Pintar Merasa vs Merasa Pintar
Oleh: Thomson Hutasoit
Direktur Eksekutif LSM Kajian Transparansi Instansi
Publik (ATRAKTIP)
Salah satu fenomena sosial di alam
demokrasi saiki ialah munculnya mental atau karakter Pintar Merasa di satu sisi
sedangkan di sisi sebaliknya munculnya mental, karakter Merasa Pintar. Fenomena
ini bukan semata-mata kebetulan saja ataupun akibat penggunaan hukum
diterangkan dan/atau menerangkan (DM/MD) dalam bahasa Indonesia, tetapi mental
atau karakter menggejala mewarnai pola pikir, pola laku manusia-manusia di era
millennia ini.
Menurut KBBI (2007) Merasa ialah
mengalami rangsangan yang mengenai (menyentuh) indra, seperti yang dialami
lidah, kulit, atau badan. Sehingga merasa adalah proses penginderaan langsung
terhadap segala sesuatu yang mengenai atau menyentuh terhadap diri seseorang,
masyarakat, bangsa maupun negara. Sedangkan Pintar adalah pandai, cakap, mahir
(melakukan atau mengerjakan sesuatu). Dengan demikian, Pintar Merasa ialah
suatu kondisi menunjukkan kepandaian, kecakapan, kemahiran mengetahui, memahami
sesuatu keadaan dari pengalaman langsung atau fakta empirik yang dirasakan
seseorang, masyarakat, bangsa maupun negara.
Pintar Merasa ialah suatu kemampuan,
kepandaian, kecakapan, kemahiran memaknai segala sesuatu didasari fakta-fakta
empirik serta pengalaman langsung.
Karena itu, Pintar Merasa bukanlah sekadar analisis teori tetapi
kerangka praktik nyata sehingga bukan asumsi-asumsi, postulat-postulat yang
didasarkan atas kerangka teoritis belaka. Misalnya, memaknai kemiskinan oleh
orang miskin itu sendiri akan jauh berbeda dengan rumusan-rumusan kemiskinan
dijabarkan para elite-elite politik yang
sarat nuansa politis. Orang miskin merasakan langsung betapa pahit dan getirnya
kemiskinan itu dalam hidup sehari-hari, sementara para elite-elite politik
apalagi yang berasal dari keluarga mapan tidak pernah sama sekali merasakan
kemiskinan dalam alam nyata, sehingga analisis-analisis kemiskinan hanyalah
Merasa Pintar bukan Pintar Merasa. Akibatnya, berbagai kebijakan penanggulangan
kemiskinan kadangkala tidak memiliki relevansi secara empirik.
Berbagai tafsir pemaknaan yang tidak
dialaskan pengalaman empirik tentu akan menimbulkan bias realita antara harapan
dan kenyataan. Hal itulah salah satu penyebab utama mengapa berbagai
agenda-agenda kerja penanggulangan permasalahan yang dihadapi masyarakat,
bangsa maupun negara tidak pernah maksimal sebab aneka kebijakan belum mengurai
akar permasalahan secara komprehensif paripurna.
Salah satu gejala sosial di alam
demokrasi belakangan ini ialah terbukanya ruang diskusi publik seluas-luasnya terhadap
segala hal ikhwal perikehidupan masyarakat, bangsa maupun negara. Ruang diskusi
terbuka hingga debat kusir memberi ruang kesempatan publik untuk memberi
komentar, analisis ataupun kritik, baik konstruktif maupun destruktif yang
kadangkala tidak masuk akal.
Acapkali muncul di ruang publik
komentator-komentator hebat yang seolah-olah tiada tandingan di atas bumi ini,
misalnya, seorang komentator bola Indonesia yang memberi komentar macam-macam
ketika klub Bacelona bertanding dengan Real Madrid. Para komentator itu sungguh
luar biasa memberi analisis strategi jitu untuk memenangkan pertandingan. Tapi
perlu diingat serta direnungkan dalam-dalam, bahwa klub sepakbola Indonesia semua tahu tidak
pernah menjadi kampiun di ajang sepakbola dunia, bahkan di tingkat Asia pun
hingga kini belum mampu menunjukkan taringnya, sehingga analisa komentator
sepakbola yang begitu piawai dan berapi-api hanyalah analisis belaka tanpa
didasari pengalaman riil. Bahkan, tidak tertutup kemungkinan para komentator
bola itu pun sama sekali tidak pernah pesepakbola di alam nyata. Karena itu, bukanlah Pintar Merasa melainkan
Merasa Pintar dengan berbagai kerangka teoritis yang belum tentu relevan dengan
fakta empirik.
Analogi komentator sepakbola pada
era demokrasi belakangan ini tumbuh subur bagaikan jamur di musim penghujan,
dimana-mana komentator Merasa Pintar tanpa didukung pijakan logika kerapkali
menimbulkan kegaduhan, kekacauan menambah situasi semakin tak karukaruan.
Belum lagi fenomena munculnya public figure yang tidak dilandasi
kredibilitas, kapasitas, kapabilitas, serta integritas dalam menduduki suatu
posisi karena fakta empirik menunjukkan keterpilihan seseorang menjadi pemimpin
publik (pejabat) semata-mata karena
elektabilitas yang tidak mustahil berkolaborasi dengan isinitas (keuangan-red)
untuk melancarkan politik transaksional.
Problem menghadirkan pemimpin publik
memiliki kredibilitas, kapasitas, kapabilitas, serta integritas yang
ditunjukkan rekam jejak kinerja (track
record) sungguh merupakan kerja berat,
apalagi pada situasi masih cenderung mengutamakan nomor piro wani piro/NPWP sehingga figur-figur kredibel, kapabel,
serta berintegritas akan sulit muncul kepermukaan tanpa kemampuan finansial.
Rekam jejak kinerja (track record)
kadangkala dikalahkan isinitas (keuangan) seseorang sehingga sangat sulit
diharapkan kehadiran pemimpin-pemimpin publik yang “Pintar Merasa”, malah yang
muncul kepermukaan adalah para pemimpi “Merasa Pintar” yang belum pernah
menunjukkan kesuksesan kinerja di alam nyata.
Memberi komentar, kritik bukan lah
suatu kesalahan apalagi dosa, tetapi komentar, kritik yang diperlukan dalam
membangun suatu harapan bersama adalah komentar, kritik konstruktif, bukan
apriori atau kalau bukan kelompoknya semua salah tak ada yang benar.
Bila diamati era belakangan ini,
orang yang belum pernah menjadi bupati/walikota, gubernur, presiden merasa
lebih pintar (Merasa Pintar) daripada orang yang sudah pernah menjadi
bupati/walikota, gubernur ataupun presiden seperti analogi komentator sepakbola
yang tak pernah pesepakbola di lapangan rumput. Merasa Pintar seringkali memberikan
statemen atau komentar tanpa dilandasi bukti dan fakta empirik sehingga bisa
menimbulkan aneka kegaduhan, dan kekisruhan ditengah-tengah kehidupan
masyarakat, bangsa maupun negara.
Komentator bukanlah orang-orang
paling pintar, paling hebat, paling maha tahu sehingga tidak pantas dan layak memosisikan
diri menggurui pihak lain yang notabene
telah Pintar Merasa, bukan hanya Merasa Pintar sebagaimana dilakonkan
sebahagian besar komentator ataupun kritikus di negeri antah berantah.
Komentar
atau kritik seharusnya ditujukan untuk memberi masukan atau sumbangsih
pemikiran untuk meluruskan berbagai kekeliruan, kesalahan serta tidak lupa pula memberi support atas kinerja-kinerja yang baik dari pihak manapun.
Seorang komentator atau kritikus
harus mampu memosisikan diri di sudut netral dan obyaktif sehingga hanya
berpihak pada kebenaran dan keadilan universal semata. Subyektivitas yang
dilandasi faktor like or dislike
seringkali mempengaruhi obyektivitas komentar atau kritik, akibatnya komentar,
kritik lebih cenderung bersifat tendensius dan penghakiman terhadap pihak lain
daripada sumbangan pemikiran untuk mengurai serta meluruskan kekeliruan atau
ketidakbenaran suatu kebijakan.
Merasa Pintar sering memosisikan
diri paling hebat, paling mampu daripada pihak lain sehingga sering memosiskan
pihak lain dibawah grade, padahal itu
hanya lah ilusi semata karena belum pernah terbukti dalam kerja nyata. Oleh
sebab itu, Pintar Merasa jauh lebih baik daripada Merasa Pintar, sebab Merasa
Pintar masih sekadar analisa atau asumsi sedangkan Pintar Merasa adalah
pengalaman nyata yang pernah dilakoni sehingga tidak sekadar analisa, asumsi
ataupun ilusi semata.
Medan,
5 Nopember 2014
Thomson
Hutasoit.