas seseorang
tidaklah sulit-sulit amat, sebab integritas bisa dilacak dari kejujuran, moral,
etika yang dimiliki seseorang dalam hidup sehari-hari. Pribadi luhur dan mulia selalu berpegang teguh
atas kejujuran, kebenaran, keadilan, moral, sopan santun, etika. Dan integritas
seperti inilah yang menjadi elemen dasar bahan pertimbangan dalam memilih
sesorang pemimpin di segala level kepemimpinan.
McChain & Mark Salter (2009)
mengatakan, “Demi prinsip, banyak orang baik menderita. Beberapa orang mati
demi mempertahankan prinsip. Tetapi betapapun kejam akhir kisah itu, dan mereka
punya karakter untuk menjalani hidup yang baik. Selama telah memilih dengan baik,
bertindak adil, dan memiliki karakter yang layak dalam menghadapi tantangan
pilihan, mereka tak peduli apa orang lain tahu keberanian mereka atau tidak.
Mereka tak menyerah pada nasib yang pasti terjadi. Mereka percaya bahwa nilai
mereka ialah kekuatan yang mengarahkan hidup, menerangi dunia tempat kita
menyalakan lilin-lilin kecil, sebelum pekerjaan itu selesai dan kita istirahat.
“Nama dan wajah orang-orang dungu memang sering muncul di muka publik.”
Demikian juga tentang arti kejujuran
yang dipahami Thomas More ketika menghadapi hukuman pancung, meminta waktu
sebentar untuk mengatur janggut agar tak terpotong kampak, karena
sepengetahuannya, janggutnya tak menggangu raja. Ia berkata, “saya sendiri mustahil
bersumpah, tetapi saya tak menyalahkan siapa pun yang telah bersumpah.”
Integritas mulia seperti ditunjukkan
anak manusia yang memiliki kepribadian luhur inilah seharusnya ditunjukkan para
calon-calon pemimpin di republik ini agar kejujuran, kebenaran, keadilan
terwujud dengan nyata. Bukan membangun alibi-alibi tak masuk akal untuk
menutup-nutupi kebobrokan bagaikan “kucing menyembunyikan taiknya” tanpa merasa
bersalah dan bernoda.
Mengingkari kebenaran demi isinitas
(kekuasaan, kedudukan, harta maupun uang) adalah sebuah pembohongan besar,
kemunafikan, pembodohan, manipulasi dan akal buruk paling berbahaya dalam
hidup. Dan, membuat seseorang selalu dibayangi penyesalan sepanjang masa. Hidup
tak pernah tenang, aman dan nyaman karena selalu dibayang-bayangi perasaan
bersalah dan berbohong.
Oleh karena itu, langkah-langkah
konkrit melaksanakan revolusi mental untuk
membangun integritas bangsa merupakan suatu keniscayaan yang tidak boleh
ditunda-tunda agar terlahir manusia-manusia unggul berintegritas (jujur,
bermoral, beretika) memegang tampuk
kepemimpinan di negeri ini. Tanpa revolusi mental merubah mental-mental
isinitas menjadi manusia berintegritas sangat sulit diwujudkan secara nyata.
Harus diingat, kemajuan suatu bangsa
ditentukan manusia-manusia berintegritas, bukan manusia-manusia yang bisa
dibeli isinitas. Kepribadian luhur dan mulia hanyalah milik manusia-manusia
jujur, bermoral, dan beretika. Dan di sinilah hakikat kemanusian sejati. Manusia
beradat dan beradab selalu mengedepankan kejujuran, moral dan etika, bukan
menghembuskan fitnah dan kebohongan.
Selamat
melaksanakan “Revolusi Mental”. (Penulis:
Penulis buku “Kepemimpinan” Ditinjau dari Kultur Budaya Batak-Toba).
Medan, 13 Juni 2014
Thomson
Hutasoit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar