Rabu, 28 Januari 2015

Sok di Atas Hukum



Sok di Atas Hukum
Oleh: Thomson Hutasoit
Direktur Eksekutif LSM Kajian Transparansi Kinerja Instansi Publik (ATRAKTIP)

            Pernyataan Presiden Republik Indonesia ke Tujuh Joko Widodo (Jokowi) “Sok di Atas Hukum” terkait kisruh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan Kepolisian Republik Indonesia sangatlah fundamental dan esensial sekaligus peringatan keras terhadap seluruh elemen masyarakat yang saat ini mengidap penyakit “Sok” seperti sok pintar, sok suci, sok bersih, sok hebat, sok paling tak top, sok kuasa, sok jago, serta sok-sok lainnya.
            Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2007) Sok ialah berlagak (suka pamer dsb), merasa mampu dsb tetapi sebenarnya tidak. Fenomena seperti itu, pada era reformasi yang memberi ruang terbuka secara bebas membuat banyak pihak seperti orang latah memberi komentar atau statement sok di atas hukum atau konstitusi apalagi didukung gelombang unjuk rasa atau demonstrasi untuk menekan dan memaksakan kehendak terhadap pihak lain walaupun jelas-jelas di luar koridor hukum atau peraturan perundang-undangan yang absah. Kondisi demikian tentu sangat kontra produktif dalam membangun kepastian hukum itu sendiri.
            Fenomena “Sok di Atas Hukum” adalah suatu pola laku, pola tindak yang menerabas azas-azas serta etika dalam menjalankan otoritas kewenangan yang seharusnya tidak boleh sekali-sekali diabaikan oleh lembaga manapun juga. Kealpaan terhadap azas dan etika dalam menjalankan otoritas kewenangan akan memancing reaksi keras dari pihak-pihak ataupun instansi yang merasa termarjinalisasi atau terlecehkan. Azas dan etika inilah yang kerap dilanggar “Sok di Atas Hukum” sebab telah mendewakan dirinya di level paling hebat, paling top dibandingkan pihak lain.
            Memosisikan diri “Sok di Atas Hukum” sungguh sangat berbahaya dan merupakan ancaman laten dalam berdemokrasi karena akan muncul monopoli tafsir kebenaran dan keadilan mutlak absolut ataupun tafsir tunggal. Padahal, demokrasi substantif dan sehat hanya mungkin terbangun apabila tercipta kesamaan kedudukan di depan hukum (equality before the law) yang berlaku terhadap siapa pun, tanpa kecuali.
            Kesetaraan, kesederajatan di depan hukum adalah penanda nyata berjalannya demokrasi yang menghargai dan menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM) sehingga selalu dibatasi berbagai hak imunitas seminimal mungkin. Karena itu pula lah praduga tak bersalah (presumption of innoncence)  merupakan azas peradilan yang merdeka, terbuka, jujur dan tidak memihak (fairtrial), azas cepat, sederhana dan biaya ringan agar hak asasi manusia (HAM) setiap orang tidak terciderai sebab yang memiliki otoritas menetapkan vonis bersalah hanyalah putusan pengadilan, di luar itu tidak ada satu lembaga manapun yang diberi undang-undang untuk menjatuhkannya. Artinya, sebelum putusan pengadilan tak seorang pun di vonis bersalah secara hukum.
            Jika diamati cermat dan seksama kisruh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan Kepolisian Republik Indonesia saat ini tidak terlepas dari pengabian azas dan etika dalam menjalankan fungsi konstitusional hingga berujung timbulnya gesekan kepentingan mempertahankan kewibawaan antar lembaga negara pasca pengajuan calon Kepala Kepolisian Republik Indonesia Komjen Budi Gunawan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia. Sebagaimana dikatakan Presiden Joko Widodo, bahwa pengajuan Komjen Budi Gunawan sebagai calon Kepala Kepolisian Republik Indonesia menggantikan Jenderal (Pol) Sutarman telah melalui seleksi Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) yang bersifat independen seharusnya menurut pandangan penulis secara azas dan etika kelembagaan sangatlah kurang arif dan bijaksana ditetapkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai tersangka satu hari setelah diajukan lembaga kepresidenan. Alangkah arif dan bijaksananya bila Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunggu waktu proses ketatanegaraan yang notabene  hak prerogatif presiden terlaksana dengan baik. Dan bila ternyata Komjen Budi Gunawan tersangkut kasus hukum sekalipun sudah menjadi Kepala Kepolisian Republik Indonesia secara defenitif Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan sebagai tersangka di kemudian hari.
            Bukankah selama ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah bertaring menyeret petinggi-petinggi negara seperti menteri, DPR/DPRD, gubernur Bank Indonesia, gubernur, bupati/walikota, petinggi di Kepolisian, Kejaksaan, kehakiman, ketua/presiden partai politik dan lain sebagainya sebagai pesakitan ? Sehingga tak perlu tergesa-gesa, terburu-buru menetapkan tersangka dikala proses ketatanegaraan sedang berlangsung seperti pengajuan calon Kapolri oleh presiden yang memantik polemik saat ini.
            Bila institusi atau lembaga memegang teguh taat azas dan etika tata kenegaraan kisruh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan Kepolisian Republik Indonesia tidak akan pernah terjadi kapanpun, demikian juga lembaga-lembaga negara lainnya  dalam menjalankan tugas, pokok dan fungsi (Tupoksi) sesuai perintah konstitusi. Setiap penyelenggara negara seharusnya mengedepankan jiwa kenegarawanan bukan sebaliknya menonjolkan egoisme institusi atau lembaga “Sok di Atas Hukum” sebab institusi atau lembaga apapun di republik ini bekerja untuk mewujudkan cita-cita negara.       
            Pengajuan calon Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) adalah hak prerogatif presiden sehingga presiden tidak berkewajiban meminta pendapat ataupun penilaian dari pihak manapun. Hak prerogatif adalah hak istimewa melekat pada diri presiden yang diberikan konstitusi sehingga sungguh aneh bin aneh bila ada pihak-pihak mengintervensi presiden dalam pengajuan calon Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) seperti mendesak agar presiden meminta masukan dari KPK, PPATK dan lain sebagainya. Desakan-desakan seperti ini juga merupakan cerminan “Sok di Atas Hukum” sebab tidak satu pasal pun dalam konstitusi republik ini mewajibkan presiden melakukan hal itu.
            Kisruh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan Kepolisian Republik Indonesia saat ini harus dilihat proporsional, obyektif dan transparan tanpa mendewa-dewakan satu institusi, sebaliknya mendegradasi institusi lainnya, sebab KPK dan Kepolisian Republik Indonesia adalah lembaga negara yang sah dan konstitusional dalam penegakan hukum di republik ini.
            Selain daripada itu, persangkaan keterlibatan oknum-oknum dalam kasus-kasus hukum harus dipisahkan secara tegas dengan institusi atau lembaga. Yang harus diselamatkan dan dijaga adalah institusinya, bukan oknum-oknumnya sehingga jangan dicampuradukkan kepentingan pribadi dengan kepentingan institusi. Menyelamatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kepolisian Republik Indonesia tidak sama dan indentik menyelamatkan oknum-oknum petingginya di kedua lembaga ini.
            Ketegasan Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengawasi, mengawal pengusutan kasus Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto dan kasus Komisaris Jenderal Budi Gunawan, terang benderang, transparan. Dan, agar proses hukum dapat berjalan dengan baik, jangan ada intervensi dari siapapun. (Kompas, 26/1/2014) sangat cerdas dan jenial serta mencerminkan kenegarawanan sejati patut diapresiasi seluruh rakyat negeri ini.
            Momentum ini juga harus digunakan sebesar-besarnya untuk melakukan “Revolusi Mental” para penyelenggara negara yang belakangan ini mengabaikan taat azas dan etika dalam menjalankan hak konstitusional “Sok di atas Hukum” yang berpotensi memicu gesekan, perseteruan antar institusi atau antar lembaga. Bukankah selama ini ego sektoral antar institusi atau lembaga menjadi biang kerok terjadinya stagnasi perwujudan janji proklamasi yakni masyarakat adil, makmur dan sejahtera tanpa kecuali. Siapapun harus sadar, konstitusi menjamin kesamaan kedudukan di depan hukum dan pemerintahan, dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan, tanpa kecuali (pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
            Jangan ada “Sok di Atas Hukum” haruslah menjadi kesadaran baru bagi seluruh rakyat republik ini.
                                                                                                            Medan, 27 Januari 2014
                                                                                                            Thomson Hutasoit.
(Penulis: Alumni Pemantapan Nilai-nilai Kebangsaan Lemhannas RI bagi kalangan Birokrasi, Akademisi, Tokoh Agama, Tokoh Masyarakat, Tokoh Pemuda Provinsi Sumatera Utara, tahun 2014).

GURUKU




GURUKU
          Guruku…!
          Engkaulah pelita hidupku
          Engkau pelukis bejana tabula rasa
          Engkaulah lentera pembuka asa
          Menggapai harapan, asa dan cita-cita
          Tak pernah usang dihempas masa 

                   Guruku…!
                   Di hari ulang tahun mu
                   Aku tak mampu memberi kado apa-apa
                   Tapi aku tak akan pernah lupa berdoa
                   Karna ku tahu tak pernah jadi apa-apa
                   Tanpa kehadiranmu memberi warna

          Guruku…!
          Ketika aku tak kenal tulis baca
          Tuna kata juga buta bahasa
          Engkau tulis berjuta karya dan karsa
          Mengisi memori sepanjang masa

                    Guruku …!
                   Engkau pendekar gelap gulita
                   Menghadirkan pengusaha dan penguasa
                   Sentuhan tanganmu melahirkan pemimpin bangsa
                   Walau terkadang lupa di alam nyata
                   Engkaulah pembuka mata dan telinga
                   Memberantas tuna buta di atas dunia

          Guruku …!
          Engkau bukanlah pahlawan tanpa tanda jasa
          Walau makam mu bukan di taman bahagia
          Jasa mu ku kenang tiada tara
          Hingga jasad ku berkubur di alam baka.

                                                                   Medan, 25 November 2014

                                                                   Drs. Thomson Hutasoit.
                                                                  
(Puisi ini ditulis kado HUT Hari Guru Nasional 2014, di SMK Negeri 1 Medan, penulis Komite Sekolah SMK Negeri 1 Medan). 
         

                  

          Guruku…!
          Engkaulah pelita hidupku
          Engkau pelukis bejana tabula rasa
          Engkaulah lentera pembuka asa
          Menggapai harapan, asa dan cita-cita
          Tak pernah usang dihempas masa 

                   Guruku…!
                   Di hari ulang tahun mu
                   Aku tak mampu memberi kado apa-apa
                   Tapi aku tak akan pernah lupa berdoa
                   Karna ku tahu tak pernah jadi apa-apa
                   Tanpa kehadiranmu memberi warna

          Guruku…!
          Ketika aku tak kenal tulis baca
          Tuna kata juga buta bahasa
          Engkau tulis berjuta karya dan karsa
          Mengisi memori sepanjang masa

                    Guruku …!
                   Engkau pendekar gelap gulita
                   Menghadirkan pengusaha dan penguasa
                   Sentuhan tanganmu melahirkan pemimpin bangsa
                   Walau terkadang lupa di alam nyata
                   Engkaulah pembuka mata dan telinga
                   Memberantas tuna buta di atas dunia

          Guruku …!
          Engkau bukanlah pahlawan tanpa tanda jasa
          Walau makam mu bukan di taman bahagia
          Jasa mu ku kenang tiada tara
          Hingga jasad ku berkubur di alam baka.

                                                                   Medan, 25 November 2014

                                                                   Drs. Thomson Hutasoit.
                                                                  
(Puisi ini ditulis kado HUT Hari Guru Nasional 2014, di SMK Negeri 1 Medan, penulis Komite Sekolah SMK Negeri 1 Medan).