Selasa, 11 November 2014

Pintar Merasa vs Merasa Pintar



Pintar Merasa vs Merasa Pintar
Oleh: Thomson Hutasoit
Direktur Eksekutif LSM Kajian Transparansi Instansi Publik (ATRAKTIP)

            Salah satu fenomena sosial di alam demokrasi saiki ialah munculnya mental atau karakter Pintar Merasa di satu sisi sedangkan di sisi sebaliknya munculnya mental, karakter Merasa Pintar. Fenomena ini bukan semata-mata kebetulan saja ataupun akibat penggunaan hukum diterangkan dan/atau menerangkan (DM/MD) dalam bahasa Indonesia, tetapi mental atau karakter menggejala mewarnai pola pikir, pola laku manusia-manusia di era millennia ini.
            Menurut KBBI (2007) Merasa ialah mengalami rangsangan yang mengenai (menyentuh) indra, seperti yang dialami lidah, kulit, atau badan. Sehingga merasa adalah proses penginderaan langsung terhadap segala sesuatu yang mengenai atau menyentuh terhadap diri seseorang, masyarakat, bangsa maupun negara. Sedangkan Pintar adalah pandai, cakap, mahir (melakukan atau mengerjakan sesuatu). Dengan demikian, Pintar Merasa ialah suatu kondisi menunjukkan kepandaian, kecakapan, kemahiran mengetahui, memahami sesuatu keadaan dari pengalaman langsung atau fakta empirik yang dirasakan seseorang, masyarakat, bangsa maupun negara.
            Pintar Merasa ialah suatu kemampuan, kepandaian, kecakapan, kemahiran memaknai segala sesuatu didasari fakta-fakta empirik serta pengalaman langsung.  Karena itu, Pintar Merasa bukanlah sekadar analisis teori tetapi kerangka praktik nyata sehingga bukan asumsi-asumsi, postulat-postulat yang didasarkan atas kerangka teoritis belaka. Misalnya, memaknai kemiskinan oleh orang miskin itu sendiri akan jauh berbeda dengan rumusan-rumusan kemiskinan dijabarkan para elite-elite politik  yang sarat nuansa politis. Orang miskin merasakan langsung betapa pahit dan getirnya kemiskinan itu dalam hidup sehari-hari, sementara para elite-elite politik apalagi yang berasal dari keluarga mapan tidak pernah sama sekali merasakan kemiskinan dalam alam nyata, sehingga analisis-analisis kemiskinan hanyalah Merasa Pintar bukan Pintar Merasa. Akibatnya, berbagai kebijakan penanggulangan kemiskinan kadangkala tidak memiliki relevansi secara empirik.
            Berbagai tafsir pemaknaan yang tidak dialaskan pengalaman empirik tentu akan menimbulkan bias realita antara harapan dan kenyataan. Hal itulah salah satu penyebab utama mengapa berbagai agenda-agenda kerja penanggulangan permasalahan yang dihadapi masyarakat, bangsa maupun negara tidak pernah maksimal sebab aneka kebijakan belum mengurai akar permasalahan secara komprehensif paripurna.   
            Salah satu gejala sosial di alam demokrasi belakangan ini ialah terbukanya ruang diskusi publik seluas-luasnya terhadap segala hal ikhwal perikehidupan masyarakat, bangsa maupun negara. Ruang diskusi terbuka hingga debat kusir memberi ruang kesempatan publik untuk memberi komentar, analisis ataupun kritik, baik konstruktif maupun destruktif yang kadangkala tidak masuk akal.    
            Acapkali muncul di ruang publik komentator-komentator hebat yang seolah-olah tiada tandingan di atas bumi ini, misalnya, seorang komentator bola Indonesia yang memberi komentar macam-macam ketika klub Bacelona bertanding dengan Real Madrid. Para komentator itu sungguh luar biasa memberi analisis strategi jitu untuk memenangkan pertandingan. Tapi perlu diingat serta direnungkan dalam-dalam, bahwa  klub sepakbola Indonesia semua tahu tidak pernah menjadi kampiun di ajang sepakbola dunia, bahkan di tingkat Asia pun hingga kini belum mampu menunjukkan taringnya, sehingga analisa komentator sepakbola yang begitu piawai dan berapi-api hanyalah analisis belaka tanpa didasari pengalaman riil. Bahkan, tidak tertutup kemungkinan para komentator bola itu pun sama sekali tidak pernah pesepakbola di alam nyata.  Karena itu, bukanlah Pintar Merasa melainkan Merasa Pintar dengan berbagai kerangka teoritis yang belum tentu relevan dengan fakta empirik.
            Analogi komentator sepakbola pada era demokrasi belakangan ini tumbuh subur bagaikan jamur di musim penghujan, dimana-mana komentator Merasa Pintar tanpa didukung pijakan logika kerapkali menimbulkan kegaduhan, kekacauan menambah situasi semakin tak karukaruan.  
            Belum lagi fenomena munculnya public figure yang tidak dilandasi kredibilitas, kapasitas, kapabilitas, serta integritas dalam menduduki suatu posisi karena fakta empirik menunjukkan keterpilihan seseorang menjadi pemimpin publik (pejabat)  semata-mata karena elektabilitas yang tidak mustahil berkolaborasi dengan isinitas (keuangan-red) untuk melancarkan politik transaksional.  
            Problem menghadirkan pemimpin publik memiliki kredibilitas, kapasitas, kapabilitas, serta integritas yang ditunjukkan rekam jejak kinerja (track record)  sungguh merupakan kerja berat, apalagi pada situasi masih cenderung mengutamakan nomor piro wani piro/NPWP sehingga figur-figur kredibel, kapabel, serta berintegritas akan sulit muncul kepermukaan tanpa kemampuan finansial. Rekam jejak kinerja (track record) kadangkala dikalahkan isinitas (keuangan) seseorang sehingga sangat sulit diharapkan kehadiran pemimpin-pemimpin publik yang “Pintar Merasa”, malah yang muncul kepermukaan adalah para pemimpi “Merasa Pintar” yang belum pernah menunjukkan kesuksesan kinerja di alam nyata.   
            Memberi komentar, kritik bukan lah suatu kesalahan apalagi dosa, tetapi komentar, kritik yang diperlukan dalam membangun suatu harapan bersama adalah komentar, kritik konstruktif, bukan apriori atau kalau bukan kelompoknya semua salah tak ada yang benar.  
            Bila diamati era belakangan ini, orang yang belum pernah menjadi bupati/walikota, gubernur, presiden merasa lebih pintar (Merasa Pintar) daripada orang yang sudah pernah menjadi bupati/walikota, gubernur ataupun presiden seperti analogi komentator sepakbola yang tak pernah pesepakbola di lapangan rumput. Merasa Pintar seringkali memberikan statemen atau komentar tanpa dilandasi bukti dan fakta empirik sehingga bisa menimbulkan aneka kegaduhan, dan kekisruhan ditengah-tengah kehidupan masyarakat, bangsa maupun negara.
            Komentator bukanlah orang-orang paling pintar, paling hebat, paling maha tahu sehingga tidak pantas dan layak memosisikan diri menggurui pihak lain yang notabene telah Pintar Merasa, bukan hanya Merasa Pintar sebagaimana dilakonkan sebahagian besar komentator ataupun kritikus di negeri antah berantah.
Komentar atau kritik seharusnya ditujukan untuk memberi masukan atau sumbangsih pemikiran untuk meluruskan berbagai kekeliruan, kesalahan serta  tidak lupa pula memberi support atas kinerja-kinerja yang baik dari pihak manapun.    
            Seorang komentator atau kritikus harus mampu memosisikan diri di sudut netral dan obyaktif sehingga hanya berpihak pada kebenaran dan keadilan universal semata. Subyektivitas yang dilandasi faktor like or dislike seringkali mempengaruhi obyektivitas komentar atau kritik, akibatnya komentar, kritik lebih cenderung bersifat tendensius dan penghakiman terhadap pihak lain daripada sumbangan pemikiran untuk mengurai serta meluruskan kekeliruan atau ketidakbenaran suatu kebijakan.    
            Merasa Pintar sering memosisikan diri paling hebat, paling mampu daripada pihak lain sehingga sering memosiskan pihak lain dibawah grade, padahal itu hanya lah ilusi semata karena belum pernah terbukti dalam kerja nyata. Oleh sebab itu, Pintar Merasa jauh lebih baik daripada Merasa Pintar, sebab Merasa Pintar masih sekadar analisa atau asumsi sedangkan Pintar Merasa adalah pengalaman nyata yang pernah dilakoni sehingga tidak sekadar analisa, asumsi ataupun ilusi semata.  
                                                                                                            Medan, 5 Nopember 2014

                                                                                                            Thomson Hutasoit.

Menilik Makna Kabinet Kerja Jokowi-JK



Menilik Makna Kabinet Kerja Jokowi-JK
Oleh: Thomson Hutasoit
Direktur Eksekutif LSM Kajian Transparansi Kinerja Instansi Publik (ATRAKTIP) 

Pendahuluan.
            Pemberian nama terhadap sesuatu hal tentu tidak asal buat tanpa memikirkan apa makna nama tersebut walau dalam benak pihak-pihak tertentu pembuatan nama itu tidaklah terlalu urgen atau penting. Tapi jangan lupa nama adalah identitas yang melekat serta penanda nyata keberadaan si pemakai nama. Sebab, segala sesuatu tanpa nama tak akan pernah jelas identitasnya sehingga sering terjebak pada situasi abstrak tak berwujud nyata.
            Anonim atau tanpa nama adalah segala sesuatu yang tidak berindetitas yang hanya lazim dikenal di dunia khayal atau dongeng seperti penyebutan negeri antah-berantah yaitu negeri yang tidak disebut (diketahui) nama dan tempatnya (KBBI, 2007).
            Penamaan terhadap sesuatu bukan sekadar pelekatan nama tanpa arti dan makna, melainkan penunjuk atau penanda nyata identitas yang memiliki makna melalui proses permenungan dari si pembuat nama tersebut. Karena itu, si pembuat nama harus pula memikirkan apa makna dibalik nama yang dilekatkan terhadap sesuatu obyek.
            Pasca pelantikan Presiden/Wakil Presiden Joko Widodo (Jokowi)-HM. Jusuf Kalla (JK) tanggal 20 Oktober 2014 lalu, pemerintahan Jokowi-JK menetapkan nama kabinetnya “Kabinet Kerja Jokowi-JK” untuk periode pemerintahannya 2014-2019. Pemberian nama kabinet yang sedemikian sederhana tetapi sarat makna hakiki mengundang decak kagum berbagai pihak, baik masyarakat di dalam negeri maupun masyarakat internasional. Sebaliknya, menimbulkan kritik aneka ragam dari pihak-pihak penganut konsep-konsep besar tuna makna hingga muncul tudingan-tudingan miring bernada tendensius terhadap nama “Kabinet Kerja Jokowi-JK” tanpa menilik makna dibalik nama kabinet yang terkesan tidak ngetop dan tren di dunia elitisme selama ini.
            Kesederhanaan nama Kabinet Jokowi-JK tentu sangatlah relevan dengan karakter Joko Widodo (Jokowi)-HM. Jusuf Kalla (JK) yang sederhana, bersahaja, pekerja keras, merakyat, peduli terhadap nasib rakyat yang ditunjukkan melalui rekam jejak kinerja (track record)  selama memangku amanah yang dipercayakan di pundak mereka berdua. Kesederhanaan, kesahajaan, kejujuran, kepercayaan atau amanah dalam mengemban tugas dan tanggung jawab sepertinya menjungkirbalikkan pola pikir, pola laku mayoritas ‘pemimpin’ yang selalu memosisikan diri sakral di negeri ini.
            Para pemimpin publik sudah banyak dijangkiti penyakit ‘gila hormat, paranoid, lain di bibir lain di hati, serta mendirikan singgasana di atas bangkai rakyatnya’ sehingga tidak perlu heran apabila tidak setuju terhadap tipologi kepemimpinan Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) yang menjadikan istananya istana rakyat. Karenanya, pola berpakaian kedua pemimpin kerakyatan ini pun tidak luput dari kritik keras dan kasar dari ‘pemimpi-pemimpi’ di republik ini. Belum lagi, pengangkatan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pujiastuti pengusaha sukses di bisnis penerbangan (Susi Air) yang notabene tak lulus jenjang pendidikan sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA) membuat banyak orang uring-uringan. Padahal, para pengkritiknya walau memiliki segudang sertifikat akademisi tidak pernah mampu meraih sukses seperti yang diraih pemanggul ikan yang merambah hingga ke bisnis dirgantara melalui kerja, kerja, dan kerja keras tanpa mengenal kata menyerah.
            Kritik keras dan kasar mungkin juga merupakan letupan kekecewaan dari pihak-pihak yang ‘merasa’ paling pantas dan layak menduduki posisi menteri, apalagi selama ini pendewaan terhadap lulusan-lulusan luar negeri dengan berbagai embel-embel akademik begitu diagung-agungkan walau tanpa rekam kesuksesan atau prestasi gemilang ditengah-tengah masyarakat, bangsa maupun negara. Pengagungan jebolan luar negeri tanpa korelasi prestasi kinerja sejatinya adalah kekeliruan besar serta merendahkan harkat dan martabat lembaga akademisi di negeri ini. Padahal, Ir. Soekarno atau Bung Karno Proklamator, Presiden  Republik Indonesia pertama, Joko Widodo Presiden Republik Indonesia ketujuh adalah produk dalam negeri yang tidak kalah level dengan pemimpin-pemimpin dunia.
            Pidato Kenegaraan pertama Presiden Republik Indonesia pada tanggal 20 Oktober 2014 Joko Widodo dengan tegas dan lantang mengatakan, “Kerja…, Kerja…, dan Kerja…” di depan Sidang Paripurna Majelis Permusyawatan Rakyat (MPR) dan dipancarkan seluruh media, baik media elektronik maupun media cetak ke seluruh penjuru tanah air maupun dunia internasional.
            Apa makna sejati dari Kerja…, Kerja…, dan Kerja… yang diucapkan dan dikumandangkan Joko Widodo (Jokowi) ?
            Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2007) Kerja adalah kegiatan melakukan sesuatu; yang dilakukan (diperbuat), sesuatu yang dilakukan untuk mencari nafkah; mata pencaharian. Sedangkan Kabinet ialah badan atau dewan pemerintahan yang terdiri atas para menteri; kantor kerja (terutama bagi presiden, perdana menteri, dsb). Dengan demikian, makna Kabinet Kerja adalah badan atau dewan pemerintahan yang terdiri atas para menteri untuk melakukan suatu kegiatan untuk meningkatkan nafkah atau mata pencaharian seluruh rakyat Indonesia. Kantor kerja presiden diarahkan ditujukan untuk kerja…, kerja…, dan kerja… demi membangun Indonesia Hebat sehingga bangsa ini Berdaulat di bidang politik, Berkepribadian di bidang kebudayaan, berdiri di atas kaki sendiri (Berdikari) di bidang ekonomi sebagaimana diamantkan TRI SAKTI Bung Karno.
            Oleh sebab itu, Kabinet Kerja Jokowi-JK adalah sebuah nama sederhana mengandung sejuta makna operasional yang memberi harapan baru bagi seluruh rakyat republik ini, serta antitesa kabinet-kabinet sebelumnya yang cenderung “Omong Doang/Omdo” alias cakap-cakap dan retorika tanpa prestasi kinerja yang bisa diukur.
            Nama sederhana Kabinet Kerja Jokowi-JK dan tidak multitafsir mengajak seluruh pemangku kekuasaan di negeri ini lebih mengutamakan bekerja daripada beretorika aneh-aneh sebab menyelesaikan permasalahan republik ini tidaklah cukup dengan cakap-cakap, retorika dan rapat-rapat belaka seperti hoby para elitis yang membicarakan, mendiskusikan kemiskinan di hotel berbintang lima.

Kerja…, Kerja…., dan Kerja…
            Kerja…., Kerja…, dan Kerja… adalah makna sejati eksekutif (presiden, gubernur, bupati/walikota) sebagaimana diamanatkan pasal 4 s/d pasal 18 B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (Amanden). Pasal 4 ayat (1), Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar, dan (2), Dalam melakukan kewajibannya Presiden dibantu oleh satu orang Wakil Presiden.
            Memegang kekuasaan pemerintahan, menurut penjelasan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (Amanden) pada angka Romawi IV Sistem Pemerintahan Negara, selengkapnya berbunyi; Presiden ialah Penyelenggara Pemerintahan Negara yang Tertinggi di bawah Majelis. Di bawah Majelis Permusyawaratan Rakyat, Presiden ialah penyelenggaraan Pemerintah Negara yang tertinggi. Dalam menjalankan Pemerintahan Negara, kekuasaan dan tanggung jawab adalah di tangan Presiden (concentration of power and responsibility upon the President).
            Penyelenggara Pemerintahan Negara adalah pelaksana (eksekutor) kekuasaan pemerintahan sehingga harus dilakukan melalui kerja…, kerja…., dan kerja…, bukan hanya sekadar retorika atau berbicara (parle) sebagaimana para parlemen (DPR, DPD, DPRD-red) yang kerjanya rapat…., rapat…, dan rapat siang dan malam hingga akhir periode sesuai yang termaktub pada pasal 19 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 (Amandemen) selengkapnya berbunyi; Dewan Perwakilan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam setahun.  
            Jokowi-JK dengan Kabinet Kerja nya adalah makna tunggal, hakiki, dan sejati sesuai amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, baik Asli maupun Amandemen sehingga penamaan Kabinet Kerja Jokowi-JK patut dimaknai pemahaman sistem pemerintahan presidensial komprehensif paripurna, bukan sekadar nama tanpa makna.
            Yang patut dicermati lima tahun ini ialah bagaimana Pemerintahan Jokowi-JK melakukan “Revolusi Mental” di jajaran eksekutif (presiden, gubernur, bupati/walikota) yang telah “terjangkit penyakit” gemar atau doyan rapat-rapat sehingga alokasi waktu, belanja rapat dinas maupun rutin mendominasi anggaran, baik Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) setiap tahunnya.
            Selain pemborosan atau inefisiensi anggaran, efektivitas dan produktivitas kinerja eksekutif (presiden, gubernur, bupati/walikota) mengeksekusi berbagai program, termasuk blusukan untuk memastikan suatu program berjalan atau tidak agar tidak terulang lagi laporan ‘asal bapak senang/ABS’ dari perangkat-perangkat pelaksana di lapangan. Untuk itu, Pemerintahan Jokowi-JK sudah seharusnya mengevaluasi berbagai jenis-jenis rapat, perjalanan dinas yang boros anggaran agar Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) digunakan efisien, efektif sesuai amanat Undang-undang seperti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
            Rencana pemerintahan Jokowi-JK yang ingin mengevaluasi sistem anggaran, termasuk memangkas belanja-belanja tak urgen adalah suatu langkah cerdas dan jenial sebab perbandingan alokasi belanja aparatur dengan alokasi belanja pembangunan amat sangat jomblang serta tidak masuk akal. Belum lagi peluang-peluang korupsi anggaran dengan memanfaatkan multitafsir atau pasal karet yang terdapat pada peraturan perundang-undangan maupun peraturan daerah (Perda) yang ada saat ini.
            Revolusi Mental dicanangkan Joko Widodo (Jokowi) didukung Kabinet Kerja Jokowi-JK adalah harapan baru bangsa ini yang telah lama dicengkram mental-mental Pangreh Praja serta mensakralkan jabatan menjadikan daulat rakyat terabaikan dalam penyelenggaraan negara atau pemerintahan. Mental-mental Pangreh Praja para pejabat publik harus benar-benar direvolusi oleh pemerintahan Jokowi-JK sebab sejatinya eksekutif (presiden, gubernur, bupati/walikota) adalah Pamong Praja (Parhobas-red) untuk mewujudkan masyarakat makmur, adil dan sejahtera sesuai janji Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945.
            Sebagai Kabinet Kerja menteri-menteri pemerintahan Jokowi-JK tentu harus mampu mengartikulasikan agenda-agenda besar Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) dalam wujud kerja nyata, terukur, terpadu, terintegrasi dengan menghilangkan egoisme sektoral masing-masing menteri, gubernur, bupati/walikota sebagai wujud nyata Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
            Konektivitas antar wilayah melalui pembangunan kemaritiman yang dicanangkan Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) membuka peluang bangsa ini pusat perdagangan terbesar di abad ini. Selain daripada itu, daerah-daerah tapal batas yang selama ini termarjinalkan dalam kebijakan pembangunan akan diberdayakan secara optimal benteng-benteng ketahanan negara menjaga berbagai ancaman, gangguan dari luar. Pemberdayaan masyarakat tapal batas melalui peningkatan ekonomi dan kesejahteraan merupakan kunci utama keutuhan bangsa di masa akan datang.
            Sungguh luar biasa apa yang dikatakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam pidato perdananya, bahwa sudah lama bangsa ini memunggungi laut, teluk, pantai, padahal 2/3 luas wilayah republik ini terdiri dari laut serta memiliki sumber kekayaan negara sangat luar biasa untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat maupun negara.
            Berteriak, mengerang atas pencurian, penjarahan kekayaan laut yang dilakukan bangsa-bangsa asing tanpa kerja…, kerja…, dan kerja… nyata untuk menghentikannya adalah pekerjaan sia-sia. Bahkan, pencaplokan pulau-pulau sebagaimana nasib pulau Sipadan dan Ligitan adalah akibat pengabaian menjaga dan mempertahankan wilayah kedaulatan Republik Indonesia yang harus menjadi pelajaran berharga dan tidak boleh terulang kembali di masa-masa mendatang.
            Oleh sebab itu, agenda besar pemerintahan Jokowi-JK dengan Kabinet Kerja Jokowi-JK adalah jawaban nyata untuk “Melanjutkan Revolusi Belum Selesai” yang dititipkan Bung Karno untuk segera menghadirkan daulat rakyat, daulat bangsa, daulat negara yang bukan hanya mimpi semata, tapi nyata…, nyata…, dan nyata di republik ini.
            Inilah cita-cita para Pahlawan Bangsa yang mengorbankan harta, jiwa demi Indonesia Merdeka.
            Jawaharlal Nehru (1947) mengatakan, “Ambisi utama para orang besar di zaman kita adalah menghapus air mata. Mungkin tugas ini takkan terselesaikan seumur hidup kita. Namun yang jelas, selama masih ada air mata, selama itu pula kita masih harus bekerja. Inilah yang harus kita lakukan, yakni bekerja dan bekerja, guna mewujudkan mimpi-mimpi kita” (Haris Munandar, Terj, 2008).  
            Selamat bekerja Kabinet Kerja Jokowi-JK untuk mewujudkan Indonesia Hebat.
                                                                                                Medan, 10 November 2014

                                                                                                Thomson Hutasoit.
(Alumni Pemantapan Nilai-Nilai Kebangsaan Lemhannas RI bagi kalangan Akademisi, Birokrasi, Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama, Tokoh Adat, Tokoh Pemuda Provinsi Sumatera Utara, tahun 2014).        
                
             
             
                    
    
           
                     

Kudeta Daulat Rakyat



Kudeta Daulat Rakyat
Oleh: Thomson Hutasoit
Direktur Eksekutif LSM Kajian Transparansi Kinerja Instansi Publik (ATRAKTIP)
Pendahuluan.
            Kedaulatan rakyat dengan tegas dan gamblang diatur pada pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (Amandemen) selengkapnya berbunyi; “Kedaulatan berada ditangan rakyat, dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Sebagai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tentu haruslah menjadi acuan, pedoman serta landasan bagi seluruh peraturan perundang-undangan dibawahnya. Sebab, apabila ada peraturan perundang-undangan yang menyimpang dari Undang-Undang Dasar maka peraturan perundang-undangan itu telah melanggar atau menyalahi struktur perundang-undangan di republik ini.
            Di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, baik Asli maupun Amandemen telah diatur hak dan kewajiban konstitusional setiap lembaga-lembaga negara, seperti; Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden,  Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial (KY), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Dewan Pertimbangan, Kementerian Negara, Pemerintah Daerah, Pertahanan dan Keamanan Negara, Wilayah Negara, Warga Negara dan Penduduk, Hak Asasi Manusia (HAM). Sementara lembaga-lembaga negara lainnya diatur di dalam Undang-Undang (UU) yang tentu saja tidak boleh sekali-sekali menyimpang dari amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 sebagai hukum dasar tertulis selain hukum dasar tak tertulis (hukum Adat).
            Namun dalam implementasi pembuatan peraturan perundang-undangan, termasuk peraturan daerah (Perda) kerap kali terjadi penyimpangan dan/atau penyelundupan peraturan perundang-undangan yang menyalahi amanah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang menimbulkan karut marut berbangsa dan bernegara saat ini. Salah satu contoh konkrit ialah lahirnya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) yang ditengarai sarat muatan politis ketika DPR RI periode 2009-2014 tinggal menghitung hari mengakhiri periodenya.
            Membuat Undang-Undang (UU) harus diakui merupakan hak konstitusional Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama Presiden Republik Indonesia sesuai pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (Amandemen) selengkapnya berbunyi; ayat (1), Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang, (2), Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama, (3), Jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi, (4), Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang, (5), Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.
            Ketentuan pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (Amandemen) kadangkala tidak begitu diperhatikan publik untuk menelisik siapakah sebenarnya patut dipersalahkan jika sebuah Undang-Undang menimbulkan kontroversi ditengah-tengah masyarakat, bangsa maupun negara. Harus disadari, bahwa dalam melahirkan sebuah Undang-Undang hak konstitusional DPR dan Presiden memiliki hak seimbang yakni 50 persen sebagaimana diatur pada pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (Amandemen) sehingga tidaklah adil bila beban kesalahan hanya diletakkan di pundak DPR bila sebuah undang-undang (UU) mendapat sorotan, kritik, bahkan penolakan dari rakyat. Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) tidak bisa cuci tangan ala Pontius Pilatus terhadap berbagai undang-undang (UU) yang lahir diujung kekuasaannya yang menimbulkan kegaduhan politik memalukan saat ini. Artinya, kegaduhan dan kisruh politik yang terjadi saat ini adalah warisan buruk pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono (SBY)-Boediono yang menjadi catatan sejarah dikemudian hari.

Merampas, Merampok Daulat Rakyat.  
            Pasal 19 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (Amandemen) selengkapnya berbunyi; ayat (1), Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dipilih melalui pemilihan umum, (2), Susunan Dewan Perwakilan Rakyat diatur dengan undang-undang, (3), Dewan Perwakilan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam setahun. Sedangkan pada pasal 22 E Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 (Amandemen) selengkapnya berbunyi; ayat (1), pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali, (2), Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, (3), Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik, (4), Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorangan, (5), Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri, (6), Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-undang.
            Dari kedua pasal ini jelas, tegas, terang-benderang tergambar bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat sebagaimana juga ditegaskan pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (Amandemen) sehingga tidak perlu ditafsirkan atau diselewengkan untuk merampas, merampok atau mengkudeta kedaulatan dari tangan rakyat.
            Dewan Perwakilan Rakyat yang dipilih melalui pemilihan umum pasal 19 ayat (1) adalah pilihan rakyat melalui pemilihan umum yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali pasal 22 E ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (Amandemen) sehingga anggota Dewan Perwakilan Rakyat tidak boleh sekali-sekali menjadikan dirinya Dewan Perwakilan Partai Politik.
            Bila Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang dipilih rakyat secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil melalui pemilihan umum lebih megedepankan dan/atau mengutamakan kepentingan partai politik maka anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah nyata-nyata mengkhianati dan mengkudeta kedaulatan rakyat secara telanjang. Kudeta daulat rakyat secara konstitusional adalah suatu tindakan perilaku buruk dan tak beradab dalam sebuah proses demokrasi yang mengedepankan kejujuran serta menjunjung keadilan publik.
            Kudeta konstitusional daulat rakyat melalui berbagai undang-undang seperti Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) ataupun Undang-undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pilkada yang menyatakan Pilkada melalui DPRD di era pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono (SBY)-Boediono sangatlah disayangkan dan disesalkan, apalagi libido juragan-juragan partai politik membentuk kartel politik merampas, mencaplok daulat rakyat menjadi daulat partai politik sangat bernafsu.  
            Apakah tidak keliru besar dan sesat pikir jika juragan-juragan partai politik membentuk kartel politik (koalisi) permanen semata-mata untuk merebut kekuasaan di parlemen (DPR RI) yang tidak memiliki relevansi sama sekali dengan perjuangan aspirasi serta penderitaan rakyat.
            Pemilu sistem proporsional terbuka dengan memilih nama calon legislatif serta  keterpilihan melalui suara terbanyak menunjukkan bahwa rakyat memilih calon legislatif secara langsung, bukan memilih partai politik. Partai politik adalah wadah pencalonan, tetapi keterpilihan absolut pilihan rakyat terhadap seseorang calon, sehingga mengekang kebebasan anggota legislatif (DPR, DPRD) adalah perampasan, perampokan daulat rakyat secara nyata. Belum lagi rezim recall yang menjadi momok bagi anggota legislatif juga merupakan taktik strategi partai politik untuk mengkudeta daulat rakyat menjadi daulat partai politik. Anggota legislatif yang berseberangan dengan partai politik walaupun nyata-nyata menunjukkan keberpihakan terhadap aspirasi rakyat juga menjadi biang kerok mandulnya laras perjuangan kepentingan rakyat di lembaga legislatif selama ini.
            Juragan-juragan partai politik yang lebih condong memperjuangkan kepentingan partai politik yakni merebut kekuasaan daripada memperjuangkan aspirasi rakyat adalah sesat pikir dan buruk rupa perilaku elite-elite politik yang menjadi  salah satu pemicu perseteruan, kegaduhan politik hingga muncul dualisme kepemimpinan lembaga DPR RI yang jadi cacatan buruk perpolitikan negeri ini sepanjang sejarah.     
Koalisi Merah Putih (KMP) yang terdiri dari Partai Golongan Karya (P. Golkar), Partai Gerakan Indonesia Raya (P. Gerindra), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Demokrat yang memiliki kursi mayoritas di parlemen bernafsu menguasai kursi pimpinan dan alat kelengkapan dewan (AKD) melalui kartel politik merampas, merampok daulat rakyat atas nama kudeta konstitusional undang-undang MD3 cacat sejak lahir dari ‘perselingkuhan’ politik.  
Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang terdiri dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-Perjuangan), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Nasional Demokrat (P. Nasdem), Partai Hati Nurani Rakyat (P. Hanura), belakangan bergabung Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang notabene pendukung Presiden Joko Widodo (Jokowi)-M. Jusuf Kalla (JK) terpaksa gigit jari karena memiliki kursi minoritas di DPR RI. Sementara Koalisi Merah Putih (KMP) yang pada masa pemilihan presiden (Pilpres) merupakan pendukung Prabowo Subianto-HM Hatta Rajasa telah merancang skenario sikat habis kursi pimpinan dan alat kelengkapan dewan (AKD) melalui Undang-Undang MD3 serta tata tertib DPR sistem paket di akhir masa periode DPR RI 2009-2014 lalu.   
Lembaga Dewan Perwakilan Rakyat yang bersifat kolektif kolegial sangatlah tidak pantas dan layak jika terbelah, padahal sistem paket tidak pernah dikenal dalam konstruksi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, baik Asli maupun Amandemen sehingga DPR RI kubu-kubuan atau koalisi-koalisian adalah prahara politik paling buruk sepanjang sejarah republik ini. DPR RI yang memiliki hak legislasi, hak pengawasan, hak budgeting harus dijalankan seluruh anggota DPR RI secara kolektif kolegial atas nama lembaga DPR RI. Sehingga tidak ada satu kubu pun di DPR RI yang berhak mengklaim dirinya paling sah mengatasnamakan rakyat.
Kudeta daulat rakyat tampak terang-benderang di Gedung DPR RI Senayan Jakarta, dimana Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-Perjuangan) selaku pemenang pemilihan legislatif (Pileg) 09 April 2014 berdasarkan pilihan rakyat (daulat rakyat-red) tidak satu pun memperoleh kursi pimpinan parlemen maupun kursi alat kelengkapan dewan (AKD) adalah cerminan nyata perampasan, perampokan hak konstitusional (hak pilih-red) rakyat yang dijamin Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dan Undang-undang Pemilu. Padahal, pada pemilihan legislatif (Pileg) 2009 lalu, Partai Demokrat selaku pemenang pemilu secara otomatis menduduki kursi Ketua DPR RI. Disinilah bukti nyata kudeta daulat rakyat yang dirancang melalui ‘perselingkuhan’ politik undang-undang MD3 yang menjadi catatan buram perpolitikan negeri ini.
Susunan Dewan Perwakilan Rakyat diatur dengan undang-undang (pasal 19 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (Amandemen) secara terang-terangan telah dibelokkan undang-undang MD3 tahun 2014 sistem paket dalam mengisi Pimpinan DPR serta alat kelengkapan dewan (AKD) adalah kudeta konstitusional.  Sehingga  harus diingat dan dimaknai komprehensif paripurna, bahwa undang-undang MD3 sarat muatan politis serta ‘perselingkuhan’ sekaligus biang kerok kudeta daulat rakyat yang dirancang kartel politik haus kekuasaan.   
Sungguh menyedihkan, mengecewakan dan memalukan gedung rakyat Senayan Jakarta terbelah dua dengan membentuk kepemimpinan ganda (dua kubu) yakni  kubu Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) menjadikan para anggota Dewan Perwakilan Rakyat bukan lagi wakil rakyat melainkan wakil partai politik yang dikendalikan ‘Kartel Politik’.
Para wakil rakyat seharusnya meyadari, bahwa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah lembaga terhormat mengemban daulat rakyat, bukan daulat partai politik sehingga sangat memalukan bila terjadi “Dualisme Kepemimpinan” yang memberi pendidikan politik buruk terhadap rakyat di negeri ini.  
Oleh sebab itu, untuk tidak terulang kembali kisruh politik memalukan dikemudian hari perlu dilakukan penataan ulang partai politik di republik ini. Bila perlu melakukan amandemen Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 supaya tidak terjadi lagi kudeta daulat rakyat di masa akan datang.
Kisrus politik memalukan yang dilakonkan para maniak kuasa telah menjadi catatan buruk di memori rakyat sebagai pemilik kedaulatan, sehingga bila terjadi degradasi kepercayaan rakyat terhadap legislatif (DPR, DPRD) bahkan ada yang mengajukan petisi mosi tidak percaya terhadap para wakil rakyat tidak perlu disalahkan.
Rakyat memberi hak pilih terhadap wakil rakyat semata-mata gantungan harapan memperjuangkan nasibnya, bukan menggadaikan suaranya untuk memperbesar kekuasaan elite-elite atau juragan partai politik.     
                                                                                                Medan, 4 November 2014
                                                                                                Thomson Hutasoit.
(Alumni Pemantapan Nilai-Nilai Kebangsaan Lemhannas RI bagi kalangan Akademisi, Birokrat, Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama, Tokoh Adat, Tokoh Pemuda, Provinsi Sumatera Utara, tahun 2014).