Sabtu, 15 Maret 2014



Bagian Kedua
Kepemimpinan Kerakyatan.

Secara garis besar tipologi kepemimpinan bisa dibedakan atas  dua jenis, yakni; kepemimpinan kerakyatan dan kepemimpinan elitis. Pembagian itu ditinjau dari sisi orientasi kepemimpinan yang diterapkan di masyarakat, bangsa maupun negara.
Orientasi kepemimpinan dimaksud ialah apakah kepemimpinan itu dijalankan sesuai keinginan, kehendak  rakyat, atau justru sebaliknya,  berdasarkan keinginan, kehendak pemimpin beserta konco-konconya.      
Kepemimpinan kerakyatan ialah suatu kepemimpinan yang didasarkan pada kehendak, keinginan rakyat. Karena itu, seorang pemimpin harus mengetahui, memahami denyut kebutuhan, kepentingan rakyat secara konkrit.
 Dengan demikian,  seorang pemimpin  adalah penjelmaan kehendak rakyat, sekaligus jawaban atas situasi kondisi masyarakat  secara riil.   
             Seorang pemimpin tentu membutuhkan pengetahuan, pemahaman paripurna tentang apa yang diperlukan atau dibutuhkan rakyat. Ketika seorang pemimpin menyuarakan, melontarkan sebuah ide, gagasan atau kebijakan akan mendapat respon positif dari seluruh rakyat karena seluruh ide, gagasan, visi atau kebijakan dilahirkan sesuai dambaan, harapan, kehendak  rakyat itu sendiri. Dalam situasi seperti ini lah otensitas seorang pemimpin tampak dengan nyata di mata rakyat.     
            Seorang pemimpin harus memiliki gagasan, visi, kebijakan yang dijabarkan dari sebuah ideologi, ajaran atau pemikiran yang dapat diterima rakyat sebagai suatu kebenaran.
Suatu ide, gagasan atau visi besar yang diucapkan seorang pemimpin memiliki daya magnit membangkitkan semangat (spirit) masyarakat,  bangsa. Dan di sini lah salah satu peran penting kehadiran seorang pemimpin terhadap kehidupan masyarakat, bangsa maupun negara. Salah satu contoh konkrit ialah isi ideologi Soekarno, bukan pikiran ideal yang tidak kena mengena dengan situasi nyata.
Pada Soekarno ideologi merupakan tanggapan atas realitas pengalaman rakyat dalam sistem kolonial. Soekarno tidak bertolak dari ide untuk merancang realitas; sebaliknya, mengalami realitas kolonial menuntunnya untuk merumuskan ideologi. Jadi, apa yang dikatakannya adalah hasil membaca dan mengamati keadaan nyata sedang terjadi.  
            Dukungan rakyat terhadap ideologi Soekarno merupakan indikasi, bahwa suara dan cita-cita mereka terwakili dalam ideologi itu. Rakyat seolah mendengar suara mereka. Dan kritikannya, kritik rakyat tersuarakan. Ia menyebut dirinya ”mulut” dan ”telinga” rakyat, suatu penamaan yang bukan tanpa dasar. (Pdt. Dr. Ayub Ranoh, 2006).
            Semakin besar kemampuan seorang pemimpin menangkap, menyerap, memahami denyut hati rakyat maka semakin otentik lah kepemimpinan kerakyatan melekat pada dirinya. Karena, kepemimpinan kerakyatan bukan sekadar klaim pencitraan diri yang tidak memiliki korelasi dengan tindakan nyata  keberpihakan pada keinginan, kehendak,  kepentingan rakyat.    
            Kepemimpinan kerakyatan juga tercermin dari sejauhmana hubungan batin antara seorang pemimpin dengan yang dipimpin. Sehingga sangat mudah  membuktikan, apakah seseorang itu benar-benar pemimpin kerakyatan atau justru sebaliknya pemimpin elitis.
            Kepemimpinan kerakyatan yang lahir dari rahim rakyat tentu sangat mengetahui, memahami  kebutuhan, keinginan rakyat melalui pengalaman, serta pengindraan langsung kehidupan rakyat. Oleh sebab itu, apa yang dialami, dirasakan rakyat merupakan bahagian dari kehidupannya sendiri yang harus diselesaikan atau dituntaskan.  
            Seorang pemimpin kerakyatan tak pernah membangun tembok pemisah antara dirinya dengan rakyat, melainkan berusaha mendekatkan diri serta gemar mendengarkan, menyerap aspirasi rakyat seluas-luasnya.  
Selanjutnya, menjabarkan berbagai aspirasi itu ke dalam program atau kebijakan pemerintahan sebagai rencana aksi (action plan) beserta  langkah-langkah konkrit untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi rakyat.    
            Pemimpin kerakyatan tak pernah takut dan/atau menghindari diri dari rakyat. Karena itu,  tidak menginginkan berbagai aturan protokoler kaku yang menimbulkan jurang pemisah antara dirinya dengan rakyat yang dipimpin.  
            Beberapa contoh pemimpin di negeri ini yang tidak terlalu suka  protokoler kaku, antara lain; Presiden RI pertama Ir. Soekarno atau Bung Karno, Presiden RI Keempat KH. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, Gubernur Sumatera Utara EWP. Tambunan, Walikota Surakarta Solo yang kini menjadi Gubernur DKI Jakarta  2012-2017 Joko Widodo (Jakowi), Walikota Surabaya Tri Rismaharini, dan lain-lain. Pemimpin-pemimpin ini sangat dekat dengan rakyat, suka mendengarkan aspirasi, serta peduli nasib orang lain. Mereka tak ingin terpisah dari rakyat yang dipimpin menjadikan kehadirannya benar-benar dirasakan secara nyata.   
            Pemimpin kerakyatan mampu menangkap, menyerap, memahami dan menjabarkan keinginan rakyat secara konkrit karena mereka mau mendengarkan jeritan rakyat dengan hati tulus ikhlas, serta menjadikan aspirasi rakyat itu sebuah rencana aksi dalam program atau kebijakan pengabdian nyata. Keperpihakan itu lah yang melahirkan ekspektasi rakyat semakin meningkat dari waktu ke waktu.    
            Pemimpin kerakyatan bukan lah pakar teori belaka yang dibangun dari asumsi-asumsi, postulat-postulat, melainkan melahirkan ideologi, rencana, program, visi-misi melalui penginderaan empiris pengalaman rakyat. Sehingga program atau kebijakan yang ditelorkan adalah inventarisasi berbagai masalah sekaligus solusi nyata. Bukan sekadar retorika pragmatis bertujuan membangun pencitraan diri sebagaimana dilakonkan para pemimpin elitis di negeri ini.   
            Salah satu hal istimewa dari Presiden Amerika Serikat  Ricard M. Nixon (30 april 1973) ketika terjadi skandal Watergate yang memaksa dirinya mengundurkan diri bulan Agustus 1974. Ia mengatakan “…Apapun yang ditimbulkan oleh kasus ini sebelumnya, dan betapa pun tidak patutnya kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan berkaitan dengan skandal kotor ini, saya ingin agar rakyat Amerika, saya ingin Anda semua tahu bahwa di balik bayangan keraguan yang muncul selama masa jabatan saya selaku presiden, keadilan akan ditregakkan secara penuh, jujur, dan tidak memihak, terlepas dari siapa pun yang terlibat.
Jabatan ini merupakan kepercayaan suci dan saya bertekad untuk menjaga kepercayaan itu.  
            Dalam setiap organisasi, orang yang berada di puncak haruslah memikul tanggung jawab. Oleh karenanya, tanggung jawab atas semua masalah ini ada di sini, di kantor ini. Saya menerimanya. Dan saya bersumpah pada Anda malam ini, dari kantor ini, bahwa saya akan melakukan apa saja dalam batas kekuasaan saya untuk memastikan, bahwa yang salah akan diadili, dan pelanggaran serupa takkan terjadi lagi dalam proses politik kita di tahun-tahun mendatang, jauh sesudah saya meninggalkan kantor ini”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar