Rabu, 17 Desember 2014

Mengelaborasi Pengalihan Subsidi BBM



Mengelaborasi Pengalihan Subsidi BBM
Oleh: Thomson Hutasoit
Direktur Eksekutif LSM Kajian Transparansi Kinerja Instansi Publik (ATRAKTIP)

            Salah satu perintah atau amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (Amandemen), pasal 33 selengkapnya berbunyi; ayat (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan, (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara, (3) Bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, (4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip keadilan, kebersamaan, efisiensi, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional, (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.
            Selanjutnya pada penjelasan disebutkan; Dalam pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua dibawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang-seorang. Sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi.
            Perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi semua orang. Sebab itu cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Kalau tidak, tampuk produksi jatuh ketangan orang-seorang yang berkuasa dan rakyat banyak ditindasnya. Hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak boleh ada ditangan orang-seorang.
            Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
            Pengertian dan makna menguasai yang dimaksudkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, baik Asli maupun Amandemen bukanlah sama dan indentik dengan memiliki, tetapi mengatur manajemen pengelolaan sumber-sumber kekayaan negara agar benar-benar dimanfaatkan sebesar-besar kemakmuran rakyat.
            Tujuan utama dari pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia amat sangat jelas dan tegas dikatakan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (Asli); Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
            Seluruh agenda kerja negara atau pemerintahan tentu tidak boleh menyimpang dari tujuan pendirian negara sebagimana diatur dalam Pembukaan UUD RI 1945, termasuk dalam mengelola sumber-sumber kekayaan negara.
            Namun demikian, amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, baik Asli maupun Amandemen sering terdistorsi peraturan perundang-undangan dibawahnya, seperti; Undang-undang (UU), Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Daerah (Perda), dan lain sebagainya akibat tarikan-tarikan kepentingan politik sektoral menjadikan timbulnya karut-marut di negeri ini.
            Peraturan perundang-undangan multitafsir serta pasal-pasal karet sering memicu kerancuan maupun kegaduhan politik dalam tataran implementatif, dan kerancuan ataupun kegaduhan itu tidak mustahil pula mengganggu roda penyelenggaraan negara atau pemerintahan serta menguras energi besar terbuang sia-sia. Salah satu contoh paling mutahir ialah lahirnya Undang-Undang RI Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3), Undang-Undang RI Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati/Walikota melalui DPRD, yang kemudian disusul keluarnya Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) langsung di detik-detik akhir pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono (SBY)-Boediono yang menjadi salah satu kegaduhan politik di republik ini.
            Akibat lahirnya UU RI Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3 Gedung DPR RI Senayan Jakarta “Terbelah Dua” dengan dua kubu kekuatan politik yakni; kubu Koalisi Merah Putih (KMP) yang terdiri dari Partai Golkar (P. Golkar), Partai Gerakan Indonesia Raya (P. Gerindra), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Demokrat (PD) yang ambigu. Sedangkan di kubu lain ialah kubu Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang terdiri dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-Perjuangan), Partai Nasional Demokrat (P. Nasdem), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Hati Nurani Rakyat (P. Hanura), dan belakangan masuk Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
            Makhluk koalisi perlu dipahami pada dasarnya tidak dikenal dalam sistem pemerintahan presidensial sebab koalisi biasanya terdapat pada sistem pemerintahan parlementer. Pembentukan koalisi apalagi koalisi permanen adalah sebuah “perselingkuhan” politik untuk merampas, merampok atau mengkudeta daulat rakyat yang menganut sistem pemilihan umum (Pemilu) proporsional, langsung, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Rakyat memberikan hak pilihnya terhadap nama calon legislatif yang diusung atau ditawarkan partai politik.
            Kubu-kubuan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebetulnya hanyalah lanjutan dari kubu pengusung calon presiden/wakil presiden pada pemilu presiden (Pilpres) 09 Juli 2014 lalu. Kubu Kolaisi Merah Putih (KMP) mengusung pasangan calon presiden/wakil presiden nomor urut 1 Prabowo Subianto-HM. Hatta Rajasa, Koalisi Indonesia Hebat (KIH) mengusung calon presiden/wakil presiden nomor urut 2 Joko Widodo (Jokowi)-HM. Jusuf Kalla (JK) yang terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia Ketujuh.
            Pasca terpilih dan dilantiknya Joko Widodo (Jokowi) dan HM. Jusuf Kalla (JK) menjadi presiden/wakil presiden kubu-kubuan seharusnya tidak perlu lagi berlanjut hingga gedung DPR RI Senayan Jakarta. Tetapi kontestasi Pilpres Nampak-nampaknya berubah menjadi pertarungan, perseteruan semakin keras di gedung DPR RI hingga memicu kegaduhan politik dan “Dualisme Kepemimpinan” serta mosi tak percaya. 560 anggota DPR RI sepertinya hanya dikendalikan “kartel-kartel” politik yakni pimpinan (ketua umum/presiden) partai politik seolah-olah menunjukkan bahwa anggota DPR, DPRD yang dipilih rakyat melalui pemilihan umum (Pemilu) bukan lagi wakil rakyat melainkan wakil partai politik.
            Aras perjuangan para anggota DPR, DPRD bukan lagi memperjuangkan kepentingan dan aspirasi rakyat seperti janji-janji kampanye, melainkan ajang perebutan kekuasaan partai politik belaka. Dalam situasi kondisi seperti inilah rakyat tersadar bahwa hak pilih (suara-red) rakyat tak lebih dan tak kurang hanya mainan politik belaka dari juragan-juragan (elite-elite) partai politik di negeri ini.
            Mengatasnamakan rakyat demi memuaskan syahwat atau libido kepentingan partai politik sejatinya adalah cermin nyata kudeta daulat rakyat. Bahkan ada anggota DPR RI terpilih dengan “pongah” beraksioma “Salam Dua Jari”, “Salam Tiga Jari” yang dilontarkan Joko Widodo (Jokowi) di saat kampanye akan menjadi “Salam Gigit Jari”. Sadar atau tidak ucapan politisi ini memberi sinyal aroma politik tak sedap dan tak beradab yang akan berlangsung selama lima tahun di era pemerintahan Jokowi-JK.
            Plintiran-plintiran politik terhadap kebijakan pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK) kemungkinan besar merupakan menu empuk yang mewarnai peta politik yang dilancarkan para politisi kubu diluar partai pengusung JKW-JK. Melancarkan kritik-kritik tajam dan keras mengatasnamakan kepentingan rakyat terhadap kebijakan pemerintaha Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) adalah tontonan yang membutuhkan kecermatan dan kecerdasan rakyat agar tidak terjebak intrik-intrik politik canggih dari para politisi “belut berlumur” oli yang mampu membius alam sadar seperti hipnotis yang bisa mengacaukan banyak orang.
            Karena itu, rakyat harus cermat dan cerdas mengerti dan memahami “sandiwara” politik yang akan dilakonkan para politisi dan elite-elite politik yang tak pernah lupa mengatasnamakan rakyat untuk membungkus kemangkusan partai politik yang menjadikan rakyat hanya “Gigit Jari” menyaksikan kenikmatan kekuasaan luar biasa para politisi.  
Kebijakan Pengalihan Subsidi BBM.   
              Persoalan energi, bahan bakar minyak (BBM), utang luar negeri, pembangunan infrastruktur merupakan permasalahan klasik yang telah lama diperdebatkan serta dikeluhkan para pakar ekonomi, politisi, bahkan masyarakat awam di negeri ini. Pergantian rezim pemerintahan dari Seoharto ke BJ Habibie, KH. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, Megawati Soekarnoputri atau Mbak Mega, Susilo Bambang Yudoyono (SBY) hingga Joko Widodo (Jokowi) permasalahan subsidi bahan bakar minyak (BBM) sepertinya tak luput dari perdebatan sengit dan tajam serta melibatkan dua kutub berbeda, yakni; kutub setuju dan kutub tak setuju yang kadangkala memicu gelombang demonstrasi atau unjuk rasa hingga tindakan anarkhistis. 
            Permasalahan subsidi bahan bakar minyak (BBM) bahkan kadangkala dijadikan para politisi melancarkan hak interpelasi terhadap pemerintahan berkuasa apabila  mengurangi besarnya subsidi berekses kenaikan harga BBM yang secara otomatis berpengaruh terhadap rakyat secara langsung.
Setiap kebijakan yang ingin mengurangi subsidi BBM atau lebih lazim dikenal kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) akan selalu mendapat perlawanan keras dari masyarakat, dan tak mustahil memicu gelombang demonstrasi atau unjuk rasa massif dari para mahasiswa di seluruh tanah air. Bahkan gelombang demonstrasi atau unjuk rasa mahasiswa berubah menjadi tindakan anarkhis yang bisa memakan korban, baik harta maupun nyawa. Karena itu, kebijakan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi merupakan kebijakan tak populer (populis) bagi pemerintahan berkuasa. Tak terkecuali rezim pemerintahan mana pun.  
            Setiap kebijakan menaikkan harga BBM bersubsidi selalu diartikan tak pro rakyat, bahkan dianggap mengkhianati amanah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang harus diganjar pemakzulan (impeachment) apalagi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) ditunggangi kepentingan lawan-lawan politik untuk menjatuhkan pemerintahan berkuasa.
            Sebenarnya harus disadari, bahwa subsidi bahan bakar minyak (BBM) telah menjadi kanker ganas stadium empat bagi politik anggaran republik ini dari waktu ke waktu yang berakibat perlambatan pembangunan infrastruktur di segala bidang. Padahal, hampir semua pakar, ahli ekonomi, politisi, serta pengamat kebijakan publik selalu mengeluhkan subsidi bahan bakar minyak (BBM) semakin membengkak seperti  kanker ganas stadium empat menggerogoti anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) setiap tahunnya.
            Sebagaimana dikatakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Forum CEO Kompas 100, 7 November 2014 lalu, “Saya ingin menyampaikan keborosan-keborosan,” kata Jokowi. Dalam lima tahun ini, subsidi BBM Rp 714 triliun, tetapi anggaran kesehatan hanya Rp 229 triliun dan infrastruktur Rp 574 triliun. “Boros enggak kita ? Sangat boros. Setiap hari kita bakar. Karena itu, keborosan yang harus kita hentikan. APBN kita untuk sasaran produktif, bukan konsumtif” tambah Presiden Jokowi. (Kompas, 22-11-2014).
            Alasan atau argumentasi pengalihan subsidi bahan bakar minyak (BBM) pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)- Jusuf Kalla (JK) dari konsumtif ke produktif secara jujur dan obyektif haruslah dinilai suatu kebijakan cerdas dan jenial. Apalagi melihat perbandingan besaran subsidi BBM Rp 714 triliun yang hanya dibakar sia-sia (konsumtif-red) dengan anggaran kesehatan yang hanya Rp 229 triliun, anggaran infrastruktur Rp 574 triliun (produktif-red) dalam kurun waktu lima tahun sungguh sangat memprihatinkan. Belum lagi, subsidi BBM sekitar 70 persen dinikmati kelas menengah ke atas pemilik mobil menjadikan subsidi BBM tidak tepat sasaran.
            Para politisi serta pihak-pihak yang tak ingin terusik kenikmatan menggunakan subsidi BBM tentu sangat setuju dengan kebijakan pengalihan subsidi BBM walaupun dalam hati sanubarinya mengakui kebijakan pemerintahan Jokowi-JK adalah salah satu cara untuk memotong mata rantai kekeliruan politik anggaran yang dilakukan pemerintahan sebelum-sebelumnya.
            Menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi pernah dilakukan pemerintahan Soeharto, KH. Abadurrahman Wahid alias Gus Dur, Megawati Soekarnoputri atau Mbak Mega, dan pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono (SBY) pernah menaikkan dan menurunkan harga BBM dalam pemerintahannya.
            Sekadar menyegarkan ingatan elemen-bangsa bangsa pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono (SBY) alasan atau argumentasi menaikkan harga BBM bersubsidi adalah agar APBN tidak jebol dan kenaikan harga minyak dunia. Alasan atau argumentasi seperti ini tentu sangatlah tidak tepat dan tak masuk akal. Sebab, pada penjelasan Undang-Undang RI Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dikatakan, bahwa “Anggaran adalah alat akuntabilitas, manajemen, dan kebijakan ekonomi. Sebagai instrumen kebijakan ekonomi anggaran berfungsi untuk mewujudkan pertumbuhan dan stabilitas perekonomian serta pemerataan pendapatan dalam rangka mencapai tujuan bernegara.”  Kemudian, menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) berdasarkan harga minyak dunia sangatlah bertentangan dengan pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Dan disinilah perbedaan nyata dan gamblang antara kebijakan pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono (SBY) dengan pemerintahan Joko Widodo (Jokowi).
            Pemerintahan Jokowi-JK mengalihkan subsidi bahan bakar minyak (BBM) dari konsumtif ke produktif karena pemborosan anggaran subsidi telah menggerogoti ruang fiskal untuk membangun sektor-sektor produktif untuk mendorong pertumbuhan perekonomian agar terwujud tujuan berbangsa dan bernegara sebagaimana janji proklamasi 17 Agustus 1945.
            Mengalihkan subsidi BBM dari bersifat konsumtif ke produktif yang berekses kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) tidak ada urusan dengan turunnya harga minyak dunia seperti alasan politisi-politisi dari Koalisi Merah Putih (KMP) bernafsu ingin menggulirkan Hak Interpelasi kepada pemerintahan Joko Widodo (Jokowi).  Malah mereka membuka tameng sendiri yang super nafsu melakukan pemborosan klasik seperti ingin membangun gedung DPR RI di atas fasilitas Hotel berbintang lima, belanja perjalanan dinas, kunjungan reses, kendaraan dinas, dan lain sebagainya yang sangat tidak berkorelasi langsung dengan kinerja legislasi, pengawasan, dan budgeting selama ini. Walaupun selalu di sorot tajam sebagai lembaga paling korup nampak-nampaknya para politisi di gedung Senayan Jakarta sepertinya tidak pernah malu mengatasnamakan rakyat untuk membungkus kepentingan pribadi, kelompok, golongan maupun partai politiknya. Padahal, sebagai wakil rakyat para dewan inilah seharusnya mengawasi anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) agar efektif dan efisien serta dialokasikan pada sektor-sektor produktif supaya percepatan pembangunan di republik ini terwujud segera.
            Jika diperhatikan cermat dan seksama skema alokasi pengalihan subsidi BBM pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) tanggal 18 November 2014 sebagaimana diberitakan Harian Kompas (18/11/2014), bahwa Infastruktur yang bisa dibiayai dari penghematan subsidi BBM ialah Dalam rencana pembangunan 2015 ada kekuarangan dana mencapai Rp 85,7 triliun untuk pembangunan infrastruktur. Dana ini akan dibiayai dengan meningkatkan peran swasta, penugasan BUMN, jaminan ketersediaan tanah, dan penyediaan skema pembiayaan, antara lain untuk:  
·         Peningkatan Ketahanan air
-       Pembangunan/peningkatan jaringan irigasi seluas 71.000 hektar, rawa seluas 39 ha.
-       Pembanguna (lanjutan) 21 waduk, 9 waduk baru dan embung sebanyak 513,
-       Pengendalian banjir sepanjang 600 km dan rehabilitasi banjir sepanjang 450 km.
-       Pembangunan sarana dan prasarana air baku 11 m² detik.
·         Peningkatan Ketersediaan Infrastruktur Pelayanan Dasar
-       Meningkatkan rasio elektrifikasi dari 83,2 persen menjadi 85,2 persen.
-       Meningkatkan akses air minum dari 70 persen menjadi 70,25 persen melalui pembangunan SPAM kawasan MBR sebanyak 206, regional di lima kawasan IKK sebanyak 133, SPAM di 316 desa, SPAM di 25 kawasan khusus.
-       Meningkatkan akses sanitasi dari 60,5 persen  menjadi 62,4 persen melalui infrastruktur air limbah di 240 kawasan, drainase perkotaan di 34 kabupaten/kota, tempat memproses akhir sampah 54 kabupaten/kota, tempat pengolahan sampah terpadu di 97 kawasan.
-       Menangani perumahan kumuh dari 10 persen menjadi 8 persen melalui pembangunan PSU sebanyak 105.000 unit, penataan kumuh seluas 2.000 ha, pembangunan perumahan swadaya 5.000 unit, dan penyediaan infrastruktur permukiman perkotaan di 85 kawasan.
·         Penguatan Konektivitas Nasional
-       Preservasi jembatan 9.652 m, peningkatan kapasitas/pelebaran jalan 1.237 km, penggantian jembatan 2.296 m, pembangunan jalan baru 258,9 km, pembangunan “flayover”/ “underpass” 2.044,8 m, pembangunan jalan tol 23,32 km, serta pembangunan jalan dan jembatan di kawasan strategis, perbatasan, pulau terpencil dan terluar sepanjang 739,4 km dan 1.414 m.
-       Pembangunan jalur kreta api sepanjang 100 km dan peningkatan kapasitas sepanjang 700 km antara lain di Jabodetabek, Surabaya, Bandung, Yogyakarta, Medan, Lintas Selatan Jawa, dan Lintas Timur Sumatera.
-       Pembangunan prasarana penyeberangan baru di 59  lokasi, 14 dermaga sungai dan 3 dermaga danau.
-       Penyediaan armada perintis 13 kapal di wilayah timur Indonesia, pembangunan/peningkatan pelabuhan 167 lokasi. Pengembangan 8 bandara yang akan dioperasikan tahun 2015, pengadaan 2 pesawar kalibrasi, pengadaan 2 pesawat penumpang perintis, lanjutan pembangunan Bandara Tjilik Riwut dan Singkawang.
-       Peningkatan jumlah pemancar sebanyak 15 unit dan studio sebanyak 10 unit.
            Dari gambaran program pengalihan subsidi harga bahan bakar minyak (BBM) Jokowi-JK sangatlah cerdas dan jenial serta merupakan terobosan baru pengelolaan anggaran negara dari anggaran konsumtif ke  anggaran produktif, walaupun ujung-ujungnya berakibat kenaikan harga BBM yang akan membebani rakyat miskin dalam kurun waktu pendek.
              Bila program Jokowi-JK bisa berjalan efektif serta sesuai sasaran pengorbanan rakyat atas pengalihan subsidi bahan bakar minyak (BBM) konsumtif ke produktif akan menjadi faktor pengungkit percepatan kemajuan pembangunan serta pemerataan berkeadilan sebagai koreksi total kebijakan salah sasaran dari rezim pemerintahan sebelumnya.
              Oleh sebab itu, diperlukan kecerdasan untuk menilai kebijakan pengalihan subsidi BBM agar tidak terjebak politisasi para politikus yang bernafsu memelintir serta membelokkan niat baik pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla(JK) semata-mata menu politik ataupun menimbulkan kegaduhan, kebisingan politik belaka.
             
                                                                                                Medan, 25 November 2014

                                                                                                Thomson Hutasoit.
(Alumni Pemantapan Nilai-nilai Kebangsaan Lemhannas RI bagi kalangan Akademisi, Birokrasi, Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama, Tokoh Adat, Tokoh Pemuda, Provinsi Sumatera Utara tahun 2014).