Retorika vs Realita
Oleh:
Thomson Hutasoit
Memahami visi-misi suatu
kepemimpinan antara retorika dengan realita diperlukan suatu analisis mendalam,
obyektif paripurna agar tidak terjebak pada suatu pemahaman dangkal yang sangat
berpotensi besar menimbulkan kekeliruan dalam mengambil keputusan. Pemahaman
mendalam antara retorika dengan realita akan melahirkan pemahaman sejati
tentang tipikal seorang pemimpin secara paripurna.
Seorang pemimpin tipikal orator
memiliki kemampuan, kepiawian melontarkan retorika-retorika politik yang mampu
membius dan menghipnotis para audiens atau pendengarnya. Kemampuan merangkai
kata-kata atau pembingkaian (praming)
yakni suatu cara menggunakan bahasa untuk mengelola makna. Meminjam pendapat
Stephen P Robbins, PhD (2009) bahwa pembingkaian (framing) seperti; metafora, jargon, kontras, plintiran, dan cerita.
Tipikal pemimpin orator yang sering
pula disebut singa podium memiliki kemahiran memilih kata-kata atau
kalimat-kalimat yang mampu menyentuh perasaan para audiens atau pendengar, dan
melalui kemahirannya melontarkan untaian kata, kalimat disertai gerakan tubuh
mampu membakar semangat dan emosi para pengikutnya secara berapi-api. Pemimpin
tipikal orator sebagaimana ditemukan pada diri Ir Soekarno atau Bung Karno pada
masa-masa perjuangan kemerdekaan harus diakui sangat berperan besar
membangkitkan semangat bangsa merebut kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus
1945.
Kemampuan Bung Karno membangkitkan
semangat rakyat untuk bersatupadu merebut kemerdekaan agar terbebas dari
cengkeraman penjajahan kolonial menjadi bukti dan fakta sejarah yang tidak bisa
dilupakan lahirnya pemimpin kharismatis orator ulung, singa podium yang
memiliki keberanian luar biasa menantang pemerintahan kolonial dengan resiko
masuk keluar penjara demi kemerdekaan dan kedaulatan bangsanya. Kehadiran Bung
Karno ditengah-tengah rakyat dan bangsa benar-benar memegang peranan penting
dalam melahirkan Nasionalisme Jilid Satu yakni perebutan kemerdekaan bangsa
Indonesia dari tangan penjajah.
Kemampuan dan kepiawian orator
melontarkan retorika-retorika cerdas harus diakui paling dibutuhkan dalam
proses pembentukan visi-visi besar seperti perebutan kemerdekaan. Kemampuan dan
kepiawian membingkai kata-kata menyentuh hati nurani terdalam, membakar emosi
rakyat mampu mendorong, membangkitkan gerakan perlawanan massif untuk merebut
kemerdekaan dari tangan pemerintahan kolonial.
Penggunaan idiom-idiom heroik
seperti; lebih baik mati daripada dijajah !, Ini dadaku mana dadamu !, dan lain
sebagainya adalah retorika cerdas yang mampu mendorong dan membangkitkan
semangat bangsa sejajar dengan bangsa-bangsa lain.
Akan tetapi perlu diingat, bahwa
tipikal-tipikal kepemimpinan tidaklah sama dan indentik pada setiap masa.
Tipikal pemimpin orator sebagaimana dimiliki Bung Karno memang sangat
dibutuhkan pada masa perjuangan kemerdekaan
Republik Indonesia 17 Agustus 1945 yang lalu, Tapi pasca kemerdekaan
tipikal pemimpin orator penuh retorika mungkin tidak begitu dibutuhkan lagi,
sebab pasca kemerdekaan kerja-kerja politik negara atau pemerintahan lebih
diarahkan pada kerja nyata atau realita sehingga sangat diperlukan tipikal eksekutor-eksekutor
handal dan cekatan untuk merealisasikan visi besar kebangsaan yang telah
ditetapkan dalam konstitusi.
Bung Karno dan Bung Hatta telah
membangun jembatan emas perjalanan bangsa menuju cita-cita dan tujuan bangsa
seperti termatub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
1945, yakni; melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial agar terwujud kebahagiaan seluruh anak-anak bangsa, tanpa kecuali. Dan
harus diakui, bahwa tujuan pendirian negara atau pemerintahan yang menjadi
cita-cita para pendiri bangsa (founding
fathers) hingga kini masih belum tercapai optimal walau republik ini telah
memasuki usia manofause.
Visi besar yang telah dicanangkan
para pendiri bangsa masih sebatas janji-janji belaka sebab para pemimpin yang
melanjutkan estafet kepemimpinan nasional masih cenderung memiliki tipikal
pemimpin orator kaya retorika daripada eksekutor kerja realita mengeksekusi
visi besar bangsa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Paham atau tidak, sadar atau tidak,
Bung Karno telah menyatakan, bahwa “Revolusi Belum Selesai” sehingga dibutuhkan
pemimpin-pemimpin yang mampu melanjutkan Revolusi Belum Selesai itu dalam
tindakan-tindakan realita. Bukan lagi hanya sekadar retorika atau orasi
berapi-api tanpa kemampuan dan kepiawaian melakukan eksekusi melalui program
kerja nyata untuk memenuhi janji-janji proklamasi.
Revolusi Jilid Satu adalah perebutan
kemerdekaan bangsa Indonesia 17 Agustus 1945 telah berhasil dihantarkan Bung
Karno dan Bung Hatta ialah jembatan emas menuju masyarakat makmur, sejahtera,
dan berkeadilan yang harus dilanjutkan melalui langkah-langkah konkrit, bukan
hanya sekadar slogan ataupun jargon-jargon membius, menghipnotis alam sadar rakyat
hidup di dunia autopis.
Melanjutkan Revolusi Belum Selesai itulah
sejatinya Revolusi Jilid Dua, yakni;
membebaskan seluruh rakyat Indonesia dari berbagai kesulitan, kemiskinan,
kemelaratan, ketertinggalan, keterbelakangan, ketertindasan, intimidasi,
ketidaknyamanan, kualitas kehidupan buruk, diskriminasi, korupsi, kolusi,
nepotisme, dan ancaman kedaulatan, baik berasal dari dalam negeri maupun luar
negeri harus segera diselesaikan oleh pemimpin bertipikal eksekutor bukan lagi
tipikal orator.
Visi besar yang cenderung bersifat
terorika tanpa penjabaran detail dalam alam realita hanyalah sebatas retorika
pragmatis belaka. Karena itu, perlu penjabaran-penjabaran nyata melalui
meletakkan peta jalan (road map)
langkah-langkah konkrit dengan perencanaan, eksekusi, pengawasan agar tidak
hanya indah di atas kertas. Sebab, fakta membuktikan, bahwa berbagai
perencanaan hebat dan indah tanpa eksekusi hanyalah sebuah mimpi besar yang
tidak pernah jadi kenyataan karena tidak didukung para eksekutor-eksekutor
handal dan mumpuni untuk merealisasikannya, hingga muncul pameo “NATO” no action talk only atau dengan istilah
dikampung penulis “Holan Hata/HOHA” atau ngomong doang.
Perlu pula dipahami, bahwa makna
retorika lebih cenderung impian atau cita-cita, sedangkan realita adalah
tindakan konkrit yang telah dilakukan
dalam alam nyata. Karena itu pulalah tipikal pemimpin orator kaya retorika
lebih banyak menggunakan kata-kata “akan dan akan”, sedangkan tipikal pemimpin
eksekutor lebih banyak menggunakan kata “telah dan telah” menunjukkan realita
kerja telah dilakukan yang dapat diukur dan dinilai. Atau dengan kata lain,
kutub angan-angan atau impian berbanding kutub kenyataan telah dilakukan dan
dicapai.
Salah satu istilah paling seksi di
saat-saat memilih atau menentukan
pemimpin belakangan ini ialah rekam jejak (track
record) yakni; potret kinerja seseorang calon pemimpin ketika mengemban
amanah yang dipercayakan pada dirinya di masa lalu. Akan tetapi, sadar atau
tidak makna rekam jejak (track record)
nampaknya belum dimengerti dan dipahami komprehensif paripurna, atau sebaliknya
sengaja berpurak-purak tidak dimengerti atau dipahami jika bersentuhan dengan
kepentingan pribadi, kelompok, golongan tertentu. Hal itu sangat mudah
dibuktikan di masa-masa pemilihan pemimpin, baik pemilihan legislatif mau
eksekutif yang masih diwarnai alasan integritas atau isinitas hingga muncul istilah Nomor Pito
Wani Piro (NPWP).
Meminjam istilah Stephen P Robbins,
PhD (2009) “Prediktor terbaik perilaku seseorang di masa depan ialah
perilakunya di masa lalu” bermakna, bahwa rekam jejak kinerja ialah apa yang
telah dilakukan seseorang di masa lalu akan menggambarkan kemampuannya di masa
depan. Rekam jejak bukan didasarkan pada besar kecil, lokal nasional level
kepemimpinan melekat pada seseorang. Sebab orang bijak mengatakan, jika
dipercaya memegang amanah kecil akan bisa dipercaya memegang amanah besar.
Karena
itu, catatan atau rekam jejak (track
record) kinerja seseorang menjadi amat sangat penting alat pengukur atau parameter kecenderungan
kemampuan untuk mengemban tugas tanggung jawab pada jenjang kepemimpinan
berikutnya. Dan disinilah salah satu peran penting Badan Pertimbangan Jabatan
dan Kepangkatan (Baperjakat) jika dilaksanakan dengan baik dan benar, obyektif,
transparan melalui Merits System
dalam pengangkatan dan penempatan pemimpin di domain ekseklutif atau
pemerintahan supaya jaminan karier seseorang memperoleh keadilan obyektif.
Perlu pula dipahami, bahwa memilih
calon legislatif atau parlemen (DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi, DPRD
Kabupaten/Kota) tidaklah sama dan indentik dengan memilih eksekutif (presiden,
gubernur, bupati/walikota) walupun kedua lembaga ini sama-sama dipilih rakyat.
Legislatif atau parlemen yang
berasal dari kata parle (berbicara) menuntut
kepintaran, kepiawian melahirkan wacana atau retorika-retorika besar mampu
membius dan menghipnotis alam sadar rakyat agar mampu menarik simpatik atas
dirinya sebab hakikatnya legislatif ialah menyuarakan aspirasi rakyat. Dan
menurut konstitusi legislatif memiliki hak legislasi, hak budgeting, hak
pengawasan, bukan hak eksekusi. Karena itu, pengertian dan pemahaman terhadap
eksistensi legislatif yang seolah-olah pengeksekusi kebijakan dalam
penyelenggaraan negara atau pemerintahan harus pula diluruskan agar tidak jadi
bulan-bulanan seandainya rakyat menyampaikan aspirasinya. Legislator adalah
penyambung lidah rakyat terhadap eksekutif agar aspirasi rakyat terakomodir di
dalam kebijakan-kebijakan negara atau pemerintahan (eksekutif).
Sedangkan
eksekutif (presiden, gubernur, bupati/walikota) memiliki hak konstitusional
untuk mengeksekusi (melaksanakan) aspirasi-aspirasi rakyat melalui
langkah-langkah operasional atau program realita sehingga sangat tidak begitu
diperlukan seorang orator unggul atau singa podium, melainkan seorang eksekutor
handal, cekatan, trampil yang memiliki kemampuan mengeksekusi visi-misi bangsa
berdasarkan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945,
Bhinneka Tunggal Ika, dalam Bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
yang telah diproklamerkan para pendiri bangsa (founding fathers) 17 Agustus 1945 yang lalu dalam tindakan-tindakan
konkrit.
Karena itu, calon presiden,
gubernur, bupati/walikota seharusnya tidak perlu latah berwacana, beretorika
melahirkan visi-misi aneh-aneh untuk membius atau menghipnotis alam sadar
rakyat dengan kepintaran, kepiawaian berorasi, sebab sejatinya ekeskutif
(presiden, gubernur, bupati/walikota) adalah seorang eksekutor handal
melaksanakan eksekusi atau langkah-langkah konkrit mewujudkan visi-misi bangsa
dan negara.
Eksekutif membutuhkan permimpin-pemimpin
eksekutor handal dan cekatan, bukan orator ulung atau singa podium, sebab
indikator mengukur keberhasilan eksekutif (presiden, gubernur, bupati/walikota)
bukan kepintaran, kepiawian berwacana, beretorika melainkan kemampuan dan
kecekatan melaksanakan (eksekusi) tugas dan tanggung jawab yang diamanahkan
dipundaknya sesuai amanat konstitusi.
Seorang eksekutor tentu harus
memiliki ketegasan, keberanian, ketangkasan, kecekatan, kecermatan handal dan
mumpuni sebab segala tindakannya harus terukur, tepat sasaran, efisien dan
efektif sesuai koridor konstitusi. Karena itu, pemimpin di domain eksekutif
harus memiliki ketegasan, tidak boleh ragu-ragu, bimbang, bingung, dan tak
percaya diri dalam mengambil keputusan atau tindakan terlepas populer atau tidak di mata
publik.
Ketegasan yang dimaksud adalah yakin
dan percaya melaksanakan suatu tindakan tanpa ragu-ragu, bimbang sesuai
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jadi bukan seperti pemahaman sempit
segelintir orang yang memaknai ketegasan dari tindakan keras marah-marah,
arogan, semau gue atau tergantung selera tanpa mematuhi koridor hukum dan
perundang-undangan yang ada.
Sebagai negara hukum tentu segala
tindakan haruslah sesuai aturan hukum yang berlaku, bukan tergantung pada
keinginan dan kehendak seseorang yang bertindak diktator otoriter sebagaimana
pengalaman pahit negeri ini di masa orde baru (Orba), dimana monopoli tafsir
kebenaran dan keadilan hanya di tangan penguasa.
Karena
itu, makna ketegasan adalah membangun dan memperkuat sistem sesuai konstitusi
dan melaksanakan konsisten konsekuen dalam penyelenggaraan negara atau
pemerintahan sehingga terwujud kesamaan kedudukan setiap warga negara di depan
hukum dan pemerintahan serta menjunjung hukum dan pemerintahan itu, tanpa
kecuali. Artinya, seorang pemimpin harus tegas menegakkan peraturan
perundang-undangan terhadap siapa pun tanpa pandang bulu, termasuk terhadap
dirinya sendiri agar kesamaan di depan hukum (equality before the law) bisa terwujud dengan nyata.
Salah satu tugas dan tanggung jawab
pemerintah, pemerintah daerah adalah memberi pelayanan prima terhadap publik
sebagaimana hakikat sejati eksekutif ialah “Pamong Praja” atau “Parhobas”. Sehingga
sangat dibutuhkan pemimpin-pemimpin sedikit berwacana atau beretorika kaya
karya nyata. Hal ini, perlu dipahami paripurna setiap elemen masyarakat karena
disinilah pembeda nyata antara legislatif dengan eksekutif dalam berbangsa dan
bernegara.
Bila seorang parlemen dituntut
kemampuan, kepiawian berbicara menyuarakan aspirasi rakyat maka sebaliknya,
ekseklutif dituntut kemampuan, kehandalan,
kecekatan, ketangkasan mengeksekusi aspirasi rakyat dalam program realita.
Tudingan-tudingan kelambatan,
kelambanan, keleletan eksekusi, baik
pemerintah maupun pemerintah daerah menyelesaikan permasalahan bangsa
selama ini sejatinya adalah karena eksekutif lebih banyak berwacana, beretorika
daripada melaksanakan langkah-langkah konkrit mengeksekusi visi-misi bangsa
yang sudah final. Sehingga berbagai visi-misi besar hanya macan kertas indah
ditataran wacana hampa realita. Dan disinilah sejatinya akar permasalahan
bangsa yang perlu dibenahi. Misalnya, wacana membangun sejuta hektar sawah,
membangun ribuan kilometer jalan tol, membangun sumber energi terbarukan,
pemberantasan korupsi, reformasi birokrasi yang sangat mencengangkan hanya
tinggal angan-angan atau retorika karena langkah-langkah eksekusinya tidak
pernah terealisasi maksimal.
Demikian juga rencana pengembangan
Danau Toba sebagai destinasi wisata dengan melahirkan berbagai wacana atau
retorika, Lake Toba Regional Mangement
(LTRM) dan berbagai tetek bengek hanyalah pelipur lara belaka karena hingga
hari ini infrastruktur di kawasan Danau Toba tidak pernah dibangun maksimal,
termasuk berbagai perambahan hutan di Daerah Tangkapan Air (DTA) tidak pernah
dieksekusi dengan baik dan benar. Inilah beberapa bukti faktual karena
eksekutif masih lebih banyak berwacana, beretorika daripada bekerja dan
berkerja di alam nyata atau realita.
Membangun
konsep besar tanpa realisasi adalah pembohongan, pembodohan publik yang hanya
mampu dilakukan manusia tak bermoral dan beradab. Memberikan harapan-harapan
palsu tanpa realisasi adalah tindakan tak terpuji sebab hanya membawa
mimpi-mimpi, angan-angan besar tanpa kenyataan.
Seorang calon presiden, gubernur,
bupati/walikota tidaklah terlalu penting mengumbar visi-misi macam-macam dan
aneh-aneh, sebab presiden, gubernur, bupati/walikota hanya memerlukan
kemampuan, kehandalan mengeksekusi visi-misi bangsa atau negara yang telah
ditetapkan berdasarkan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
1945, Bhinneka Tunggal Ika, dalam Bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI), serta Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN), Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)
sesuai amanat undang-undang.
Demikian juga gubernur,
bupati/walikota dituntut kemampuan, kehandalan
mengeksekusi visi-misi bangsa dan
negara serta Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD), Rencana
Pembangunan Jangka Menegah Daerah (RPJMD)
sesuai peraturan perundang-undangan dan peraturan daerah (Perda) yang
telah ditetapkan.
Berbagai peraturan
perundang-undangan (UU), peraturan daerah (Perda) kadangkala tidak mampu
dieksekusi maksimal hingga banyak peraturan perundang-undangan, paraturan
daerah (Perda) hanya macan kertas tanpa realisasi optimal. Padahal membentuk
sebuah undang-undang, peraturan daerah (Perda) menghabiskan uang rakyat, baik
dari mata anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) maupun anggaran
pendapatan dan belanja daerah (APBD)
yang tidak kecil. Hal itu tentu tidak boleh terjadi dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara sebab selain menghabiskan uang rakyat juga
mengangkangi, mengabaikan perintah konstitusi yang harus dipertanggungjawabkan
secara konstitusi pula.
Karena
itu, hal utama dan pertama dalam memilih pemimpin domain eksekutif haruslah
benar-benar mempertimbangkan kemampuan, kehandalan, ketangkasan, kecekatan
melakukan eksekusi melalui rekam jejak (track
record), bukan kepintaran, kepiawian berwacana, beretorika atau seorang
orator unggul atau singa podium.
Ingat…! Ingat …! Ingat …! Bung Karno
mengatakan “Hanya keledai mau terperosok dua kali ke dalam satu lobang yang sama”.
(Penulis: Penulis Buku “Kepemimpinan” Ditinjau
dari Kultur Budaya Batak-Toba).
Medan,
11 Juni 2014
Thomson Hutasoit.