Kamis, 30 Oktober 2014

Ke-Kami-an menjadi ke-Kita-an



 Ke-Kami-an menjadi ke-Kita-an
Refleksi Makna Sumpah Pemuda 28 Oktober 2014
Oleh: Thomson Hutasoit
Direktur Eksekutif LSM Kajian Transparansi Kinerja Instansi Publik (ATRAKTIP)

Pendahuluan.
            Salah satu tonggak sejarah perjalanan Bangsa Indonesia yang tidak boleh dilupakan ialah Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 dimana para pemuda-pemudi bumi Nusantara mengikrarkan sumpah satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa yang diawali kata “Kami”.
            Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 yang diawali kata “Kami” satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa yaitu Indonesia adalah komitmen kebangsaan yang diikrarkan kepada bangsa-bangsa lain. Sebab, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007) kata Kami mengandung arti yang berbicara bersama dengan orang lain (tidak termasuk yang diajak berbicara); yang menulis atas nama kelompok, tidak termasuk pembaca, yang berbicara (digunakan oleh orang besar, misalnya raja); yang menulis (digunakan oleh penulis).
            Dari konteks KBBI bahwa kata “Kami” yang digunakan para pemuda-pemudi 28 Oktober 1928 menunjukkan bahwa bangsa Indonesia di satu pihak dan bangsa-bangsa asing di atas dunia di pihak lain. Komitmen kebangsaan seluruh rakyat Nusantara yang dimotori para pemuda-pemudi dengan gagah berani berbicara dan menyatakan diri satu nusa, satu bangsa, satu bahasa yakni Indonesia terhadap bangsa-bangsa mana pun di jagat raya ini adalah spirit kebangsaan yang tidak boleh kendur sepanjang masa. Semangat para pemuda-pemudi yang berani mengikrarkan ke-Kami-an terhadap bangsa-bangsa lain adalah salah satu modal dasar bangsa Indonesia yang perlu dirawat sepanjang masa.
            Konteks ke-Kami-an sebelum Indonesia merdeka 17 Agustus 1945 oleh para pemuda-pemudi Nusantara tentu tidaklah sama dan identik pasca Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Sebab di alam merdeka komitmen kebangsaan bukan lagi hanya ditujukan kepada bangsa-bangsa lain. Tetapi, komitmen kebangsaan itu juga harus pula ditujukan pada memperkuat ke-Kita-an agar seluruh anak-anak Ibu Pertiwi Nusantara memiliki posisi setara dan sederajat dalam berbangsa dan bernegara. Karena, menurut KBBI (2007) makna ke-Kita-an ialah yang bersifat atau berciri kita, kesatuan perasaan antara kita: fungsi ideologi membangun sikap ke-Kita-an, sifat mementingkan kebersamaan dalam menanggung suka duka (saling membantu, saling menolong, dan sebagainya).  
            Dalam konteks kedua kata inilah (ke-Kami-an dan ke-Kita-an) kadangkala belum disadari komprehensif paripurna dalam berbangsa dan bernegara sehingga muncul polarisasi cara pandang sesama anak bangsa yang tidak mustahil satu sama lain menimbulkan pergesekan, perpecahan, perseteruan ataupun konflik karena masing-masing pihak lebih menonjolkan ke-Kami-an daripada ke-Kita-an dalam berbangsa dan bernegara. Padahal, pasca kemerdekaan ke-Kami-an yang ditujukan kepada bangsa-bangsa lain tidak boleh sekali-sekali dilancarkan terhadap sesama anak bangsa, justru ke-Kita-an lah yang seharusnya ditonjolkan agar kesatuan perasaan diantara kita semakin tumbuh ditandai saling membantu, saling menolong dalam menghadapi suka duka berbangsa dan bernegara.
            Bila seluruh anak-anak negeri mengedepankan kebersamaan maka proses musyawarah menuju mufakat tidak sulit dilaksanakan, apalagi sifat ke-Kita-an yang dilandasi kesatuan perasaan sesama anak bangsa tersemaikan terus-menerus,  berkesinambungan dari generasi ke generasi.
Konsepsi ke-Kami-an.
            Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa konsepsi ke-Kami-an yang diikrarkan para pemuda-pemudi pada Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 ialah konsepsi “Kebangsaan ke-Indonesia-an” yang dilandasi kesadaran nasional melahirkan satu bangsa berdaulat, bermartabat bernama Indonesia.
            Menyatakan atau mengikrarkan ke-Kami-an terhadap bangsa-bangsa lain harus pula disadari sebagai buah keberhasilan pemikiran jenial para putera-puteri Nusantara membangun ke-Kita-an ribuan pulau-pulau, ribuan suku bangsa, ratusan bahasa lokal, serta berbagai agama dan kepercayaan yang tumbuh di bumi Nusantara.
            Kesatuan perasaan, senasib sepenanggungan, mendahulukan kebersamaan di atas kepentingan pribadi, kelompok maupun golongan adalah salah satu faktor pertama dan utama membangun ke-Kita-an di bumi Nusantara yang majemuk, pluralistik.  
            Bila masing-masing suku, agama, ras, antar golongan (SARA) termasuk daerah menonjolkan ke-Kami-an nya maka ke-Kita-an di bumi Nusantara tidak akan pernah lahir atau tumbuh hingga kapan pun. Sebab tiap-tiap suku, agama, ras, antar golongan (SARA) maupun daerah akan  mengedepankan, menonjolkan kepentingan masing-masing. Penonjolan ego sektarian-primordial sebelum lahirnya Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 harus pula disadari faktor utama penyebab mudah dan rapuhnya negeri ini dipecah-belah penjajah kolonial di masa lalu untuk selanjutnya dikuasai hingga ratusan tahun.  
            Ke-Kami-an antar suku, agama, ras, antar golongan (SARA) maupun daerah dimanfaatkan para penjajah mengadu domba sesama anak bangsa yang diselimuti egoisme masing-masing. Akibatnya, sesama anak bangsa saling berseteru, konflik, bahkan perang yang berujung kehancuran kerajaan-kerajaan di bumi Nusantara.
            Para pemuda-pemudi cerdas jenial Nusantara melihat dan menyadari sifat ke-Kami-an rakyat Nusantara merupakan  salah satu faktor utama kegagalan melahirkan satu bangsa merdeka, bermartabat, berdaulat di jagat raya ini. Karena itulah, para putera-puteri Nusantara dengan kecerdasan, kejenialan serta kebesaran jiwa membangun ke-Kita-an sesama anak bangsa untuk melahirkan ke-Kami-an terhadap bangsa-bangsa lain di atas bumi ini.
            Tanpa ke-Kita-an sesama anak bangsa tidak akan mampu melahirkan ke-Kami-an terhadap bangsa lain yang ditandai lahirnya Indonesia merdeka 17 Agustus 1945. Jadi ke-Kami-an adalah Nasionalisme Jilid Satu yakni perebutan kemerdekaan dari genggaman penjajah kolonial.   
            Sadar atau tidak, makna ke-Kami-an yang diikrarkan para pemuda-pemudi pada Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 adalah lahirnya Nasionalisme Jilid Satu yakni hasrat kuat lahirnya suatu bangsa merdeka yakni Bangsa Indonesia.  
            Konsepsi ke-Kami-an adalah perebutan kemerdekaan dari tangan bangsa lain, bukan penonjolan kepentingan sesama anak bangsa.
            Oleh sebab itu, penonjolan ke-Kami-an yang dipertontonkan para elite-elite politik pasca pemilihan presiden (Pilpres) 09 Juli 2014 dimana Koalisi Merah Putih (KMP) ataupun Koalisi Indonesia Hebat (KIH) menonjolkan kepentingan politik kubu masing-masing secara telanjang sungguh sangat disayangkan serta memalukan dalam sejarah perjalanan bangsa ini.  
            Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) adalah sebuah kontestasi sesama anak bangsa untuk memilih calon presiden/wakil presiden terbaik pilihan rakyat dari para putera-puteri bangsa, sehingga tidak perlu berseteru, konflik  berkepanjangan pasca Pilpres.
            Pemilihan presiden/wakil presiden bukan perang terhadap bangsa lain sehingga menonjolkan ke-Kami-an sebagaimana ketika perebutan kemerdekaan dari tangan penjajah kolonial. Walaupun ketika masa proses pemilihan presiden (Pilpres) masing-masing kontestan menggunakan kata “Kami” untuk merekat kubu masing-masing bukan berarti ke-Kita-an sesama anak bangsa tidak perlu dijaga dan dipertahankan lagi.
            Ke-Kami-an di dalam kontestasi politik Indonesia merdeka seperti pemilihan legislatif (DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota), pemilihan eksekutif (presiden, gubernur, bupati/walikota) haruslah ditempatkan dibawah ke-Kita-an, sebab kontestasi politik itu sejatinya untuk mewujudkan tujuan pendirian republik ini yakni masyarakat adil, makmur dan sejahtera dibawah kepemimpinan putera-puteri terbaik yang dilahirkan melalui proses pemilihan umum (pemilu) beradab dan bermartabat dengan menempatkan keutuhan bangsa di atas segala-galanya. Ke-Kami-an ditempatkan dibawah ke-Kita-an sebab siapa pun yang terpilih (presiden,gubernur, bupati/walikota) dia adalah pemimpin seluruh rakyat (kita-red).  
Konsepsi ke-Kita-an.
            Nasionalisme Jilid Satu ialah Kemerdekaan Bangsa Indonesia yang dilandasi ke-Kami-an yang diikrarkan putera-puteri Nusantara pada Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 telah melahirkan satu bangsa bermartabat dan berdaulat di atas bumi ini.
            Sebagaimana dikatakan para pendiri bangsa bahwa Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 adalah “Jembatan Emas” menuju cita-cita proklamasi masyarakat adil, makmur dan sejahtera bagi seluruh rakyat Indonesia, tanpa kecuali.  
            Mengisi kemerdekaan untuk menepati janji-janji proklamasi adalah merupakan Nasionalisme Jilid Dua yakni; menghilangkan kemiskinan, kemelaratan, ketertinggalan,  kebodohon, ketidakadilan, diskriminasi, intimidasi, korupsi serta pelanggaran hak asasi manusia (HAM) lainnya adalah kerja-kerja politik yang mengedepankan ke-Kita-an. Saling tolong-menolong, bantu-membantu, bahu-membahu sesama anak bangsa dengan semangat ke-Kita-an haruslah menjadi arus utama dari seluruh anak-anak bangsa. Bukan sebaliknya, menonjolkan semangat ke-Kami-an untuk menguasai, merampas, menjajah sesama anak bangsa yang berseberangan dengan kepentingan politik masing-masing.
            Menempatkan ke-Kami-an di atas ke-Kita-an adalah suatu pemikiran mundur ke belakang (setback) seperti masa-masa sebelum kemerdekaan yang menonjolkan egoisme masing-masing, baik atas nama suku, agama, ras, antar golongan (SARA) maupun daerah. Penonjolan ego sektoral harus pula dipahami merupakan ancaman laten terhadap keutuhan bangsa dan negara berdasarkan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Bhinneka Tunggal Ika yang merupakan konsensus dasar berdirinya republik ini.
            Ke-Kami-an yang diikrarkan para pemuda-pemudi pada Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 lalu sangat keliru besar ditujukan kepada sesama anak bangsa walau dengan alasan apapun. Ke-Kami-an seharusnya ditunjukkan dan ditujukan kepada bangsa-bangsa lain melalui ukiran aneka prestasi di fora internasional sehingga martabat bangsa di percaturan politik dunia semakin diperhitungkan. Sedangkan kepada sesama anak bangsa yang perlu dikedepankan dan ditonjolkan adalah ke-Kita-an yang merupakan cerminan kesamaan perasaan serta solidaritas sesama anak bangsa melalui aksi kepedulian, saling tolong-menolong, bantu-membantu, bahu-membahu menyelesaikan aneka permasalahan  bangsa saat ini. Permasalahan yang sedang dihadapi bangsa ini hanya bisa diselesaikan apabila seluruh anak-anak bangsa mengedepankan ke-Kita-an sehingga lahir sebuah sinergi besar untuk menyelesaikan aneka permasalahan di republik ini. Ke-Kita-an adalah modal besar yang tidak boleh diusik walau dengan dalih apapun.
Memperkuat Visi Kebangsaan Indonesia.
            Memperkuat visi kebangsaan Indonesia (Nasionalisme) di alam Indonesia merdeka tentu sangat berbeda dengan sebelum kemerdekaan republik ini. Sebab, musuh seluruh bangsa Indonesia sebelum kemerdekaan ialah pihak penjajah kolonial yang merampas kebebasan atau kemerdekaan anak-anak bangsa di seluruh segmen kehidupan. Karena itu, seluruh anak-anak bangsa mengedepankan atau menonjolkan ke-Kami-an terhadap pihak asing sebagaimana dimotori para pemuda-pemudi pada Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.
            Ke-Kami-an adalah kesadaran komprehensif paripurna untuk merebut kemerdekaan dari tangan pihak penjajah sehingga ke-Kami-an harus pula dimaknai perlawanan seluruh anak-anak bangsa di bumi Nusantara. Wujud dari perlawanan itu ialah melepaskan belenggu dominasi pihak asing sehingga bangsa Indonesia memiliki kedaulatan di segala segmen kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
            Makna ke-Kami-an di alam kemerdekaan ialah ikrar kedaulatan seperti dikatakan Bung Karno dalam TRI SAKTI yakni; berdaulat di bidang politik, berkepribadian di bidang kebudayaan, berdiri di atas kaki sendiri (Berdikari) di bidang ekonomi. Sebab, hal itu hingga 69 tahun pasca kemerdekaan masih belum mampu dihadirkan di negeri ini. Dominasi pihak asing masih terasa kental dan kentara hingga negeri ini seperti sebuah negara berdaulat tanpa kedaulatan.
            Ke-Kami-an yang diikrarkan para pemuda-pemudi saat ini haruslah ditujukan kepada bangsa-bangsa lain, bukan sebaliknya ditujukan kepada sesama anak bangsa sebagaimana dipertontonkan para elite politik belakangan ini.
            Mengedepankan, menonjolkan ke-Kami-an sesama anak bangsa walau dengan alasan apapun adalah kekeliruan besar dan fatal, apalagi menjadikan musuh yang harus “dibumi hanguskan” karena berbeda pilihan politik, suku, agama, ras, antargolongan maupun daerah.
            Perbedaan, kemajemukan, pluralisme maupun perbedaan pilihan politik adalah  keindahan demokrasi bagaikan indahnya pelangi di ufuk biru sehingga tidak beralasan apabila dijadikan memberangus ke-Kita-an sesama anak bangsa. Tidak ada musuh sesama anak bangsa sehingga mengedepankan atau menonjolkan ke-Kami-an seperti masa sebelum kemerdekaan 17 Agustus 1945 lalu harus dimaknai kekeliruan dan sesat pikir.  
            Oleh karena itu, memperkuat kebangsaan Indonesia (Nasionalisme) di republik merdeka haruslah mengedepankan, menonjolkan ke-Kita-an sesama anak bangsa agar bangsa ini mampu mengikrarkan ke-Kami-an kepada bangsa lain di segala segmen perikehidupan berbangsa dan bernegara.
            Sungguh sangat disayangkan bila masih ada anak-anak Ibu Pertiwi mengedepankan, menonjolkan ke-Kami-an nya terhadap saudaranya sendiri hingga muncul pengkotak-kotakan sesama anak bangsa dalam berbangsa-bernegara.
            Inilah salah satu refleksi merayakan Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 2014 yang sangat-sangat perlu ditanamkan di hati sanubari segenap generasi bangsa.  

                                                                                                            Medan, 15 Oktober 2014

                                                                                                            Thomson Hutasoit.
(Alumni Angkatan Pertama, Pemantapan Nilai-Nilai Kebangsaan Lemhamnas RI bagi  Akademisi, Birokrat, Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama, Tokoh Adat, Tokoh Pemuda, Provinsi Sumatera Utara, Tahun 2014).  
               

Rabu, 15 Oktober 2014

Ambivalensi Demokrasi



Ambivalensi Demokrasi
Oleh: Thomson Hutasoit
Dierektur Eksekutif LSM Kajian Transparansi Kinerja Insatansi Publik (ATRAKTIP)

            Mencermati polemik politik seputar Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilu Kada) langsung pasca Pemilihan Presiden 9 Juni  2014 lalu, dimana pemilihan tersebut dimenangkan pasangan calon presiden/wakil presiden Joko Widodo (Jokowi)/ Jusuf Kalla (JK) mengalahkan pasangan calon presiden Prabowo Subianto/HM Hatta Rajasa satu putaran sesuai Keputusan dan Penetapan Komisi Pemilihan Umum (KPU) tanggal 22 Juli 2014 yang kemudian ditetapkan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia pada tanggal 21 Agustus 2014.
            Pasangan calon presiden nomor urut 1 Prabowo Subianto/HM Hatta Rajasa yang didukung Koalisi Merah Putih (KMP), terdiri dari Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Bulan Bintang (PBB), sementara Partai Demokrat tidak secara tegas menyatakan dukungannya walau kader-kadernya menyatakan dukungan kepada pasangan calon presiden/wakil presiden nomor urut 1.
Sedangkan pasangan calon presiden/wakil presiden nomor urut 2 Joko Widodo (Jokowi) /HM Jusuf Kalla (JK) hanya didukung atau diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ( PDI-Perjuangan), Partai Nasional Demokrat (Partai Nasdem), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Hati Nurani Rakyat (Partai Hanura), PKP-Indonesia yang memiliki kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI minoritas priode 2009-2014 disebut Koalisi Indonesia Hebat (KIH).  
            Buntut kekalahan konstestasi pilpres 2014 memang harus diakui sangatlah pahit apalagi Koalisi Merah Putih (KMP) yang didukung partai-partai besar dan memiliki kursi mayoritas di parlemen menjadikan partai-partai pengusung pasangan calon presiden/wakil presiden nomor urut 1 sangat sulit menerima kekalahan secara kesatria dan legowo. Tetapi harus diingat bahwa, kalkulasi politik tidaklah selalu linier dengan logika politik rakyat yang sudah semakin cerdas memilih, mendaulat pemimpinnya.          Rakyat sudah pintar dan cerdas membedakan antara memilih calon wakil rakyat (DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota) dengan pemilihan presiden/wakil presiden sehingga jumlah kursi di DPR tidaklah jaminan mutlak absolut berkorelasi linier perolehan suara terhadap pasangan calon presiden/wakil presiden sebagaimana dibuktikan beberapa pemilihan, seperti Pemilukada Gubernur DKI Jakarta 2012, dan paling mutahir Pilpres 2014 lalu yang dimenangkan Joko Widodo (Jokowi)/HM. Jusuf Kalla (JK) mengalahkan Prabowo Subianto/HM. Hatta Rajasa.  
            Bila diperhatikan dengan cermat pertarungan politik pemilihan presiden/wakil presiden 2014 menunjukkan betapa kontrasnya perbedaan antara politik elite dengan politik rakyat pada dua kubu pasangan calon presiden/wakil presiden. Walau dengan berbagai taktik strategi dilancarkan masing-masing kandidat untuk merebut simpatik rakyat, termasuk berbagai penciteraan dengan berbagai iming-iming, rakyat yang semakin cerdas mampu memilah dan memilih mana emas mana pula loyang menurut pelacakan rekam jejak kinerja para kandidat.
Rakyat berdaulat menentukan pilihan secara langsung  terhadap calon pemimpin yang menurut penilaiannya kredibel, kapabel, dan berintegritas mengemban tugas dan tanggung jawab pemimpin dari rekam jejak kinerja (track record) sebelum-sebelumnya. Jadi tidak lagi cukup mengandalkan aneka penciteraan melalui iklan/propaganda ala iklan kecap nomor satu. Model-model rekayasa kemasan hampa isi sudah sangat ketinggalan zaman alias out of date yang masih banyak melekat dan mendarah daging bagi sebahagian besar politisi di republik ini adalah cermin ketidakmampuan menangkap tanda-tanda zaman. Sebab masih banyak politisi di negeri ini belum mampu menerima perubahan paradigma baru, sehingga muncul pameo paradigma telah berubah tapi orangnya belum. Belum lagi penyakit post power syndrom yang selalu mengagung-agungkan masa lalu yang tak pernah terbukti membawa pengaruh signifikan terhadap kemaslahatan masyarakat, bangsa maupun negara secara riil.
Memosisikan rakyat mengidap penyakit agnosia (lupa ingatan-red) atas sepak terjang para politisi di masa lalu sangatlah tidak bijaksana dan tak beradab sebab tindakan seperti itu adalah penghinaan terhadap kemanusiaan yang sangat tak terpuji.    
            Kekeliruan dan sesat pikir memosisikan rakyat masih buta atas tindak tanduk sebahagian besar politisi yang doyan mempermainkan nasib rakyat pada pemilihan presiden/wakil presiden 2014 mendapat tamparan keras dari pemilik kedaulatan (suara) hingga muncul ambivalensi demokrasi ingin mengembalikan pemilihan langsung kepala daerah (gubernur, bupati/walikota) menjadi pemilihan kepala daerah tak langsung melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) seperti di era Orde Baru (Orba) yang ditumbangkan era reformasi 1998 lalu yang membangun oligarkhi elite-elite partai politik serta sandiwara politik yang memasung serta membajak hak kedaulatan rakyat menjadi kedaulatan elite-leite partai politik.   
            Koreksi kekeliruan orde baru (Orba) yang melakonkan sandiwara politik serta pemasungan hak daulat rakyat adalah makna sejati lahirnya reformasi di republik ini, tapi reformasi bermahar darah mahasiswa dan rakyat bumi Nusantara kini sepertinya sedang menuju Ret in Peace (RIP) alias “Dison Maradian” oleh mental-mental ambivalen ambigu dalam berdemokrasi.   
            Yang sungguh mengherankan ialah sikap, pola pikir para politisi berkuasa saat ini yang notabene dilahirkan reformasi sepertinya telah terjangkit penyakit agnosia hingga tulalit ingatan, bahwa sistem pemilihan langsung saat ini tidak lain dan tidak bukan adalah anak kandung reformasi 1998 lalu sebagai antitesa demokrasi semu yang dimotori elite-elite partai politik  merampas kedaulatan rakyat menjadi kedaulatan partai politik dalam memilih pemimpin di republik ini.   
            Sungguh tidak masuk akal dan keliru besar perjuangan berdarah-darah para pejuang reformasi 1998 lalu harus dikhianati akibat kekecewaan politik kontestasi dan kepentingan politik sesaat, apalagi sampai menutup mata dan telinga terhadap aspirasi rakyat yang masih konsisten melanjutkan reformasi untuk membangun demokrasi substantif di negeri ini.
Berbagai kekurangan dan kelemahan yang masih menyelimuti pemilihan kepala daerah langsung selama ini tidak memiliki landasan kuat untuk mengulangi kesalahan yang sama kedua kalinya, sebab seperti kata Bung Karno “Hanya keledai mau terperosok dua kali kedalam satu lobang yang sama”. Dan para orang bijak mengatakan, memushakan tikus tidak perlu membakar rumah sekaligus, sebab tidakan demikian adalah tindakan bodoh dan konyol.
            Sikap, sifat konsisten melakukan perbaikan terus menerus hingga mencapai hasil maksimal adalah salah satu cara membangun demokrasi substantif di republik ini, sebab berbagai bukti dan fakta membuktikan gonta-ganti sistem menjadikan negeri ini semakin jauh dipersimpangan jalan. Dan pola pikir seperti itulah salah satu yang perlu dilakukan dalam Revolusi Mental yang digulirkan presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi) agar bangsa ini tidak terus terombang ambing, tanpa kemandirian disegala segmen kehidupan.  
            Sikap, sifat ambivalensi yang menimbulkan kebimbangan, keragu-raguan, serta tidak percaya diri harus benar-benar di revolusi agar bangsa ini memiliki kemandirian dalam berbangsa dan bernegara. Sebab sesuatu yang baik bagi bangsa lain belum tentu baik bagi bangsa Indonesia apalagi tidak sesuai dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Bhinneka Tunggal Ika dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagaimana dicita-citakan para pendiri bangsa ini.  
            Para politisi harus menyadari seksama bila tuan-tuan masih bangga menyandang predikat wakil rakyat, seharusnya tidak pernah menutup mata dan telinga  terhadap aspirasi rakyat, sebab bila tidak rakyat akan menarik dukungannya dari Anda melalui mosi tak percaya sebagai wujud  penyesalan terlanjur memberi hak pilih pada orang yang mengkhianati aspirasinya.
            Melihat dan mencermati pertarungan politik pasca Pilpres 2014 sadar atau tidak telah membuka pandora ruang gelap masker-masker politik yang tak pernah lupa mengatasnamakan rakyat. Nama rakyat selalu disebut walau dalam kenyataannya rakyat hanyalah mahkluk tanpa wujud dalam pandangan para elite-elite partai politik. Para politisi tak pernah lupa melontarkan gagasan, ide atas nama rakyat. Tapi yang menjadi pertanyaan, atas nama rakyat yang mana tak pernah jelas sebab banyak gagasan, ide, kebijakan yang ditelorkan para politisi di republik ini sangat berbanding terbalik dengan logika publik (rakyat).
             Dalam berbagai diskusi antara penulis dengan para wakil rakyat hal itu selalu muncul kepermukaan, apalagi bila sorotan kritis dan tajam terhadap wakil rakyat era belakangan ini sangat luar biasa gaduhnya. Diantara para wakil rakyat kadangkala mempertanyakan apa bedanya wakil rakyat (legislatif) dengan eksekutif (presiden, gubernur, bupati/walikota) yang notabene sama-sama dipilih rakyat.
            Pertanyaan seperti itu mungkin juga merupakan representase wakil rakyat (DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota) di republik ini, apalagi bila dikorelasikan dengan berbagai produk legislasi yang tidak pro rakyat. Berbagai produk legislasi, budgeting, pengawasan yang merupakan hak konstitusional melekat pada para wakil rakyat malah dibelokkan untuk menanggok keuntungan pribadi, kelompok, golongan, terlebih keuntungan partai politik pengusungnya. Sehingga DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota tidak mampu lagi memosisikan diri di atas seluruh kepentingan. Akibatnya, mereka bukan lagi wakil rakyat tetapi wakil partai yang dipenuhi syahwat maniak kuasa.
            Ketidakmampuan memosisikan diri sebagai wakil rakyat yang berfungsi dan berperan untuk menampung aspirasi serta memperjuangkan maksimal di dalam arah kebijakan pemerintahan menjadikan para wakil rakyat tidak pernah tahu membedakan dirinya wakil rakyat (legislatif) dengan eksekutif (presiden, gubernur, bupati/walikota) walaupun telah terpilih berulang kali.
            Jika pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi)/Wakil Presiden H.M. Jusuf Kalla (JK) mampu menunjukkan kebijakan pro rakyat mendapat perlawanan atau penolakan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD) berarti DPR, DPD tidak layak lagi menyandang nama wakil rakyat, apalagi menyandang predikat yang terhormat, sebab predikat wakil rakyat yang terhormat hanya pantas diberikan kepada orang-orang yang tidak mau mengkhianati kepercayaan rakyat.
            Rakyat di negeri ini kini menunggu pembuktian nyata siapakah sebenarnya yang peduli dengan nasib rakyat yang hingga saat ini masih dililit kemiskinan, kebodohan, ketertinggalan, intimidasi, diskriminasi, serta perlakuan tidak adil lainnya, apakah pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)/Jusuf Kalla (JK) atau wakil-wakil rakyat yang bersinggasana di Gedung Senayan, mari kita tunggu lima tahun ke depan.
            Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dipilih rakyat untuk menampung aspirasi serta memperjuangkannya dalam pemerintahan, Joko Widodo (Jokowi)/Jusuf Kalla (JK) dipilih rakyat menjalankan pemerintahan, siapakah lebih peduli terhadap nasih rakyat, bangsa, negara ini rakyatlah yang menjadi juri sebab rakyatlah yang merasakan akibatnya secara langsung.
            Rakyat di republik ini telah muak dan jijik retorika-retorika palsu, penuh kebohongan, apalagi penuh kemunafikan, yang diinginkan dan didambakan adalah bukti nyata untuk mewujudkan janji Proklamasi, masyarakat makmur, sejahtera dan berkeadilan.
            Rakyat sudah capek dan lelah atas kegaduhan-kegaduhan politik tak bermutu walau dibungkus kepiawian merangkai kata-kata indah hampa isi, sebab pada ujung-ujungnya rakyatlah yang menderita. Karena itu, wahai politisi di negeri ini berhentilah mempermainkan nasib rakyat, bekerjalah untuk nusa dan bangsa sebelum rakyat menggugat legitimasi mu.
            Ingat sejarah tak pernah bohong ! Penulis sejarah lah yang kadangkala bohong.
                                                                                                            Medan, 10 Oktober 2014

                                                                                                            Thomson Hutasoit.
   
             
              
              
                

Presiden Rakyat vs Wakil Rakyat



Presiden Rakyat vs Wakil Rakyat
Oleh: Thomson Hutasoit
Direktur Eksekutif LSM Kajian Transparansi Kinerja Instansi Publik (ATRAKTIP)

            Salah satu diskusi paling menguras pemikiran di era belakangan ini ialah klaim mengatasnamakan ‘rakyat’ sehingga diperlukan suatu pemikiran ekstra serius untuk mengelaborasi secara mendalam, mendetail, serta komprehensif paripurna. Sebab klaim mengatasnamakan rakyat sepertinya sudah merupakan tradisi bagi sebahagian besar elite-elite politik yang tidak lain dan tidak bukan hanyalah kosmetika politik untuk menarik simpatik terutama di musim-musim kontestasi, baik pemilihan legislatif, eksekutif tingkat daerah maupun nasional.
            Klaim-klaim atas nama rakyat tanpa spesifikasi tegas dan jelas menimbulkan kerancuan yang amat sangat membingungkan, bukan saja terhadap rakyat itu sendiri tetapi juga kepada pihak-pihak pengklaim sebagaimana dapat dibuktikan dengan mata telanjang tindak-tanduk para pemangku kekuasaan yang notabene mendapat mandat dari daulat rakyat di waktu kontestasi.
            Salah satu sistem pemerintahan yang paling banyak dianut negara-negara di atas jagat raya ini ialah sistem demokrasi yakni dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat yang sadar atau tidak sejatinya sistem pemerintahan itu bermuara terhadap kepentingan rakyat. Walau demikian, rakyat mana yang dimaksudkan masih terbuka lebar ruang untuk menafsirkan sesuai sudut pandang masing-masing. Sehingga apa saja pun yang dilakukan para pemangku kekuasaan bisa dianggap benar dan sahih dengan membangun logika-logika politik pembenar untuk mengelabui logika publik.
            Sebagai suatu sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat tidaklah terlalu salah bila legislatif (DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kebupaten/Kota) mengklaim diri atas nama rakyat apalagi predikat wakil rakyat itu diatur dan dijamin konstitusi republik ini. Demikian juga eksekutif (presiden, gubernur, bupati/walikota) yang dipilih dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat tidak juga berdosa bila mengklaim dirinya presiden rakyat, gubernur rakyat, bupati/walikota rakyat.
            Yang menjadi pertanyaan besar ialah wakil rakyat mana ? masih belum jelas. Sebab dalam kenyataannya suara, aspirasi, keinginan rakyat justru sangat berseberangan dengan kepentingan para wakil rakyat  yang dirasuki syahwat berkuasa, padahal  di saat-saat musim pemilihan para wakil rakyat itu mempropagandakan perjuangan nasib rakyat yang tidak mendapat perhatian serius dari pemerintah. Tidak ada satu kontestan pun menyatakan diri berseberangan dengan rakyat ketika pemilihan, tetapi pasca pemilihan suara, aspirasi rakyat mana sebenarnya yang diperjuangkan sama sekali tidak jelas. Malah setelah terpilih dan menggenggam kekuasaan justru gaduh memperebutkan kekuasaan, dengan mempermainkan nasib rakyat secara telanjang. Kegaduhan para wakil rakyat yang menyandang predikat yang terhormat hampir tidak pernah disebabkan perjuangan nasib rakyat, seperti bagaimana meningkatkan taraf hidup rakyat tani, nelayan, pekebun, buruh, serta sektor informal lainnya yang hingga kini masih sangat menyedihkan.
            Sebagai wakil rakyat, sekali lagi, sebagai wakil rakyat, tuan-tuan, puan-puan yang terhormat itu seharusnya menyadari bahwa, di pundak mereka digantungkan suatu harapan, amanah, kepercayaan perjuangan perbaikan nasibnya, bukan memberi legalitas untuk bebas berbuat apapun, termasuk ‘membajak, mencaplok’ hak-hak rakyat kemudian menjadikan suara rakyat yang diperolehnya bargaining politik untuk merebut kekuasaan, pribadi, kelompok, golongan ataupun partai politik.
            Wakil rakyat tidaklah sama dan indentik dengan toke rakyat sehingga sangat keliru besar apabila wakil rakyat membajak, mencaplok, membelokkan kedaulatan rakyat menjadi kedaulatan partai. Dan ketika itulah para wakil rakyat tidak pantas dan layak lagi menyandang predikat wakil rakyat apalagi sebutan yang terhormat sebab mereka telah mengubah habitatnya menjadi wakil partai yang cenderung haus kekuasaan.
            Apa yang kita persaksikan dari tindaj-tanduk tuan-puan di Gedung DPR RI  Senayan Jakarta yang diberitakan luas media elektronik maupun media cetak pasca Pilpres 2014, tidak lain dan tidak bukan hanyalah pertarungan kekuasaan partai-partai politik dan sama sekali tidak berhubungan dengan nasib rakyat, walaupun mengatasnamakan rakyat. Sandiwara politik tak bermutu yang dibungkus aneka kamuflase ending  nya sangat mudah ditebak seluruh rakyat di sisik bumi negeri ini. Karena itu, jangan salahkan rakyat pemilik kedaulatan di republik ini bila tidak percaya lagi kepada para wakil rakyat sebagai gantungan harapan perbaikan nasibnya, dan ketika para wakil rakyat itu kunjungan reses mendapat penolakan dari rakyat.
            Jika rakyat berkesimpulan bahwa kunjungan reses, kunjungan kerja tidak lain dan tidak bukan hanyalah menghabiskan anggaran negara tanpa manfaat apa-apa sekalipun mempunyai landasan konstitusi tidak perlu terlalu disalahkan, sebab rakyat telah menyaksikan dengan mata kepala sendiri betapa kentalnya aroma nafsu kuasa yang dipertontonkan para wakil rakyat di negeri ini.
            Salah satu hal paling menyedihkan dari para wakil rakyat belakangan ini ialah ketidakmampuan memosisikan diri pemimpin publik sebab lebih cenderung memosisikan diri wakil partai politik daripada rakyat secara keseluruhan, padahal para wakil rakyat itu terpilih bukan hanya atas pilihan anggota partai politik. Timbul pertanyaan, rakyat pemilih yang bukan anggota partai politik siapa wakilnya ?, dan mengapa ketika pemilihan para wakil rakyat ini tidak pernah membedakan anggota partai dengan rakyat yang bukan anggota partai politik ? Ini kan aneh, bin ajaib serta keliru besar bila wakil rakyat membeda-bedakan rakyat pasca terpilih.
            Jika logikanya mengutamakan partai politik maka tidak ada salahnya bila predikat wakil rakyat dirubah menjadi wakil partai, maka pertarungan perebutan kekuasaan yang dipertontonkan para wakil rakyat sah-sah saja dan tidak perlu disalahkan.
            Oleh sebab itu, eksistensi partai politik sebagai wadah pendidikan politik rakyat perlu diluruskan agar partai politik yang mengemban tugas mulai mencetak, memasok kader-kader terbaiknya untuk memimpin bangsa justru sebaliknya dijadikan lembaga pembodohan rakyat, serta melahirkan pengkotak-kotakan ditengah-tengah kehidupan masyarakat, bangsa maupun negara.
            Sebagai pemimpin bangsa, apalagi berani menyebut diri negarawan para wakil rakyat tidak boleh sekali-sekali melahirkan sekat-sekat sosial yang berpotensi menimbulkan ancaman persatuan bangsa serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).     
            Sebagaimana telah diuraikan di awal tulisan ini bahwa, sistem pemerintahan demokrasi  yakni; dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat eksekutif (presiden, gubernur, bupati/walikota) juga atas pilihan rakyat melalui pemilihan langsung.
            Negara Republik Indonesia yang menganut sistem presidensial tidak bertanggung jawab kepada parlemen, tetapi bertanggung jawab kepada rakyat secara langsung. Presiden yang dipilih rakyat secara langsung adalah presiden rakyat, bukan presiden partai sebagaimana dianut sistem parlementer.
            Sebagai pilihan rakyat maka eksekutif (presiden, gubernur, bupati/walikota) harus mengemban tugas dan tanggung jawab sesuai aspirasi, keinginan seluruh rakyat, bukan keinginan partai yang cenderung diselimuti libido kekuasaan. Walaupun presiden, gubernur, bupati/walikota diusulkan atau diusung partai politik atau gabungan partai politik sesuai undang-undang bukan berarti bahwa presiden, gubernur, bupati/walikota adalah presiden, gubernur, bupati/walikota nya partai politik pengusung.
            Partai politik pengusul, pengusung hanyalah berfungsi untuk menawarkan putera-puteri terbaik calon pemimpin bangsa, baik berasal dari kader-kader partai maupun non kader untuk di pilih seluruh rakyat di negeri ini. Jadi sungguh keliru besar jika partai politik pengusung calon presiden, gubernur, bupati/walikota menarik-narik presiden, gubernur, bupati/walikota terpilih miliknya, bukan milik rakyat. Bukankah presiden, gubernur, bupati/walikota pasca terpilih sudah menjadi pemimpin publik ? Tapi mengapa partai politik masih ingin menonjolkan syahwat kepentingannya dalam berbangsa dan bernegara ? Inilah salah satu kekeliruan besar yang kadangkala tidak disadari, atau mungkin juga sengaja diselundupkan para elite-elite politik di republik ini.
            Salah satu bukti nyata ialah ketidakrelaan partai politik apabila presiden, gubernur, bupati/walikota, menteri-menteri menanggalkan baju partai politik pasca terpilih. Sebab, efektifitas dan kelancaran pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) hanya bisa terjamin bila ‘Mono Loyalitas’ dari pusat ke daerah berjalan dengan baik. Pemerintah, pemerintah daerah harus seiring sejalan dalam mengeksekusi kebijakan sehingga pasca terpilih presiden, gubernur, bupati/walikota harus menanggalkan kepentingan partai politik masing-masing.
            Bila partai politik masih kukuh ingin mempertahankan keterlibatan eksekutif (presiden, menteri, gubernur, bupati/walikota) sebagai ketua atau petinggi partai politik haruslah dimaknai wujud nyata ketidakrelaan partai politik memperkuat sistem pemerintahan presidensial secara nyata. Partai politik masih ingin mencengkeramkan kukunya di pemerintahan sebagaimana habitat sistem parlementer. Sehingga presiden, menteri, gubernur, bupati/walikota bukan milik rakyat tetapi milik partai politik semata.
            Mencermati ketegangan, kegaduhan politik pasca Pilpres 09 Juli 2014 lalu dimana dua kubu pasangan calon presiden/wakil presiden head to head yakni; kubu pengusung calon presiden/wakil presiden Prabowo Subianto/HM Hatta Rajasa yang disebut Koalisi Merah Putih (KMP) terdiri dari Partai Gerakan Indonesia Raya (P. Gerindra), Partai Golongan Karya (P. Golkar), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Bulan Bintang (PBB) tanpa kursi DPR, Partai Demokrat (P.Demokrat) bersifat malu-malu. Sedangkan kubu pasangan calon presiden/wakil presiden Joko Widodo (Jokowi/HM. Jusuf Kalla (JK) yang disebut Koalisi Indonesia Hebat (KIH) terdiri dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-Perjuangan), Partai Nasional Demokrat (Partai Nasdem), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Hati Nurani Rakyat (Partai Hanura), Partai Keadilan Persatuan Indonesia (PKP-Indonesia) telah membelah peta politik negeri ini ke dalam dua blok.
            Pasca terpilihnya Joko Widodo (Jokowi)/HM. Jusuf Kalla (JK) 09 Juli 2014 lalu aroma pertarungan politik kedua kubu ini sepertinya semakin keras dan intens yang membuat psikologi rakyat mencekam menyaksikan tindak-tanduk elite politik di Gedung DPR RI Senayan Jakarta.
            Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-Perjuangan) sebagai pemenang pemilihan legislatif (Pileg) 9 April 2014 lalu tidak menduduki  satu kursi pimpinan pun di DPR RI maupun di MPR RI sebab kalah suara dari Koalisi Merah Putih (KMP) yang notabene pengusung Prabowo Subianto/Hatta Raja. Padahal, pada pemilu sebelumnya (2009), partai pemenang pemilihan legislatif (Pileg) yakni Partai Demokrat otomatis menduduki kursi Ketua DPR RI. Peristiwa seperti itu bukanlah pertama kali dialami PDI-Perjuangan tetapi untuk kedua kalinya karena PDI-Perjuangan pada pemilu 1999 lalu juga mengalami hal yang sama.
Menjadi pertanyaan ialah apakah peristiwa yang dialami PDI-Perjuangan untuk kedua kalinya konstitusional ? tentu jawabannya konstitusional. Tapi yang paling disesalkan dan disyangkan ialah sifat inskonsisten dari para elite-elite politik yang  selalu berubah-ubah bagaikan bunglon, pongah dan arogan mengubah undang-undang untuk merebut kekuasaan sekalipun harus menelan muntah sendiri. Situasi kondisi seperti itu tentu sangat tidak elegan dalam membangun demokrasi yang sehat, sebab perjalanan demokrasi maju mundur mencerminkan sifat ambivalen berdemokrasi.
Selain daripada itu, sekalipun konstitusional merubah undang-undang semata-mata mengejar kepentingan politik sesaat adalah suatu perilaku buruk tak beretika dalam berpolitik sebab telah membajak tujuan mulia politik menjadi ajang perebutan kekuasaan belaka apalagi jika dijadikan ajang balas dendam yang sama sekali tidak bermanfaat untuk kemaslahatan publik.
Perseteruan antar pengurus negara (legislatif, eksekutif, yudikatif) yang notabene dari, oleh, untuk rakyat sangatlah memprihatinkan sekaligus mengecewakan rakyat pemilik kedaulatan di negara demokrasi. Perseteruan antar lembaga tidak seharusnya terjadi apabila masing-masing pihak menyadari, memahami tugas, pokok dan fungsi (Tupoksi) melekat sesuai hak dan kewajiban konstitusinya.
Legislatif, Eksekutif, Yudikatif yang mendapat amanah dan kepercayaan dari rakyat seharusnya bertugas, berfungsi, berperan melakukan koreksi dan penyeimbang (check and balances) dalam tugas lembaga. Dengan demikian, tujuan negara mewujudkan masyarakat adil, makmur dan sejahtera bukan sekadar retorika politik maupun menu perdebatan elite-elite politik di negeri ini.
Oleh sebab itu, Presiden/Wakil Presiden, Joko Widodo (Jokowi)/HM. Jusuf Kalla (JK) yang dipilih 52 persen lebih pada Pilpres 9 Juli 2014 lalu adalah presiden rakyat bukan presiden partai politik apalagi presiden elite-elite partai politik di republik ini sehingga tidak perlu tunduk dan manut pada elite-elite yang dirasuki nafsu kekuasaan. Jika Joko Widodo (Jokowi)/Jusuf Kalla (JK) tetap konsisten terhadap janji-janji politik ketika masa kampanye, tidak satu orang yang sadar dan cinta republik ini mengusiknya. Bila ada wakil rakyat tidak setuju dengan kebijakan Jokowi/JK yang pro rakyat maka rakyat pemegang kedaulatan akan mencabut kembali amanah, kepercayaan itu dari wakil rakyat sebab telah mengkhianti amanah, kepercayaan rakyat.
Apakah masih layak menyandang predikat wakil rakyat jika menolak kebijakan pemerintah pro rakyat ? Rakyat mana yang diwakili, apakah istri/suami, anak-anaknya, orang tua/mertua, keluarga, kerabat, kelompok, golongan atau partai politik harus tegas dan jelas. Sebab para wakil rakyat selalu mengatasnamakan rakyat, padahal hanyalah masker untuk membungkus kepentingan kroni-kroninya.
Sadar atau tidak, inilah salah satu penyebab tergerusnya kepercayaan (trust) terhadap elite-elite politik, termasuk partai politik yang cenderung wanprestasi memperjuangkan nasib rakyat. Sebaliknya, Presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi) adalah satu-satunya presiden negeri ini yang paling lengkap memimpin pemerintahan, semenjak walikota Solo, Gubernur DKI Jakarta, dan tanggal 20 Oktober 2014 akan dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia ke Tujuh. Sungguh luar biasa !
Prestasi yang diukir Jokowi meniliti karier politik dari walikota, gubernur hingga presiden harus dipandang satu kebanggaan seluruh rakyat Indonesia, sebab kemungkinan besar hanya Joko Widodo (Jokowi) yang mampu mengukir prestasi fenomenal di dunia hingga millennia ketiga ini.
Obyektivitas penilaian atas prestasi Jokowi inilah seharusnya membuka alam sadar para elite di negeri ini, bukan subyektivitas yang menganggap diri paling hebat, tanpa bukti nyata yang bisa dipertanggungjawabkan. Jangan menggunakan dalil,”segudang kebenaran, segenggam kekuasaan, kekuasaan lah pemenang”.  
Kini lembaran sejarah baru negeri ini akan di tulis sekaligus pembuktian siapakah sebenarnya yang pantas dan layak mengatasnamakan rakyat. Apakah Presiden pilihan rakyat atau sebaliknya DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota juga pilihan rakyat yang selama ini selalu disebut-sebut “Wakil Rakyat” pantas dan layak atau tidak menyandang predikat itu akan kita buktikan lima tahun ke depan. 
Rakyat menunggu bukti nyata bukan janji palsu sebab rakyat telah bosan, capek, lelah bahkan muak terhadap janji-janji politik para elite yang paham benar lirik lagu “Memang lidah tak bertulang, tak terbatas kata-kata, tinggi gunung seribu janji, lain di bibir lain di hati”.
Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)/Jusuf Kalla (JK) periode 2014-2019 adalah era pembuktian siapa yang pantas dan layak mengatasnamakan “Rakyat”.
Selamat membuktikan !  Bertandinglah beradat dan beradab.  
                                                                                                Medan, 11 Oktober 2014

                                                                                                Thomson Hutasoit.