Minggu, 24 Mei 2015

Melahirkan KPK Jilid IV



Melahirkan KPK Jilid IV
Oleh: Thomson Hutasoit
Direktur Eksekutif LSM Kajian Transparansi Kinerja Instansi Publik (ATRAKTIP)

            Satu hari pasca peringatan Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) 20 Mei 2015 Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengumumkan panitia seleksi (Pansel) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Jilid IV terdiri dari; Destry Damayanti (Ketua Pansel merangkap anggota), Enny Nurbaningsih (Wakil Ketua Pansel merangkap anggota), Yenti Garnasih, Supra Wimbarti, Natalia Subagyo, Diani Sadiawati, Meuthia Ganie-Rochman, Karkristuti Harkrisnowo, Betti Alisjahbana, sebagai anggota dengan kepakaran di bidang disiplin ilmu hukum pidana, hukum tata negara, hukum bisnis, ekonomi manajemen organisasi, sosiologi, psikologi, dan tata kelola pemerintahan, menjadi sebuah terobosan menandai kebangkitan baru di negeri ini.  
             Secara harfiah arti melahirkan ialah mengeluarkan anak dari kandungan (KBBI, 2007) sehingga amat sangat tepat terminologi berpikir yang digunakan Presiden Jokowi memilih 9 (sembilan) Kartini-Kartini muda republik ini sebagai Pansel KPK untuk melahirkan komisioner KPK Jilid IV melanjutkan pemberantasan korupsi yang menjadi interuptor terwujudnya janji-janji proklamasi yakni; masyarakat makmur, sejahtera, serta berkeadilan hingga di usia 70 tahun kemerdekaan Indonesia.   
            Ada adagium klasik menyatakan, “buah yang baik terlahir dari pohon yang baik” atau “bibit yang unggul berasal dari inang unggul”. Artinya, anak yang baik dilahirkan oleh ibu yang baik. Karena sungguh sangat mustahil seorang ibu tidak baik diharapkan melahirkan anak yang baik. Dan jika ada anak yang baik dilahirkan oleh seorang ibu  tidak baik, itu hanyalah kekecualian belaka. Sebab buah tak jauh jatuh dari pohonnya.   
            Panitia seleksi (Pansel) KPK adalah “Ibu” yang akan melahirkan komisioner-komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Jilid IV untuk mencegah, menindak, menghentikan tindak pidana korupsi menggerogoti urat nadi bangsa serta mencoreng wajah negeri ini sebagai salah satu negara terkorup di dunia.   
            Sadar atau tidak “Ibu Pertiwi” telah lama menangis melihat perilaku anak-anaknya yang telah berubah wujud menjadi “predator” memangsa sesama anak bangsa melalui tindakan koruptif menggerogoti harta kekayaan negara. “Ibu Pertiwi” menangis melihat anak-anaknya masuk hotel prodeo, dikerangkeng jeruji besi akibat dirasuki nafsu kuasa, nafsu harta, serta penyelewengan amanah menjadikan negeri ini bagaikan gurun pasir tandus tanpa harapan dan asa. Ibu Pertiwi menyesal melahirkan anak-anaknya yang harus berakhir diterali besi penjara akibat tamak, loba, serakah menimbum harta dan kuasa.  
Putera-puteri yang seharusnya melindungi segenap bangsa dan seluruh rakyat Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta menciptakan perdamaian dunia berdasarkan kemerdekaan dan keadilan sosial malah berperilaku sebaliknya hingga menimbulkan aib tak terhingga sebagai salah satu negara terkorup di dunia menjadikan “Ibu Pertiwi” kehilangan muka.
Sejarah kebangkitan bangsa 107 tahun silam yakni; Gerakan Budi Utomo 20 Mei 1908 melahirkan putera-puteri pejuang kemerdekaan tampaknya terulang kembali satu  hari pasca peringatan Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) 20 Mei 2015, tepatnya 21 Mei 2015 dimana Presiden Joko Widodo mengumumkan Panitia Seleksi (Pansel) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diisi Sirikandi-Srikandi Indonesia untuk melahirkan komisioner KPK Jilid IV.  
Panitia seleksi (Pansel) KPK yang ditunjuk dan ditetapkan Presiden Jokowi adalah perempuan-perempuan Indonesia yang telah menunjukkan prestasinya di bidang masing-masing selama ini. Kartini-Kartini muda ini adalah “Ibu” yang mampu melahirkan anak-anak unggul (KPK) sesuai dengan dambaan seluruh rakyat Indonesia.  Mereka bukan sekadar “ibu” mampu melahirkan, tetapi “Ibu” yang mampu melahirkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berdasarkan asupan kapasitas, kapabilitas, kredibilitas, integritas, serta netralitas yang mereka tunjukkan selama ini. Mereka adalah para pendidik, praktisi, penatalaksana mumpuni yang terbebas dari subyektivitas hingga mampu melahirkan komisioner KPK tak “bermahar” politik.   
Sungguh luar biasa terobosan Presiden Joko Widodo mengembalikan arti melahirkan kepada perempuan-perempuan Indonesia untuk Melahirkan KPK Jilid IV ketika sebahagian besar elite politik di negeri ini hanya berpikir, “siapa untuk siapa, apa untuk siapa” walau tak pernah malu bersuara lantang tentang independensi.  
Bila 107 tahun lalu “Ibu Pertiwi” mampu melahirkan Gerakan Budi Utomo yang menjadi Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) maka harapan  seluruh rakyat Indonesia  kepada 9 (sembilan) Srikandi Indonesia (Pansel KPK) mampu melahirkan komisioner-komisioner KPK untuk memotori Gerakan Kebangkitan Nasional Jilid II yakni; Pemberantasan korupsi mengembalikan martabat dan harga diri bangsa di mata internasional.
Seorang Ibu yang baik ditandai kemampuannya melahirkan anak-anak yang baik, sehingga 9 (sembilan) Srikandi pilihan Presiden Joko Widodo 21 Mei 2015 sebagai Pansel KPK harus mampu Melahirkan KPK Jilid IV sesuai harapan seluruh rakyat Indonesia.  
Ibu Pertiwi sudah lama menunggu kelahiran anak-anaknya yang mampu membawa kebangkitan dari keterpurukan, kini momentum itu berada ditangan 9 (sembilan) Srikandi Indonesia untuk melahirkan “Panglima Perang Korupsi” yang gagah berani memerangi ketidakadilan di negeri ini. Walau bertarung nyawa melahirkan anak seorang ibu tak pernah takut mengambil resiko demi kesinambungan sejarah. Inilah salah satu keistimewaan sang ibu dan tak satu pun laki-laki di dunia ini memilikinya. Karena itu, tidak ada alasan meragukan Pansel KPK (9 Srikandi) pilihan  Presiden Joko Widodo untuk melahirkan KPK Jilid IV menggelorakan pemberantasan korupsi di negeri ini.  
Selamat dan sukses Gerakan Kebangkitan Nasional Jilid II, kita sambut Kelahiran KPK Jilid IV yang akan dilahirkan Srikandi-Srikandi Indonesia.   

                                                                                                Medan, 22 Mei 2015
                                                                                                Thomson Hutasoit.   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar