Jumat, 19 Agustus 2016

Akankah Danau Toba Tersenyum ?



Akankah Danau Toba Tersenyum ?
Oleh: Thomson Hutasoit
Direktur Eksekutif LSM Kajian Transparansi Kinerja Instansi Publik (ATRAKTIP)

Pendahuluan.
Pemiihan judul tulisan ini mungkin menimbulkan pertanyaan di benak sidang pembaca yang budiman, sebab sejatinya judul tulisan ini adalah sebuah pertanyaan antara realita denga retorika bercermin pada “hikayat” perjalanan nasib Danau Toba dari masa ke masa layaknya lagu-lagu yang didendangkan penyanyi jaman dulu (jadul-red) hingga jaman saiki yang sangat sulit membedakan kualitasnya. Kadangkala disadari atau tidak sebuah lagu hanyalah penyedap pendengaran (telinga-red) tanpa benar-benar memahami arti dan makna hakiki yang terkandung dalam syair lagu tersebut, sehingga lagu tersebut tidak lain dan tidak bukan hanyalah penyedap pendengaran (telinga) hampa makna.
Demikian halnya dengan Danau Toba yang bukan barang baru dalam diskusi, seminar, kampanye politik, perbincangan di kedai kopi, dan lain sebagainya telah menimbulkan berbagai kesangsian terhadap berbagai agenda, program retorika, sebab publik telah lelah mengikuti pembahasan, perbincangan terhadap pengembangan Danau Toba yang tak kunjung nyata selama ini. Berbagai agenda, program pengembangan Danau Toba dengan menghabiskan dana signifikan telah digelontorkan berbagai pihak, seperti pemerintah, pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah kabupaten/kota se- Sumatera Utara, namun perkembangan kemajuan sekitar Danau Toba tetap biasa-biasa saja alias tak ada sama sekali. Bahkan yang terjadi adalah eksploitasi Danau Toba menyebabkan Danau Toba menangis dan mengerang sepanjang masa.
Sebagaimana artikel penulis di SKI ASPIRASI edisi 25/12/2009 dengan judul ‘Tangisan Danau Toba’ mengatakan, “Dolok ni Hutaginjang, panatapan tu Tao Toba. Debata parbanua ginjang mangungkap mata, roha ni jolma manisia. Terjemahan bebas, Bukit Hutaginjang tempat memandang ke Danau Toba, Tuhan di tempat maha tinggi membuka mata, hati manusia” adalah sebuah doa dan permintaan kepada Tuhan Yang Maha Esa agar mengutus pemimpin yang terbuka ‘mata, telinga, hati’ mengembangkan Danau Toba beserta seluruh potensi sekitar Kaldera Toba supaya tanah leluhur (Bona Pasongit-red) bangso Batak tidak lagi menyandang predikat “peta kemiskinan” yang menjadi stigma negatif (turik ngenge-red) terhadap seluruh generasi Batak dimanapun berada.
Tangisan Danau Toba sejatinya adalah akibat ambivalensi kebijakan pemerintah, pemerintah daerah menyebabkan “Danau Toba Diantara Dua Kutub” sebagaimana judul artikel penulis di SKI ASPIRASI, 29/05/2012 lalu. Dalam artikel tersebut penulis menurunkan ungkapan (umpama-red) Batak Toba mengatakan, “Timbo pe Pusuk Buhit, ditoruna do Tao Toba. Sai mandao ma angka sahit, sai ro ma las ni roha”. “Tao Toba aek natio, hagodangan ni porapora. Dao tano di ranto, Tao Toba tung so lupa sian roha”. “Tabo pe dengke jahir, Ihan do dengke Batak. Godang mandok marpingkir, Tao Toba tong rotak”. Ungkapan ini adalah sebuah harapan sekaligus kritik atas kebijakan kontradiktif antara Danau Toba destinasi wisata dengan Danau Toba peternakan ikan. Sebab fakta dan bukti berbicara keramba jala apung (KJA), limbah ternak, limbah domestik, penggundulan hutan, baik legal maupun illegal sepertinya terjadi “pembiaran” menjadikan tangisan, erangan Danau Toba semakin menjadi-jadi tanpa jawaban yang pasti.  
Berbagai gerakan komunitas pencinta Danau Toba, baik niat tulus ikhlas maupun ada udang dibalik batu (sarat kepentingan-red) tumbuh subur bagaikan jamur di musim penghujan sehingga Danau Toba bagaikan gadis cantik nan molek tak pernah sepi dari ‘partandang’ walau hanya sekadar menikmati kecantikan dan kemolekannya. Buktinya, pada saat-saat kontestasi politik (kampanye pemilihan-red) gubernur, presiden apalagi legislatif Danau Toba dijadikan menu kampanye menarik suara rakyat sekitar Kaldera Toba. Akan tetapi, begitu kontestasi usai, Danau Toba dilupakan dan/atau ditinggalkan begitu saja tanpa alasan, sehingga menambah rintihan Danau Toba semakin menggema hingga ke penjuru dunia.
Danau Toba bukanlah makhluk pintar dan pandai berwacana, beretorika sebagaimana kecerdikan dan kemahiran para pihak ‘pengeksploitasi’ di negeri ini. Namun demikian, sehebat apapun kemampuan manusia berkamuflase harus menyadari tak seorang pun mampu menghindarkan diri dari kekuatan alam semesta, sehingga sangatlah keliru besar dan sesat pikir mengeksploitasi Danau Toba dengan berbagai kemunafikan kebijakan. Karena itu, pelestarian, pengembangan, pengelolaan Danau Toba, termasuk agenda besar cerdas jenial mengajukan Geopark Nasional Kaldera Toba menjadi Taman Bumi Dunia UNESCO harus benar-benar terpadu, terintegrasi dengan seluruh potensi sekitar Kaldera Toba melalui legalitas perlindungan hak masyarakat hukum adat (MHA), baik berbentuk undang-undang maupun peraturan daerah (Perda) supaya setiap orang memikul hak dan kewajiban yang jelas dan tegas.
Danau Toba dari Waktu ke Waktu.
Jika diperhatikan cermat dan seksama, Danau Toba adalah sebuah magnit yang menarik perhatian sejumlah pihak, baik positif maupun negatif. Satu sisi Danau Toba dijadikan “sapi perah” bagi pihak-pihak tertentu seperti; sumber pendapatan negara maupun sumber pendapatan daerah provinsi, kabupaten/kota melalui annual fee, ABT/APU, CD, CSR, ataupun retribusi lingkungan. Berbagai pendapatan ini telah mendorong egoisme daerah merasa paling berhak memperoleh bahagian, tanpa kompensasi pelestarian, pengelolaan, pengembangan Danau Toba secara signifikan, proporsional.  
Berbagai agenda, program retoris yang tak signifikan mengangkat dan mengembangkan Danau Toba kerap digelontorkan, baik oleh pemerintah, pemerintah daerah, maupun komunitas mengatasnamakan Danau Toba adalah sebuah taktik strategi meraup keuntungan, baik finansial maupun politis menjadikan Danau Toba sebuah menu tak pernah sepi dibicarakan dari waktu ke waktu. Menuding, menyalahkan pengelolaan, pengembangan Danau Toba di ruang publik, seminar, diskusi tanpa solusi nyata sudah tak barang asing lagi. Karenanya, Danau Toba salah satu menu paling seksi dalam debat kusir yang sama sekali tak bermanfaat menjawab tangisan Danau Toba semakin nyaring ke seluruh penjuru alam semesta.
Polarisasi pemikiran antara destinasi wisata dengan peternakan ikan adalah sebuah debat berkepanjangan, sebab masing-masing kubu membentangkan dalil-dalil argumentasi piawi untuk membenarkan agendanya. Hal itu pulalah menjadikan Danau Toba berada diantara dua kutub yakni; Desatinasi wisata vs Peternakan Ikan. Polarisasi inilah sejatinya perlu mendapat solusi serta persamaan persepsi agar Danau Toba tidak selalu dipersimpangan jalan seperti selama ini.
Sebagai “harta karun” anugerah Tuhan Yang Maha Esa bagi bangsa Indonesia, kususnya provinsi Sumatera Utara, terkhusus lagi masyarakat sekitar Kaldera Toba, hal paling fundamental esensial dipikirkan ialah menyamakan persepsi Danau Tob dijadikan apa ?
Pertanyaan ini penting dan fundamental, sebab fakta dan bukti menunjukkan ambivalensi kebijakan yang berlangsung dari waktu ke waktu selama ini. Tarik menarik kepentingan telah “merobek-robek” wajah Danau Toba yang indah nan molek berubah “compang camping” sehingga tak memiliki daya pikat lagi bagi wisatawan, baik domestik maupun internasional.
Harta karun karunia Tuhan Yang Maha Esa bagi bangsa Indonesia di belahan barat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dari waktu ke waktu selalu mengalami pasang surut dalam kebijakan publik, sehingga Danau Toba ditempatkan pada titik antara penting dan tidak, perlu dan tak perlu oleh pihak-pihak pengambil kebijakan di negeri ini. Dan itulah sejatinya makna umpama, “Tabo pe dengke jahir, ihan do dengke Batak. Godang mandok marpingkir, Tao Toba tong rotak”. Berpikir sekadar wacana, retorika tanpa langkah konkrit atau realita tidak akan pernah menghentikan “Tangisan Danau Toba”, malah membuat tangisan, erangannya semakin bertambah nyaring hingga menembus dinding kesadaran paling dalam terhadap harta karun ini.  
Sebagai anak bangsa, khususnya putera Batak Toba yang dilahirkan di kawasan Kaldera Toba sungguh kesal dan kecewa atas “penelantaran” Danau Toba selama ini sehingga selalu berteriak menyuarakan kekeliruan kebijakan pelestarian, pengelolaan, pengembangan Danau Toba “Ikon” Provinsi Sumatera Utara selama ini. Selaku putera daerah Kaldera Toba tak pernah rela dan setuju bila Bona Pasogit Batak dijuluki “peta kemiskinan” karena keliru “menelantarkan” Danau Toba sumber pendapatan maha dahsyat bagi bangsa Indonesia, secara khusus masyarakat sekitar Kaldera Toba. Karena itulah selalu memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa agar menunjuk pemimpin yang mampu mendorong dan mengembangkan Danau Toba sumber penghidupan, kemakmuran, kesejahteraan bangsa Indonesia, khususnya masyarakat sekitar Kaldera Toba.
Menyimak dan memaknai Thema HUT Kemerdekaan RI ke 71 yang dicanangkan Presiden Joko Widodo atau Jokowi “INDONESIA KERJA NYATA” dan dikaitkan rencana “Karnaval Danau Toba 21 Agustus 2016” yang akan dihadiri langsung Presiden Joko Widodo maka penulis hakkul yakin “Tangisan Danau Toba” akan segera berhenti. Tinggal pertanyaannya sekarang ialah sejauhmana kesiapan stakeholders Danau Toba mendukung dan memberhasilkan kemauan kuat dan niat tulus ikhlas presiden pro rakyat ini agar tidak lagi sekadar wacana dan retorika seperti selama ini.
Momentum ini harus dijadikan langkah konkrit titik awal pengembangan Danau Toba sebagai salah satu upaya nyata mengubah “peta kemiskinan” menjadi tanah idaman, impian, kawasan kemakmuran, kesejahteraan bagi umat manusia di dunia, bangsa Indonesia, khususnya kawasan Kaldera Toba karunia Tuhan Yang Maha Esa.
Masyarakat sekitar Kaldera Toba bersyukur dan berterima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa telah menunjuk Presiden Joko Widodo atau Jokowi yang lahir dari rahim rakyat menjawab “Tangisan Danau Toba” dengan langkah konkrit mengembangkan kawasan Kaldera Toba melalui Perpres Nomor 49 tahun 2016 tentang Badan Otorita Pengelolaan Kawasan Pariwisata Danau Toba (BPOKPDT) yang ditandatangani Presiden Joko Widodo tanggal 1 Juni 2016, dan diundangkan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly pada tanggal 13 Juni 2016 lalu.
Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 49 tahun 2016 adalah bukti nyata kemauan kuat Presiden Joko Widodo mengembangkan kawasan Kaldera Toba, sebab beliau tau Bona Pasogit Batak tidak seharusnya “peta kemiskinan” melainkan “tanah harapan” impian seluruh insan manusia di atas planet ini yang menyimpan sejarah peradaban manusia di atas bumi.
Era Kebangkitan Kaldera Toba.
Kawasan Kaldera Toba seharusnya tak masuk akal jika disebut “peta kemiskinan” apabila setiap orang menyadari Danau Toba anugerah maha besar Tuhan Yang Maha Esa terhadap bangsa ini. Danau tekto-vulkanik terbesar di Indonesia dan Asia dengan ukuran panjang 100 km dan lebar 30 km adalah salah satu wisata alam dengan panorama indah dan molek seharusnya salah satu primadona pendapatan dari sektor pariwisata jika dikelola dan dikembangkan profesional.
Selain panorama indah dan molek kawasan Kaldera Toba menyimpang situs-situs sejarah peradaban manusia, flora dan fauna serta tumbuhan endemik sangat penting bagi kehidupan manusia masih bisa ditemukan di sekitar Kaldera Toba. Namun potensi-potensi maha dahsyat ini belum dikelola efektif untuk meningkatkan taraf hidup apalagi salah satu sumber kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat sekitar. Terobosan cerdas dan jenial masih belum dilakukan maksimal, profesional sehingga potensi-potensi itu tinggal potensi belaka. Padahal, jika pemerintah daerah sekitar kawasan Kaldera Toba mampu membangun koordinasi atau kerjasama antar daerah, termasuk membangun “Marketing Regional” untuk mempromosikan, “menjual” potensi keunggulan Danau Toba maka kawasan Kaldera Toba menjadi salah satu kawasan strategis destinasi pariwisata yang berdaya pikat tinggi di mata investor.
Setiap pemerintah daerah di kawasan Kaldera Toba harus menyadari, bahwa pengembangan Danau Toba tidak boleh bersifat parsial, melainkan sebuah kawasan terpadu, terintegrasi, berkesinambungan yang memerlukan finansial besar, sehingga tak bisa menonjolkan ego daerah masing-masing. Harus disadari mengembangkan Danau Toba mengandalkan kemampuan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) kabupaten sekitar Kaldera Toba adalah sebuah kemustahilan belaka. Karena itulah terobosan Pemerintahan Joko Widodo-HM Jusuf Kalla melalui menteri-menterinya sungguh merupakan langkah cerdas jenial yang ditindaklanjuti Perpres 49 tahun 2016.
Mantan Menko Kemaritiman dan Sumber Daya Rizal Ramli, Menko Polhukam (kini Menko Kemaritiman dan Sumber Daya-red) Luhut Binsar Panjaitan dan Menteri Pariwisata Arief Yahya yang mendorong bupati di kawasan Danau Toba untuk duduk bersama patut diapresiasi sekaligus sebuah langkah konkrit mengembangkan Danau Toba salah satu destinasi wisata di belahan barat Indonesia.
Luhut Binsar Panjaitan selaku Menko Kemaritiman dan Sumber Daya menggantikan Rizal Ramli yang notabene putera kawasan Kaldera Toba menurut pandangan penulis mempertegas komitmen kuat Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengembangkan kawasan Kaldera Toba secara serius sesuai Thema HUT RI ke 71 “INDONESIA KERJA NYATA”.
Karena itu, pemerintah daerah serta seluruh masyarakat kawasan Kaldera Toba benar-benar menyambut, mendukung niat tulus Pemerintahan Joko Widodo-HM Jusuf Kalla dengan sepenuh hati, sebab baru kali inilah kawasan Kaldera Toba menjadi prioritas nasional dalam kebijakan pembangunan secara konkrit.
Menjadikan pembangunan, pengembangan kawasan Danau Toba prioritas pembangunan nasional adalah titik awal kebangkitan Bona Pasogit bangso Batak  sekaligus “kado” HUT Kemerdekaan Republik Indonesia ke 71 agar kawasan ini tidak lagi menyandang predikat “peta kemiskinan”.
Terima kasih Presiden Joko Widodo, selamat datang di tanah leluhur bangso Batak. Horas !
“Tao Toba tao natio, hagodangan ni porapora. Horas ma Presiden Joko Widodo, nunga marlas ni roha kawasan Kaldera Toba”.
Medan, 18 Agustus 2016
Thomson Hutasoit.
(Tulisan ini sebagai ungkapan terima kasih sekaligus menyambut kedatangan Presiden Joko Widodo atau Jokowi pada Karnaval Khatulistiwa Pesona Danau Toba 2016 Puncak Perayaan HUT ke 71).       
         

Tidak ada komentar:

Posting Komentar