Jumat, 20 Juni 2014

Retorika vs Realita



Retorika vs Realita
                                        Oleh: Thomson Hutasoit                     

            Memahami visi-misi suatu kepemimpinan antara retorika dengan realita diperlukan suatu analisis mendalam, obyektif paripurna agar tidak terjebak pada suatu pemahaman dangkal yang sangat berpotensi besar menimbulkan kekeliruan dalam mengambil keputusan. Pemahaman mendalam antara retorika dengan realita akan melahirkan pemahaman sejati tentang tipikal seorang pemimpin secara paripurna.
            Seorang pemimpin tipikal orator memiliki kemampuan, kepiawian melontarkan retorika-retorika politik yang mampu membius dan menghipnotis para audiens atau pendengarnya. Kemampuan merangkai kata-kata atau pembingkaian (praming) yakni suatu cara menggunakan bahasa untuk mengelola makna. Meminjam pendapat Stephen P Robbins, PhD (2009) bahwa pembingkaian (framing) seperti; metafora, jargon, kontras, plintiran, dan cerita.
            Tipikal pemimpin orator yang sering pula disebut singa podium memiliki kemahiran memilih kata-kata atau kalimat-kalimat yang mampu menyentuh perasaan para audiens atau pendengar, dan melalui kemahirannya melontarkan untaian kata, kalimat disertai gerakan tubuh mampu membakar semangat dan emosi para pengikutnya secara berapi-api. Pemimpin tipikal orator sebagaimana ditemukan pada diri Ir Soekarno atau Bung Karno pada masa-masa perjuangan kemerdekaan harus diakui sangat berperan besar membangkitkan semangat bangsa merebut kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945.
            Kemampuan Bung Karno membangkitkan semangat rakyat untuk bersatupadu merebut kemerdekaan agar terbebas dari cengkeraman penjajahan kolonial menjadi bukti dan fakta sejarah yang tidak bisa dilupakan lahirnya pemimpin kharismatis orator ulung, singa podium yang memiliki keberanian luar biasa menantang pemerintahan kolonial dengan resiko masuk keluar penjara demi kemerdekaan dan kedaulatan bangsanya. Kehadiran Bung Karno ditengah-tengah rakyat dan bangsa benar-benar memegang peranan penting dalam melahirkan Nasionalisme Jilid Satu yakni perebutan kemerdekaan bangsa Indonesia dari tangan penjajah.
            Kemampuan dan kepiawian orator melontarkan retorika-retorika cerdas harus diakui paling dibutuhkan dalam proses pembentukan visi-visi besar seperti perebutan kemerdekaan. Kemampuan dan kepiawian membingkai kata-kata menyentuh hati nurani terdalam, membakar emosi rakyat mampu mendorong, membangkitkan gerakan perlawanan massif untuk merebut kemerdekaan dari tangan pemerintahan kolonial.
            Penggunaan idiom-idiom heroik seperti; lebih baik mati daripada dijajah !, Ini dadaku mana dadamu !, dan lain sebagainya adalah retorika cerdas yang mampu mendorong dan membangkitkan semangat bangsa sejajar dengan bangsa-bangsa lain.
            Akan tetapi perlu diingat, bahwa tipikal-tipikal kepemimpinan tidaklah sama dan indentik pada setiap masa. Tipikal pemimpin orator sebagaimana dimiliki Bung Karno memang sangat dibutuhkan pada masa perjuangan kemerdekaan  Republik Indonesia 17 Agustus 1945 yang lalu, Tapi pasca kemerdekaan tipikal pemimpin orator penuh retorika mungkin tidak begitu dibutuhkan lagi, sebab pasca kemerdekaan kerja-kerja politik negara atau pemerintahan lebih diarahkan pada kerja nyata atau realita sehingga  sangat diperlukan tipikal eksekutor-eksekutor handal dan cekatan untuk merealisasikan visi besar kebangsaan yang telah ditetapkan dalam konstitusi.  
            Bung Karno dan Bung Hatta telah membangun jembatan emas perjalanan bangsa menuju cita-cita dan tujuan bangsa seperti termatub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, yakni; melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk  memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial agar terwujud kebahagiaan seluruh anak-anak bangsa, tanpa kecuali. Dan harus diakui, bahwa tujuan pendirian negara atau pemerintahan yang menjadi cita-cita para pendiri bangsa (founding fathers) hingga kini masih belum tercapai optimal walau republik ini telah memasuki usia manofause.  
            Visi besar yang telah dicanangkan para pendiri bangsa masih sebatas janji-janji belaka sebab para pemimpin yang melanjutkan estafet kepemimpinan nasional masih cenderung memiliki tipikal pemimpin orator kaya retorika daripada eksekutor kerja realita mengeksekusi visi besar bangsa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. 
            Paham atau tidak, sadar atau tidak, Bung Karno telah menyatakan, bahwa “Revolusi Belum Selesai” sehingga dibutuhkan pemimpin-pemimpin yang mampu melanjutkan Revolusi Belum Selesai itu dalam tindakan-tindakan realita. Bukan lagi hanya sekadar retorika atau orasi berapi-api tanpa kemampuan dan kepiawaian melakukan eksekusi melalui program kerja nyata untuk memenuhi janji-janji proklamasi.
            Revolusi Jilid Satu adalah perebutan kemerdekaan bangsa Indonesia 17 Agustus 1945 telah berhasil dihantarkan Bung Karno dan Bung Hatta ialah jembatan emas menuju masyarakat makmur, sejahtera, dan berkeadilan yang harus dilanjutkan melalui langkah-langkah konkrit, bukan hanya sekadar slogan ataupun jargon-jargon membius, menghipnotis alam sadar rakyat hidup di dunia autopis.
 Melanjutkan Revolusi Belum Selesai itulah sejatinya  Revolusi Jilid Dua, yakni; membebaskan seluruh rakyat Indonesia dari berbagai kesulitan, kemiskinan, kemelaratan, ketertinggalan, keterbelakangan, ketertindasan, intimidasi, ketidaknyamanan, kualitas kehidupan buruk, diskriminasi, korupsi, kolusi, nepotisme, dan ancaman kedaulatan, baik berasal dari dalam negeri maupun luar negeri harus segera diselesaikan oleh pemimpin bertipikal eksekutor bukan lagi tipikal orator.  
            Visi besar yang cenderung bersifat terorika tanpa penjabaran detail dalam alam realita hanyalah sebatas retorika pragmatis belaka. Karena itu, perlu penjabaran-penjabaran nyata melalui meletakkan peta jalan (road map) langkah-langkah konkrit dengan perencanaan, eksekusi, pengawasan agar tidak hanya indah di atas kertas. Sebab, fakta membuktikan, bahwa berbagai perencanaan hebat dan indah tanpa eksekusi hanyalah sebuah mimpi besar yang tidak pernah jadi kenyataan karena tidak didukung para eksekutor-eksekutor handal dan mumpuni untuk merealisasikannya, hingga muncul pameo “NATO” no action talk only atau dengan istilah dikampung penulis “Holan Hata/HOHA” atau ngomong doang.  
            Perlu pula dipahami, bahwa makna retorika lebih cenderung impian atau cita-cita, sedangkan realita adalah tindakan konkrit  yang telah dilakukan dalam alam nyata. Karena itu pulalah tipikal pemimpin orator kaya retorika lebih banyak menggunakan kata-kata “akan dan akan”, sedangkan tipikal pemimpin eksekutor lebih banyak menggunakan kata “telah dan telah” menunjukkan realita kerja telah dilakukan yang dapat diukur dan dinilai. Atau dengan kata lain, kutub angan-angan atau impian berbanding kutub kenyataan telah dilakukan dan dicapai. 
            Salah satu istilah paling seksi di saat-saat  memilih atau menentukan pemimpin belakangan ini ialah rekam jejak (track record) yakni; potret kinerja seseorang calon pemimpin ketika mengemban amanah yang dipercayakan pada dirinya di masa lalu. Akan tetapi, sadar atau tidak makna rekam jejak (track record) nampaknya belum dimengerti dan dipahami komprehensif paripurna, atau sebaliknya sengaja berpurak-purak tidak dimengerti atau dipahami jika bersentuhan dengan kepentingan pribadi, kelompok, golongan tertentu. Hal itu sangat mudah dibuktikan di masa-masa pemilihan pemimpin, baik pemilihan legislatif mau eksekutif yang masih diwarnai alasan integritas atau  isinitas hingga muncul istilah Nomor Pito Wani Piro (NPWP). 
            Meminjam istilah Stephen P Robbins, PhD (2009) “Prediktor terbaik perilaku seseorang di masa depan ialah perilakunya di masa lalu” bermakna, bahwa rekam jejak kinerja ialah apa yang telah dilakukan seseorang di masa lalu akan menggambarkan kemampuannya di masa depan. Rekam jejak bukan didasarkan pada besar kecil, lokal nasional level kepemimpinan melekat pada seseorang. Sebab orang bijak mengatakan, jika dipercaya memegang amanah kecil akan bisa dipercaya memegang amanah besar.
Karena itu, catatan atau rekam jejak (track record) kinerja seseorang menjadi amat sangat penting  alat pengukur atau parameter kecenderungan kemampuan untuk mengemban tugas tanggung jawab pada jenjang kepemimpinan berikutnya. Dan disinilah salah satu peran penting Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (Baperjakat) jika dilaksanakan dengan baik dan benar, obyektif, transparan melalui Merits System dalam pengangkatan dan penempatan pemimpin di domain ekseklutif atau pemerintahan supaya jaminan karier seseorang memperoleh keadilan obyektif.  
            Perlu pula dipahami, bahwa memilih calon legislatif atau parlemen (DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota) tidaklah sama dan indentik dengan memilih eksekutif (presiden, gubernur, bupati/walikota) walupun kedua lembaga ini sama-sama dipilih rakyat.
            Legislatif atau parlemen yang berasal dari kata parle  (berbicara) menuntut kepintaran, kepiawian melahirkan wacana atau retorika-retorika besar mampu membius dan menghipnotis alam sadar rakyat agar mampu menarik simpatik atas dirinya sebab hakikatnya legislatif ialah menyuarakan aspirasi rakyat. Dan menurut konstitusi legislatif memiliki hak legislasi, hak budgeting, hak pengawasan, bukan hak eksekusi. Karena itu, pengertian dan pemahaman terhadap eksistensi legislatif yang seolah-olah pengeksekusi kebijakan dalam penyelenggaraan negara atau pemerintahan harus pula diluruskan agar tidak jadi bulan-bulanan seandainya rakyat menyampaikan aspirasinya. Legislator adalah penyambung lidah rakyat terhadap eksekutif agar aspirasi rakyat terakomodir di dalam kebijakan-kebijakan negara atau pemerintahan (eksekutif).   
Sedangkan eksekutif (presiden, gubernur, bupati/walikota) memiliki hak konstitusional untuk mengeksekusi (melaksanakan) aspirasi-aspirasi rakyat melalui langkah-langkah operasional atau program realita sehingga sangat tidak begitu diperlukan seorang orator unggul atau singa podium, melainkan seorang eksekutor handal, cekatan, trampil yang memiliki kemampuan mengeksekusi visi-misi bangsa berdasarkan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dalam Bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang telah diproklamerkan para pendiri bangsa (founding fathers) 17 Agustus 1945 yang lalu dalam tindakan-tindakan konkrit. 
            Karena itu, calon presiden, gubernur, bupati/walikota seharusnya tidak perlu latah berwacana, beretorika melahirkan visi-misi aneh-aneh untuk membius atau menghipnotis alam sadar rakyat dengan kepintaran, kepiawaian berorasi, sebab sejatinya ekeskutif (presiden, gubernur, bupati/walikota) adalah seorang eksekutor handal melaksanakan eksekusi atau langkah-langkah konkrit mewujudkan visi-misi bangsa dan negara.
             Eksekutif membutuhkan permimpin-pemimpin eksekutor handal dan cekatan, bukan orator ulung atau singa podium, sebab indikator mengukur keberhasilan eksekutif (presiden, gubernur, bupati/walikota) bukan kepintaran, kepiawian berwacana, beretorika melainkan kemampuan dan kecekatan melaksanakan (eksekusi) tugas dan tanggung jawab yang diamanahkan dipundaknya sesuai amanat konstitusi. 
            Seorang eksekutor tentu harus memiliki ketegasan, keberanian, ketangkasan, kecekatan, kecermatan handal dan mumpuni sebab segala tindakannya harus terukur, tepat sasaran, efisien dan efektif sesuai koridor konstitusi. Karena itu, pemimpin di domain eksekutif harus memiliki ketegasan, tidak boleh ragu-ragu, bimbang, bingung, dan tak percaya diri dalam mengambil keputusan atau tindakan  terlepas populer atau tidak di mata publik. 
            Ketegasan yang dimaksud adalah yakin dan percaya melaksanakan suatu tindakan tanpa ragu-ragu, bimbang sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jadi bukan seperti pemahaman sempit segelintir orang yang memaknai ketegasan dari tindakan keras marah-marah, arogan, semau gue atau tergantung selera tanpa mematuhi koridor hukum dan perundang-undangan yang ada.
            Sebagai negara hukum tentu segala tindakan haruslah sesuai aturan hukum yang berlaku, bukan tergantung pada keinginan dan kehendak seseorang yang bertindak diktator otoriter sebagaimana pengalaman pahit negeri ini di masa orde baru (Orba), dimana monopoli tafsir kebenaran dan keadilan hanya di tangan penguasa.
Karena itu, makna ketegasan adalah membangun dan memperkuat sistem sesuai konstitusi dan melaksanakan konsisten konsekuen dalam penyelenggaraan negara atau pemerintahan sehingga terwujud kesamaan kedudukan setiap warga negara di depan hukum dan pemerintahan serta menjunjung hukum dan pemerintahan itu, tanpa kecuali. Artinya, seorang pemimpin harus tegas menegakkan peraturan perundang-undangan terhadap siapa pun tanpa pandang bulu, termasuk terhadap dirinya sendiri agar kesamaan di depan hukum (equality before the law) bisa terwujud dengan nyata.        
            Salah satu tugas dan tanggung jawab pemerintah, pemerintah daerah adalah memberi pelayanan prima terhadap publik sebagaimana hakikat sejati eksekutif ialah “Pamong Praja” atau “Parhobas”. Sehingga sangat dibutuhkan pemimpin-pemimpin sedikit berwacana atau beretorika kaya karya nyata. Hal ini, perlu dipahami paripurna setiap elemen masyarakat karena disinilah pembeda nyata antara legislatif dengan eksekutif dalam berbangsa dan bernegara.
            Bila seorang parlemen dituntut kemampuan, kepiawian berbicara menyuarakan aspirasi rakyat maka sebaliknya, ekseklutif dituntut kemampuan, kehandalan,  kecekatan, ketangkasan mengeksekusi aspirasi rakyat dalam program realita. 
            Tudingan-tudingan kelambatan, kelambanan, keleletan eksekusi, baik  pemerintah maupun pemerintah daerah menyelesaikan permasalahan bangsa selama ini sejatinya adalah karena eksekutif lebih banyak berwacana, beretorika daripada melaksanakan langkah-langkah konkrit mengeksekusi visi-misi bangsa yang sudah final. Sehingga berbagai visi-misi besar hanya macan kertas indah ditataran wacana hampa realita. Dan disinilah sejatinya akar permasalahan bangsa yang perlu dibenahi. Misalnya, wacana membangun sejuta hektar sawah, membangun ribuan kilometer jalan tol, membangun sumber energi terbarukan, pemberantasan korupsi, reformasi birokrasi yang sangat mencengangkan hanya tinggal angan-angan atau retorika karena langkah-langkah eksekusinya tidak pernah terealisasi maksimal.
            Demikian juga rencana pengembangan Danau Toba sebagai destinasi wisata dengan melahirkan berbagai wacana atau retorika, Lake Toba Regional Mangement (LTRM) dan berbagai tetek bengek hanyalah pelipur lara belaka karena hingga hari ini infrastruktur di kawasan Danau Toba tidak pernah dibangun maksimal, termasuk berbagai perambahan hutan di Daerah Tangkapan Air (DTA) tidak pernah dieksekusi dengan baik dan benar. Inilah beberapa bukti faktual karena eksekutif masih lebih banyak berwacana, beretorika daripada bekerja dan berkerja di alam nyata atau realita.
Membangun konsep besar tanpa realisasi adalah pembohongan, pembodohan publik yang hanya mampu dilakukan manusia tak bermoral dan beradab. Memberikan harapan-harapan palsu tanpa realisasi adalah tindakan tak terpuji sebab hanya membawa mimpi-mimpi, angan-angan besar tanpa kenyataan.      
            Seorang calon presiden, gubernur, bupati/walikota tidaklah terlalu penting mengumbar visi-misi macam-macam dan aneh-aneh, sebab presiden, gubernur, bupati/walikota hanya memerlukan kemampuan, kehandalan mengeksekusi visi-misi bangsa atau negara yang telah ditetapkan berdasarkan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dalam Bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), serta Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)  sesuai amanat undang-undang.
            Demikian juga gubernur, bupati/walikota dituntut kemampuan, kehandalan  mengeksekusi  visi-misi bangsa dan negara serta Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD), Rencana Pembangunan Jangka Menegah Daerah (RPJMD)  sesuai peraturan perundang-undangan dan peraturan daerah (Perda) yang telah ditetapkan.
            Berbagai peraturan perundang-undangan (UU), peraturan daerah (Perda) kadangkala tidak mampu dieksekusi maksimal hingga banyak peraturan perundang-undangan, paraturan daerah (Perda) hanya macan kertas tanpa realisasi optimal. Padahal membentuk sebuah undang-undang, peraturan daerah (Perda) menghabiskan uang rakyat, baik dari mata anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) maupun anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD)  yang tidak kecil. Hal itu tentu tidak boleh terjadi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sebab selain menghabiskan uang rakyat juga mengangkangi, mengabaikan perintah konstitusi yang harus dipertanggungjawabkan secara konstitusi pula. 
Karena itu, hal utama dan pertama dalam memilih pemimpin domain eksekutif haruslah benar-benar mempertimbangkan kemampuan, kehandalan, ketangkasan, kecekatan melakukan eksekusi melalui rekam jejak (track record), bukan kepintaran, kepiawian berwacana, beretorika atau seorang orator unggul atau singa podium. 
            Ingat…! Ingat …! Ingat …! Bung Karno mengatakan “Hanya keledai mau terperosok dua kali ke dalam satu lobang yang sama”. (Penulis: Penulis Buku “Kepemimpinan” Ditinjau dari Kultur Budaya Batak-Toba).
Medan, 11  Juni 2014
Thomson Hutasoit.  

Integritas vs isinitas



Integritas vs isinitas
Oleh: Thomson Hutasoit.

            Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2007) Integritas ialah mutu, sifat, atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan; kejujuran. Integritas nasional wujud keutuhan prinsip moral dan etika bangsa dalam kehidupan bernegara.
            Integritas dari konteks KBBI ialah suatu kepribadian yang dicerminkan  kejujuran, sikap, sifat, moral dan etika yang dimiliki seseorang sehingga memiliki potensi dan kemampuan memancarkan kewibawaan, kepribadian mulia dan luhur dalam perilaku berbangsa dan benegara.
            Pada masyarakat, bangsa beradat dan beradab, integritas adalah salah satu hal fundamental dan elementer dalam membangun karakter bangsa (nation character) dan kepribadian unggul yang dilandasi prinsip-prinsip moral, mental, dan etika sehingga mampu memancarkan kewibawaan, kejujuran dalam kehidupan keseharian. Moral dan etika berperan mengukur benar atau salah, baik atau buruk, pantas atau tidak pantas, dilakukan dalam perilaku hidup berbangsa dan bernegara. Segala tindakan individu harus pula disesuaikan dengan prinsip moral dan etika masyarakat, bangsa yang menunjukkan kesatuan yang utuh memancarkan kewibawaan ditengah-tengah kehidupan berbangsa dan bernegara.
            Individu-individu dalam masyarakat, bangsa tentu tidak bisa memisahkan diri dari prinsip moral dan etika yang dipahami dan dijunjung tinggi suatu komunitas tertentu, sebab pada hakikatnya manusia adalah makhluk bermasyarakat “Zoon Politicon” sebagaimana ditegaskan Aristoteles. Karena itu, ukuran baik buruk, benar salah, pantas tak pantas tidak terlepas dari prinsip moral, mental yang dipahami masyarakat, bangsa bersangkutan. Bukan tergantung pada selera atau keinginan individu-individu.
            Salah satu ungkapan Batak-Toba, “Tumagon mamora di roha marpogos di arta, unang apala mamora di arta marpogos di roha” yakni; lebih baik kaya moral miskin harta daripada kaya harta buruk moral adalah suatu prinsip moral dan etika yang dipahami komunitas Batak-Toba sejak dahulu.
Prinsip moral dan etika itulah salah satu parameter menilai seseorang  memiliki integritas atau tidak ditengah-tengah masyarakat. Tapi prinsip moral, etika itu sepertinya telah terabaikan dalam kehidupan masyarakat modern yang terjebak arus globalisasi yang ditandai munculnya perilaku-perilaku individualisme, hedonisme, konsumerisme, hampa solidaritas yang menimbulkan menipisnya harmoni ditengah-tengah masyarakat, bangsa maupun negara.
Fenomena inilah salah satu akar permasalahan bangsa yang perlu segera direvolusi melalui gerakan “Revolusi Mental” sebagaimana dicetuskan Joko Widodo atau Jokowi agar moral, mental bangsa ini dapat diperbaiki dengan tuntas menuju Indonesia hebat dan berdaya saing.
Kerusakan karakter mental, moral, etika harus pula dipahami sumber dari segala kerusakan dalam berbangsa dan bernegara. Tindakan koruptif, kolutif, nepotif, penyelewengan kekuasaan, pengkhianatan amanah, pelacuran intelektual, kemunafikan, manipulasi, penghambaan diri pada harta kekayaan, menghalalkan segala cara demi uang dan kekuasaan adalah akar segala karut marut permasalahan bangsa hingga republik ini belum mampu memberikan kemakmuran, kesejahteraan, keadilan, dan kebahagiaan anak-anak Ibu Pertiwi.    
            Sedangkan Isinitas ialah tumpukan harta, uang yang tidak berkorelasi sama sekali dengan integritas. Sebab, penumpukan harta kekayaan, uang acap kali diperoleh dari jalan yang berlawanan dengan prinsip moral, etika, kebenaran dan keadilan. Misalnya, tindak pidana korupsi, kolusi, nepotisme, memperjualbelikan kekuasaan, melanggar sumpah/janji jabatan, serta tindakan melawan hukum lainnya demi menumpuk harta kekayaan.
            Memperhambakan diri demi harta kekayaan, jabatan dan uang, mengingkari dan mengkhianati hati nurani, menjual prinsip, serta membohongi diri sendiri dan orang lain demi memperoleh kedudukan atau kekuasaan, sadar atau tidak adalah suatu perilaku paling hina dan tak terpuji yang tidak pantas dilakukan bangsa beradat dan beradab.
            Menjual martabat demi memperoleh sepotong martabak adalah suatu tindakan yang merendahkan atau menghina harkat kemanusiaan. Dan hanya manusia-manusia bodoh dan tolol yang mau melakukan dalam hidupnya. Harkat kemanusiaan jauh lebih tinggi dari harta kekayaan, kekuasaan dan strata apapun di atas jagat raya ini.
            Karena itu pulalah Oliver Cromwell (1653) dengan tegas mengatakan, “Tibalah saatnya bagiku untuk mengakhiri kedudukan kalian di sini, yang telah kalian cermarkan dengan pelecehan terhadap semua nilai kebaikan dan setiap keburukan yang kalian paraktikkan; kalian semua adalah sumber kebusukan dan musuh bagi semua pemerintahan yang baik; kalian semua hanyalah segerombolan pencari untung. Seperti Esau yang mau menjual negara demi semangkuk sup, dan seperti Yudas yang mau mengkhianati Tuhan hanya demi beberapa keping uang; masih adakah satu saja kebaikan yang tersisa dalam diri kalian ? Adakah satu keburukan saja yang tidak kalian punyai ? Wahai kalian yang lebih tidak beragama daripada kudaku; emas adalah tuhan kalian; siapakah di antara kalian yang belum menukar hati nurani dengan sup ?. Bukankah kalian tak ubahnya seperti pelacur yang telah mengotori tempat suci ini, yang sudah mencemarkan rumah Tuhan ini menjadi sarang penyamun dengan segenap prinsip tak bermoral; dan praktik jahat kalian ? Kalian kian menjadi beban tak tertanggungkan bagi bangsa yang telah kalian khianati kepercayaan ini.” (Munandar, 2009).
            Manusia tanpa integritas adalah manusia tanpa kejujuran, moral dan etika, tak bermutu, tidak memiliki sikap, sifat, atau keadaan yang menunjukkan kesatuan utuh potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan dan kejujuran dalam hidup.
            Padahal, kejujuran, moral dan etika adalah penanda nyata kepribadian luhur dan mulia yang tidak mudah terombang-ambing, tergoyahkan, tergoda oleh harta, tahta, dan wanita yang menjadi salah satu penyakit jaman edan ini.
            Mengkhianati hati nurani, membohongi diri sendiri dan orang lain demi mendapatkan setumpuk kekuasaan, segepok uang adalah perilaku buruk dan mental bobrok. Menjual dan menggadaikan negara demi semangkuk sup, mengkhianati Tuhan demi beberapa keping uang adalah perilaku Esau dan Yudas yang menjadi legenda pengkhianatan sepanjang masa.  
            Perilaku-perilaku seperti ini sangat mudah ditemukan pada diri seseorang maniak kuasa. Dan demi tahta, harta, dan wanita tidak segan-segan melacurkan diri, menjual prinsip, menelan muntah sendiri, melakukan pembelokan dan manipulasi fakta sejarah, kemunafikan, pembohongan, dan pembodohan terhadap diri sendiri maupun orang lain, tanpa memiliki urat malu dan merasa bersalah. Inilah salah satu perilaku buruk yang perlu direvolusi saat ini.
            Mengukur integritas seseorang tidaklah sulit-sulit amat, sebab integritas bisa dilacak dari kejujuran, moral, etika yang dimiliki seseorang dalam hidup sehari-hari.  Pribadi luhur dan mulia selalu berpegang teguh atas kejujuran, kebenaran, keadilan, moral, sopan santun, etika. Dan integritas seperti inilah yang menjadi elemen dasar bahan pertimbangan dalam memilih sesorang pemimpin di segala level kepemimpinan.
            McChain & Mark Salter (2009) mengatakan, “Demi prinsip, banyak orang baik menderita. Beberapa orang mati demi mempertahankan prinsip. Tetapi betapapun kejam akhir kisah itu, dan mereka punya karakter untuk menjalani hidup yang baik. Selama telah memilih dengan baik, bertindak adil, dan memiliki karakter yang layak dalam menghadapi tantangan pilihan, mereka tak peduli apa orang lain tahu keberanian mereka atau tidak. Mereka tak menyerah pada nasib yang pasti terjadi. Mereka percaya bahwa nilai mereka ialah kekuatan yang mengarahkan hidup, menerangi dunia tempat kita menyalakan lilin-lilin kecil, sebelum pekerjaan itu selesai dan kita istirahat. “Nama dan wajah orang-orang dungu memang sering muncul di muka publik.”
            Demikian juga tentang arti kejujuran yang dipahami Thomas More ketika menghadapi hukuman pancung, meminta waktu sebentar untuk mengatur janggut agar tak terpotong kampak, karena sepengetahuannya, janggutnya tak menggangu raja. Ia berkata, “saya sendiri mustahil bersumpah, tetapi saya tak menyalahkan siapa pun yang telah bersumpah.”
            Integritas mulia seperti ditunjukkan anak manusia yang memiliki kepribadian luhur inilah seharusnya ditunjukkan para calon-calon pemimpin di republik ini agar kejujuran, kebenaran, keadilan terwujud dengan nyata. Bukan membangun alibi-alibi tak masuk akal untuk menutup-nutupi kebobrokan bagaikan “kucing menyembunyikan taiknya” tanpa merasa bersalah dan bernoda.
            Mengingkari kebenaran demi isinitas (kekuasaan, kedudukan, harta maupun uang) adalah sebuah pembohongan besar, kemunafikan, pembodohan, manipulasi dan akal buruk paling berbahaya dalam hidup. Dan, membuat seseorang selalu dibayangi penyesalan sepanjang masa. Hidup tak pernah tenang, aman dan nyaman karena selalu dibayang-bayangi perasaan bersalah dan berbohong.
            Oleh karena itu, langkah-langkah konkrit melaksanakan revolusi mental  untuk membangun integritas bangsa merupakan suatu keniscayaan yang tidak boleh ditunda-tunda agar terlahir manusia-manusia unggul berintegritas (jujur, bermoral, beretika)  memegang tampuk kepemimpinan di negeri ini. Tanpa revolusi mental merubah mental-mental isinitas menjadi manusia berintegritas sangat sulit diwujudkan secara nyata.
            Harus diingat, kemajuan suatu bangsa ditentukan manusia-manusia berintegritas, bukan manusia-manusia yang bisa dibeli isinitas. Kepribadian luhur dan mulia hanyalah milik manusia-manusia jujur, bermoral, dan beretika. Dan di sinilah hakikat kemanusian sejati. Manusia beradat dan beradab selalu mengedepankan kejujuran, moral dan etika, bukan menghembuskan fitnah dan kebohongan.
Selamat melaksanakan “Revolusi Mental”. (Penulis: Penulis buku “Kepemimpinan” Ditinjau dari Kultur Budaya Batak-Toba).

                                                                                                            Medan,  13 Juni 2014

                                                                                                            Thomson Hutasoit.