Kamis, 12 Maret 2015

Warisan Ranjau Politik



Warisan Ranjau Politik
Oleh: Thomson Hutasoit
Direktur Eksekutif LSM Kajian Transparansi Kinerja Instansi Publik (ATRAKTIP)

Sesungguhnya suksesi kepemimpinan nasional merupakan proses alamiah yang harus berlangsung dari satu rezim pemerintahan ke rezim pemerintahan berikutnya sesuai perintah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (Asli) maupun (Amandemen). Tetapi proses suksesi sejak Presiden Republik Indonesia pertama Ir. Soekarno atau Bung Karno ke Presiden RI kedua Soeharto, Soeharto ke Presiden RI ketiga BJ Habibie, BJ Habibie ke Presiden keempat KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, Gus Dur ke Presiden RI kelima Megawati Soekarnoputri atau Mbak Mega, Mbak Mega ke Presiden keenam Susilo Bambang Yudoyono (SBY), SBY ke Presiden ketujuh Joko Widodo (Jokowi) selalu mewariskan “ranjau politik” alias tak pernah mulus.  
Suksesi pemerintahan paling mutahir ialah pergantian rezim pemerintahan Susilo  Bambang Yudoyono (SBY)-Boediono pada tanggal 20 Oktober 2014 yang sepertinya membangun tradisi baru dimana saat pelantikan Presiden/Wakil Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan HM. Jusuf Kalla (JK) duduk berdampingan pada Sidang Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Republik Indonesia yang pada periode-periode sebelumnya tak pernah terjadi peristiwa kenegaraan seperti itu.  
Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) menyambut kedatangan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Isatana Negara yang menurut konstitusi tak diatur prosesi semacam itu. Sebab begitu Presiden/Wakil Presiden mengucapkan Sumpah/Janji di depan Sidang Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia seketika itu pula secara otomatis berakhir masa periode pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono (SBY)-Boediono menurut konstitusi.   
Walaupun secara konstitusi tidak ada ketentuan yang mengatur tradisi seperti itu, tradisi baru suksesi nasional dari rezim pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono (SBY)-Bediono ke rezim pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) dan HM. Jusuf Kalla (JK) 20 Oktober 2014 patut dimaknai salah satu langkah awal membangun kedewasaan berpolitik di tanah air. Apalagi jika tradisi baru tersebut benar-benar murni dan tidak meninggalkan “ranjau politik” pada pemerintahan berikutnya.  
Akan tetapi, jika seandainya tradisi baru suksesi nasional yang berlangsung hanya sekadar kamuflase politik dan penuh keberpurak-purakan maka makna sejati tradisi baru yang dibangun pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono (SBY)-Boediono ke pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)-HM. Jusuf Kalla (JK) menjadi sirna dan tak bermanfaat apa-apa dalam membangun kedewasaan berpolitik bangsa ini.  
Jika rezim pemerintahan SBY-Boediono ingin mengubah tradisi pergantian rezim pemerintahan sebelum-sebelumnya yang tidak pernah berlangsung mulus, lancar dan damai alias tak meninggalkan “dendam politik” sangatlah tak elegan apabila masih mewariskan “rajau politik” pada pemerintahan berikutnya.
Rezim pemerintahan akan diganti harus berupaya keras mempersiapkan agenda-agenda nasional secara baik dan benar supaya tidak berpotensi menimbulkan kegaduhan, kekacauan politik pasca suksesi. Dengan demikian, rezim pemerintahan baru tidak direcoki atau diusik kegaduhan, kekacaun politik sehingga pemerintahan baru bisa bekerja efektif, efisien melanjutkan estafet kepemimpinan nasional lima tahun ke depan.
Tradisi baru suksesi nasional tanpa meninggalkan beban politik masa lalu adalah suksesi beretika dan beradab, serta pantas dan layak menjadi catatan sejarah perkembangan perpolitikan di republik ini. Akan tetapi, tradisi baru suksesi nasional yang masih mewariskan “ranjau politik” hanyalah sebuah filosofi “Katak Berenang” (Parlange-lange ni si bagur-red) yakni; jernih di depan keruh di belakang alias penciteraan diri yang dibungkus penuh keberpurak-purakan serta meninggalkan “bom” waktu pada pemerintahan baru.  
Politik Katak Berenang (Parlenge-lange ni si Bagur) sama sekali tak pantas dan layak diwariskan dalam politik beretika dan beradab sebab politik Katak Berenang yakni “jernih di muka keruh di belakang” sungguh sangat berbahaya terhadap rezim pemerintahan baru yang akan disibukkan kisruh, kegadugan politik warisan pemerintahan sebelumnya. Dan inilah yang dimaksudkan “Warisan Ranjau Politik” yang seharusnya tidak patut diwariskan pemerintahan lama ke pemerintahan penggantinya.    
Ranjau Politik.
Jika dicermati seksama kisruh, kegaduhan politik yang terjadi di republik ini pasca terpilihnya Presiden/Wakil Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan HM. Jusuf Kalla (JK) 09 Juli 2014 lalu ada beberapa hal yang perlu ditelisik mendetail dan obyektif dibalik tradisi baru suksesi nasional 20 Oktober 2014 lalu.
Bila proses suksesi kepemimpinan nasional ingin terlaksana dengan baik tanpa gejolak politik maka pemerintahan sebelumnya harus membuka jalan terlaksananya suksesi pemerintahan yang mulus, lancar, damai tanpa “ranjau atau jebakan” politik sehingga pemerintahan baru benar-benar efektif, efisien melanjutkan pemerintahan ke depan.
Untuk itu, berbagai produk peraturan perundang-undangan yang melibatkan eksekutif (presiden) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI hendaknya diupayakan tidak berpotensi menimbulkan kisruh ataupun kegaduhan politik bagi pemerintahan baru selaku pemegang estafet kepemimpinan nasional sehingga pergantian rezim pemerintahan tidak menimbulkan goncangan politik yang menggangu roda pemerintahan berikutnya. Artinya, rezim pemerintahan boleh berganti secara alamiah tapi roda pemerintahan berjalan sebagaimana mestinya.  
Tetapi fakta membuktikan, terbitnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD oleh sebahagian besar anggota DPR RI periode 2009-2014 pada tanggal 8 Juli 2014 yang dimotori Koalisi Merah Putih (KMP) yaitu; Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Bulan Bintang (PBB), dan Partai Demokrat (PD) mengambil sikap “abu-abu” telah menimbulkan kisruh, kegaduhan politik di negeri ini.
Koalisi Merah Putih (KMP) pada pemilihan presiden 09 Juli 2014 adalah pendukung/pengusung pasangan calon Presiden/Wakil Presiden Prabowo Subianto/Hatta Rajasa yang dikalahkan pasangan calon Presiden/Wakil Presiden Joko Widodo (Jokowi)/H.M. Jusuf Kalla yang didukung/diusung Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang jumlah kursinya di DPR RI minoritas.
Kekalahan kubu Koalisi Merah Putih (KMP) mengusung pasangan Prabowo Subianto/Hatta Raja dalam pemilihan presiden 09 Juli 2014 menjadi rentetan pertarungan di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI yang ditandai lahirnya UU RI Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD atau UU MD3 yang sangat controversial yang pada akhirnya menyapu bersih pimpinan DPR RI berserta alat kelengkapan dewan (AKD). PDI-Perjuangan selaku pemenang pemilihan legislatif (Pileg) 2014 tidak bisa otomatis menduduki posisi Ketua DPR RI periode 2014-2019. Padahal pada periode sebelumnya yakni 2009-2014 Partai Demokrat pemenang pemilihan legislatif (Pileg) otomatis menduduki Ketua DPR RI periode 2009-2014 (Undang-Undang RI Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR,DPR, DPD, dan DPRD atau MD3-red).       
Selanjutnya, empat hari menjelang akhir masa baktinya, 26 September 2014 DPR RI periode 2009-2014 kembali menyetujui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota atau yang dikenal UU Pilkada oleh DPRD atau pemilihan tidak langsung. Kemudian Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pilkada untuk membatalkan UU RI Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota oleh DPRD.
Undang-undang RI Nomor 17 tahun 2014 tentang MD3, Undang-Undang RI Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pilkada, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pilkada telah menimbulkan kisruh, kegaduhan politik membebani serta merepotkan Jokowi-JK diawal-awal pemerintahannya.  
Seandainya, pemerintahan sebelumnya (SBY-Boediono-red) benar-benar membangun  tradisi baru suksesi nasional maka UU RI Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3, UU RI Nomor 22 tentang Pilkada yang menimbulkan kegaduhan dan kisruh politik tak akan pernah lahir sebab DPR RI periode 2009-2014 mayoritas dikuasai Partai Demokrat selaku partai pemerintahan rezim Susilo Bambang Yudoyono (SBY)-Boediono yang seluruh anak negeri ini tahu tergabung dalam Setgab Koalisi Partai-SBY-Boediono.  
Sungguh sangat disayangkan, niat baik Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) yang juga Ketua Umum Partai Demokrat dan Edi Baskoro Yudoyono (Anak SBY-red) Sekretaris Jenderal Partai Demokrat “diciderai dan dikotori” anggota DPR RI dari partainya sendiri dengan melakukan walkout di saat-saat genting pengambilan keputusan tentang UU RI Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pilkada. Padahal menurut pernyataan SBY di berbagai media Susilo Bambang Yudoyono (SBY) memerintahkan para anggotanya di DPR RI suapaya allout memperjuangkan Pemilihan Kepala Daerah Langsung (Pilkada) dengan tambahan syarat, bukan melakukan tindakan walkout yang membuka kemenangan kubu Koalisi Merah Putih (KMP) menyetujui UU RI Nomor 22 Tahun 2014 pemilihan kepala daerah melalui DPRD atau pemilihan tidak langsung.  
Bermain cantik dan canggih dalam politik merupakan suatu kepiawian walau pada akhirnya bisa dianalisis apakah benar atau berpurak-purak benar, setuju atau berpurak-purak setuju atas lahirnya undang-undang yang menuai penolakan publik itu.  
Untuk menganalisis makna dibalik pernyataan politik perlu dilihat dan diketahui secara pasti siapakah   pengusul UU RI Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD atau UU MD3, UU RI Nomor 22 tahun 2014 tentang Pilkada. Pemastian itu sangat diperlukan supaya terlihat jelas, terang-benderang siapa paling “bernafsu atau berkepentingan” atas lahirnya Undang-undang penuh kontrovesi itu.  
Bila pemerintah yang mengusulkan sebuah undang-undang maka undang-undang tersebut merupakan inisiatif pemerintah, sebaliknya jika DPR RI yang mengusulkan undang-undang berarti inisiatif DPR RI lah melahirkan undang-undang tersebut.
Memahami mekanisme pengajuan undang-undang secara utuh dan jelas memberi pemahaman komprehensif paripurna terhadap publik untuk selanjutnya bisa menilai obyektif siapakah sebenarnya “biang kerok” dibalik kisruh, kegaduhan politik atas lahirnya Undang-Undang RI Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3, Undang-Undang RI Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pilkada.
Sebab acapkali ditemukan politik cuci tangan ala Pontius Pilatus yang seolah-olah tak berdosa dan terlibat dalam suatu kebijakan, kasus ketika terjadi kisruh atau kegaduhan atas kebijakan atau kasus tersebut.
Politik cuci tangan, politik kambing hitam, politik penciteraan dan lain sebagainya bukanlah barang baru di dunia politik kumuh tak beradab di jagat raya ini. Itu pulalah sebabnya sangat sukar dan sulit mengetahui, memahami antara yang benar-benar dengan yang berpurak-purak dalam keputusan politik. Masing-masing dengan piawi membentangkan argumentasi canggih mempertahankan pendapatnya. Akibatnya, rakyat semakin bingung dan sulit menentukan siapa yang benar-benar dan siapa pula yang berpurak-purak.
Warisan ranjau politik adalah sebuah potensi yang bisa memicu kisruh, kegaduhan politik yang diwariskan pemerintahan sebelumnya kepada pemerintahan selanjutnya. Berbagai kebijakan dalam ideologi, politik, ekonomi, sosial, hukum, pertahanan dan keamananan serta kebijakan publik lainnya yang berpotensi menimbulkan gejolak ditengah-tengah kehidupan masyarakat, bangsa maupun negara menjadi beban pemerintahan selanjutnya.
Pemerintahan baru yang seharusnya bisa berjalan efektif, efisien untuk melanjutkan pemerintahan pendahulunya justru disibukkan berbagai kasus yang belum terselesaikan di masa pemerintahan sebelumnya. Berbagai ranjau politik yang selalu mewarnai perjalanan negeri ini dari satu rezim pemerintahan ke rezim pemerintahan berikutnya seperti; bebab utang, peraturan perundang-undangan tumpang tindih, tindak pidana korupsi, illegal fishing, illegal logging, illegal mining, kewibawaan lembaga penyelenggara negara atau pemerintahan, serta perseteruan antar institusi yang tidak pernah terselesaikan dengan tuntas.
Sebagai tradisi baru pergantian rezim pemerintahan yang di mulai pada era Susilo Bambang Yudoyono (SBY)-Boediono ke Jokowi-Jusuf Kalla walaupun masih diselimuti “warisan ranjau politik” patut dimaknai lahirnya “Tonggak Sejarah Baru” suksesi kepemimpinan nasional yang perlu ditradisikan pada pemerintahan berikutnya. Yang tidak perlu ditradisikan ialah mewariskan ranjau politik agar negeri ini terhindar dari kisruh, gaduh, dan prahara politik menguras energi bangsa terbuang sia-sia.
Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla perlu kiranya lima tahun ke depan mempersiapkan susksesi nasional atau pergantian rezim pemerintahan yang lancar, mulus, dan damai, tanpa mewariskan ranjau politik kepada pemerintahan selanjutnya.  
Kisruh, gaduh, prahara politik yang terjadi di awal-awal pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla harus dijadikan pelajaran berharga, dan tak akan terulang kembali di masa akan datang agar benar-benar seperti pernyataan Jokowi, bahwa pemilihan umum adalah pesta dan kegembiraan rakyat, bukan menimbulkan ketakuatan.
                                                                                                            Medan, 09 Maret 2015

                                                                                                            Thomson Hutasoit.
(Penulis: Alumni Pemantapan Nilai-nilai Kebangsaan Lemhannas RI bagi kalangan Akademisi, Birokrasi, Tokoh Agama, Tokoh Adat, Tokoh Masyarakat, Tokoh Pemuda, di Provinsi Sumatera Utara, Tahun 2014) tinggal di Medan.     
  
     
              

Pembuktian Janji Presiden Jokowi



Pembuktian Janji Presiden Jokowi “Hanya Tunduk Konstitusi dan kehendak Rakyat”
Oleh : Thomson Hutasoit  
Pendahuluan.
            Ketika presiden/wakil presiden Joko Widodo (Jokowi)/ H.M. Jusuf Kalla (JK) menucapakan Sumpah/Janji di depan Sidang Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) 20 Oktober 2014 lalu, Jokowi dengan tegas dan lantang mengatakan “Hanya tunduk pada konstitusi dan kehendak rakyat” tentu diingat dan dicatat rakyat republik ini sebagai parameter mengukur konsistensi pemerintahan Jokowi/JK untuk lima tahun ke depan.
            Mungkin bagi sebahagian pihak di negeri ini pernyataan Jokowi itu dianggap hanya sekadar jargon politik, bahkan lips service belaka bercermin pada statement-statement politik pemerintahan sebelum-sebelumnya yang sangat berbanding terbalik antara pernyataan atau janji-jani dengan fakta empirik implementasi di lapangan. Bahkan, di masa pemerintahan otoritarian orde baru (Orba) rezim Soeharto rakyat harus pintar membaca makna terbalik dibalik pernyataan pemerintahan ketika itu. Berbagai jargon politik seperti menyesuaikan harga yang memiliki makna sama dengan kenaikan harga, dan lain-lain amat sangat banyak diproduksi untuk “mengelabui” berbagai kebijakan keliru pemerintahan. Rakyat diposisikan sebagai “mahluk bodoh” yang tidak mampu sama sekali mengerti dan memahami pengelolaan tata pemerintahan yang baik dan benar. Dan jika ada yang berani melakukan penolakan dan parotes terhadap pemerintah berkuasa siap-siap dijadikan musuh negara dengan diberi label “PKI (Partai Komunis Indonesia)” yang merupakan momok paling menakutkan pada zaman itu. Bahkan banyak rakyat yang kritis terhadap pemerintahan mengalami “kematian perdata” tanpa pernah mengetahui pelanggaran hukum apa yang telah dilakukan.
            Penolakan terhadap kebijakan pemerintah berkuasa diotomatisasi sebagai penolakan terhadap negara. Padahal, pemerintahan berkuasa (eksekutif) tidaklah sama dan indentik dengan negara yang menurut para ahli tata negara, bahwa negara terdiri dari pemerintahan yang sah, rakyat, wilayah dan pengakuan internasional. Sehingga amat keliru besar apabila menyamakan pemerintah berkuasa (eksekutif/presiden) dengan negara.
            Sekalipun secara tegas, jelas, terang-benderang dalam konstitusi dinyatakan, bahwa Negara Republik Indonesia berdasarkan hukum tetapi dalam kenyataannya hukum cenderung dijadikan alat kekuasaan. Bahkan banyak peraturan perundang-undangan diproduksi semata-mata alat kekuasaan dan melanggengkan kekuasaan itu sendiri. Akibatnya, ketundukan terhadap hukum dan konstitusi tergantikan masif dan absolut ketundukan pada kekuasaan. Karena itu, muncul pameo di ruang publik “segudang kebenaran segenggam kekuasaan, kekuasaan lah menentukan atau pemenang”. Pameo ini tentu sangatlah berbahaya dan mengancam eksistensi negeri ini sebagai negara hukum.
            Karena itu, pernayataan Jokowi di depan Sidang Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Republik Indonesia ketika dirinya resmi secara de facto dan de jure sebagai presiden Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan sungguh fundamental, cerdas dan jenial untuk mengembalikan rel manajemen pengelolaan negara yang hanya tunduk pada konstitusi dan kehendak rakyat sebagai wujud nyata negara hukum dan demokrasi.
            Pernyataan kenegaraan yang dikumandangkan Presiden Jokowi kepada seluruh rakyat Indonesia, bahkan ke seluruh penjuru seantero jagat raya kemungkinan besar terluput dari pantauan pihak-pihak tertentu karena ketika itu ada yang dimabuk eforia kemenangan dan adapula yang masih dirundung kekalahan sehingga pernyataan sang presiden yang sedemikian esensial terluput pula dari perhatian sungguh-sungguh atas statement politik pemerintahan Jokowi-JK lima tahun ke depan.
            Seandainya, setiap orang, elite politik di negeri ini mengerti, memahami dan menyadari arti dan makna pernyataan Presiden Jokowi komprehensif dan paripurna maka tak perlu heran dan terperanjat atas langkah kebijakan Jokowi dalam menyelesaikan berbagai kisruh politik yang terjadi di republik ini, termasuk penyelesaian kisruh Komisi pemberantasan Korupsi (KPK) versus Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dipicu pengajuan calon Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Komisaris Jenderal Polisi Budi Gunawan yang kemudian ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang selanjutnya oleh Praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dinyatakan tidak sah dan tidak mengikat secara hukum.
            Dalam situasi kegaduhan dan kisruh politik yang sedemikian sulit dan pelik Presiden Jokowi dipaksa dan ditekan dari berbagai kutub kepentingan politik seperti partai politik pendukung yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yakni; PDI-Perjuangan, Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Persatuan Pembangunan (PPP kubu Romi), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKP-Indonesia). Partai oposisi yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP) yakni; Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN) Partai Demokrat (PD), Partai Bulan Bintang (PBB). Koalisi masyarakat sipil penggiat anti korupsi, pakar hukum, akademisi, dan kelompok masyarakat lainnya yang kadangkala “merasa di atas hukum” memaksakan kehendak masing-masing dengan berbagai argumentasinya.
            Menghadapi kisruh dan kegaduhan politik itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menunjukkan jiwa kenegarawanan yang sangat luar bisa dengan mengeluarkan statement  politik “Jangan ada sok di atas hukum”. Pernyataan ini tentu terasa menohok bagi pihak-pihak yang selama ini “paling hebat, paling top, paling benar. paling suci, paling pintar, paling berkuasa” di negeri ini.
            Pernyataan itu sebenarnya adalah sebuah sinyal sikap politik Presiden Jokowi sebagaimana telah diucapkan di depan Sidang Paripurna Majelis Permusyaratan Rakyat (MPR) Republik Indonesia 20 Oktober 2014 “Hanya tunduk pada konstitusi dan kehendak rakyat”.


Tunduk pada Konstitusi.
            Bagi sebahagian orang Sumpah/Janji Jabatan mungkin dipandang hanya sekadar upacara seremonial belaka. Tapi bagi Presiden Jokowi yang mengawali karier politik dari Walikota Surakarta Solo, Gubernur DKI Jakarta selanjutnya Presiden Republik Indonesia adalah Sumpah/Janji yang harus dipertanggungjawabkan secara hukum, moral dan kepada Tuhan Yang Maha Esa, sehingga Sumpah/Janji Jabatan itu adalah harga mati yang tidak bisa ditawar-tawar dengan alasan apapun juga.
            Pada pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dengan tegas dikatakan, bahwa Sebelum memangku jabatanya, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana termaktub pada  Sumpah Presiden (Wakil Presiden): “Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa”.
            Bila diperhatikan dan dicermati seksama lafal Sumpah Presiden (Wakil Presiden) pada pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 maka pernyataan Presiden Jokowi “Hanya Tunduk pada konstitusi dan kehendak rakyat” adalah wujud nyata Negara Republik Indonesia (NRI) sebagai negara hukum.
 Walaupun presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan tidak boleh sekali-sekali mempertontonkan kekuasaan “di atas hukum (konstitusi)”. Sebab kekuasaan presiden bukan tak terbatas. Jika presiden memosisikan diri di atas hukum bukan tunduk kepada konstitusi maka presiden telah menjadikan dirinya diktator otoriter sebagaimana rezim pemerintahan Soeharto yang ditumbangkan reformasi 1998 lalu.    
            Sekalipun Joko Widodo (Jokowi) kader PDI-Perjuangan serta didukung partai pengusung yakni Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dia sadar sesadar-sadarnya begitu mengucapkan Sumpah Presiden dirinya “hanya tunduk kepada konstitusi dan kepentingan Nusa dan Bangsa” bukan lagi tunduk pada kepentingan partai politik pengusungnya apalagi masih menjadikan dirinya petugas partai yang notabene partisan.
Batas Jokowi petugas partai berhenti dan berakhir ketika Joko Widodo (Jokowi) mengucapkan Sumpah Presiden di hadapan Sidang Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Republik Indonesia, kemudian sejak detik itu Jokowi telah memangku Jabatan Presiden Republik Indonesia milik seluruh rakyat Indonesia, bukan presiden partai politik tertentu.   
            Sebagai milik seluruh rakyat Indonesia, baik yang berpartai politik maupun non partai politik Jokowi harus memosisikan diri “hanya tunduk pada konstitusi” bukan lagi tunduk kepada partai politik. Pertanyaannya ialah apakah Jokowi telah “mengkhianati atau mbalelo” terhadap partai politik pengusungnya ? Tentu tidak ! Justru partai politik pengusungnyalah yang tidak memahami, menyadari arti dan makna Sumpah Presiden (Wakil Presiden) secara baik dan benar sehingga masih ingin “mendikte dan memaksakan” kepentingan partai politiknya kepada kader partai yang telah memangku jabatan publik yang memikul kewajiban mengayomi, melindungi seluruh rakyat Indonesia, tanpa kecuali. Kekeliruan pengertian, pemahaman demikianlah memicu  kecenderungan ketua atau petinggi partai politik berusaha sekuat tenaga dan pemikiran menjadi calon presiden, gubernur, bupati/walikota di negeri ini.
            Pada sistem pemerintahan parlementer ketua atau petinggi partai politik menjadi presiden/wakil presiden, gubernur, bupati/walikota adalah hal wajar, tetapi pada sistem pemerintahan presidensial hal seperti itu harus dipahami suatu kekeliruan luar biasa sebab presiden adalah pilihan rakyat langsung.
            Sekalipun calon presiden/wakil presiden, gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, walikota/wakil walikota diusung partai politik tetapi menentukan keterpilihan tetap berada di tangan rakyat, bukan di tangan partai politik. Buktinya, calon presiden, gubernur, bupati/walikota dengan pasangannya yang didukung partai politik besar ataupun koalisi partai-partai tidak otomatis memenangi pemilihan yang digelar. Partai politik atau koalisi partai politik yang merupakan “makhluk aneh” pada sistem pemerintahan presidensial sejatinya hanya berfungsi dan berperan memasok dan mengajukan kader-kader terbaiknya untuk dipilih rakyat pada pemilihan presiden, gubernur, bupati/walikota sebagaimana diatur Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Undang-undang Pemilihan Umum, Undang-Undang Partai Politik, dan lain sebagainya.     
            Kekeliruan semacam inilah yang ingin diperbaiki dan diluruskan Presiden Jokowi yang diawali statement  politik kenegaraan pada detik-detik awal memangku presiden periode 2014-2019 di depan Sidang Paripurna MPR RI 20 Oktober 2014 lalu. Sikap politik Presiden Joko Widodo (Jokowi) “hanya tunduk pada konstitusi dan kehendak rakyat” sepertinya belum bisa diterima para elite politik yang selama ini telah “merampas dan mengkudeta” kedaulatan rakyat menjadi kedaulatan partai politik. Sikap politik Presiden Jokowi yang seiring sejalan dengan amanah konstitusi telah dianggap para “oportunis” politik sebagai “pengkhianatan atau sikap mbalelo” Jokowi pada partai pengusung serta terancamnya kepentingan partai dalam pemerintahan Jokowi-JK lima  tahun ke depan.
            Statement keras tak luput dilontarkan di ruang publik, bahkan niatan-niatan penggunaan hak interpelasi, hak angket, hak mengajukan pendapat sebagai cermin kekecewaan atas sikap politik Jokowi, sadar atau tidak sadar memperjelas kekeliruan mengerti dan memahami sistem pemerintahan presidensial sejati para elite politik di republik ini. Untunglah, kecerdasan politik rakyat di negeri ini telah jauh menembus “kelicikan” pencundang-pecundang politik yang bertengger dipusaran epicentrum partai politik saat ini.    
            Tunduk pada konstitusi bukan sekadar retorika dan penghias bibir (lips service) tetapi upaya nyata melandaskan kebijakan publik beralaskan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 beserta seluruh peraturan perundang-undangan seadil-adilnya, selurus-lurusnya tanpa intervensi pihak manapun. Inilah wujud ketegasan seorang negarawan sejati, bukan para oportunis politik,  “sok di atas hukum” yang merasa diri paling hebat dan paling berjasa di negeri ini.  
            Berbagai pihak berteriak lantang tentang kepastian hukum tetapi jika diperhatikan dengan cermat dan seksama tidak sedikit pula mereka mempertontonkan perilaku ambivalen, ambigu ketika bersinggungan dengan kepentingan politiknya sendiri. Bahkan tidak sedikit pula menjalankan hukum sebagai alat kekuasaan yang ujung-ujungnya merusak tatanan hukum di republik ini berakibat negara hukum tanpa kepastian hukum. Fenomena yang terjadi belakangan ini hukum tunduk di bawah tekanan “unjuk rasa/demonstrasi ataupun politik” karena merasa “Sok di atas hukum”.   
            Kesadaran Presiden Jokowi memosisikan diri “Tunduk pada konstitusi” ketika kekuasaan digenggam adalah suatu hal langka dan istimewa di belantara haus kuasa yang selalu memosisikan diri di atas hukum patut dimaknai oase di gurun pasir kekacauan berhukum di negeri ini.
Jika makna sejati kehadiran hukum untuk membatasi arogansi kekuasaan terhadap pihak lemah maka sepanjang sejarah perjalanan republik ini justru sebaliknya hukum menjadi alat kekuasaan untuk melanggengkan kekuasaan itu sendiri. Disinilah bukti nyata, bahwa pemangku kekuasaan “Tidak pernah nyata-nyata hanya tunduk pada konstitusi” sebagaimana sikap tegas Presiden Jokowi yang berkehendak kuat menegakkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 secara baik dan benar supaya republik ini benar-benar negara hukum.   
            Oleh sebab itu, pernyataan tegas Presiden Jokowi “hanya tunduk konstitusi” harus dijadikan kesadaran baru untuk menghentikan dan mengakhiri segala bentuk intervensi hukum dalam bentuk apapun agar republik ini mampu menyongsong hari depan lebih baik.
Tunduk pada kehendak rakyat.  
             Pernyataan “tunduk pada kehendak rakyat” adalah cerminan nyata menghormati, menjunjung tinggi daulat rakyat yang memilih Jokowi sebagai Presiden Republik Indonesia periode 2014-2019 melalui pemilhan umum 2014 lalu.
            Jokowi menyadari sesadar sadarnya, bahwa keterpilihannya sebagai presiden dan H.M. Jusuf Kalla wakil presiden tidak lain dan tidak bukan hanyalah kehendak rakyat semata. Partai politik pengusung adalah kendaraan atau sarana pencalonan yang diamanahkan konstitusi. Keterpilhan pasangan calon presiden, gubernur, bupati/walikota bukan ditentukan partai politik, tetapi pilihan (suara) rakyat terhadap sosok (figur) calon pemimpin yang dikehendaki rakyat itu sendiri.
            Harus disadari pula, bahwa keterpilihan presiden, gubernur, bupati/walikota dalam sistim pemilihan langsung ditentukan suara rakyat bukan suara partai politik. Karena itulah presiden hanya tunduk pada kehendak rakyat yang memilihnya, bukan partai politik pengusungnya. Rakyat lah yang berdaulat untuk memilih dan menentukan pemimpinnya (presiden/wakil presiden), sementara partai politik hanya berhak mengajukan atau mengusung calon presiden, gubernur, bupati/walikota dalam pemilihan umum.
            Ketegasan sikap politik Jokowi yang “hanya tunduk pada konstitusi dan kehendak rakyat” adalah wujud nyata jiwa kenegarawanan sejati yang mengerti dan memahami komprehensif paripurna sistem pemerintahan presidensial murni yang dibelokkan pada pemerintahan-pemerintahan sebelumnya.
            Pergantian rezim pemerintahan sejak republik ini merdeka belum secara nyata-nyata memperkuat sistem pemerintahan presidensial harus pula dimaknai sebagai akibat kekeliruan pemahaman tentang sistem pemerintahan yang diamanahkan konstitusi. Kekeliruan pemahaman itulah yang ingin diperbaiki dan diluruskan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang diawali sikap politiknya “Hanya tunduk pada konstitusi dan kehendak rakyat” di depan Sidang Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Republik Indonesia 20 Oktober 2014 lalu.
            Sikap politik yang ingin mengembalikan “Kedaulatan di tangan rakyat” bukan di tangan partai politik seharusnya dimaknai seluruh rakyat Indonesia sebagai “Tonggak Sejarah Baru” kembalinya republik ini pada cita-cita para pendiri bangsa (founding fathers) yang diproklamerkan 17 Agustus 1945 berdasarkan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Bhinneka Tunggal Ika dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) seperti ditegaskan pada pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 berbunyi: “Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat” (Asli), selanjutnya diamandemen pasal 1 ayat (2) “Kedaulatan berada ditangan rakyat, dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.
            Selanjutnya, pasal 6A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (Amandemen) ayat (1) Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat; (2) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”; dan seterusnya.
            Dari amanah konstitusi ini jelaslah, bahwa sikap politik Presiden Jokowi adalah seiring sejalan, senafas dan sejiwa dengan amanah konstitusi sehingga sangat tidak beralasan bila ada partai politik ingin memakzulkan (impeachment) Jokowi karena tidak “tunduk” pada garis partai politik pengusungnya.
            Presiden Jokowi berkeinginan kuat untuk menegakkan, menjunjung tinggi  konstitusi dengan baik dan benar, sebaliknya partai politik ingin membelokkan, mengkhianti konstitusi demi kepentigan partai. Kisruh, karut marut peta politik pasca pelantikan Presiden Jokowi/Wakil Presiden JK mempertegas kekeliruan pemahaman sistem pemerintahan presidensial selama ini.  Presiden Jokowi ingin meluruskan, mengembalikan sistem pemerintahan presidensial yang baik dan benar, sementara partai politik pungusung tak rela melepaskan cengkraman politiknya terhadap presiden/wakil presiden karena tetap masih beranggapan/berasumsi presiden adalah “petugas partai”.
            Sikap politik Jokowi “Hanya tunduk pada konstitusi dan kehendak rakyat” tidak boleh kendur sebab sikap dan jiwa kenegarawanan seperti itulah dambaan seluruh rakyat di negeri ini untuk mengembalikan “kedaulatan ditangan rakyat” secara nyata.
            Maju terus, rakyat berada dibelakang pemerintahan Jokowi-JK.
                                                                                                            Medan, 8 Maret 2015
(Penulis: Alumni Pemantapan Nilai-nilai Kebangsaan Lemhannas RI bagi kalangan Akademisi, Birokrasi, Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama, Tokoh Adat Tokoh Pemuda di Provinsi Sumatera Utara tahun 2014).      

Mangalusi Soara Na Jou-jou Sian Tano Tipang Bona Pasogit Borsak Bimbinan Hutasoit “Pature Bona Pasogit Mi”



Mangalusi Soara Na Jou-jou
Sian Tano Tipang
Bona Pasogit
Borsak Bimbinan Hutasoit
“Pature Bona Pasogit Mi”

Pendahuluan.
            Sesungguhnya, Pomparan Borsak Bimbinan Hutasoit dimana pun berada amat sangat merindukan Bona Pasogit Tano Tipang, bahkan setelah mengetahui, bahwa Bona Pasogit Borsak Bimbinan Hutasoit adalah Tano Tipang telah banyak yang datang maupun berkeinginan kuat untuk menginjakkan kaki ke Tano Tipang, Kecamatan Baktiraja, Kabupaten Humbang Hasundutan. Tidaklah terlalu disalahkan jika banyak generasi (pomparan) Borsak Bimbinan Hutasoit selama ini belum mengetahui secara pasti Bona Pasogitnya, terutama generasi-generasi yang lahir di perantauan (diaspora).
            Generasi (pomparan) Borsak Bimbinan Hutasoit yang saat ini sudah generasi 20-an (sundut 20) dan berasal dari berbagai daerah yang kemungkinan besar belum memperoleh penjelasan utuh dari para orang tuanya tentang Bona Pasogit Borsak Bimbinan Hutasoit adalah Tano Tipang kemungkinan besar bertanya-tanya dimana sebenarnya Bona Pasogit Borsak Bimbinan Hutasoit. Sebab, dari berbagai diskusi dan perbincangan hingga kini masih banyak belum mengetahui dimana letak Tano Tipang Bona Pasogit Borsak Bimbinan Hutasoit.
            Mars Borsak Bimbinan yang digubah Bapak Gr. T. Richard Hutasoit (Op. Sabar Doli) dengan judul “BORSAK BIMBINAN MARS” yang kerap dinyanyikan ketika pesta adat Pomparan Borsak Bimbinan di Kota Medan Sekitarnya maupun di daerah-daerah lain sungguh menyentuh hati sanubari generasi Borsak Bimbinan Hutasoit, apalagi jika dihayati sungguh-sungguh ajakan syair Mars tersebut.
            Untuk mengingatkan kembali serta mengetuk hati sanubari, membuka pikiran seluruh POMPARAN BORSAK BIMBINAN HUTASOIT untuk menghayati  sungguh-sungguh dalamnya pesan (tona) “BORSAK BIMBINAN MARS” yaitu:
1.    Hutasoit Hutasoit Borsak Bimbinan i, anak ni Toga Sihombing, ima siampudan i. Tano Tipang parserahan ni sude pinompar mi. Rodi desa naualu na torop pinompar mi. Sahat ma, sahat ma, sai manumpak ma Tuhanta sahat ma pinompar mi.
2.    Hutasoit nang Sigumpar, Siborong-borong i, nang di Butar Huta Julu tung torop pinompar mi. Nang luat pangarantoan di luat na dao i. Di Sumatera di Jawa sahat tu Irian i. Gabe ma, gabe ma, sai manumpak ma Tuhanta, gabe ma pinompar mi.
3.    Pinompar ni Hutasoit naung parjabatan i, songoni nang pengusaha angka naung mamora i. Sotung lupa ho manogu angka na umposo i. Asa sai marudut-udut angka parjabatan i. Togu ma, togu ma, Sotung lupa ho manogu Boru, Haha Anggimi.
Pesan “BORSAK BIMBINAN MARS” ini sungguh amat dalam, sebab Mars ini  menggambarkan “Napak Tilas” daerah domisili (parserahan) Pomparan Borsak Bimbinan Hutasoit hingga penjuru dunia. Selanjutnya, mengajak dan  menghimbau supaya seluruh generasi Borsak Bimbinan Hutasoit saling dukung-mendukung, topang-menopang, bahu-membahu untuk menggapai kemajuan di dalam segala segmen kehidupan berbangsa maupun bernegara.
“BORSAK BIMBINAN MARS” telah memotret cermat dan cerdas berbagai kemajuan yang telah dicapai generasi Borsak Bimbinan Hutasoit seperti rohaniawan (Eporus, Pendeta, Sintua dan lain-lain), pejabat eksekutif (menteri, petinggi perbankan dan keuangan), pejabat legislatif  (DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota), pejabat di yudikatif (hakim, jaksa, polri dan TNI) petinggi Partai Politik, Intelektual dan Akdemisi, Pengusaha, Tokoh Masyarakat, Tokoh Pemuda dan lain sebagainya mengangkat harkat dan martabat Borsak Bimbinan Hutasoit ditengah-tengah masyarakat, bangsa maupun negara.
Berbagai capaian prestasi, prestise keturunan Borsak Bimbinan Hutasoit hendaknya dijadikan modal awal memperkuat, mempererat “Tali Persaudaraan” membangun persatuan-kesatuan POMPARAN BORSAK BIMBINAN HUTASOIT dimana pun berada, termasuk mendorong terwujudnya “PEDULI BONA PASOGIT” untuk menjawab “SOARA NA JOU-JOU SIAN TANO TIPANG BONA PASOGIT BORSAK BIMBINAN HUTASOIT” sebagaimana dikumandangkan 10 September 2013 lalu.
Harus diakui bahwa capaian prestasi dan prestise keturunan BORSAK BIMBINAN HUTASOIT masih upaya dan kerja keras individu belum atas dukungan, sokongan persatuan dan kesatuan keturunan BORSAK BIMBINAN HUTASOIT sebagaimana yang telah dilakukan marga-marga lain. Karena itu, sudah waktunya mempertajam visi-misi setiap persatuan (punguan) BORSAK BIMBINAN HUTASOIT, BORU, BERE untuk menjabarkan langkah-langkah konkrit meraih sukses kolektif sesuai pesan (tona) nenek moyang yakni; sisada anak sisada boru, sisada las ni roha sisada arsak ni roha, sisada lulu di anak sisada lulu di boru, tolong menolong, bahu membahu, topang menopang dalam meraih sukses ditengah-tengah kehidupan bermasyarat, berbangsa maupun bernegara.  
Untuk itulah langkah awal (starting point)  membangun dan memperkuat visi-misi kolektif Keturunan BORSAK BIMBINAN HUTASOIT melalui sosialisasi PEDULI TANO TIPANG BONA PASOGIT BORSAK BIMBINAN HUTASOIT  ke seluruh generasi BORSAK BIMBINAN HUTASOIT dimana pun berada, termasuk seluruh tano parserahan (diaspora)  merupakan syarat mutlak agar Tano Tipang yang merupakan asal usul (bona pasogit) BORSAK BIMBINAN HUTASOIT diketahui, didukung seluruh generasi dimanapun berada.
Punguan BORSAK BIMBINAN HUTASOIT, BORU, BERE dimana pun berada perlu membicarakan dan memusyarahkan langkah-langkah konkrit untuk menjawab SOARA NA JOU-JOU SIAN TANO TIPANG BONA PASOGIT BORSAK BIMBINAN HUTASOIT “PATURE BONA PASOGIT MI” sebagai simbol hasadaon, martabat dan harga diri seluruh generasi BORSAK BIMBINAN HUTASOIT sepanjang masa.
Membicarakan, memugar dan/atau membangun situs sejarah Bona Pasogit BORSAK BIMBINAN HUTASOIT tentu saja haruslah melibatkan seluruh generasi BORSAK BIMBINAN HUTASOIT dimanapun berada sebagaimana pesan (tona) nenek moyang mengatakan “Ndang boi ripe-ripe gabe pangumpolan, ndang boi pangumpolan jadi ripe-ripe”. Oleh karena itu, diperlukan musyawarah mufakat seluruh generasi BORSAK BIMBINAN HUTASOIT untuk menentukan langkah-langkah berikutnya.
Membentuk Panitia (Tim) Penggagas/Pemrakarsa.
            Sebagai perhelatan akbar (Ulaon godang) yang meliputi puluhan generasi tentu haruslah melibatkan seluruh rumpun ompu yang merupakan representasi (mewakili) tiap-tiap ompu keturunan BORSAK BIMBINAN HUTASOIT. Hal itu bertujuan agar seluruh keturunan BORSAK BIMBINAN HUTASOIT terlibat secara keseluruhan.
            Panitia atau Tim Penggagas/Pemrakarsa bertugas untuk mempersiapkan agenda-agenda kerja (program) yang akan dibicarakan, dimusyawarakan dan disefakati pada suatu rapat kerja yang dihadiri perwakilan seluruh daerah, baik di bona pasogit maupun daerah perantauan (tano parserahan) dimanapun berada.
            Rapat kerja selanjutnya memusyawarahkan dan memufakati agenda-agenda yang telah dipersiapkan Panitia atau Tim Penggagas/Pemrakarsa untuk disosialisasikan di tiap-tiap daerah masing-masing. Dengan demikian, tiap-tiap daerah terlibat dan berpartisipasi aktif untuk menyukseskan agenda-agenda yang telah disefakati tersebut.
            Oleh sebab itu, langkah awal paling fundamental yang harus dilakukan bukanlah berfokus pada pembangunan situs sejarah warisan BORSAK BIMBINAN HUTASOIT melainkan kesefakatan bersama (hasadaon ni roha) untuk membentuk visi-misi bersama seluruh keturunan BORSAK BIMBINAN HUTASOIT memperkuat persatuan dan kesatuan ke depan. Membangun situs-situs sejarah secara fisik adalah wujud nyata terbangunnya HASADAON seluruh keturunan BORSAK BIMBINAN HUTASOIT.
            Sebab, bila seluruh keturunan BORSAK BIMBINAN HUTASOIT telah memiliki visi-misi bersama membangun BONA PASOGIT asal-usul sejarah bukanlah hal sukar dan sulit untuk dikerjakan. Melibatkan seluruh generasi BORSAK BIMBINAN HUTASOIT di bona pasogit dan perantuan (tano parserahan) adalah hal paling dasar dan fundamental hingga terjalin ikatan batin diikat tali darah (na niihot ni mudar) semakin melekat dan terpatri di dalam hati sanubari untuk mewujudkan ajakan, seruan MARS BORSAK BIMBINAN HUTASOIT dalam wujud nyata di masa akan datang.
            Inilah salah satu inti sari pertemuan hari Sabtu, 27 Pebruari 2014 di Tano Tipang yang dihadiri rombongan dari Kota Medan Sekitarnya, Kota Pematang Siantar, Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Humbang Hasundutan yang saat itu dihadiri langsung Ketua DPRD Kabupaten Humbang Hasundutan Manaek Hutasoit beserta istri.
            Dalam pertemuan itu juga Manaek Hutasoit diamanahkan untuk mempersiapkan pembentukan dan memfasilitasi pertemuan (rapat) di Kabupaten Humbang Hasundutan melibatkan daerah-daerah perantuan dalam waktu dekat.
            Kesediaan Manaek Hutasoit mempersiapkan pertemuan (rapat) di sela-sela kesibukannya selaku Ketua DPRD Humbang Hasundutan demi persatuan dan kesatuan Pomparan BORSAK BIMBINAN HUTASOIT sudah selayaknya menggugah hati sanubari seluruh generasi BORSAK BIMBINAN HUTASOIT untuk berpartisipasi aktif menyukseskan agenda besar HASADAON NI ROHA untuk memperkuat dan mempererat persatuan dan kesatuan Pomparan BORSAK BIMBINAN HUTASOIT ke depan.
            Kita patut bersyukur seruan SOARA NA JOU-JOU SIAN TANO TIPANG BONA PASOGIT BORSAK BIMBINAN HUTASOIT ”PATURE HUTAMI” telah sampai ke seluruh penjuru dunia serta mendapat respon positif dari generasi BORSAK BIMBINAN HUTASOIT dimanapun berada dan akan terjawab secara nyata melalui rencana aksi (action plan) pertemuan-pertemuan terencana, terprogram, terpadu dan terkoordinasi antara bona pasogit dan perantauan.
            Akhirnya, songon umpasa ni sijolo-jolo tubu na mandok; “Tampulan ni sibaganding di dolok ni pangiringan, Horas ma Pomparan BORSAK BIMBINAN HUTASOIT tongtong ma hita marsipairing-iringan”.
“Mual ni Borsak Bimbinan pasombu uas ni natorop, Horas gabe ma pomparan sahata satahi jala satolop”.
“Balittang ma pagabe tumundalhon sitadoan, Horas ma luhut Pomparan ni Borsak Bimbinan, tongtong ma hita masipaolooloan”.     
            Horas ! Horas ! Horas !
                                                                                                            Medan, 3 Maret 2015

                                                                                                            Thomson Hutasoit.
(Sekretaris Umum Punguan Borsak Bimbinan Hutasoit Kota Medan Sekitarnya).