Rabu, 03 Agustus 2016

FENOMENA POLITISASI SIMBOL ADAT BUDAYA



FENOMENA POLITISASI SIMBOL ADAT BUDAYA
Oleh : Thomson Hutasoit
Sekum Punguan Borsak Bimbinan Hutasoit, Boru, Bere Kota Medan dan Sekitarnya.
Pendahuluan.
            Menurut KBBI (2007) ”Adat adalah aturan (perbuatan dsb) yang lazim dianut atau dilakukan sejak dahulu kala. Wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, hukum, dan aturan yang satu dengan lainnya berkaitan menjadi suatu sistem. Sedangkan budaya adalah pikiran; akal budi: hasil budaya. Adat istiadat :menyelidiki bahasa dan budaya. Sesuatu mengenai kebudayaan yang sudah berkembang (beradab, maju). Sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yang sudah sukar diubah”.
            Pengertian Adat menurut Islam adalah Adat dalam bahasa Arab disebut ”adatu” yaitu suatu kebiasaan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok masyarakat, yang sering disebut tradisi. Berbagai tradisi dan pola hidup yang lahir dari kelompok etnis tertentu sebagai hasil budi daya nenek moyang mereka, yang kemudian secara turun temurun dilaksanakan oleh etnis tersebut.
            Adat menurut Kristen adalah perwujudan kebudayaan dalam bentuk aturan-aturan yang menjadi pola kehidupan dari suatu suku bangsa. Adat diyakini temuan nenek moyang diturunkan kepada generasi berikutnya.
            Adat menurut Katolik adalah aturan (perbuatan, dsb) yang lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu kala: atau wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, hukum, aturan-aturan yang satu dengan yang lainnya berkaitan menjadi suatu sistem.
            Menurut Hindu Adat (Amnaya/Svadha). Svadha adalah adat istiadat, hukum, peraturan yang berlaku di suatu tempat/daerah yang ditaati, dipatuhi dan dilaksanakan oleh masyarakat setempat.
            Menurut Buddha Adat adalah kebiasaan/tradisi dalam bahasa Palinya adalah Acinna. Umat Buddha mempunyai kebiasaan melaksanakan Samadhi/meditasi untuk mengembangkan ketenangan batin dan pandangan terang.
            Menurut Khonghucu Adat di dalam ajaran agama Khonghucu, adat dapat dipadankan dengan sebutan ”Li”/kesusilaan, dan terdapat sebuah kitab suci LI-JI (Kitab kesusilaan); yang menguraikan kesusilaan umumnya bagi penganut agama Khonghucu.
            Wejangan leluhur Batak (Batak Toba-red) mengatakan ”Oppu na jolo mertungkothon siala gundi, pinungka ni oppu na parjolo siihuthonon ni angka na parpudi” dalam terjemahan bebas mempunyai arti apa yang dibudayakan leluhur akan dilestarikan generasi berikutnya sehingga adat budaya sebagai wujud gagasan kebudayaan terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, hukum, dan aturan yang satu dengan lainnya bekaitan menjadi suatu sistem permanen tidak mudah diubah sesuai selera individu dalam suatu komunitas.
            Sebagai suatu aturan (perbuatan dsb) adat budaya harus dipandang suatu nilai budaya, norma, hukum, dan aturan memiliki kaitan dengan pranata-pranata lain dalam satu sistem sehingga seluruh pikiran, akal budi untuk membentuk suatu peradaban yaitu kemajuan (kecerdasan, kebudayaan) lahir batin yang menjadi salah satu ciri spesifik diantara bangsa-bangsa di atas jagat raya harus dilakukan dengan baik dan benar. Artinya, bahwa satu bangsa dengan bangsa lain memiliki spesifikasi (kekhususan-red) dalam kebudayaan satu sama lain, dan hal itu menjadi jati diri bangsa bersangkutan.  
            Sifat-sifat kekhususan itu selanjutnya dijadikan simbol adat budaya yakni; lambang adat budaya mengandung nilai-nilai budaya, norma, hukum, dan aturan berkaitan dalam suatu sistem nilai adat budaya yang harus dituruti serta mengikat dengan sanksi-sanksi adat budaya. Sehingga setiap individu di dalam komunitas tidak boleh bertindak sesuai selera, kemauan masing-masing, sebab sesuatu tindakan individu tidak terlepas dari sistem yang telah disepakati di dalam suatu komunitas. Setiap individu adalah bahagian dari komunitas, karena itu individu-individu tidak bisa mengatasnamakan komunitas tanpa terlebih dahulu mendapat restu atau persetujuan (kesepakatan) bersama  dari komunitas itu sendiri.
            Salah satu kearifan budaya lokal Batak Toba yang membatasi individu-individu mengatasnamakan komunitas adalah ”Ndang boi ripe-ripe gabe pangumpolan, ndang boi pangumpolan jadi ripe-ripe” artinya, tidak bisa milik bersama jadi milik pribadi atau perseorangan, sebaliknya tidak bisa milik pribadi jadi milik bersama. Batasan itu harus menjadi landasan berpikir dan bertindak bagi komunitas Batak, khususnya Batak Toba sehingga tidak ada seorang individu mana pun mengatasnamakan komunitas Batak (Batak Toba-red) menyerahkan simbol-simbol adat budaya kepada pihak lain tanpa terlebih dahulu mendapat restu, persetujuan dari pemangku (tokoh adat, marga) Batak walau dengan alasan apa pun juga.
            Akan tetapi pada era belakangan ini muncul suatu fenomena baru ditengah-tengah komunitas Batak, khususnya Batak Toba dimana simbol-simbol adat budaya Batak Toba seperti pemberian Bulang-bulang, pemberian Ulos Cenderamata, pemberian Gelar, pemberian Marga, dan aneka penghormatan lain yang merupakan simbol adat budaya terjebak muatan politis serta didasarkan pada egoisme ”tokoh-tokoh” berdasarkan status, kedudukan pada penyelenggara negara atau pemerintahan yang tidak memiliki korelasi linier dengan adat budaya Batak Toba. Karena itu, sangat rentan terjadi politisasi simbol adat budaya yang berakibat  terdegradasinya nilai-nilai adat budaya semakin akut ditengah-tengah komunitas Batak, khususnya Batak Toba  disebabkan ulah segelintir individu menjadikan ”ripe-ripe gabe pangumpolan” demi memperoleh target politik tertentu.  
            Fenomena ini perlu disiasati, dicermati, serta diwaspadai seksama sebelum mendegradasi  nilai-nilai adat budaya hingga titik nadir kepercayaan yang tidak mustahil akan memberangus nilai-nilai luhur, serta hilang  kesakralan nilai adat budaya sebagai simbol peradaban Batak, khususnya Batak Toba yang diwariskan leluhur sejak dahulu kala.  
            Leluhur Batak, khususnya Batak Toba mengatakan ”Jongjong pe adat i ndang jadi tabaon, peak pe adat i sitongka langkaan” dalam terjemahan bebas bermakna dalam keadaan apa pun, alasan apa pun, oleh siapa pun, kapan pun adat (aturan) tidak boleh dipermainkan sebab adat adalah aturan (perbuatan dsb) yang harus diturut dan dilaksanakan setiap individu dalam suatu komunitas didasarkan nilai hakiki adat budaya sebagai suatu sistem nilai dalam komunitas Batak Toba, yang harus dipertahankan serta dilestarikan dari generasi ke generasi sepanjang zaman.  
            Konsistensi menjaga, merawat, melestarikan nilai-nilai adat budaya merupakan perwujudan berkepribadian dalam kebudayaan sebagaimana dianjurkan Bung Karno dalam TRI SAKTI yakni; ”Berdaulat dalam politik, berkepribadian dalam kebudayaan, Berdiri diatas kaki sendiri/Berdikari dalam ekonomi” yang mempunyai relevansi linier dengan kearifan lokal Batak Toba ”Metmet si hapor lunjung dijujung do uluna” untuk membangun karakter mental serta jati diri ditengah-tengah pergaulan antar bangsa di atas bumi ini.  
            Bangso Batak harus pula disadari adalah salah satu bangsa memiliki peradaban sangat tinggi diantara bangsa-bangsa di dunia sebelum negeri ini diproklamasikan 17 Agustus 1945 menjadi suatu negara-bangsa (national state) merdeka sehingga tidak perlu risau, risih atau diperdebatkan bila komunitas Batak selalu menyebut dirinya Bangso Batak sebab Negara Republik Indonesia terdiri dari suku bangsa yang terdapat di bumi Nusantara jauh sebelum kemerdekaan Indonesia ada.
            Pemahaman paripurna tentang eksistensi suku bangsa di bumi Nusantara akan memperdalam pemahaman tentang arti dan makna nilai-nilai adat budaya sebagai simbol peradaban yang perlu dijaga, dirawat serta dilestarikan dari generasi ke generasi secara konsisten, berkesinambungan agar nilai-nilai adat budaya itu tidak gampang dipolitisasi untuk kepentingan politik tertentu. Sebab berkepribadian dalam kebudayaan memiliki arti, makna komprehensif paripurna membangun karakter bangsa (Nation character building) berjati diri, berdaulat serta bermartabat.  
            Oleh karena itu, fenomena politisasi simbol adat budaya yang menyimpang dari nilai-nilai luhur adat budaya hakiki walau dengan alasan apa pun harus segera dihentikan agar degradasi nilai-nilai luhur adat budaya sebagai simbol peradaban bisa dijaga, dirawat serta dilestarikan sepanjang masa. Egoisme individu berdasarkan status sosial tidak boleh sekali-sekali mengatasnamakan komunitas, sebab individu hanya lah merupakan bahagian terkecil dari komunitas, bukan sebaliknya komunitas merupakan bahagian dari individu.  
            Sebagai salah seorang generasi Batak (Batak Toba-red) penulis mengamati, mencermati kecenderungan terjadinya fenomena politisasi simbol adat budaya Batak, khususnya Batak Toba pada era belakangan ini, sehingga kerap muncul berbagai polemik ditengah-tengah bangso Batak atas pemberian simbol-simbol adat budaya kepada pihak-pihak tertentu sekaligus memicu  timbulnya multitafsir, beda persepsi, bahkan tudingan-tudingan miring dalam pemberian simbol adat budaya tersebut.  
            Untuk itu lah penulis mengajak sidang pembaca melakukan pendalaman tentang pemberian simbol-simbol adat budaya sebagai upaya konkrit meluruskan, merevitalisasi nilai-nilai luhur adat budaya Batak, khususnya Batak Toba supaya terhindar dari politisasi, komersialisasi, fitnah serta tudingan-tudingan negatif yang sangat bertentangan dengan nilai hakiki adat budaya Batak yang diwariskan nenek moyang terdahulu.  
            Wahana ruang diskusi tentang pemberian simbol adat budaya Batak hendaknya dilakukan dengan mengedepankan akal sehat sebagaimana diajarkan Plato yang dipelajari dari gurunya Sokrates yakni; ”Kalau kita memikirkan sesuatu seorang diri, hendaknya kita bercakap-cakap dengan akal sehat sendiri, seakan-akan akal sehat tadi orang lain yang juga patut dihormati sebagai juga kita sendiri. Kalau kita berdebat dengan orang lain, perdebatan itu hendaknya jangan sampai merupakan suatu pertengkaran antara kita berdua itu, melainkan merupakan usaha mencari Akal Sehat dimana kita berdua ikut serta saling tolong-menolong untuk dapat menemukan dan menangkap kebenaran yang kita berdua sedang mencari” (Gilbert Highet, 1961)
Pemberian Bulang-bulang.
            Pemberian Bulang-bulang yakni berupa seperangkat pakaian adat Batak, khususnya Batak Toba seperti ulos penutup kepala, ulos sandang, ulos penutup badan, tongkat Tunggal Panaluan sebagai perlambang penghormatan tertinggi terhadap seseorang karena memiliki kualitas istimewa ditengah-tengah masyarakat. Pemberian Bulang-bulang menyiratkan, bahwa penerimanya benar-benar seorang figur istimewa ditengah-tengah komunitas dibuktikan pengabdian paripurna seperti raja urat ni uhum, na mora ihot ni hosa (raja penegak kebenaran dan keadilan, orang kaya peduli terhadap sesama), raja panungkunan (raja tempat bertanya dalam segala hal), ulubalang (kesatria sejati), na begu (pemberani membela kebenaran dan keadilan), pargomgom (pelindung), si pungka dalan (perintis kemajuan) dan lain sebagainya. Hal itu sesuai dengan umpama Batak Toba, ”Anak na olo tu jolo do sibulang-bulangan”, artinya anak pemberani, kesatria, unggul yang pantas memperoleh penghargaan atau kehormatan. Bukan sembarang orang, yang tak memberi manfaat terhadap komunitas, walau sehebat apapun capaian prestasi, prestise pribadi. Sebab prestasi, presetise seperti itu tidak lain dan tidak bukan hanyalah uap na so marimpola atau wangi tak bermanfaat apa-apa terhadap orang lain. Karena itu, orang yang pantas diberi Bulang-bulang adalah seseorang yang telah membuktikan dirinya berguna dan bermanfaat untuk mengangkat marwah, harga diri komunitasnya secara nyata-nyata melalui ladang pengabdiannya ditengah-tengah masyarakat, bangsa maupun negara.  
            Petuah (umpasa-red) Batak, khususnya Batak Toba mengatakan, ”Tangke ma ualang garinggang jala garege, tubu ma anak partahi ulubang, boru parmas jala pareme” artinya, Batak Toba selalu mengimpikan kelahiran anak pemimpin kesatria (ulubalang-red) yaitu panglima perang (kesatria) serta boru kaya raya. Partahi Ulubalang inilah biasanya pantas dan layak menerima Bulang-bulang, karena penerima Bulang-bulang adalah pemimpin sangat dihormati (raja-red) sehingga hanya sosok luar biasa yang pantas menerima Bulang-bulang bukan sembarangan orang.   
            Pemberian Bulang-bulang terhadap seseorang tentu haruslah melalui suatu prosesi adat budaya melibatkan seluruh elemen komunitas supaya pemberian Bulang-bulang memiliki nilai sakral serta diterima, disetujui seluruh elemen komunitas. Karena Bulang-bulang merupakan salah satu simbol adat budaya Batak, khususnya Batak Toba maka tidak boleh dilakukan bersifat elitis, politis, seremonial belaka serta berdasarkan egoisme individu mengatasnamakan komunitas. Melainkan melalui suatu proses adat budaya Batak Toba serta tak terlepas dari falsafah Dalihan Na Tolu (DNT) yang menjadi landasan pola pikir dan pola tindak Batak Toba sepanjang masa.  
            Dalihan Na Tolu (Hula-hula, Dongan Tubu, Boru-red) adalah unsur dasar yang tak boleh diabaikan dalam setiap musyawarah adat budaya Batak Toba. Dan bila unsur-unsur ini tidak lengkap maka seluruh proses serta hasil-hasil musyawarah adat budaya kan menjadi cacat hukum adat. Karena itu pulalah maka somba Marhula-hula, manat Mardongan Tubu, elek Marboru merupakan kaidah dasar yang wajib dipatuhi Batak Toba sebab bila tidak demikian akan disebut tak beradat (na so maradat-red) yang merupakan cacat sosial paling berat pada Batak Toba.  
            Batak, khususnya Batak Toba selalu mengharapkan dan mengimpikan ”Hagabeon, Hasangapon, Hamoraon” dalam hidupnya, karenanya selalu beraksioma serta berikhtiar, ”molo naeng gabe ingkon somba marhula-hula, molo naeng sangap ingkon manat mardongan tubu, molo naeng mamora ingkon elek marboru”. Dengan demikian setiap individu selalu terkait dengan individu lain untuk mewujudkan ”Hagabeon, Hamoraon, Hasangapon” yang dicita-citakan dalam hidup.  
            Pada era belakangan ini eksistensi tokoh adat budaya cenderung mengalami pergeseran nilai sebab ketokohan seseorang lebih cenderung didasarkan atas status sosial atau status jabatan penyelenggara negara atau pemerintahan yang melekat pada seseorang. Padahal status jabatan di pemerintahan tidak memiliki korelasi linier dengan kapasitas, kapabilitas, kredibilitas, soliditas serta integritas nilai adat budaya komunitas Batak Toba. Artinya, walaupun seseorang menduduki jabatan prestisius di pemerintahan atau negara (presiden, menteri, DPR, DPD, gubernur, bupati/walikota serta petinggi instansi lain) bukan berarti telah memiliki kapasitas tokoh adat budaya sehingga amat sangat keliru besar jika mengkultuskan diri atau dikultuskan sebagai tokoh adat budaya dengan aneka embel-embel bersifat politis hanya karena yang bersangkutan berkedudukan tinggi di pemerintahan. Sebab ketokohan seseorang dalam adat budaya harus memenuhi berbagai kriteria sesuai ketentuan nilai luhur adat budaya. Tetapi yang paling tak masuk akal ialah ketika seseorang jadi pejabat atau petinggi penyelenggara negara atau pemerintahan dikultuskan sebagai tokoh adat budaya, tetapi ketika seseorang tidak menduduki jabatan lagi maka seketika itu pula menjadi rakyat marjinal tanpa kehormatan.  
            Perlakuan seperti itu menunjukkan betapa kental nuansa politisasi simbol adat budaya untuk kepentingan politik tertentu yang sangat kontra produktif dengan nilai luhur hakiki adat budaya warisan leluhur Batak Toba.
Grade ketokohan adat budaya tidak memiliki korelasi sama sekali dengan status jabatan di pemerintahan atau negara sehingga amat sangat keliru besar menokohkan seseorang menjadi tokoh adat budaya karena yang bersangkutan menduduki jabatan prestisius di pemerintahan atau negara. Bahkan orang tak gabe (maranak-marboru-red) pun ditokohkan asal menduduki jabatan tinggi di pemerintahan serta didaulat atau dikultuskan jadi tokoh adat budaya dengan predikat-predikat istimewa lainnya. Ini kan logika aneh jika ditinjau dari adat budaya Batak, khususnya Batak Toba ?  
Sementara menjadi Parsinabung, Parsaut, Parsinabul (juru bicara adat) pada adat Batak Toba harus memenuhi kriteria yang amat sangat berat seperti sudah membayar adat, na gabe (maranak-marboru), memahami Dalihan Na Tolu, menguasai bahasa Batak Toba, tidak duda, memahami parjambaran, tidak egois, tidak paranoid, berbudi luhur dan lain sebagainya. Sosok-sosok seperti inilah yang pantas disebut tokoh adat budaya (raja adat-red) bukan orang-orang  menduduki status sosial tinggi tak mengerti, memahami adat budaya Batak Toba.   
            Kembali pada pemberian Bulang-bulang kepada orang-orang tertentu yang merupakan simbol adat budaya haruslah menuruti prosedur sesuai nilai luhur hakiki adat budaya yang diwariskan leluhur serta dimusyawarahkan seluruh elemen Batak, khususnya Batak Toba, bukan hanya didasarkan egoisme individu yang ditengarai tak luput dari politisasi kepentingan individu, kelompok mengatasnamakan komunitas.   
Memberi Bulang-bulang kepada seseorang memiliki nilai sakral serta mempunyai konsekuensi hukum adat bersifat permanen sehingga amat sangat keliru besar apabila dilakukan sembrono, gambang, serta asal-asalan. Bila pemberian simbol adat budaya dilakukan sembrono, gampang serta asal-asalan maka nilai sakral, nilai hakiki, nilai filosofis adat budaya lama kelamaan dianggap biasa-biasa saja, bahkan tidak memiliki arti sama sekali. Hal itu tentu sangat berbahaya terhadap upaya pelestarian nilai-nilai adat budaya Batak Toba ke depan.   
            Oleh karena itu, semua pihak harus menyadari, bahwa pemberian simbol-simbol adat budaya seperti pemberian Bulang-bulang merupakan ritual adat budaya sakral berkonsekuensi hukum adat sehingga tidak boleh dilakukan serampangan apalagi dilandasi politisasi kepentingan politik tertentu. Mempermainkan simbol-simbol adat budaya untuk mendapatkan manfaat politik subyektif partisan adalah salah satu bukti kekeliruan besar sekaligus kekacauan berpikir dalam menjaga, merawat serta melestarikan nilai adat budaya. Sebab simbol-simbol adat budaya telah dijadikan komoditas politik, komoditas ekonomi yang bisa diperjualbelikan seperti barang dagangan di pasar loak.
            Tokoh-tokoh adat budaya perlu segera melakukan diskusi publik seluas-luasnya dengan melibatkan elemen-elemen Batak, khususnya Batak Toba (marga-marga-red) sebelum memberi  Bulang-bulang kepada pihak-pihak tertentu agar pemberian Bulang-bulang benar-benar bernilai adat budaya, bukan seperti barang obral bisa diperoleh di kaki lima. Simbol-simbol adat budaya adalah pusaka warisan leluhur sehingga tidak pantas diobral murahan.  
            Selanjutnya, sudah sangat diperlukan segera menentukan kriteria-kriteria siapa yang pantas menerima Bulang-bulang. Apakah boleh orang lain diluar Batak (Batak Toba-red) atau hanya orang Batak saja. Apa konsekuensi hukum adat budaya bila seseorang menerima Bulang-bulang. Sebab tanpa menentukan kriteria yang tegas dan jelas serta konsekuensi hukum adat budaya maka pemberian Bulang-bulang akan kehilangan arti dan makna hakiki sama sekali. Karena sipenerima Bulang-bulang tidak mengetahui, memahami sama sekali arti, makna Bulang-bulang yang diterima sesuai nilai adat budaya Batak. Maka begitu acara seremonial selesai  Bulang-bulang yang diterima dimasukkan ke museum sebagai barang antik koleksi pribadi.  
            Oleh sebab itu, perlu dipikirkan pembentukan lembaga permanen yang bertugas memberi Bulang-bulang melalui seleksi ketat seperti lembaga pemberian piagam penghargaan serta tanda-tanda jasa kehormatan di republik ini dengan melibatkan seluruh elemen-elemen Batak (marga-marga-red) sehingga pemberian simbol-simbol adat budaya Batak (Batak Toba-red) tidak mudah dipolitisasi untuk kepentingan politik tertentu.  
            Dengan adanya lembaga permanen mengurusi pemberian simbol-simbol adat budaya yang merupakan representasi bangso Batak, khususnya Batak Toba maka makna hakiki pemberian Bulang-bulang benar-benar merupakan ritual sakral yang harus dijaga serta dilestarikan permanen pusaka warisan dari generasi ke generasi sepanjang masa. Dengan demikian tudingan-tudingan miring bernada negatif atas pemberian Bulang-bulang kepada pihak-pihak tertentu mengatasnamakan bangso Batak bisa diminimalisir agar pemberian simbol-simbol adat budaya memiliki nilai luhur serta tidak menimbulkan pencideraan terhadap sipenerima maupun sipemberi. Karena sangat tak elegan sesuatu pemberian penghargaan (Bulang-bulang-red) justru menimbulkan ekses negatif terhadap seseorang yang menerima dengan tulus ikhlas akibat muncul kritikan-kritikan bernada negatif dari elemen-elemen komunitas bersangkutan.
            Setiap pihak harus menyadari, bahwa politisasi simbol adat budaya merupakan tindakan penghancuran sistemik terstruktur terhadap nilai hakiki simbol adat budaya yang sangat berakibat fatal terhadap upaya menjaga, merawat serta melestarikan nilai-nilai luhur adat budaya yang merupakan elemen dasar peradaban manusia di atas jagat raya ini.
Paradoks berpikir perlu diluruskan supaya nilai-nilai luhur simbol adat budaya tidak terdegradasi hingga ke titik nadir pengakuan atau persetujuan atas pemberian simbol-simbol adat budaya. Artinya, pemberian simbol-simbol adat budaya seperti Bulang-bulang dianggap hanya ulah segelintir individu dilandasi faktor subyektivitas (politik-red) sehingga tidak mengikat terhadap komunitas secara kolektif. Akibatnya, bisa timbul situasi apatis seperti ungkapan Batak-Toba mengatakan, ”Eme na masak digagat horbo, aha pe na masa paula so binoto”, artinya apa pun yang terjadi masa bodoh.   
            Situasi kondisi seperti itu tentu akan menimbulkan semakin terdegradasinya kepercayaan, pengakuan masyarakat terhadap eksistensi lembaga-lembaga adat budaya yang ada seperti Lembaga Adat Dalihan Na Tolu (LADN) dan lembaga-lembaga adat lain yang cenderung elitis serta rentan politisasi kepentingan subyektif. Bukankah lembaga-lembaga adat budaya seharusnya ditempatkan pada zona bebas pengaruh politisasi dan subyektivitas supaya lembaga-lembaga itu benar-benar berdaulat sebagai lembaga adat budaya bersifat otonom independen yang hanya berlandaskan nilai-nilai luhur adat budaya serta tidak bisa diintervensi oleh siapa pun, alasan apa pun, kapan pun dan dimana pun sebab simbol-simbol adat budaya adalah elemen peradaban komunitas warisan leluhur kepada generasi sepanjang masa.
            Eksistensi lembaga-lembaga adat budaya harus ditempatkan milik komunal (ripe-ripe-red) sehingga dalam setiap aktivitasnya harus melibatkan unsur-unsur marga Batak Toba agar lembaga adat budaya benar-benar merupakan representasi Batak Toba. Sebagai lembaga adat budaya komunal maka setiap marga mengutus perwakilan di lembaga adat budaya itu melalui musyawarah internal marga-marga Batak Toba sehingga benar-benar mendapat legitimasi dari  Batak Toba.   
            Proses demikian tentu berat dan rumit karena harus melalui proses panjang serta membutuhkan energi besar, akan tetapi inilah salah satu langkah nyata untuk merevitalisasi eksistensi lembaga-lembaga adat budaya sebagai garda terdepan menjaga, merawat serta melestarikan nilai-nilai luhur adat budaya Batak Toba. Segala sesuatu yang ditelorkan lembaga-lembaga adat budaya bila tidak mendapat pengakuan serta persetujuan dari komunitas maka produk-produk itu tak memiliki legalitas apa-apa alias tidak berarti apa-apa sama sekali.  
Pemberian Ulos.
            Ulos adalah salah satu simbol adat budaya Batak, khususnya Batak Toba memiliki nilai paling tinggi sehingga pemberian ulos tak bisa sembrono, serampangan atau asal-asalan, sebab jika dilakukan sesuka hati akan menyebabkan degradasi nilai hakiki arti dan makna pemberian ulos sebagai simbol adat budaya ditengah-tengah bangso Batak dari waktu ke waktu. Degradasi arti dan makna ulos sebagai simbol adat budaya akan berpengaruh besar terhadap nilai sakral ulos simbol adat budaya, baik di mata pemberi maupun penerima ulos itu sendiri. Artinya, bahwa pemberian ulos hanya dipandang sekadar asesoris acara seremonial hampa arti dan makna.  
            Asumsi atau pandangan demikian tentu sangat berbahaya dalam upaya menjaga, merawat  serta melestarikan simbol-simbol adat budaya yang merupakan bahagian tak terpisahkan dari ritual adat budaya simbol peradaban bangso Batak, khususnya Batak Toba. Kedangkalan pengertian, pemahaman tentang nilai filosofis, nilai kultural  simbol-simbol adat budaya ditambah lagi fenomena politisasi simbol adat budaya untuk memperoleh keuntungan politik subyektif melahirkan sudut pandang serta persepsi beraneka ragam tentang pemaknaan pemberian ulos sebagai simbol adat budaya Batak, khususnya Batak Toba.  
            Perbedaan sudut pandang atau persepsi tentang pemberian ulos sudah barang tentu mengakibatkan bias pengertian, pemahaman di internal bangso Batak, khususnya Batak Toba,  konon lagi pihak eksternal Batak yang sering menerima ulos sebagai cendramata seperti pejabat, tokoh-tokoh ketika ada acara-acara resmi kunjungan ke daerah Provinsi Sumatera Utara. Untuk itu, perlu dipahami paripurna arti dan makna  pemberian ulos sebagai simbol adat budaya  supaya nilai orisinil, nilai kultural, nilai filosofis simbol adat budaya Batak, khususnya Batak Toba bisa dijaga, dipertahankan serta dilestarikan sebagai warisan budaya.  
            Pada bangso Batak, khususnya Batak Toba ulos dikenal dalam 3 (tiga) bentuk antara lain; ulos na so ra buruk, ulos herbang, dan ulos tinonun sadari.
Ulos na so ra buruk (Pauseang).
            Ulos na so ra buruk adalah pauseang yakni; sebidang tanah (hauma = tano maraek, ladang = tano mahiang-red) yang diberikan hula-hula kepada borunya pasca perkawinan seorang anak perempuan (boru-red) sebagai konsekuensi adat sebagaimana dikenal ungkapan “Sinamot ragi-ragi ni pauseang” yaitu ketika pihak mempelai laki-laki (paranak-red) telah memberikan sinamot (mahar-red) kepada pihak mempelai perempuan (parboru-red) maka pihak parboru (hula-hula) akan memberikan ulos na so ra buruk atau pauseang berupa sebidang tanah (hauma, ladang) kepada borunya pasca pesta perkawinan (marunjuk, pasahat sulang-sulang ni pahompu huhut manggagar adat na gok).  
              Penghunjukan ulos na so ra buruk atau pauseang pada bangso Batak, khususnya Batak Toba dilakukan pada saat pesta perkawinan marunjuk (Dialap Jual, Ditaruhon Jual-red),  sedangkan pemberian atau penyerahan secara fisik barulah terlaksana setelah simempelai mempunyai keturunan (anak laki-laki-red). Sebab Batak menganut sistem garis keturunan bapak (patrilineal) atau garis laki-laki. Bentuk hak kepemilikan ulos na so ra buruk atau pauseang adalah hak pakai sehingga apabila penerima pauseang dari hula-hula berkeinginan memindahkan hak (menjual-red) akan terlebih dahulu mengembalikan (menjual-red) kepada hula-hula pemilik hak purba (hak semula, permanen-red).
             Akan tetapi pemberian ulos na so ra buruk atau pauseang pada masa-masa belakangan ini khususnya di kota, perantauan sudah semakin langka dilaksanakan sehingga bentuk ulos na so ra buruk atau pauseang tak diketahui atau sudah dianggap makhluk asing di sebahagian generasi Batak, khususnya Batak Toba saat ini. Padahal, pemberian ulos na so ra buruk atau pauseang kepada boru pasca perkawinan merupakan konsekuensi adat atas pemberian sinamot dari pihak paranak kepada pihak parboru pada pesta perkawinan (marunjuk, pasahat sulang-sulang ni pahompu huhut manggarar adat na gok).
            Sebagai simbol adat budaya berkonsekuensi hukum adat Batak, khususnya Batak Toba maka pemberian ulos na so ra buruk atau pauseang harus pula dilakukan berdasarkan adat (aturan-red) yang lazim dilaksanakan dalam prosesi pemberian ulos na so ra buruk atau pauseang  melibatkan unsur-unsur Dalihan Na Tolu (DNT) agar tidak terjadi cacat hukum adat dikemudian hari. Sebagai tatanan hukum adat Batak, khususnya Batak Toba unsur-unsur Dalihan Na Tolu (DNT) yakni; Hula-hula, Dongan Tubu, Boru dalam pemberian ulos na so ra buruk atau pauseang merupakan keharusan yang tak boleh diabaikan walau dengan alasan apa pun juga. Malah lebih baik lagi jika melibatkan Dongan Sahuta karena itulah dikenal Dalihan Na Tolu pa opat Sihal-sihal (Dongan Sahuta-red) pada bamgso Batak, khususnya Batak Toba.  
            Apabila unsur-unsur ini tidak dilibatkan pada saat pemberian ulos na so ra buruk atau pauseang maka ketika salah satu pihak melakukan wanprestasi (pengingkaran-red) maka unsur-unsur Dalihan Na Tolu (DNT) maupun Dongan Sahuta tidak bisa memberikan pertimbangan konkrit atau kesaksian penyelesaian perselisihan sengketa hukum adat dalam pemberian ulos na so ra buruk atau pauseang tersebut. Hal itu akan berakibat semakin sulit dan sukar penyelesaian perselisihan sengketa hukum adat ditengah-tengah bangso Batak, khususnya Batak Toba.  
            Pengertian, pemahaman serta pelembagaan simbol-simbol adat budaya dalam prosesi pemberian ulos na so ra buruk atau pauseang dikalangan bangso Batak, khususnya Batak Toba sudah semakin langka, bahkan terancam hilang. Padahal, hal itu merupakan tatanan hukum adat Batak (Batak Toba-red) dalam pemberian hak kepemilikan dari orang tua perempuan kepada boru yang telah dilembagakan menurut adat Batak sejak zaman nenek moyang.  
            Harus pula diingat, bahwa pemberian ulos na so ra buruk atau pauseang dari hula-hula kepada boru adalah salah satu media atau instrumen pemberian harta kepemilikan dari orang tua perempuan kepada boru yang telah dilembagakan sejak nenek moyang Batak, khususnya Batak Toba, sebab hak waris pada sistem garis keturunan patrilineal diletakkan pada anak laki-laki, bukan pada anak perempuan seperti yang dianut sistem garis keturunan mamak (matrilineal-red) di komunitas lain (Minangkabau-red).
            Oleh sebab itu, pemberian ulos na so ra buruk atau pauseang merupakan simbol adat budaya Batak, khususnya Batak Toba telah dilembagakan sejak zaman nenek moyang didasarkan nilai filosofis, nilai kultural yang menjadi tatanan hukum adat budaya dalam pemberian atau penyerahan hak kepemilikan dari hula-hula kepada boru dengan konsekuensi hukum secara konsisten, permanen serta berkesinambungan sepanjang bangso Batak, khususnya Batak Toba masih mengakui, melaksanakan hukum adat Batak sebagai tatanan hidup serta simbol peradaban.  
            Berbagai permasalahan hukum mendera bangso Batak, khususnya Batak Toba masa-masa belakangan ini berkaitan pembagian harta warisan orang tua tak terlepas dari kurangnya pengertian serta pemahaman tentang pemberian ulos na so ra buruk atau pauseang yang telah dilembagakan nenek moyang dan telah dijadikan salah satu simbol adat budaya Batak, khususnya Batak Toba dalam pemberian hak kepemilikan harta orang tua terhadap anak perempuan (boru).
            Akan tetapi, di sela-sela perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) khususnya penerapan hukum privat dan hukum publik (hukum nasional-red) yang selalu disebut-sebut menonjolkan persamaan hak asasi manusia (HAM) di segala bidang, termasuk persamaan hak waris antara anak laki-laki dengan anak perempuan, tanpa mempertimbangkan sistem garis keturunan yang menjadi pilihan berhukum bangsa-bangsa di dunia. Sementara dalam sistem hukum di republik ini dengan jelas dan tegas dikatakan bahwa hukum adat adalah hukum dasar tak tertulis selain hukum dasar tertulis (Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945-red) adalah hukum dasar yang menjadi landasan seluruh hukum serta peraturan perundang-undangan dibawahnya. Namun dalam prakteknya bangso Batak, khususnya Batak Toba pada era belakangan ini telah banyak memilih penyelesaian perselisihan sengketa pembagian harta warisan orang tua melalui pengadilan negara sehingga eksistensi hukum adat semakin terdegradasi ditengah-tengah bangso Batak, khususnya Batak Toba.   
            Penyelesaian perselisihan sengketa pembagian harta warisan melalui pengadilan negara bagi bangso Batak, khususnya Batak Toba menurut pandangan penulis bukanlah penyelesaian komprehensif paripurna, sebab akan menimbulkan ekses terputusnya hubungan kekeluargaan, kekerabatan antara hula-hula dengan boru. Sementara pada bangso Batak, khususnya Batak Toba hubungan marhula-hula marboru akan terus berkelanjutan hingga empat tingkat ke atas (hula-hula, tulang, bona tulang, bona niari-red) sehingga perlu lebih hati-hati (manat-red) seperti ungkapan “Ni langka tu jolo tinailihon tu pudi” dalam menyelesaikan perselisihan sengketa pembagian harta warisan orang tua melalui pengadilan negara.  
            Bila dalam pembagian harta warisan orang tua persamaan hak antara anak laki-laki dengan anak perempuan selalu ditonjolkan, bagaimana jika seandainya orang tua tersebut meninggalkan banyak utang, apakah anak perempuan juga menuntut persamaan hak untuk membayar hutang tersebut ? Sebab ungkapan mengatakan “Dos do nangkokna dohot tuatna” artinya, untung dan buntung harus sama. Inilah salah satu yang perlu menjadi permenungan bersama dalam kesamaan kedudukan di depan hukum (equality before the law) yang harus dipahami paripurna.
Ulos Herbang.
            Ulos adalah sebidang kain bernilai adat budaya yang diberikan pihak hula-hula kepada boru atau strata lebih tinggi dalam struktur hubungan kekeluargaan, kekerabatan (among, haha, ompung) terhadap anak, adik, cucu sebagai simbol kasih sayang disertai petuah, wejangan (umpasa, umpama-red) serta permohonan doa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar mendapat rezeki, kebahagiaan di kemudian hari.
Karena ulos merupakan simbol adat budaya Batak, khususnya Batak Toba maka pemberian ulos tidak bisa dilakukan sembrono, sesuai selera atau asal-asalan tetapi harus harus benar-benar memiliki kesakralan sesuai filosofi pemberian ulos, baik macam atau jenisnya,  sebab macam, jenis ulos memiliki arti dan makna masing-masing. Artinya, tidak sembarang ulos dapat diberikan kepada orang tertentu, melainkan disesuaikan dengan siapa penerima ulos tersebut, ulos apa akan diberikan, siapa memberikan ulos tersebut dan lain sebagainya. Sebab ulos merupakan seperangkat pakaian adat budaya Batak, khususnya Batak Toba maka perlu dimengerti, dipahami macam, ragam ulos serta cara pemakaiannya masing-masing supaya ulos yang merupakan simbol adat budaya benar-benar relevan dengan nilai filosofis, nilai kultural yang diwariskan leluhur Batak, khususnya Batak Toba. Oleh karena itu, diperlukan pengertian, pemahaman lebih mendalam tentang macam, ragam ulos serta pemakaiannya secara paripurna.  
            Beberapa macam ulos serta pemakaiannya antara lain;
1.      Ulos Jugia yaitu; sejenis ulos yang memiliki tingkatan tertinggi dari seluruh macam ulos yang dimiliki komunitas Batak, khususnya Batak Toba sehingga macam ulos ini hanya bisa dipakai oleh seseorang yang telah mencapai status saurmatua. Ulos Jugia disebut juga ulos na so ra pipot atau pinunsaan. Ulos Jugia hanya digunakan pada saat-saat tertentu serta pemakainya pun haruslah na gabe. 
2.      Ulos Ragidup yaitu; ulos yang tingkatannya dibawah ulos jugia serta pemakaiannya bisa digunakan pada acara dukacita maupun sukacita. Akan tetapi pada era belakangan ini ketika pesta perkawinan (pangoli anak, pamuli boru-red) ulos ragidup diberikan orang tua mempelai perempuan (parboru-red) kepada orang tua mempelai lalki-laki (paranak-red) sebagai ulos pansamot. Seseorang berhak menggunakan ulos ragidup bila sudah mengawinkan anak (pangoli anak, pamuli boru) karena ulos ragidup sekaligus menunjukkan status seseorang dalam adat budaya. Artinya, bila seseorang belum pernah mengawinkan anak (pangoli anak, pamuli boru-red) belum layak memakai ulos ragidup.
  1. Ulos Ragi Hotang yaitu; ulos yang biasanya diberikan orang tua mempelai wanita (hasuhuton parboru-red) kepada penganten dengan maksud agar ikatan perkawinan kuat dan berkesinambungan sebagaimana kuatnya rotan (hotang-red) alat pengikat (tali-red) sebuah benda. Filosofi rotan (hotang-red) alat pengikat (tali-red) mendasari mengapa Ulos Ragi Hotang diberikan Ulos Hela pada pesta perkawinan Batak, khususnya Batak Toba. Pada zaman sebelum ada paku maka mempersatukan segala sesuatu dilakukan dengan cara mengikat, dan alat pengikat paling kuat serta paling tahan adalah rotan, misalnyal; mengikat perangkat-perangkat bangunan (ruma, sopo, ula-ula-red) dan lain sebagainya. Sifat ikatan rotan yang kuat dan tahan seperti itu menjadi sebuah harapan dari orang tua mempelai perempuan (parboru-red) terhadap menantunya (hela-red) dalam perkawinan mereka. Oleh sebab itu, filosofi pemberian ulos ragi hotang menjadi ulos pengantin (hela) dilandasi harapan agar ikatan perkawinan penganten teguh dan langgeng kelangsungan perkawinan hingga ke akhir hayat. Pengertian serta pemahaman filosofi demikian mempertegas mengapa ulos ragi hotang  adalah ulos pengantin (hela-red).
  2. Ulos Sadum yaitu; ulos yang penuh warna-warni ceria sehingga sangat cocok dipakai pada suasana gembira atau sukacita (marlas ni roha-red) serta paling banyak dipakai perempuan (ina, parompuan-red). Ulos Sadum bercorak ceria sering diberikan kenang-kenangan atau cendramata kepada orang-orang tertentu,  bahkan dijadikan asesoris hiasan di dalam rumah. Bila diperhatikan pada pesta-pesta perkawinan (marunjuk, pasahat sulang-sulang ni pahompu huhut manggarar adat na gok-red) Ulos Sadum diberikan sebagai ulos Sihutting Ampang serta ulos holong. Sehingga Ulos Sadum merupakan jumlah paling banyak diberikan pada pesta perkawinan Batak, khususnya Batak Toba karena ulos sadum memiliki corak indah dan ceria maka ulos ini sering diberikan  kenang-kenangan kepada pihak-pihak tertentu.  
5.      Ulos Runjat yaitu; ulos yang biasanya digunakan orang kaya atau orang terpandang sebagai ulos sandang (edang-edang-red) ketika menghadiri undangan. Ulos semacam ini juga bisa diberikan ketika ada pesta-pesta syukuran (mangupa-upa-red) seperti tardidi, malua sian panghangkungi, dapot na ni luluan jumpa na jinalahan, paebathon pahompu dan lain-lain.
6.      Ulos Sibolang yaitu; ulos yang dapat digunakan pada saat sukacita maupun dukacita. Bila situasi sukacita maka Ulos Sibolang motifnya lebih didominasi warta putih, sedangkan ketika dukacita maka motifnya didominasi warna hitam. Pada acara perkawinan Ulos Sibolang dipakai sebagai tutup ni ampang yang warna putihnya lebih mendominasi dari warna hitam dan jenis ulos inilah yang disebut Sibolang Pamontari.
7.      Ulos Suri-suri Ganjang yaitu; jenis ulos raginya seperti sisir (suri-red) memanjang dan ukurannya pun lebih panjang dari jenis-jenis ulos lain sehingga penyebutan ulos suri-suri ganjang sesuai dengan motif dan ukuran panjangnya. Ulos Suri-suri Ganjang bisa juga diberikan sebagai ulos penganten. Ulos Suri-suri Ganjang dipakai sebagai ulos sandang (ampe-ampe, hande-hande-red) oleh hula-hula ketika acara margondang dan ulos inilah yang dipergunakan pihak hula-hula manggabei borunya sehingga Ulos Suri-suri Ganjang disebut juga ulos sabe-sabe.
8.      Ulos Mangiring yaitu; ulos yang melambangkan kesuburan dan kesepakatan dengan corak atau ragi saling beriringan. Ulos ini biasanya diberikan sebagai kain gendongan (ulos parompa-red) dari ompung, tulang dan lain sebagainya ketika seorang cucu lahir. Filosofi ulos ini adalah agar Tuhan Yang Maha Kuasa memberikan adik-adik (laki-laki, perempuan) lahir beriring-iringan sebagaimana ragi ulos mangiring tersebut. Selain daripada itu Ulos Mangiring dapat juga dipakai oleh laki-laki sebagai ikat kepala yang disebut tali-tali atau detar. Sedangkan bila perempuan yang menggunakannya sebagai penutup kepala  disebut saong-saong atau tudung. Pada acara pengukuhan gelar (mampe goar-red) Ulos Mangiring dijadikan Bulang-bulang yang diberikan hula-hula kepada borunya. Akan tetapi bila pengukuhan gelar untuk anak sulung maka jenis ulos yang digunakan adalah Ulos Bintang Maratur sebab anak sulung diharapkan mampu untuk mengatur, mengayomi, membimbing seluruh adik-adiknya.
9.      Ulos Bintang Maratur yaitu; ulos yang menggambarkan bintang teratur. Secara filosofis jejeran bintang yang teratur satu sama lain menggambarkan keharmonisan, patuh, rukun, seia sekata dalam hubungan keluarga dan kerabat sehingga pemberian Ulos Bintang Maratur kepada seseorang bermakna permohonan doa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa kiranya sipenerima ulos selalu harmonis dengan seluruh keluarga dan kerabat di kemudian hari. Jenis ulos seperti ini lazim diberikan sebagai ulos parompa ketika anak lahir khususnya  anak sulung (anak panggoaran-red). Selain daripada itu, Ulos Bintang Maratur dipakai juga pakaian sehari-hari sebagai ulos sandang (hande-hande, ampe-ampe-red) juga sebagai tali-tali bagi laki-laki atau saong bagi perempuan (parompuan-red) sehingga penggunaan Ulos Bintang Maratur tidak tergolong ulos khusus (namarhadohoan-red).
10.  Ulos Sitolutuho yaitu; ulos yang hanya dipakai ikat kepala atau selendang perempuan. Jenis ulos ini tidak mempunyai makna khusus dalam adat budaya, kecuali bila diberikan sebagai ulos parompa ketika anak lahir. Ulos Sitolutuho hanyalah ulos tambahan sehingga tidak termasuk kategori ulos spesifik, melainkan ulos tambahan (panoropi-red) dari keluarga atau kerabat jauh.
11.  Ulos Jungkit yaitu; ulos yang dihiasi dengan permata. Ulos ini disebut juga ulos na nidongdang atau ulos purada. Ulos Jungkit biasanya dipakai oleh anak gadis dari keluarga raja-raja sebagai hoba-hoba yang dipakai hingga batas dada. Juga pada saat menerima tamu pembesar atau pada waktu acara perkawinan. Karena permata sudah semakin langka untuk menghiasi ulos maka diganti dengan cara manjungkit (mengkait, membordir) benang ulos tersebut.
Selain macam, jenis ulos telah diuraikan pada bangso Batak, khususnya Batak Toba masih banyak lagi jenis ulos lain diantaranya adalah; Ulos Ragi Panei, Ragi Hatirongga, Ragi Ambasang, Ragi Sidosdos, Ragi Sampurborna, Ragi Siantar, Ragi Sapot, Ragi Siimput ni hirik, Ulos Bolean, Ulos Padang Rusa, Ulos Simata, Ulos Happu, Ulos Tukku, Ulos Lobu-lobu, dan lain-lain (Ulos Batak, Jakarta, 2004).
Keseluruhan macam, jenis ulos ini adalah Ulos Herbang dihasilkan tenun tradisional Batak, khususnya Batak Toba yang didasarkan nilai filosofis sehingga di dalam pemakaiannya harus selalu disesuaikan dengan situasi kondisi aktual ketika ulos tersebut diberikan. Pemberian ulos yang merupakan simbol adat budaya Batak, khususnya Batak Toba memiliki nilai kultural, nilai filosofis sehingga tak boleh sembrono, serampangan atau asal-asalan sebab setiap macam atau jenis ulos mempunyai arti dan makna masing-masing.
Akan tetapi pada era belakangan ini pengertian serta pemahaman tentang ulos dan pemakaiannya sudah semakin dangkal sehingga pemberian serta pemakaian ulos cenderung seremonial saja tanpa mengerti dan memahami arti, makna hakiki ulos tersebut. Bahkan motif-motif ulos sudah dijadikan model pakaian konveksi tanpa mengerti dan memahami apakah motif ulos tersebut sesuai dengan pemakainya. Misalnya, motif Ulos Ragidup dijadikan baju atau model jas dimana pemakainya masih belum Sarimatua, Saurmatua sebagaimana status penerima Ulos Ragidup menurut adat budaya Batak, khususnya Batak Toba.  
Bila ditinjau dari sisi peningkatan perkembangan kemajuan industri tekstil bermotif ulos rekayasa motif ulos menjadi pakaian atau konveksi merupakan hal positif sehingga pertumbuhan tenun tradisional (martonun-red) serta industri tekstil modern berbasis kearifan lokal (motif ulos-red) menjadi sebuah peluang baru untuk meningkatkan pendapatan di sektor pertenunan atau industri tekstil. Tetapi harus diingat bahwa capaian keuntungan keekonomian dari pakaian atau konveksi bermotif ulos tidak mustahil akan mendegradasi nilai kultural, nilai filosofis dari ulos itu sendiri di kemudian hari. Artinya, nilai adat budaya yang terkandung pada ulos Batak, khususnya Batak Toba akan semakin terkikis, bahkan hilang sama sekali. Nilai kultural, nilai filosofis, nilai sakral ulos sebagai simbol adat budaya Batak, khususnya Batak Toba tidak bisa lagi dipertahankan serta dilestarikan sebagaimana mestinya.  
Hal itu, perlu menjadi perhatian serta pemikiran bersama seluruh bangso Batak, khususnya Batak Toba sehingga tidak menimbulkan paradoks dalam upaya menjaga, merawat dan  melestarikan simbol-simbol adat budaya sebagai pertanda peradaban Batak, khususnya Batak Toba di kemudian hari. Oleh sebab itu, langkah-langkah komprehensif paripurna menjaga, merawat. melestarikan ulos serta pemakaiannya sudah sangat diperlukan segera sebelum arti dan makna ulos terdegradasi hingga titik nadir.  
Fenomena politisasi ulos yang merupakan salah satu simbol adat budaya Batak, khususnya Batak Toba pada era belakangan ini patut dicermati seksama karena eksistensi ulos telah dipandang dari berbagai sudut berbeda. Bahkan telah dipersepsikan dari sudut pandang negatif sehingga eksistensi ulos sebagai simbol adat budaya bernilai kultural, filosofis semakin terdegradasi di mata bangso Batak, khususnya Batak Toba.
Politisasi berdasarkan kepentingan subyektif menjadikan ulos bukan lagi simbol adat budaya bernilai kultural, folosofis sebagaimana diwariskan leluhur Batak, khususnya Batak Toba. Ulos telah dijadikan komoditas politik, komoditas ekonomi, komoditas religi dan lain sebagainya, akibatnya eksistensi ulos sebagai simbol adat budaya semakin mengalami degradasi nilai orisinalnya dari waktu ke waktu.
Salah satu contoh nyata adalah pemberian ulos cendramata kepada pejabat-pejabat negara atau pemerintahan serta tamu-tamu asing yang berkunjung ke Sumatera Utara dimana para pejabat tersebut diberi cendramata berupa ulos Batak, khususnya Batak Toba (Ulos Sadum-red) oleh pemerintah daerah Provinsi Sumatera Utara maupun tokoh-tokoh adat sebagai bentuk penghargaan atas kunjungan tersebut. Pemberian ulos cendramata seperti itu menyiratkan bahwa Batak dipandang sebagai tuan rumah di Provinsi Sumatera Utara sehingga ulos yang merupakan simbol adat budaya Batak diberikan kepada tamu-tamu terhormat yang datang ke daerah Provinsi Sumatera Utara.
Akan tetapi pada sudut pandang berbeda Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Sumatera Utara berornamen Batak dan telah menjadi simbol daerah Provinsi Sumatera Utara dihilangkan pasca pembangunan gedung baru DPRD Provinsi Sumatera Utara tahun 2010 lalu tanpa dilandasi payung hukum untuk merubah simbol-simbol daerah. Sehingga amat sangat tak masuk akal apabila pemerintah daerah Sumatera Utara, tokoh adat, tokoh masyarakat sangat bernafsu memberi Ulos Batak sebagai cendramata kepada pejabat-pejabat yang datang ke daerah Provinsi Sumatera Utara, sementara simbol Gedung DPRD Sumatera Utara berornamen Batak telah dihancurkan tanpa penjelasan terbuka dan transparan kepada masyarakat Sumatera Utara.
Apakah wajar dan relevan memberi Ulos Batak cendramata sebagai penghargaan terhadap tamu-tamu terhormat ke daerah ini, sementara disisi lain simbol Provinsi Sumatera Utara (gedung DPRDSU-red) berornamen Batak telah dihancurkan atau dihilangkan ? Inilah salah satu bukti fenomena politisasi simbol adat budaya yang perlu dicermati seksama.  
Nuansa politik terhadap politisasi simbol-simbol adat budaya harus diwaspadai secara seksama agar tidak terulang lagi penghilangan simbol-simbol daerah yang sudah menjadi lambang spesifik serta terlembagakan melalui legalitas peraturan perundang-undangan ataupun peraturan daerah (Perda).
Sangat disayangkan, disela-sela upaya pelestarian simbol-simbol adat budaya justru terjadi penghancuran situs-situs adat budaya seperti nasib gedung DPRD Sumatera Utara berornamen Batak. Sifat paradoks, ambivalen, ambigu merupakan ancaman nyata terhadap simbol-simbol adat budaya dalam upaya menjaga, merawat dan melestarikan adat budaya yang didengung-dengungkan pemerintah, pemerintah daerah hanyalah penghias bibir (lips service) serta retorika belaka. Karena apabila pemerintah ingin menjaga, merawat serta melestarikan simbol-simbol adat budaya sebagai situs-situs sejarah maka penghancuran bangunan-bangunan bersejarah harus dihentikan dengan tegas melalui peraturan perundang-undangan ataupun peraturan daerah (Perda) dengan sanksi hukum yang jelas dan tegas pula.   
Sebagai simbol adat budaya pemberian Ulos Batak tentu sangat keliru besar apabila terjebak pada nuansa politisasi kepentingan politik subyektif partisan dan setiap pihak harus menyadari, bahwa tindakan itu merupakan tindakan tak terpuji karena akan menghancurkan nilai kultural, nilai filosofis simbol-simbol adat budaya itu sendiri. Pengertian, pemahaman demikian menjadi landasan dasar dalam pemberian ulos cendramata kepada pihak mana pun sehingga nilai sakral ulos sebagai simbol adat budaya benar-benar bisa dipertahankan serta dilestarikan sepanjang zaman.   
Ulos Tinonun Sadari (Ulos-ulos = Hepeng).
Ulos Tinonun Sadari atau Ulos-ulos adalah berbentuk uang (hepeng-red) yang merupakan salah satu jenis parjambaran pada adat Batak Toba, sebab jenis parjambaran ada tiga yakni ;  jambar hata, jambar juhut, jambar hepeng. Ungkapan Batak-Toba mengatakan, ”Molo tangkas di parsoburan, tumangkasan ma di parjampalan, Molo dung tangkas di partuturan, tangkas ma nang di parjambaran” artinya, bila sudah jelas hirarki silsilah atau tarombo maka dalam pembagian parjambaran pun sudah tidak salah lagi, sebab parjambaran adalah silsilah atau tarombo.
Dalam pelaksanaan pesta perkawinan adat Batak Toba tidak semua keluarga, kerabat,dan sanak famili mendapat ulos herbang sebagaimana telah diuraikan pada poin ulos herbang maka keluarga, kerabat, dan sanak famili yang belum mendapat ulos herbang akan mendapat Ulos Tinonun Sadari atau Ulos-ulos dalam bentuk uang.
Ulos Tinonun Sadari atau Ulos-ulos juga merupakan hak dan kewajiban paranak dan parboru dalam pesta perkawinan adat Batak Toba. Artinya, pihak paranak berhak meminta Ulos Tinonun Sadari atau Ulos-ulos kepada pihak parboru, sebaliknya, pihak parboru berkewajiban memberi Ulos Tinonun Sadari atau Ulos-ulos kepada keluarga, kerabat,  serta sanak famili pihak paranak.
Walau demikian, hendaknya Ulos Tinonun Sadari atau Ulos-ulos tidak terlalu luas dan melebar agar tidak melebihi jumlah panandaion yang diterima pihak parboru dari pihak paranak. Oleh sebab itu, Ulos Tinonun Sadari atau Ulos-ulos sebaiknya meliputi; paidua ni suhut, ompu martinodohon, dongan tubu atau tingkat marga, boru, bere/bebere, pariban atau paramaan pariban, dongan sahuta, dongan sapadan bila ada, ale-ale, pemerintah setempat, atau maksimal 10 kelompok (10 hali manggorahon-red) supaya tidak bertele-tele dan memakan waktu banyak.
Makna Ulos Tinonun Sadari atau Ulos-ulos adalah melengkapi Ulos Herbang sebab tidak semua keluarga, kerabat, serta sanak famili pihak paranak mendapat Ulos Herbang, sehingga diusulkan (diparjambarhon-red) bagi keluarga, kerabat serta sanak famili yang belum mendapat Ulos Herbang akan mendapat Ulos Tinonun Sadari atau Ulos-ulos. Sebab bagi bangso Batak Toba alangkah mengecewakan serta menyakitkan bila tidak mendapat parjambaran (ndang diparjambarhon-red) dalam suatu pesta adat.
Parjambaran bukan masalah materi an sich tetapi parjambaran adalah hak adat budaya  berdasarkan silsilah atau tarombo sehingga bila tidak mendapat parjambaran akan dimaknai pelecehan, penyepelean hak adat budaya, pengabaian harga diri serta tamu tak diundang (raja na ro-red) yang tidak berarti apa-apa.  
Pengertian serta pemahaman tentang hak dan kewajiban adat budaya tidak boleh sekali-sekali disepelekan, dilupakan, diabaikan sebagaimana makna hati-hati (manat-red) Mardongan Tubu yang merupakan salah satu unsur Dalihan Na Tolu (DNT) yakni; Manat Mardongan Tubu, Somba Marhula-hula, Elek Marboru. Selain daripada itu, salah satu sifat istimewa bangso Batak adalah mempertahankan martabat, harga diri seperti ungkapan mengatakan, ”Metmet sihapor lunjung, dijujung do uluna” yang bermakna sekecil apapun bangso Batak pantang disepelekan. Martabat, harga diri merupakan hal paling esensial fundamental dalam kehidupan bangso Batak, karena itu pula lah dimana pun bangso Batak selalu menunjukkan jati dirinya.   
Bangso Batak selalu melaksanakan hak dan kewajiban semaksimal mungkin, bukan hanya pintar menuntut hak, tapi juga pandai dan cerdas menunaikan kewajiban seperti ungkapan mengatakan, ”Dos do nangkokna dohot tuatna” atau ”Holi-holi ni bondut, holi-holi niutahon” yakni bila mau menuntut hak harus mau menunaikan kewajiban. Sebab bila ada hak tentu ada juga kewajiban dalam melaksanakan adat budaya maupun kehidupan sehari-hari.   
                                                                                    Medan, 18 September 2014

                                                                                    Drs. Thomson Hutasoit.       
                      
                   
           
               
             
           
           

1 komentar:

  1. Horas amang,saya ojak parulian sagala,saya termasuk yang tidak terlalu mengerti adat,mau bertanya mengenai pemakaian ulos,jd pendek cerita, ada pimpinan saya yang meminta kain kepada seseorang,lalu diberikan lah ulos,yg saya juga kurang paham jenis ulos,yang jelas digunakan lah oleh pimpinan saya ini sebagai taplak meja,yang saya pengen tau apakah ada ulos yg dapat dipakai sebagai taplak?lalu bagaimana aturan tentang itu,tolong masukannya amang

    Klo saya bertanya ke orang tua saya,saya takut nya akan marah besar,karena orang tua saya termasuk tokoh adat,trimakasih amang.

    BalasHapus