Jokowi Melanjutkan Revolusi Belum Selesai
Oleh : Thomson
Hutasoit
Direktur Eksekutif
LSM Kajian Transparansi Kinerja Instansi Publik (ATRAKTIP)
Pendahuluan.
Mandat pencapresan Jokowi menyebar ke seluruh penjuru
Nusantara, bahkan ke penjuru dunia bagaikan sang surya menembus relung-relung
kegelapan memberi sinar terang membuka tabir selubung ruang gelap berbangsa,
bernegara hingga umur manofause belum
mampu menepati janji-janji proklamasi yakni; mewujudkan masyarakat adil,
makmur, sejahtera, tanpa kecuali.

Di sela-sela kegusaran, kegundahan, kefanikan,
kebimbangan, ketakutan pihak-pihak kompetitor pemilihan presiden (Pilpres) yang
akan berhadapan dengan Joko Widodo atau Jokowi, ternyata tak diduga-duga muncul
sifat dan sikap inkonsistensi, buruk rupa, sesat pikir para ambisius calon
presiden hingga mengeluarkan statement politik
tak masuk akal yang patut diduga
cerminan ketakpercayaan diri
berkompetisi secara fair dengan
mantan Walikota Solo, Gubernur DKI Jakarta yang terbukti mendapat simpatik
rakyat di seluruh penjuru Nusantara. Padahal, sebelum Jokowi memperoleh boarding pass menuju kursi Presiden
Republik Indonesia 2014-2019 selalu dipuja-puji para politisi di negeri ini,
termasuk berbagai survey menempatkan
elektabilitas Jokowi di peringkat tertinggi mengungguli tokoh-tokoh yang telah
lama ‘menjual diri’ serta mengeksplorasi tebar pesona, penciteraan diri tak
masuk akal di berbagai media massa di negeri ini.
Taktik strategi pembusukan politik terhadap Jokowi pun
mulai dilancarkan para calon pesaing Pilpres dengan harapan simpatik masyarakat
terhadap Jokowi semakin menurun, bahkan hilang sama sekali. Rupa-rupanya,
taktik strategi pembusukan politik seperti itu sangat mudah terbaca, diketahui
oleh masyarakat. Taktik strategi pembusukan
politik seperti itu sangat kampungan dan merupakan gaya berpolitik kumuh tak beradab.
Rakyat
telah pintar, cerdas melihat, mengetahui, memahami sosok-sosok calon pemimpin
nasional dari rekam jejak (track record)
masa lalu para calon presiden yang bergentayangan di iklan-iklan media
elektronik, maupun media cetak. Rakyat semakin cerdas melihat, mengetahui
siapakah yang layak dan pantas didaulat menjadi calon presiden 2014 melalui
pemahaman seperti dikatakan Stephen P. Robbins PhD (2009), “Prediktor terbaik
perilaku seseorang di masa depan ialah perilakunya di masa lalu” yang
berkorelasi linier dengan kearifan lokal Batak-Toba, “Tarida do imbo sian
soarana, Tarboto do gaja sian bogas ni patna, Tandaon do jolma sian
pangalahona”. Artinya, sehebat apapun upaya seseorang membangun citera diri ataupun
tebar pesona, noda, noktah masa lalu tidak bisa dihilangkan dari memori
masyarakat yang telah mengalami perlakuan itu.
Tebar pesona, penciteraan diri hanyalah sebuah masker
penyesatan berpikir yang dilancarkan untuk menutupi noda, noktah di masa lalu.
Misalnya, aktor pelanggar hak asasi manusia (HAM), menyakiti rakyat, koruptor,
maniak kuasa di masa lalu kini muncul di garda terdepan berteriak lantang
menyuarakan perjuangan kepentingan rakyat adalah suatu kebohongan dan
pembodohan teselebung untuk meraih simpatik rakyat. Mereka memosisikan rakyat
pengidap penyakit “agnosia” sehingga lupa atas tindakan-tindakannya di masa
lalu. Asumsi itu, sangat keliru besar dan mimpi di siang bolong.
Situasi kondisi seperti inilah yang terjadi di saat-saat
bergulirnya pemilihan legislatif (Pileg) ataupun pemilihan presiden (Pilpres)
2014 mendorong penulis mencoba mendalami makna kata yang melekat pada nama Joko
Widodo atau Jokowi. Setelah berpikir lebih dalam, ternyata Jokowi adalah “Jolak Komitmen Watak Indonesia“ yang
memiliki arti dan makna “Kobaran api
Komitmen Watak Indonesia” untuk Melanjutkan Revolusi Belum Selesai yang
dititipkan Bung Karno kepada seluruh anak bangsa supaya tujuan pendirian negara
yang termaktub dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yaitu; melindungi seluruh
bangsa Indonesia dan segenap tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,
ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan dan
perdamaian abadi dan keadilan sosial, bisa
terwujud nyata. Dengan demikian, kebahagiaan seluruh rakyat yang merupakan makna
sejati kemerdekaan yang diperjuangkan para pendiri bangsa bisa dihadirkan segera.
Bung Karno mengatakan, “Ku titipkan bangsa ini kepada
mu”. Amanah itu, kini memiliki momentum ruang yang tepat dan sosok yang tepat
melalui “Jolak Komitmen Watak Indonesia (Jokowi)” yang telah
membuktikan diri pemimpin mencintai rakyat dan dicintai rakyat mulai dari
Walikota Solo, Gubernur DKI Jakarta. Karakter kerendahan hati, kesahajaan, kejujuran,
keberanian, konsistensi, konsekuen serta menjadikan istananya untuk rakyat
membuka harapan baru yang didambakan seluruh rakyat Nusantara semakin bergelora.
Ketika
penulis menjadi salah satu narasumber pendidikan dan latihan (Diklat) Jurnalistik
surat kabar terbitan Jakarta di Tuktuk Siadong, Kabupaten Samosir tahun 2010
lalu bersama Drs. Sabam Leo Batubara sesepuh tokoh pers nasional, J. Siallagan
BSc, Pemimpin Redaksi salah satu surat kabar terbitan Medan berpandangan, bahwa
sudah saatnya bupati/walikota, gubernur yang berprestasi di daulat menjadi
pemimpin nasional atau presiden pada pemilihan presiden (Pilpres) 2014 ini. Kepemimpinan
berjenjang bupati/walikota jadi gubernur, gubernur jadi presiden berdasarkan
pertimbangan capaian prestasi ketika memangku jabatan adalah salah satu pola
seleksi obyektif sekaligus penghargaan kepada kepala-kepala daerah berprestasi
untuk memegang jenjang kepemimpinan lebih tinggi. Partai-partai politik, serta
lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya perlu mendorong perubahan sistem
rekruitmen calon pemimpin nasional melalui rekam jejak (track record) prestasi ditengah-tengah masyarakat sehingga terlahir
pemimpin yang amanah, mumpuni, membawa bangsa ini menjadi bangsa unggul berdaya
saing di percaturan antar bangsa-bangsa.
Pandangan itu didasarkan pada logika sangat sederhana
yakni; bila seorang bupati/walikota berhasil atau berprestasi memimpin daerah
kabupaten/kota maka dia paling layak dan pantas memimpin provinsi atau sebagai
gubernur. Selanjutnya, bila seorang gubernur mampu menunjukkan prestasinya
memimpin provinsi maka dia paling layak dan pantas diberi kepercayaan memimpin
bangsa atau presiden. Jenjang kepemimpinan seperti itu sekaligus mencerminkan
kecerdasan anak-anak bangsa untuk memilih dan menentukan pemimpinnya
berdasarkan kredibilitas, kapabilitas, kapasitas, integritas teruji, terbukti
dengan nyata ditengah-tengah kehidupan rakyat. Sebab, sungguh keliru besar bila
masih “membeli kucing dalam karung” serta alasan tebar pesona, penciteraan diri
melalui kebaikan palsu ataupun politik transaksional dalam memilih pemimpin.
Oleh sebab itu, politisi, partai politik, tokoh
masyarakat, tokoh agama, tokoh pemuda, tokoh pendidikan, cendikiawan, pers, LSM
dan lain-lain perlu memberi pencerahan, pendidikan politik rakyat dalam memilih
dan menentukan pemimpin bangsa, sekaligus meluruskan kampanye negatif (negative campaign) ataupun kampanye hitam
(black campaign) yang dilancarkan
pihak-pihak diselimuti kegusaran, kegalauan, kegundahan, kefanikan, ketakutan
terhadap kompetitor lain yang menimbulkan kebingungan masyarakat memilih dan/atau
menentukan pemimpin bangsa pada pemilu 2014.
Seluruh
elemen bangsa sudah saatnya mengedepankan kepentingan bangsa di atas
kepentingan pribadi, kelompok, golongan maupun partai politik tertentu.
Kampanye negatif, kampanye hitam, politik transaksional yang merupkan cerminan
berpolitik kumuh tak beradab harus segera diakhiri, sehingga seluruh partai,
kandidat, baik legislatif maupun capres harus menghindari diri melancarkan
kampanye seperti itu. Dan para kandidat yang melancarkan kampanye negatif,
kampanye hitam tak pantas dan layak dipilih jadi pemimpin di republik ini.
Statemen tendensius, sentimen negatif apalagi saling serang-menyerang,
menjelek-jelekkan, melancarkan fitnah antar partai politik, antar caleg, antar
capres sudah tak ampuh lagi dilancarkan untuk meraih simpatik rakyat. Berkompetisi
berdasarkan komptensi, kemampuan, kecerdasan, kejenialan menawarkan visi-misi
mengembalikan kedaulatan rakyat secara nyata agar bangsa ini bisa bangkit dari
berbagai keterpurukan, baik dalam politik, hukum, ekonomi, kebudayaan adalah pertanda nyata
kenegarawanan seseorang calon pemimpin dambaan rakyat saat ini.
Selain daripada itu, para kandidat harus memahami bahwa
rakyat saat ini sudah pintar dan cerdas menentukan pilihan melalui pengenalan
karakter moral, mental para kandidat yang bertarung. Ada musang berbulu ayam,
harimau berbulu kambing, koruptor berteriak lantang memberantas korupsi,
pelanggar HAM tampil pembela HAM, dan lain-lain yang rekam jejak (track record) nya telah direkam dalam
memori rakyat.
Melanjutkan
Revolusi Belum Selesai
Sekitar enam tahun
lalu penulis menurunkan artikel di media massa terbitan Medan dengan judul
‘Nasionalisme Jilid Dua’ yang merupakan wujud ”Melanjutkan Revolusi Belum
Selesai” sebagaimana diamanahkan
Bung Karno. Judul itu cukup menarik perhatian para pembaca ketika itu.
Buktinya, banyak pembaca menghubungi penulis mempertanyakan tentang pilihan
judul artikel mengapa sampai menurunkan artikel seperti itu. Ada yang
mengatakan, bukankah nasionalisme tak begitu perlu penting lagi diperbincangkan
di era millennia ini ?
Pertanyaan seperti itu, tidak lah tabu, malah sangat
masuk akal bila dilihat dan dikorelasikan dengan kerja-kerja politik yang
muncul pada babak kedua perjalanan bangsa yang sangat mengagung-agungkan serta
mendewa-dewakan pihak asing dalam kebijakan negara belakangan ini. Kebutuhan
dasar yang seharusnya bisa dipenuhi dari produk-produk domestik justru di impor
dari Negara asing karena para pemangku kekuasaan berkarakter rente. Kedaulatan pangan yang
memosisikan rakyat berdaulat menyediakan kebutuhannya, digeser menjadi
ketahanan pangan yang membuka peluang impor bahan-bahan kebutuhan primer asalkan
ketersediaan pangan terjamin, tidak jadi soal dari mana pun datangnya. Inilah
salah satu kekeliruan negara agraris, maritim yang tak mampu mengenali
kekuatannya secara paripurna.
Berbagai kekeliruan kebijakan dikompensasi melalui
pemberian bantuan sosial dari pemerintah, sebut saja beras rakyat miskin
(Raskin), bantuan langsung tunai (BLT), bantuan langsung sementara masyarakat
(BLSM), serta berbagai kompensasi lain atas kenaikan harga bahan bakar minyak
(BBM) seolah-olah pemerintah sangat peduli dengan rakyatnya. Belum lagi
berbagai kebijakan retoris pragmatis tak masuk akal yang menjadikan rakyat
semakin tak berdaulat di negeri sendiri. Misalnya, pendewaan investasi asing
yang telah merambah hingga sektor-sektor bersentuhan dengan hajat hidup orang banyak yang jelas-jelas dilarang pasal
33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 sebagaimana telah
dipikirkan matang para pendiri bangsa.
Bila para pendiri bangsa mampu melahirkan nasionalisme
Indonesia melalui Gerakan Budi Utomo 1908, Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928,
Proklamasi 17 Agustus 1945 lahirnya negara-bangsa merdeka, berdaulat yaitu
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan Pancasila, Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia 1945, menjunjung Bhinneka Tunggal Ika dengan tujuan
melindungi seluruh bangsa Indonesia, seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, ikut melaksanakan ketertiban
dunia berdasarkan kemerdekaan dan perdamaian abadi dan keadilan sosial, justru
semakin dipersimpangan jalan atau semakin menyimpang tak karu-karuan hingga
bangsa ini menjelma menjadi sebuah negara berdaulat tanpa kedaulatan.
Padahal,
para pendiri bangsa telah menyatakan dengan tegas bahwa kemerdekaan hanyalah
jembatan emas yang harus di isi
kerja-kerja politik atau program pembangunan menuju cita-cita proklamasi
kemerdekaan mewujudkan kemakmuran, kesejahteraan, keadilan, kebahagiaan seluruh
rakyat, tanpa kecuali.
Para pendiri bangsa memahami paripurna bahwa kemerdekaan
hanyalah pantas disebut sebuah kemerdekaan bila rakyatnya tebebas dari
kemiskinan, kebodohan, ketertinggalan, terbebas dari rasa takut, diskriminasi,
terbebas dari dominasi dan intervensi pihak asing, serta aneka perampasan
kedaulatan dari tangan rakyat. Berbagai kasus-kasus perampasan hak masyarakat
hukum adat dan tanah ulayat yang didukung legalitas menyimpang dari konstitusi
adalah bukti nyata kekeliruan kebijakan penguasa korup yang tidak memahami arti
dan/atau tujuan kemerdekaan yang diperjuangan para pendiri bangsa di masa lalu.
Para
pendiri bangsa mengorbankan harta dan nyawa untuk merebut kemerdekaan agar
terbebas dari cengkeraman kolonial, kapitalistik, imperialis, yang merampas
harta kekayaan bumi Nusantara serta menyengsarakan rakyat di negeri ini selama
ratusan tahun. Kesamaan nasib penderitaan itulah kemudian mendorong lahirnya ‘Nasionalisme Jilid Satu’ yakni; pergerakan merebut
kemerdekaan dari tangan penjajah kolonial.
Tetapi
ketika kemerdekaan telah sah berada di tangan bangsa Indonesia, justru aneka
penjajahan sesama anak bangsa muncul kembali semata-mata didasari maniak
berkuasa dari para oportunis politik yang selalu berupaya memecah belah bangsa
ini demi kepentingan politiknya. Akibatnya, cita-cita proklamasi kemerdekaan
semakin menyimpang dari tujuan hakikinya. Perebutan kekuasaan cenderung bukan
lagi diarahkan untuk menepati janji-janji proklamasi yakni; mewujudkan
masyarakat makmur, sejahtera, dan berkeadilan, tanpa kecuali. Melainkan,
pertarungan egoisme berkuasa dan maniak kekuasaan dengan menghalalkan segala
cara. Padahal, peluang berdaulat di segala segmen kehidupan rakyat amat sangat
terbuka seluas-luasnya bila para pemimpin di negeri ini berkemauan kuat mengisi
kemerdekaan melalui program perkuatan kedaulatan rakyat secara nyata. Bangsa
ini memiliki berbagai keunggulan spesifik bila dibandingkan dengan
bangsa-bangsa lain, tetapi keliru menggunakannya dengan baik dan benar untuk
menjadi negara merdeka berdaulat di mata dunia internasional. Kekeliruan,
kesalahan itu malah menjadikan republik ini “Misteri Negara Salah Urus”.
Memperbaiki, meluruskan kekeliruan, kesalahan
berbangsa-bernegara seperti itulah disebut ‘Nasionalisme Jilid Dua’ yang harus segera
dilakukan pemimpin bangsa untuk “Melanjutkan Revolusi Belum Selesai” yang
diamanahkan dan dititipkan Bung Karno kepada seluruh elemen bangsa yang masih mencintai
republik ini.
Musuh
“Nasionalisme Jilid Dua” adalah kemiskinan, kemelaratan, kebodohan,
ketertinggalan, kualitas kesehatan buruk, intimidasi, rasa takut, diskriminasi
hak asasi manusia (HAM), ketidakadilan, korupsi, kolusi, nepotisme,
penyelewengan kekuasaan, dominasi asing, yang menghambat hadirnya kemakmuran,
kesejahteraan dan kebahagiaan bangsa.
Pemilu
2014, baik pileg maupun pilpres merupakan momentum strategis memilih dan/atau
menghadirkan pemimpin-pemimpin bangsa yang mampu mengembalikan kedaulatan di
tangan anak-anak Ibu Pertiwi secara nyata. Bukan sekadar memilih pemimpin pintar dan piawi melancarkan
retorika pragmatis yang tidak berarti apa-apa untuk memperbaiki dan/atau
meluruskan kekeliruan, kesalahan dalam berbangsa-bernegara selama ini.
Karena
itu, momentum Pemilu 2014 harus mampu digunakan sebaik-baiknya sarana memilih,
menghadirkan pemimpin-pemimpin bangsa yang memiliki kredibilitas, kapasitas,
kapabilitas, integritas, keberanian, kecerdasan, kejenialan “Melanjutkan
Revolusi Belum Selesai” yakni; kedaulatan di segala segmen perikehidupan
berbangsa-bernegara yang ditandai TRI SAKTI yaitu; Berdaulat dalam politik, Berkepribadian
dalam kebudayaan, Berdiri di atas kaki sendiri (Berdikari) dalam ekonomi
seperti diamanahkan Bung Karno.
Rakyat
pemegang kedaulatan, minimal di saat pemilu sekali lima tahun harus mampu
menggunakan momentum ini dengan baik dan benar, membuka mata dan telinga,
melihat dan mendengarkan rekam jejak (track
record) para calon-calon pemimpin yang mempromosikan diri paling pantas,
paling tepat, nomor satu ala jual kecap. Kecermatan, kecerdasan menentukan
pilihan pada calon pemimpin adalah salah satu prasyarat “Melanjutkan Revolusi
Belum Selesai”.
Kedewasaan
bangsa dalam berdemokrasi akan diukur melalui kemampuan, kecermatan, kecerdasan
menentukan pilihan pada calon pemimpin bangsa yang bisa membawa bangsa Indonesia menepati janji-janji
proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 yang dicita-citakan para pendiri bangsa.
Ibu Pertiwi merindukan hadirnya pemimpin yang memahami paripurna kehendak dan
kepentingan rakyat yang ditandai konsistensi, konsekuen, kesahajaan,
kesederhanaan, kejujuran, keberanian, kehendak kuat membangun kedaulatan bangsa
di atas fundasi berbangsa-bernegara yakni; Pancasila, Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia 1945, menjunjung Bhinneka Tunggal Ika dalam bingkai
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bukan pelanggengan kekuasaan,
kepentingan pribadi, kelompok, maupun golongan seperti dipraktekkan maniak
kuasa selama ini.
Pemilu
2014 momentum strategis menentukan apakah bangsa ini mampu mengembalikan
kedaulatan di tangan rakyat atau bangsa BERDAULAT, atau justru sebaliknya,
tetap jadi bangsa “KULI” didikte dan diintervensi kekuatan asing, dimana kebutuhan primer seperti; beras, kedelai,
kacang-kacangan, gula, garam, ikan asin, daging sapi, bawang, cabai,
buah-buahan, dan lain-lain harus di impor dari negara-negara asing untuk
memenuhi kebutuhan rakyat. Padahal, komoditi-komoditi itu bisa di produksi di
dalam negeri yang memiliki keunggulan kompetitif maupun keunggulan komparatif
sesuai klimatologi, topografi, demografi negeri ini diperlintasan khatulistiwa.
Belum lagi, pengiriman tenaga kerja Indonesia (TKI) ke negara-negara lain yang
kerap mengalami perlakuan kejam dan tak manusiawi seperti penyiksaan,
pemerkosaan, hukum pancung, dan lain sebagainya.
Bila
pemerintah mampu membuka lapangan kerja seluas-luasnya di negeri ini maka nasib
naas, tragis anak-anak bangsa tak akan pernah
terjadi dari waktu ke waktu seperti diberitakan media massa selama ini.
Presiden
2014-2019 harus menyadari bahwa pemberian predikat “Pahlawan Devisa” kepada tenaga kerja Indonesia (TKI) adalah suatu
kekeliruan, kesalahan besar, serta sesat pikir yang direkayasa sebagai pelipur
lara untuk menutupi kesalahan fatal ketidakmampuan melindungi seluruh bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia yang diamanahkan konstitusi.
Penempatan
TKI di negara lain sadar atau tidak telah dimanfaatkan negara-negara asing
kartu trup untuk menekan bangsa ini dipercaturan politik internasional.
Padahal, sungguh tak masuk akal negara asing mau menampung TKI di negerinya bila
tidak menguntungkan negara bersangkutan. Inilah salah satu kekeliruan, sesat
pikir yang perlu segera dibenahi, diluruskan, diperbaiki presiden terpilih
untuk “Melanjutkan Revolusi Belum Selesai”.
Oleh
sebab itu, Pemilu 2014 harus mampu menghadirkan “Jolak Komitmen Watak Indonesia
(Jokowi)” untuk “Melanjutkan Revolusi Belum Selesai”. Siapa pun pemimpin bangsa
yang terpilih haruslah Jokowi karena sosok seperti itulah bisa diharapkan
mengembalikan “Kedaulatan di tangan rakyat”. Selamat berdemokrasi, selamat
berjokowi “Melanjutkan Revolusi Belum Selesai”.
Medan,
24 Maret 2014
Thomson
Hutasoit.
Penulis:
* Direktur Eksekutif LSM Kajian Transparansi Kinerja Instansi Publik
(ATRAKTIP), Ketua Umum DPD Gabungan Pengusaha Kontraktor Indonesia
(GABPKIN) Provinsi Sumatera Utara
2008-2012, Wakil Sekretaris Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM) Provinsi
Sumatera Utara 2010-2014, Wakil Pemimpin Redaksi SKI ASPIRASI, Staf Ahli
PDI-Perjuangan DPRD Kota Medan 2006-2009, 2011-2014 Wartawan Majalah Bona NI
Pinasa Jakarta 2006-2007, Wartawan Suara Rakyat Merdeka 2005-2006, Deklarator
LSM Pelangi Nusantara se-Indonesia di Bandung 2008, Sekretaris Umum Punguan
Borsak Bimbinan Hutasoit, Boru, Bere Kota Medan Sekitarnya 2012-2016, Wakilk
Sekretaris II Parsadaan Pomparan Toga Sihombing (PARTOGI) Kota Medan Sekitarnya
2008-2011, Penasehat Punguan Toga Lumban Gaol, Boru Sektor Helvetia Medan
2010-2012, Wakil Sekretaris Punguan Borsak Bimbinan Hutasoit, Boru, Bere Kota
Medan Sekitarnya 1996-2001, Wakil Ketua Punguan Borsak Bimbinan Hutasoit, Boru,
Bere Kota Medan Sekitarnya 2001-2007, Penasehat Punguan Borsak Bimbinan
Hutasoit, Boru, Bere Kota Medan Sekitarnya 2008-2011, Dosen STKIP Teladan Medan
1987-1989, Dosen APP-APIPSU Medan 2002-2005, Dosen STMIK Medan Polyteknik Medan
2003-2005, Kepala STM APIPSU 1996-1999, Komite SKM 1 Medan 2006-2014, Penulis
Buku; Buku Sejarah HKBP Maranatha Resort HKBP Maranatha 2008, Meneropong serta
Mengamati Visi-Misi Gubernur Sumatera Utara H. Syamsul Arifin Silaban SE
‘Rakyat Tidak Lapar, Tidak Bodoh, Tidak Sakit dan Punya Masa Depan’ 2010,
Potret Retak Berbangsa Bernegara 2010, Indikator Bangsa Bangkrut 2011, Misteri
Negara Salah Urus 2011, Keluhuran Budaya Batak-Toba 2011, Solusi Adat
Batak-Toba 2012, 1101 Umpasa-Umpasa Dongan tu Ulaon Adat 2013, Kepemimpinan
ditinjau dari Kultur Budaya Batak-Toba 2014, Penulis ± 260 Artikel di berbagai
media massa, tinggal di Medan.