Jumat, 30 Mei 2014

Revolusi Mental Konkritisasi Revolusi Belum Selesai



Revolusi Mental Konkritisasi Revolusi Belum Selesai
Oleh: Thomson Hutasoit

Sadar atau tidak salah satu hal yang sering dilupakan sepanjang sejarah perjalanan bangsa selama ini adalah wejangan para pendiri bangsa (founding fathers) diantaranya wejangan Bung Karno yang mengatakan “Revolusi Belum Selesai” walaupun kemerdekaan secara de jure dan de facto telah berada di pangkuan Ibu Pertiwi. Sebab, kemerdekaan hanyalah jembatan emas menuju bangsa yang makmur, sejahtera, dan berkeadilan.
Sebagai jembatan emas, kemerdekaan tentu harus diisi berbagai program pembangunan di segala bidang, dan salah satu yang paling mendasar adalah pembangunan karakter bangsa (nation character building) agar terlahir manusia-manusia Indonesia berkarakter unggul yang mengerti, memahami paripurna keunggulan dan kelemahan di tataran pergaulan antar bangsa-bangsa di dunia.
Karakter mental harus pula dipahami paripurna merupakan prasyarat pertama dan utama dalam menentukan suatu bangsa menjadi bangsa unggul dan berjati diri, sebab sebagaimana dikatakan Franklin Delano Rosevelt, “Bangsa tak memiliki visi akan musnah”. Visi atau platform tentu dilahirkan dari suatu kesadaran, pengenalan, serta pemahaman paripurna atas eksistensi suatu bangsa ataupun negara yang tentu saja tidak akan sama dan indentik dengan bangsa lain.
Berbagai kearifan kultur budaya yang tumbuh berkembang pada suatu bangsa akan sangat berpengaruh besar dalam pembentukan karakter bangsa bersangkutan. Namun, hal itu kadangkala terlupakan, terabaikan dalam proses pembangunan suatu bangsa, termasuk program pembangunan bangsa Indonesia selama ini. Paradoks  berpikir para pemangku kekuasaan di satu sisi selalu mengagung-angungkan budaya asing, sebaliknya, disisi lain mengabaikan dan membuang budaya sendiri telah mengubah pola pikir (mindset) cenderung meniru atau copy paste keunggulan bangsa lain secara serampangan.
Padahal, pola pikir seperti itu akan melahirkan manusia-manusia “pembeo atau bebekisasi” tanpa jati diri yang sangat berbahaya dalam pembangunan karakter mental masyarakat, bangsa.
Kemajuan pembangunan fisik tanpa diimbangi pembangunan karakter mental bangsa harus pula disadari penyebab pertama dan utama terjadinya dekadensi moral, mental era belakangan ini. Harus diakui, bahwa perkembangan kemajuan pasca kemerdekaan 17 Agustus 1945 telah menunjukkan kemajuan cukup menggembirakan.
 Kemajuan ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek), hukum dan politik telah banyak dicapai bangsa ini jika dibandingkan pada masa penjajahan kolonial. Akan tetapi, perkembangan kemajuan itu semakin jomblang antara pembangunan fisik dengan pembangunan karakter mental. Salah satu indikator nyata ialah munculnya berbagai kasus-kasus korupsi, penyelewengan kekuasaan, pengkhianatan amanah, serta kecenderungan menipisnya nasionalisme, rasa kebangsaan dan keindonesiaan akibat terabaikannya pembangunan karakter bangsa selama ini.
Sungguh amat tepat apa yang dikatakan Joko Widodo (Jokowi) dalam Artikelnya berjudul “Revolusi Mental” di Harian Kompas (10/5/2014) “Indonesia saat ini menghadapi suatu paradoks pelik yang menuntut jawaban dari para pemimpin nasional. Setelah 16 tahun melaksanakan reformasi, kenapa masyarakat kita bertambah resah dan bukannya tambah bahagia, atau dalam istilah anak muda sekarang semakin galau?”.
Joko Widodo secara gamblang menyatakan bahwa “Reformasi yang dilaksanakan di Indonesia sejak tumbangnya rezim Orde Baru Soeharto tahun 1998 baru sebatas melakukan perombakan yang sifatnya institusional. Belum menyentuh paradigma, mindset, atau budaya politik dalam pembangunan bangsa (nation building) agar perubahan benar-benar bermakna dan berkesinambungan, dan sesuai dengan cita-cita Proklamasi Indonesia yang merdeka, adil, dan makmur, kita perlu melakukan revolusi mental.”
Pemikiran cerdas, jenial Joko Widodo (Jokowi) calon presiden Republik Indonesia 2014 ingin melakukan revolusi mental untuk melanjutkan “Revolusi Belum Selesai” sebagaimana dikatakan Bung Karno secara obyektif adalah kerinduan seluruh anak-anak bangsa selama ini agar memiliki jati diri, serta berdaulat di segala segmen kehidupan berbangsa dan bernegara.
Degradasi mental yang sangat memilukan, memalukan pada era belakangan ini seperti yang diberitakan berbagai media adalah fakta nyata yang harus jadi perhatian ekstra serius dari seluruh anak-anak bangsa di negeri ini.
Salah satu hal paling memprihatinkan era belakangan ini ialah munculnya mental-mental yang mengagung-agungkan kehebatan bangsa lain yang tidak sesuai tujuan pendirian Negara Republik Indonesia sebagaimana diamanatkan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dalam Bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sehingga muncul potensi ancaman kedaulatan di segala sektor perikehidupan berbangsa dan bernegara.  
Berbagai kebijakan yang menyimpang dari tujuan pendirian negara kerap digulirkan menjadikan republik ini seperti negara berdaulat tanpa kedaulatan.
 Kebutuhan primer rakyat yang seharusnya bisa disediakan di dalam negeri malah di impor dari negara lain. Program ketahanan pangan yang tidak bertujuan sama sekali membangun kedaulatan pangan adalah fakta nyata kekeliruan besar jebakan liberalisasi yang sangat menyimpang dari konstitusi.
Kebijakan-kebijakan semacam itu adalah buah mental rente, pemburu komisi  dari para pemangku kekuasaan yang perlu segera direvolusi. Menyediakan kebutuhan primer rakyat tak jadi soal dengan cara apa pun, termasuk membuka keran impor serampangan adalah kekeliruan besar serta sesat pikir memahami negeri khatulistiwa yang memiliki keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif di sektor agraris. Sebab, sungguh aneh bin aneh para petani akan menjadi sasaran beras rakyat miskin (Raskin) akibat keliru membangun sektor pertanian yang notabene ruang aktivitas mayoritas rakyat bangsa Indonesia.   
Alangkah aneh dan keliru besar negara agraris, maritim menjadi negara pengimpor beras, jagung, kacang-kacangan, buah-buahan, garam, ikan dan lain sebagainya dari negara lain yang tidak memiliki kekayaan alam seperti dimiliki bangsa ini.
Revolusi mental rente, mental impor, mengagung-agungkan keunggulan bangsa lain adalah salah satu tugas paling penting dan mendesak dilakukan saat ini. Sebab, mental-mental seperti itu telah menguras keuangan negara serta menjatuhkan harga diri republik ini di mata internasional. Alangkah memalukan sebuah negara agraris, maritim tidak mampu menyediakan kebutuhan primer rakyatnya karena para pemangku kebijakan bermental rente, doyan dapat komisi, berkolaborasi dengan pihak asing menguras kekayaan Negara. Komparador-komparador ini memiliki mentel “tempe” dependen dengan pihak asing, tanpa menyadari bahwa tindakannya itu telah menghancurkan kedaulatan bangsa di mata dunia.   
Persoalan bangsa paling pelik dan rumit saat ini ialah permasalahan mental, karakter bangsa sebab segala karut marut yang terjadi di era belakangan ini sadar atau tidak semuanya bermuara pada karakter mental yang sangat jauh menyimpang dari kultur budaya Nusantara.
Karakter individualistis, hedonis, konsumeris, tak solider yang dibonceng globalisasi sangat menyimpang dari karakter bangsa gotong-royong dan peduli terhadap pihak lain sebagaimana kearifan-kearifan yang tumbuh berkembang di bumi Nusantara.
Menonjolkan egoisme dan tak peduli dengan pihak lain menimbulkan jurang pemisah diantara anak-anak bangsa semakin menganga. Padahal, para pendiri bangsa tidak pernah berpikir tujuan negara seperti itu. Negara Indonesia adalah satu untuk semua, semua untuk satu, dengan demikian kebahagiaan seluruh anak-anak bangsa terwujud dibawah pangkuan Ibu Pertiwi.
Revolusi mental dari individualistis, hedonis, konsumtif, tak solider, mental rente, doyan komisi, mengagung-agungkan pihak asing yang merupakan penyimpangan karakter bangsa Indonesia bersifat gotong-royong, ramah-tamah, kesetiakawanan adalah langkah cerdas dan jenial, serta pemahaman paripurna tentang kebangsaan dan keindonesiaan seperti dicita-citakan pendiri bangsa ini.
Langkah konkrit revolusi mental yang harus segera dilakukan adalah menjalankan TRI SAKTI Bung Karno; Berdaulat secara politik, berdiri di atas kaki sendiri (Berdikari) dalam ekonomi, Berkepribadian dalam kebudayaan.
Berdaulat dalam politik bertujuan bahwa bangsa ini tidak didikte pihak manapun dalam menentukan kebijakan politiknya. Sebagai negara merdeka dan berdaulat tidak boleh sekali-sekali diinterversi negara manapun, alasan apapun, dimanapun, kapanpun, sebab Negara Republik Indonesia memiliki kemerdekaan dan kedaulatan menentukan arah kebijakan politiknya. Kerjasama antar negara harus saling menghormati, saling menguntungkan dalam kesetaraan dan kesamaan derajat sesama negara merdeka dan berdaulat.
Berdiri di atas kaki sendiri (Berdikari) atau mandiri dalam ekonomi bertujuan untuk membangun kemandirian atau kedaulatan dalam seluruh sektor ekonomi, pihak lain tidak boleh sekali-sekali mengintervensi kebijakan atau paradigma ekonomi yang dijalankan negara, termasuk berbagai subsidi untuk membangun kedaulatan atau kemandirian ekonomi bangsa.
Bumi, air, angkasa dan kekayaan yang terkandung di dalamnya mutlak absolut untuk kemakmuran dan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Dan, tidak ada satu bangsa lain pun bisa mengintervensi walau dengan alasan apapun. Kerjasama dalam ekonomi mutlak absolut harus saling menguntungkan, sehingga segala kebijakan yang menyimpang dari pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 wajib hukumnya diluruskan dan diperbaiki.
Berkepribadian dalam kebudayaan bertujuan untuk membangun karakter moral, mental bangsa sesuai jati diri serta kearifan-kearifan Nusantara sebagaimana telah disaripatikan di dalam Pancasila. Karena itu, pembumian Pancasila terutama terhadap penyelenggara negara atau pemerintahan harus segera dilaksanakan secara konkrit, sebab keteladanan para penyelenggara negara atau pemerintahan melaksanakan Pancasila dengan baik dan benar akan menjadi acuan bagi seluruh rakyat di negeri ini.
Keprihatinan, kegalauan, kegundahan terjadinya degradasi kepemimpinan di era belakangan ini harus pula disadari akibat dekadensi mental dari para pemangku kekuasaan yang tidak mampu menunjukkan keteladanan kepemimpinan ditengah-tengah masyarakat, bangsa maupun negara.
Mental korup, kolusi, nepotisme, aji mumpung, mengkhianati amanah yang dipercayakan di pundaknya telah mempermalukan bangsa ini di mata dunia. Dan disinilah perlu dan pentingnya melakukan “Revolusi Mental” yang dimaksudkan Joko Widodo (Jokowi) mantan Walikota Surakarta Solo, Gubernur DKI Jakarta yang saat ini calon presiden Republik Indonesia 2014-2019 untuk melanjutkan “Revolusi Belum Selesai” yang dititipkan Bung Karno sang proklamator republik ini.   
Semua bangsa di atas jagat raya ini memiliki kepribadian dan kebudayaan masing-masing, dan hanya bangsa yang berhasil membangun kepribadian bangsanya bisa tampil menjadi bangsa unggul dan hebat di percaturan antar bangsa-bangsa di dunia.
Selamat menyambut Revolusi Mental menuju Indonesia Hebat !, Indonesia Raya ! Indonesia Berdaya Saing !. ( Penulis buku Kepemimpinan Ditinjau dari Kultur Budaya Batak-Toba).
            Medan, 25 Mei 2014
 Thomson Hutasoit.

Minggu, 18 Mei 2014

Politik Belah Sel



Politik Belah Sel
Oleh: Thomson Hutasoit.

            Pasca pemilihan umum legislatif (Pileg) 9 April 2014 babak baru perpolitikan  republik ini tertuju pada pemilihan umum presiden/wakil presiden (Pilpres) 9 Juli 2014 akan datang. Partai-partai politik pun mulai memasang taktik dan strategi untuk mengusung pasangan calon presiden/wakil presiden yang menurut undang-undang  pasangan calon presiden/wakil presiden diusulkan atau diusung partai politik atau gabungan partai politik dengan syarat pencalonan 25 persen suara sah nasional atau 20 persen kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
            Syarat pencalonan itu memaksa partai politik harus berkoalisi atau bekerja sama sebab hasil pemilihan legislatif (Pileg) 9 April 2014 lalu tidak ada satu partai politik pun meraih 25 persen suara sah nasional atau 20 persen kursi DPR sesuai hasil hitung cepat (quick count) berbagai survey di negeri ini.
            Jika ketika pemilihan legislatif (Pileg) masing-masing partai politik mengumbar visi-misi atau platform partainya berbeda dan/atau berseberangan dengan partai lain, maka kini partai-partai tersebut mencari kesamaan atau kemiripan seperti dua sejoli yang ingin kawin. Partai-partai politik yang selama ini saling mengumbar diri ‘paling dan paling’ berpihak pada rakyat dan negara ataupun alasan sektarian lainnya, kini berputar haluan dengan membangun berbagai alibi tak masuk akal semata-mata mengejar boarding pass mengajukan pasangan calon presiden/wakil presiden.
            Partai politik mulai menunjukkan habitatnya sebagai pedagang politik dengan menjadikan suara rakyat komoditas politik yang siap ‘dijual’ kepada partai lain asal saja cocok harga yakni; bagi-bagi kekuasaan, seperti wakil presiden, menteri-menteri dan kompensasi politik lain mahar jual-beli suara rakyat yang didapatkan pada pemilihan legislatif (Pileg) lalu.
            Bila diamati dengan cermat dan cerdas inilah salah satu awal politik transaksional atau politik uang (money politics) yang dilancarkan juragan-juragan politik pada saat pemilihan legislatif (Pileg). Sebab, walau seberapa besar pun dana yang dikeluarkan untuk mendapatkan suara rakyat tidak akan pernah rugi karena suara rakyat masih bisa ‘dijual’ juragan-juragan partai politik untuk mendapat kompensasi kerugian Pileg, apakah bentuk uang, jatah wakil presiden, menteri-mentari ataupun kompensasi politik lainnya.
            Suara rakyat menjadi salah satu komoditas paling laris manis dalam pertarungan perebutan kekuasaan, sementara rakyat pemberi suara tidak pernah menyadarinya apakah suaranya benar-benar untuk mendukung partai politik tertentu memperjuangkan nasibnya atau tidak. Rakyat yang lugu dan polos dalam berpolitik terbuai mendengar retorika politik partai pada masa-masa kampanye pemilihan legislatif (Pileg) tak pernah menyadari bahwa suaranya bakal dibawa kemana.
            Kepiawian, kecerdikan, kemahiran, kelihaian pembingkaian (framing)  kata-kata oleh para politisi telah berhasil ‘membius’ alam sadar rakyat, apalagi dibumbui aneka kebaikan palsu, seperti; bagi-bagi sembako, sumbangan sosial, perilaku tiba-tiba baik, dermawan sesaat serta peduli penderitaan rakyat membuat akal sehat bisa jadi tumpul tanpa menyadari, bahwa suara rakyat nanti akan dijadikan alat bargaining politik untuk mendapatkan kekuasaan dari partai politik lain. Bahkan, tanpa meminta persetujuan dari rakyat pemilik suara juragan-jurangan partai politik bebas dan sesuka hati mengarahkan, ‘menjual’ suara rakyat kemana  mereka suka. Sebab para juragan partai politik merasa telah mutlak absolut  memiliki dan berkuasa atas suara rakyat yang diperolehnya pada pemilihan legislatif (Pileg) lalu.
            Kedaulatan rakyat yang dijamin Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 sepertinya telah terjual ataupun tergadaikan pada partai politik sehingga suara rakyat mutlak absolut milik partai politik dan sepenuhnya bebas diarahkan kemana sesuai keinginan juragan partai politik. Hal inilah yang menjadi makna sejati gerilya juragan-juragan partai politik super agresif melakukan lobi-lobi politik dalam membentuk koalisi atau kerja sama partai politik untuk mengusung pasangan calon presiden/wakil presiden 2014 nanti.
            Rakyat pemilik suara tak berdaya sama sekali menghempang “drama bagi-bagi kekuasaan” yang dilakukan para juragan partai politik pasca penyerahan suaranya pada pemilihan legislatif (Pileg) sebab para juragan partai politik memaknai suara rakyat adalah suara partai, bukan lagi suara rakyat. Rakyat dipaksa pasrah melihat, menonton “drama-drama sabun” berikutnya dengan berbagai alibi retoris pragmatis seperti kesamaan, kemiripan visi-misi atau platform partai politik membangun bangsa dan negara. Padahal, alibi-alibi itu tak sesuai keinginan rakyat pemilik suara dan hanyalah instrument mewujudkan libido kekuasaan.   
Belah Sel.
            Bila dianalisis makna kata kesamaan, kemiripan visi-misi atau platform partai politik yang dilontarkan para juragan partai politik, sadar atau tidak adalah suatu pengakuan verbal, bahwa sejatinya partai-partai politik di negeri ini adalah hasil “Politik Belah Sel” dari satu pohon partai politik yang sama. Sehingga visi-misi atau platform satu partai dengan partai lain memiliki kesamaan, kemiripan satu sama lain.
            Sekedar menyegarkan ingatan perpolitikan di zaman orde baru (Orba), bahwa partai politik di republik ini hanya tiga, yakni; Golongan Karya (Golkar), Partai Demokrasi Indonesia (PDI), Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Golkar yang terdiri dari tiga jalur, yaitu; Jalur A (ABRI), Jalur B (Birokrasi), dan Jalur G (Golongan). Sedangkan Partai Demokrasi Indonesia (PDI), Partai Persatuan Pembangunan (PPP) merupakan fusi partai-partai politik yang memiliki kesamaan, kemiripan visi-misi atau platform partai politik. Karena itu, partai politik dijaman orde baru (Orba) dikategorikan tiga haluan, yakni; partai berhaluan nasionalis, partai berhaluan agamis, dan berhaluan berkarya. Akan tetapi, yang paling aneh bin ajaib Golongan Karya (Golkar) tidak pernah mengakui dirinya sebagai partai politik.
            Seiring dengan bergulirnya reformasi 1998 ditandai lengsernya Presiden Soeharto yang telah berkuasa ± 32 tahun, partai-partai politik tumbuh bagaikan jamur di musim penghujan sehingga partai politik pada Pemilu 1999 hingga ratusan partai politik. Pertumbuhan partai politik multipartai itu patut diduga keras adalah hasil “Politik Belah Sel” sehingga amat sulit dan sukar membedakan visi-misi atau platform spesifik satu sama lain. Pada Pemilu 2004 jumlah partai politik sebanyak 48 partai, Pemilu 2009 jumlah partai politik sebanyak 24 partai, Pemilu 2014 jumlah partai politik sebanyak 15 partai, 12 partai nasional dan 3 partai lokal.
            Selanjutnya, bila diamati dengan cermat dan seksama, bahwa ketua umum atau Pembina partai politik saat ini tidaklah terlalu sulit mengetahui dari pohon mana partai itu membelah sel. Sebab, petinggi-petinggi partai politik di era reformasi ini masih sangat mudah melacaknya, apalagi bila menggunakan dalilnya Stephen P Robbins, PhD “Prediktor terbaik masa depan seseorang adalah perilakunya di masa lalu”. Sehingga tidak lah amat-amat sukar dan sulit.
            Jika diamati 12 partai nasional pada Pemilu 2014 antara lain; Partai Nasional Demokrat (Partai Nasdem), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-Perjuangan), Partai Golongan Karya (Partai Golkar), Partai Gerakan Indonesia Raya (Partai Gerindra), Partai Demokrat (PD), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Hati Nurani Rakyat (Partai Hanura), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Keadilan Persatuan Indonesia (PKP-Indonesia) sungguh sulit terbantahkan hanyalah hasil “Politik Belah Sel” dari 3 (tiga) partai politik di masa orde baru (Orba) sebab para petinggi partai politik yang ada saat ini masih tokoh-tokoh politik masa lalu.
            Bila diamati seksama “Politik Belah Sel” cenderung diakibatkan “perselisihan, perseteruan” pertarungan para petinggi partai. Misalnya, gusur-menggusur pasca pertarungan perebutan pucuk pimpinan partai atau pemilihan ketua umum partai. Pasca pemilihan ketua umum partai politik muncul faksi-faksi, dan ketua umum atau petinggi partai politik terpilih cenderung melakukan pembersihan pengaruh atau pengikut kandidat yang kalah. Kandidat yang kalah, kemudian mendirikan partai politik baru dengan melahirkan alasan-alasan mengoreksi kekeliruan partai yang ditinggalkan. Sehingga partai politik baru yang didirikan seolah-olah antithesa kekeliruan, bukan ekses kekalahan pertarungan perebutan kursi singgasana partai politik.
            Padahal, cikal bakal “Politik Belah Sel” patut ditengarai buah kekecewaan kekalahan pertarungan perebutan kursi singgasana partai politik semata. Memang harus diakui pasca reformasi partai-partai tandingan sudah jarang terjadi, bahkan tidak ada sebagaimana di masa orde baru (Orba) seperti dialami Partai Demokrasi Indonesia (PDI) maupun Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang tidak terlepas dari “campur tangan” pemerintah ketika itu. Tetapi, bila diamati mendetail terbentuknya partai-partai baru yang membelah sel dari satu pohon partai politik setali tiga uang saja, hanya kesingnya berbeda.
            Jika pada masa orde baru (Orba) partai politik dibatasi hanya 3 (tiga) maka pasca reformasi pendirian partai politik justru sebaliknya, bebas dibentuk sepanjang memenuhi syarat pendirian partai politik yang diatur dalam undang-undang. Sehingga, bila seseorang “tergusur” dari partai politik tertentu sangat mudah mendirikan partai politik baru asalkan saja bisa memenuhi syarat undang-undang. Partai-partai tandingan tidak diperlukan lagi, sebab mendirikan partai baru lebih mudah dan gampang. Hal inilah salah satu perubahan nyata dalam peta perpolitikan di negeri ini pasca reformasi.  
            Bercermin pada tiga partai politik di masa orde baru (Orba) yakni; Golongan Karya (Golkar), Partai Demokrasi Indonesia (PDI), Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dengan branding  partai politik; golongan karya, nasionalis, dan agamis maka “Politik Belah Sel” di era reformasi menunjukkan kesamaan, kemiripan visi-misi atau platform partai politik dalam tiga kategori, antara lain;
Pertama; Belah Sel Golkar; Partai Nasional Demokrat (Partai Nasdem), Partai Gerakan Indonesia Raya (Partai Gerindra), Partai Demokrat (PD), Partai Hati Nurani Rakyat (Partai Hanura), Partai Keadilan Persatuan Indonesia (PKP-Indonesia) karena Ketua Umum atau Pembina partai-partai ini dulunya bernaung di bawah pohon beringin. Sehingga sulit dan sukar mengingkari, bahwa partai-partai ini adalah hasil “Politik Belah Sel” dari pohon yang sama.
Kedua; Belah Sel Partai Persatuan Pembangunan (PPP); Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Bulan Bintang (PBB). Sebab, partai berbasis agamis di masa orde baru (Orba) adalah hasil fusi, dan pasca reformasi fusi itu menjadi longgar seiring kebebasan mendirikan partai politik sepanjang memenuhi syarat undang-undang.
Ketiga; Belah Sel Partai Demokrasi Indonesia (PDI); Ketika roda reformasi 1998 atau persisnya pada Pemilu 1999 dan 2009 muncul berbagai partai politik yang membelah sel dari PDI hasil fusi, seperti; Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-Perjuangan), Partai Nasional Banteng Kemerdekaan (PNBK), Partai Nasional Indonesia Marhaen (PNI-Marhaen), Partai Pelopor, Partai Demokrasi Indonesia (PDI), dan lain-lain. Tetapi pada Pimilu 2014 partai nasionalis di masa orde baru (Orba) tinggal hanya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-Perjuangan).
            Memperhatikan “Politik Belah Sel” sebagaimana diuraikan di atas sesungguhnya bisa dijadikan alat analisis memahami pembentukan koalisi atau kerja sama antar partai politik mengusung pasangan calon presiden/wakil presiden periode 2014-2019, apakah benar koalisi atau kerja sama antar partai demi memperkuat sistem presidensial atau sebaliknya, politik dagang sapi dengan mahar bagi-bagi kekuasaan, seperti; jatah wakil presiden, menteri-menteri atau kompensasi politik lainnya.
            “Politik Belah Sel” sebenarnya adalah suatu kelihaian memainkan taktik strategi politik dengan membelah diri atas beberapa partai politik dari satu pohon partai politik dengan tujuan merebut kekuasaan. Melahirkan visi-misi atau platform politik seolah-olah baru ditengarai hanyalah sebuah siasat cerdik dari aktor-aktor partai politik membangun citera. Padahal, kenyataannya hanya ganti merek ataupun ganti simbol tanpa perbedaan visi-misi atau platform politik spesifik. Buktinya, ketika membentuk koalisi atau kerja sama antar partai politik mengusung pasangan calon presiden/wakil presiden selalu disebut-sebut alasan koalisi atau kerja sama. Artinya, partai-partai politik pada dasarnya tidak ada perbedaan visi-misi atau platform yang benar-benar berbeda. Justru yang berbeda hanyalah perbedaan kepentingan sehingga amat sangat benar idiom mengatakan, “Tidak ada kawan atau lawan yang abadi dalam politik, yang abadi hanyalah kepentingan”. Inilah yang perlu diketahui, dipahami rakyat pemilik suara  menyikapi eksistensi partai-partai di negeri ini agar tidak mudah terbuai rayuan maut atau rayuan gombal.   
            Oleh karena itu, bila partai-partai politik ingin memperkuat sistem presidensial ke depan maka pembentukan koalisi atau kerja sama antar partai politik mengusung pasangan calon presiden/wakil presiden 2014 yang katanya dilandasi kesamaan, kemiripan platform politik hendaknya dipermanenkan melaui fusi partai politik agar jumlah partai politik di republik ini semakin sedikit. Bukan hanya sebatas mengusung pasangan calon pasangan presiden/wakil presiden saja agar tudingan masyarakat terhadap partai politik bagi-bagi kekuasaan bisa ditepis. Sebab, bila koalisi atau kerja sama antar partai politik hanya sebatas mengusung pasangan calon presiden/wakil presiden tidak ada jaminan sistem presidensial terbangun kuat. Karena, ketika kepentingan partai politik tak terakomodasi sesuai selera partai akan muncul manuver-manuver atau tekanan-tekanan politik sebagaimana dialami koalisi partai politik dengan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono 2009-2014 yang penuh kegaduhan politik. Sebab koalisi Partai Politik  dan  Pemerintahan SBY-Boediono bukan koalisi yang dilandasi kesamaan platform politik Karenanya, partai-partai politik koalisi pemerintahan SBY-Boediono sering melakukan manuver atau tekanan politik terhadap pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono mengakibatkan sistem presidensial tak pernah kuat.   
            Jika diamati cermat dan seksama peta perpolitikan republik ini, kepiwaian Partai Golkar memainkan taktik strategi “Politik Belah Sel” patut diacungi jempol. Sebab, pada pemilihan presiden (Pilpres) 2004, Partai Golkar yang mengusung pasangan Wiranto-KH. Solahuddin Wahid, PDI-Perjuangan mengusung Megawati Soekarnoputri-KH. Hasym Muzadi, Partai Demokrat mengusung pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-HM.Yusuf Kalla (JK), adalah  politik belah sel. Sebab,   ketika pasangan SBY-JK keluar sebagai pemenang Pilpres 2004 HM. Jusuf Kalla (JK) yang tidak diusung Partai Golkar menjadi Ketua Umum Partai Golkar. Demikian juga di Provinsi Sumatera Utara, H. Syamsul Arifin SE yang tidak diusung Partai Golkar, begitu menang pemilihan gubernur (Pilgub) terpilih menjadi Ketua DPD Partai Golkar Provinsi Sumatera Utara.   
            Inilah salah satu bukti kepiawian Partai Golkar memainkan taktik strategi “Politik Belah Sel” sehingga Partai Golkar tak pernah di luar orbit kekuasaan selama ini. Nah, apakah pada Pilpres 2014 “Politik Belah Sel” akan menjadi taktik strategi dalam membentuk “perkawinan politik” masih perlu ditunggu. Tapi harus diingat, Bung Karno pernah mengatakan, bahwa “Hanya bangsa keledai yang mau terperosok dua kali ke dalam satu lobang yang sama”. Sejarah lah yang akan membuktikan.  
                                                                                                            Medan, 4 Mei 2014.

                                                                                                            Thomson Hutasoit.