Jumat, 28 Maret 2014

Jokowi Melanjutkan Revolusi Belum Selesai



Jokowi Melanjutkan Revolusi Belum Selesai
Oleh : Thomson Hutasoit
Direktur Eksekutif LSM Kajian Transparansi Kinerja Instansi Publik (ATRAKTIP)
Pendahuluan.
            Mandat pencapresan Jokowi menyebar ke seluruh penjuru Nusantara, bahkan ke penjuru dunia bagaikan sang surya menembus relung-relung kegelapan memberi sinar terang membuka tabir selubung ruang gelap berbangsa, bernegara  hingga umur manofause belum mampu menepati janji-janji proklamasi yakni; mewujudkan masyarakat adil, makmur, sejahtera, tanpa kecuali.   
Text Box:              Selama dua pekan penulis masih mampu menahan diri mengamati, memerhatikan, mencermati berbagai pendapat, analisis, opini politik pasca   mandat Jokowi calon presiden oleh  Ketua Umum DPP PDI-Perjuangan Megawati Soekarnoputri. Dalam situasi kondisi politik yang bergerak cepat dan liar, bahkan tak rasional, penulis rasa-rasanya tak bisa diam lagi atau menahan diri untuk tidak mengeluarkan pendapat dan sikap selaku anak bangsa yang merindukan  hadirnya   pemimpin bangsa untuk  Melanjutkan Revolusi Belum Selesai” yang   diamanahkan Bung Karno pendiri republik ini.
            Di sela-sela kegusaran, kegundahan, kefanikan, kebimbangan, ketakutan pihak-pihak kompetitor pemilihan presiden (Pilpres) yang akan berhadapan dengan Joko Widodo atau Jokowi, ternyata tak diduga-duga muncul sifat dan sikap inkonsistensi, buruk rupa, sesat pikir para ambisius calon presiden hingga mengeluarkan statement politik tak masuk akal  yang patut diduga cerminan  ketakpercayaan diri berkompetisi secara fair dengan mantan Walikota Solo, Gubernur DKI Jakarta yang terbukti mendapat simpatik rakyat di seluruh penjuru Nusantara. Padahal, sebelum Jokowi memperoleh boarding pass menuju kursi Presiden Republik Indonesia 2014-2019 selalu dipuja-puji para politisi di negeri ini, termasuk berbagai survey menempatkan elektabilitas Jokowi di peringkat tertinggi mengungguli tokoh-tokoh yang telah lama ‘menjual diri’ serta mengeksplorasi tebar pesona, penciteraan diri tak masuk akal di berbagai media massa di negeri ini.   
            Taktik strategi pembusukan politik terhadap Jokowi pun mulai dilancarkan para calon pesaing Pilpres dengan harapan simpatik masyarakat terhadap Jokowi semakin menurun, bahkan hilang sama sekali. Rupa-rupanya, taktik strategi pembusukan politik seperti itu sangat mudah terbaca, diketahui oleh masyarakat.  Taktik strategi pembusukan politik seperti itu sangat kampungan dan merupakan gaya berpolitik kumuh tak beradab.
Rakyat telah pintar, cerdas melihat, mengetahui, memahami sosok-sosok calon pemimpin nasional dari rekam jejak (track record) masa lalu para calon presiden yang bergentayangan di iklan-iklan media elektronik, maupun media cetak. Rakyat semakin cerdas melihat, mengetahui siapakah yang layak dan pantas didaulat menjadi calon presiden 2014 melalui pemahaman seperti dikatakan Stephen P. Robbins PhD (2009), “Prediktor terbaik perilaku seseorang di masa depan ialah perilakunya di masa lalu” yang berkorelasi linier dengan kearifan lokal Batak-Toba, “Tarida do imbo sian soarana, Tarboto do gaja sian bogas ni patna, Tandaon do jolma sian pangalahona”. Artinya, sehebat apapun upaya seseorang membangun citera diri ataupun tebar pesona, noda, noktah masa lalu tidak bisa dihilangkan dari memori masyarakat yang telah mengalami perlakuan itu.   
            Tebar pesona, penciteraan diri hanyalah sebuah masker penyesatan berpikir yang dilancarkan untuk menutupi noda, noktah di masa lalu. Misalnya, aktor pelanggar hak asasi manusia (HAM), menyakiti rakyat, koruptor, maniak kuasa di masa lalu kini muncul di garda terdepan berteriak lantang menyuarakan perjuangan kepentingan rakyat adalah suatu kebohongan dan pembodohan teselebung untuk meraih simpatik rakyat. Mereka memosisikan rakyat pengidap penyakit “agnosia” sehingga lupa atas tindakan-tindakannya di masa lalu. Asumsi itu, sangat keliru besar dan mimpi di siang bolong.
            Situasi kondisi seperti inilah yang terjadi di saat-saat bergulirnya pemilihan legislatif (Pileg) ataupun pemilihan presiden (Pilpres) 2014 mendorong penulis mencoba mendalami makna kata yang melekat pada nama Joko Widodo atau Jokowi. Setelah berpikir lebih dalam, ternyata Jokowi adalah “Jolak Komitmen Watak Indonesia“ yang memiliki arti dan makna “Kobaran api Komitmen Watak Indonesia” untuk Melanjutkan Revolusi Belum Selesai yang dititipkan Bung Karno kepada seluruh anak bangsa supaya tujuan pendirian negara yang  termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yaitu; melindungi seluruh bangsa Indonesia dan segenap tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,  ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan dan perdamaian abadi dan  keadilan sosial, bisa terwujud nyata. Dengan demikian, kebahagiaan seluruh rakyat yang merupakan makna sejati kemerdekaan yang diperjuangkan para pendiri bangsa bisa dihadirkan segera.    
            Bung Karno mengatakan, “Ku titipkan bangsa ini kepada mu”. Amanah itu, kini memiliki momentum ruang yang tepat dan sosok yang tepat melalui “Jolak Komitmen Watak Indonesia (Jokowi)” yang telah membuktikan diri pemimpin mencintai rakyat dan dicintai rakyat mulai dari Walikota Solo, Gubernur DKI Jakarta. Karakter kerendahan hati, kesahajaan, kejujuran, keberanian, konsistensi, konsekuen serta menjadikan istananya untuk rakyat membuka harapan baru yang didambakan seluruh rakyat Nusantara semakin bergelora.
Ketika penulis menjadi salah satu narasumber pendidikan dan latihan (Diklat) Jurnalistik surat kabar terbitan Jakarta di Tuktuk Siadong, Kabupaten Samosir tahun 2010 lalu bersama Drs. Sabam Leo Batubara sesepuh tokoh pers nasional, J. Siallagan BSc, Pemimpin Redaksi salah satu surat kabar terbitan Medan berpandangan, bahwa sudah saatnya bupati/walikota, gubernur yang berprestasi di daulat menjadi pemimpin nasional atau presiden pada pemilihan presiden (Pilpres) 2014 ini. Kepemimpinan berjenjang bupati/walikota jadi gubernur, gubernur jadi presiden berdasarkan pertimbangan capaian prestasi ketika memangku jabatan adalah salah satu pola seleksi obyektif sekaligus penghargaan kepada kepala-kepala daerah berprestasi untuk memegang jenjang kepemimpinan lebih tinggi. Partai-partai politik, serta lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya perlu mendorong perubahan sistem rekruitmen calon pemimpin nasional melalui rekam jejak (track record) prestasi ditengah-tengah masyarakat sehingga terlahir pemimpin yang amanah, mumpuni, membawa bangsa ini menjadi bangsa unggul berdaya saing di percaturan antar bangsa-bangsa.  
            Pandangan itu didasarkan pada logika sangat sederhana yakni; bila seorang bupati/walikota berhasil atau berprestasi memimpin daerah kabupaten/kota maka dia paling layak dan pantas memimpin provinsi atau sebagai gubernur. Selanjutnya, bila seorang gubernur mampu menunjukkan prestasinya memimpin provinsi maka dia paling layak dan pantas diberi kepercayaan memimpin bangsa atau presiden. Jenjang kepemimpinan seperti itu sekaligus mencerminkan kecerdasan anak-anak bangsa untuk memilih dan menentukan pemimpinnya berdasarkan kredibilitas, kapabilitas, kapasitas, integritas teruji, terbukti dengan nyata ditengah-tengah kehidupan rakyat. Sebab, sungguh keliru besar bila masih “membeli kucing dalam karung” serta alasan tebar pesona, penciteraan diri melalui kebaikan palsu ataupun politik transaksional dalam memilih pemimpin.
            Oleh sebab itu, politisi, partai politik, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh pemuda, tokoh pendidikan, cendikiawan, pers, LSM dan lain-lain perlu memberi pencerahan, pendidikan politik rakyat dalam memilih dan menentukan pemimpin bangsa, sekaligus meluruskan kampanye negatif (negative campaign) ataupun kampanye hitam (black campaign) yang dilancarkan pihak-pihak diselimuti kegusaran, kegalauan, kegundahan, kefanikan, ketakutan terhadap kompetitor lain yang menimbulkan kebingungan masyarakat memilih dan/atau menentukan pemimpin bangsa pada pemilu 2014.
Seluruh elemen bangsa sudah saatnya mengedepankan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi, kelompok, golongan maupun partai politik tertentu. Kampanye negatif, kampanye hitam, politik transaksional yang merupkan cerminan berpolitik kumuh tak beradab harus segera diakhiri, sehingga seluruh partai, kandidat, baik legislatif maupun capres harus menghindari diri melancarkan kampanye seperti itu. Dan para kandidat yang melancarkan kampanye negatif, kampanye hitam tak pantas dan layak dipilih jadi pemimpin di republik ini.    
            Statemen tendensius, sentimen negatif apalagi saling serang-menyerang, menjelek-jelekkan, melancarkan fitnah antar partai politik, antar caleg, antar capres sudah tak ampuh lagi dilancarkan untuk meraih simpatik rakyat. Berkompetisi berdasarkan komptensi, kemampuan, kecerdasan, kejenialan menawarkan visi-misi mengembalikan kedaulatan rakyat secara nyata agar bangsa ini bisa bangkit dari berbagai keterpurukan, baik dalam politik, hukum,  ekonomi, kebudayaan adalah pertanda nyata kenegarawanan seseorang calon pemimpin dambaan rakyat saat ini.      
            Selain daripada itu, para kandidat harus memahami bahwa rakyat saat ini sudah pintar dan cerdas menentukan pilihan melalui pengenalan karakter moral, mental para kandidat yang bertarung. Ada musang berbulu ayam, harimau berbulu kambing, koruptor berteriak lantang memberantas korupsi, pelanggar HAM tampil pembela HAM, dan lain-lain yang rekam jejak (track record) nya telah direkam dalam memori rakyat.     

Melanjutkan Revolusi Belum Selesai
            Sekitar enam tahun lalu penulis menurunkan artikel di media massa terbitan Medan dengan judul ‘Nasionalisme Jilid Dua’ yang merupakan wujud ”Melanjutkan Revolusi Belum Selesai” sebagaimana diamanahkan Bung Karno. Judul itu cukup menarik perhatian para pembaca ketika itu. Buktinya, banyak pembaca menghubungi penulis mempertanyakan tentang pilihan judul artikel mengapa sampai menurunkan artikel seperti itu. Ada yang mengatakan, bukankah nasionalisme tak begitu perlu penting lagi diperbincangkan di era millennia ini ?
            Pertanyaan seperti itu, tidak lah tabu, malah sangat masuk akal bila dilihat dan dikorelasikan dengan kerja-kerja politik yang muncul pada babak kedua perjalanan bangsa yang sangat mengagung-agungkan serta mendewa-dewakan pihak asing dalam kebijakan negara belakangan ini. Kebutuhan dasar yang seharusnya bisa dipenuhi dari produk-produk domestik justru di impor dari Negara asing karena para pemangku kekuasaan  berkarakter rente. Kedaulatan pangan yang memosisikan rakyat berdaulat menyediakan kebutuhannya, digeser menjadi ketahanan pangan yang membuka peluang impor bahan-bahan kebutuhan primer asalkan ketersediaan pangan terjamin, tidak jadi soal dari mana pun datangnya. Inilah salah satu kekeliruan negara agraris, maritim yang tak mampu mengenali kekuatannya secara paripurna. 
            Berbagai kekeliruan kebijakan dikompensasi melalui pemberian bantuan sosial dari pemerintah, sebut saja beras rakyat miskin (Raskin), bantuan langsung tunai (BLT), bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM), serta berbagai kompensasi lain atas kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) seolah-olah pemerintah sangat peduli dengan rakyatnya. Belum lagi berbagai kebijakan retoris pragmatis tak masuk akal yang menjadikan rakyat semakin tak berdaulat di negeri sendiri. Misalnya, pendewaan investasi asing yang telah merambah hingga sektor-sektor bersentuhan dengan hajat hidup  orang banyak yang jelas-jelas dilarang pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 sebagaimana telah dipikirkan matang para pendiri bangsa.
            Bila para pendiri bangsa mampu melahirkan nasionalisme Indonesia melalui Gerakan Budi Utomo 1908, Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, Proklamasi 17 Agustus 1945 lahirnya negara-bangsa merdeka, berdaulat yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, menjunjung Bhinneka Tunggal Ika dengan tujuan melindungi seluruh bangsa Indonesia, seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan dan perdamaian abadi dan keadilan sosial, justru semakin dipersimpangan jalan atau semakin menyimpang tak karu-karuan hingga bangsa ini menjelma menjadi sebuah negara berdaulat tanpa kedaulatan.
Padahal, para pendiri bangsa telah menyatakan dengan tegas bahwa kemerdekaan hanyalah jembatan emas yang harus di isi  kerja-kerja politik atau program pembangunan menuju cita-cita proklamasi kemerdekaan mewujudkan kemakmuran, kesejahteraan, keadilan, kebahagiaan seluruh rakyat, tanpa kecuali.    
            Para pendiri bangsa memahami paripurna bahwa kemerdekaan hanyalah pantas disebut sebuah kemerdekaan bila rakyatnya tebebas dari kemiskinan, kebodohan, ketertinggalan, terbebas dari rasa takut, diskriminasi, terbebas dari dominasi dan intervensi pihak asing, serta aneka perampasan kedaulatan dari tangan rakyat. Berbagai kasus-kasus perampasan hak masyarakat hukum adat dan tanah ulayat yang didukung legalitas menyimpang dari konstitusi adalah bukti nyata kekeliruan kebijakan penguasa korup yang tidak memahami arti dan/atau tujuan kemerdekaan yang diperjuangan para pendiri bangsa di masa lalu.
Para pendiri bangsa mengorbankan harta dan nyawa untuk merebut kemerdekaan agar terbebas dari cengkeraman kolonial, kapitalistik, imperialis, yang merampas harta kekayaan bumi Nusantara serta menyengsarakan rakyat di negeri ini selama ratusan tahun. Kesamaan nasib penderitaan itulah kemudian mendorong lahirnya  ‘Nasionalisme Jilid Satu’ yakni; pergerakan merebut kemerdekaan dari tangan penjajah kolonial. 
Tetapi ketika kemerdekaan telah sah berada di tangan bangsa Indonesia, justru aneka penjajahan sesama anak bangsa muncul kembali semata-mata didasari maniak berkuasa dari para oportunis politik yang selalu berupaya memecah belah bangsa ini demi kepentingan politiknya. Akibatnya, cita-cita proklamasi kemerdekaan semakin menyimpang dari tujuan hakikinya. Perebutan kekuasaan cenderung bukan lagi diarahkan untuk menepati janji-janji proklamasi yakni; mewujudkan masyarakat makmur, sejahtera, dan berkeadilan, tanpa kecuali. Melainkan, pertarungan egoisme berkuasa dan maniak kekuasaan dengan menghalalkan segala cara. Padahal, peluang berdaulat di segala segmen kehidupan rakyat amat sangat terbuka seluas-luasnya bila para pemimpin di negeri ini berkemauan kuat mengisi kemerdekaan melalui program perkuatan kedaulatan rakyat secara nyata. Bangsa ini memiliki berbagai keunggulan spesifik bila dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain, tetapi keliru menggunakannya dengan baik dan benar untuk menjadi negara merdeka berdaulat di mata dunia internasional. Kekeliruan, kesalahan itu malah menjadikan republik ini “Misteri Negara Salah Urus”.   
 Memperbaiki, meluruskan kekeliruan, kesalahan berbangsa-bernegara seperti itulah disebut ‘Nasionalisme Jilid Dua’ yang harus segera dilakukan pemimpin bangsa untuk “Melanjutkan Revolusi Belum Selesai” yang diamanahkan dan dititipkan Bung Karno kepada seluruh elemen bangsa yang masih mencintai republik ini.   
Musuh “Nasionalisme Jilid Dua” adalah kemiskinan, kemelaratan, kebodohan, ketertinggalan, kualitas kesehatan buruk, intimidasi, rasa takut, diskriminasi hak asasi manusia (HAM), ketidakadilan, korupsi, kolusi, nepotisme, penyelewengan kekuasaan, dominasi asing, yang menghambat hadirnya kemakmuran, kesejahteraan dan kebahagiaan bangsa.  
Pemilu 2014, baik pileg maupun pilpres merupakan momentum strategis memilih dan/atau menghadirkan pemimpin-pemimpin bangsa yang mampu mengembalikan kedaulatan di tangan anak-anak Ibu Pertiwi secara nyata. Bukan sekadar memilih  pemimpin pintar dan piawi melancarkan retorika pragmatis yang tidak berarti apa-apa untuk memperbaiki dan/atau meluruskan kekeliruan, kesalahan dalam berbangsa-bernegara selama ini.
Karena itu, momentum Pemilu 2014 harus mampu digunakan sebaik-baiknya sarana memilih, menghadirkan pemimpin-pemimpin bangsa yang memiliki kredibilitas, kapasitas, kapabilitas, integritas, keberanian, kecerdasan, kejenialan “Melanjutkan Revolusi Belum Selesai” yakni; kedaulatan di segala segmen perikehidupan berbangsa-bernegara yang ditandai TRI SAKTI yaitu; Berdaulat dalam politik, Berkepribadian dalam kebudayaan, Berdiri di atas kaki sendiri (Berdikari) dalam ekonomi seperti diamanahkan Bung Karno.
Rakyat pemegang kedaulatan, minimal di saat pemilu sekali lima tahun harus mampu menggunakan momentum ini dengan baik dan benar, membuka mata dan telinga, melihat dan mendengarkan rekam jejak (track record) para calon-calon pemimpin yang mempromosikan diri paling pantas, paling tepat, nomor satu ala jual kecap. Kecermatan, kecerdasan menentukan pilihan pada calon pemimpin adalah salah satu prasyarat “Melanjutkan Revolusi Belum Selesai”.
Kedewasaan bangsa dalam berdemokrasi akan diukur melalui kemampuan, kecermatan, kecerdasan menentukan pilihan pada calon pemimpin bangsa yang bisa  membawa bangsa Indonesia menepati janji-janji proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 yang dicita-citakan para pendiri bangsa. Ibu Pertiwi merindukan hadirnya pemimpin yang memahami paripurna kehendak dan kepentingan rakyat yang ditandai konsistensi, konsekuen, kesahajaan, kesederhanaan, kejujuran, keberanian, kehendak kuat membangun kedaulatan bangsa di atas fundasi berbangsa-bernegara yakni; Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, menjunjung Bhinneka Tunggal Ika dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bukan pelanggengan kekuasaan, kepentingan pribadi, kelompok, maupun golongan seperti dipraktekkan maniak kuasa selama ini.  
Pemilu 2014 momentum strategis menentukan apakah bangsa ini mampu mengembalikan kedaulatan di tangan rakyat atau bangsa BERDAULAT, atau justru sebaliknya, tetap jadi bangsa “KULI” didikte dan diintervensi kekuatan asing, dimana  kebutuhan primer seperti; beras, kedelai, kacang-kacangan, gula, garam, ikan asin, daging sapi, bawang, cabai, buah-buahan, dan lain-lain harus di impor dari negara-negara asing untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Padahal, komoditi-komoditi itu bisa di produksi di dalam negeri yang memiliki keunggulan kompetitif maupun keunggulan komparatif sesuai klimatologi, topografi, demografi negeri ini diperlintasan khatulistiwa. Belum lagi, pengiriman tenaga kerja Indonesia (TKI) ke negara-negara lain yang kerap mengalami perlakuan kejam dan tak manusiawi seperti penyiksaan, pemerkosaan, hukum pancung, dan lain sebagainya.
Bila pemerintah mampu membuka lapangan kerja seluas-luasnya di negeri ini maka nasib naas, tragis anak-anak bangsa  tak akan pernah terjadi dari waktu ke waktu seperti diberitakan media massa selama ini.
Presiden 2014-2019 harus menyadari bahwa pemberian predikat “Pahlawan Devisa”  kepada tenaga kerja Indonesia (TKI) adalah suatu kekeliruan, kesalahan besar, serta sesat pikir yang direkayasa sebagai pelipur lara untuk menutupi kesalahan fatal ketidakmampuan melindungi seluruh bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia yang diamanahkan konstitusi.
Penempatan TKI di negara lain sadar atau tidak telah dimanfaatkan negara-negara asing kartu trup untuk menekan bangsa ini dipercaturan politik internasional. Padahal, sungguh tak masuk akal negara asing mau menampung TKI di negerinya bila tidak menguntungkan negara bersangkutan. Inilah salah satu kekeliruan, sesat pikir yang perlu segera dibenahi, diluruskan, diperbaiki presiden terpilih untuk “Melanjutkan Revolusi Belum Selesai”.
Oleh sebab itu, Pemilu 2014 harus mampu menghadirkan “Jolak Komitmen Watak Indonesia (Jokowi)” untuk “Melanjutkan Revolusi Belum Selesai”. Siapa pun pemimpin bangsa yang terpilih haruslah Jokowi karena sosok seperti itulah bisa diharapkan mengembalikan “Kedaulatan di tangan rakyat”. Selamat berdemokrasi, selamat berjokowi “Melanjutkan Revolusi Belum Selesai”.
                                                                                                Medan, 24 Maret 2014

                                                                                                 Thomson Hutasoit.
Penulis: * Direktur Eksekutif LSM Kajian Transparansi Kinerja Instansi Publik (ATRAKTIP), Ketua Umum DPD Gabungan Pengusaha Kontraktor Indonesia (GABPKIN)  Provinsi Sumatera Utara 2008-2012, Wakil Sekretaris Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM) Provinsi Sumatera Utara 2010-2014, Wakil Pemimpin Redaksi SKI ASPIRASI, Staf Ahli PDI-Perjuangan DPRD Kota Medan 2006-2009, 2011-2014 Wartawan Majalah Bona NI Pinasa Jakarta 2006-2007, Wartawan Suara Rakyat Merdeka 2005-2006, Deklarator LSM Pelangi Nusantara se-Indonesia di Bandung 2008, Sekretaris Umum Punguan Borsak Bimbinan Hutasoit, Boru, Bere Kota Medan Sekitarnya 2012-2016, Wakilk Sekretaris II Parsadaan Pomparan Toga Sihombing (PARTOGI) Kota Medan Sekitarnya 2008-2011, Penasehat Punguan Toga Lumban Gaol, Boru Sektor Helvetia Medan 2010-2012, Wakil Sekretaris Punguan Borsak Bimbinan Hutasoit, Boru, Bere Kota Medan Sekitarnya 1996-2001, Wakil Ketua Punguan Borsak Bimbinan Hutasoit, Boru, Bere Kota Medan Sekitarnya 2001-2007, Penasehat Punguan Borsak Bimbinan Hutasoit, Boru, Bere Kota Medan Sekitarnya 2008-2011, Dosen STKIP Teladan Medan 1987-1989, Dosen APP-APIPSU Medan 2002-2005, Dosen STMIK Medan Polyteknik Medan 2003-2005, Kepala STM APIPSU 1996-1999, Komite SKM 1 Medan 2006-2014, Penulis Buku; Buku Sejarah HKBP Maranatha Resort HKBP Maranatha 2008, Meneropong serta Mengamati Visi-Misi Gubernur Sumatera Utara H. Syamsul Arifin Silaban SE ‘Rakyat Tidak Lapar, Tidak Bodoh, Tidak Sakit dan Punya Masa Depan’ 2010, Potret Retak Berbangsa Bernegara 2010, Indikator Bangsa Bangkrut 2011, Misteri Negara Salah Urus 2011, Keluhuran Budaya Batak-Toba 2011, Solusi Adat Batak-Toba 2012, 1101 Umpasa-Umpasa Dongan tu Ulaon Adat 2013, Kepemimpinan ditinjau dari Kultur Budaya Batak-Toba 2014, Penulis ± 260 Artikel di berbagai media massa, tinggal di Medan.

               

Sabtu, 15 Maret 2014



Bagian Kedua
Kepemimpinan Kerakyatan.

Secara garis besar tipologi kepemimpinan bisa dibedakan atas  dua jenis, yakni; kepemimpinan kerakyatan dan kepemimpinan elitis. Pembagian itu ditinjau dari sisi orientasi kepemimpinan yang diterapkan di masyarakat, bangsa maupun negara.
Orientasi kepemimpinan dimaksud ialah apakah kepemimpinan itu dijalankan sesuai keinginan, kehendak  rakyat, atau justru sebaliknya,  berdasarkan keinginan, kehendak pemimpin beserta konco-konconya.      
Kepemimpinan kerakyatan ialah suatu kepemimpinan yang didasarkan pada kehendak, keinginan rakyat. Karena itu, seorang pemimpin harus mengetahui, memahami denyut kebutuhan, kepentingan rakyat secara konkrit.
 Dengan demikian,  seorang pemimpin  adalah penjelmaan kehendak rakyat, sekaligus jawaban atas situasi kondisi masyarakat  secara riil.   
             Seorang pemimpin tentu membutuhkan pengetahuan, pemahaman paripurna tentang apa yang diperlukan atau dibutuhkan rakyat. Ketika seorang pemimpin menyuarakan, melontarkan sebuah ide, gagasan atau kebijakan akan mendapat respon positif dari seluruh rakyat karena seluruh ide, gagasan, visi atau kebijakan dilahirkan sesuai dambaan, harapan, kehendak  rakyat itu sendiri. Dalam situasi seperti ini lah otensitas seorang pemimpin tampak dengan nyata di mata rakyat.     
            Seorang pemimpin harus memiliki gagasan, visi, kebijakan yang dijabarkan dari sebuah ideologi, ajaran atau pemikiran yang dapat diterima rakyat sebagai suatu kebenaran.
Suatu ide, gagasan atau visi besar yang diucapkan seorang pemimpin memiliki daya magnit membangkitkan semangat (spirit) masyarakat,  bangsa. Dan di sini lah salah satu peran penting kehadiran seorang pemimpin terhadap kehidupan masyarakat, bangsa maupun negara. Salah satu contoh konkrit ialah isi ideologi Soekarno, bukan pikiran ideal yang tidak kena mengena dengan situasi nyata.
Pada Soekarno ideologi merupakan tanggapan atas realitas pengalaman rakyat dalam sistem kolonial. Soekarno tidak bertolak dari ide untuk merancang realitas; sebaliknya, mengalami realitas kolonial menuntunnya untuk merumuskan ideologi. Jadi, apa yang dikatakannya adalah hasil membaca dan mengamati keadaan nyata sedang terjadi.  
            Dukungan rakyat terhadap ideologi Soekarno merupakan indikasi, bahwa suara dan cita-cita mereka terwakili dalam ideologi itu. Rakyat seolah mendengar suara mereka. Dan kritikannya, kritik rakyat tersuarakan. Ia menyebut dirinya ”mulut” dan ”telinga” rakyat, suatu penamaan yang bukan tanpa dasar. (Pdt. Dr. Ayub Ranoh, 2006).
            Semakin besar kemampuan seorang pemimpin menangkap, menyerap, memahami denyut hati rakyat maka semakin otentik lah kepemimpinan kerakyatan melekat pada dirinya. Karena, kepemimpinan kerakyatan bukan sekadar klaim pencitraan diri yang tidak memiliki korelasi dengan tindakan nyata  keberpihakan pada keinginan, kehendak,  kepentingan rakyat.    
            Kepemimpinan kerakyatan juga tercermin dari sejauhmana hubungan batin antara seorang pemimpin dengan yang dipimpin. Sehingga sangat mudah  membuktikan, apakah seseorang itu benar-benar pemimpin kerakyatan atau justru sebaliknya pemimpin elitis.
            Kepemimpinan kerakyatan yang lahir dari rahim rakyat tentu sangat mengetahui, memahami  kebutuhan, keinginan rakyat melalui pengalaman, serta pengindraan langsung kehidupan rakyat. Oleh sebab itu, apa yang dialami, dirasakan rakyat merupakan bahagian dari kehidupannya sendiri yang harus diselesaikan atau dituntaskan.  
            Seorang pemimpin kerakyatan tak pernah membangun tembok pemisah antara dirinya dengan rakyat, melainkan berusaha mendekatkan diri serta gemar mendengarkan, menyerap aspirasi rakyat seluas-luasnya.  
Selanjutnya, menjabarkan berbagai aspirasi itu ke dalam program atau kebijakan pemerintahan sebagai rencana aksi (action plan) beserta  langkah-langkah konkrit untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi rakyat.    
            Pemimpin kerakyatan tak pernah takut dan/atau menghindari diri dari rakyat. Karena itu,  tidak menginginkan berbagai aturan protokoler kaku yang menimbulkan jurang pemisah antara dirinya dengan rakyat yang dipimpin.  
            Beberapa contoh pemimpin di negeri ini yang tidak terlalu suka  protokoler kaku, antara lain; Presiden RI pertama Ir. Soekarno atau Bung Karno, Presiden RI Keempat KH. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, Gubernur Sumatera Utara EWP. Tambunan, Walikota Surakarta Solo yang kini menjadi Gubernur DKI Jakarta  2012-2017 Joko Widodo (Jakowi), Walikota Surabaya Tri Rismaharini, dan lain-lain. Pemimpin-pemimpin ini sangat dekat dengan rakyat, suka mendengarkan aspirasi, serta peduli nasib orang lain. Mereka tak ingin terpisah dari rakyat yang dipimpin menjadikan kehadirannya benar-benar dirasakan secara nyata.   
            Pemimpin kerakyatan mampu menangkap, menyerap, memahami dan menjabarkan keinginan rakyat secara konkrit karena mereka mau mendengarkan jeritan rakyat dengan hati tulus ikhlas, serta menjadikan aspirasi rakyat itu sebuah rencana aksi dalam program atau kebijakan pengabdian nyata. Keperpihakan itu lah yang melahirkan ekspektasi rakyat semakin meningkat dari waktu ke waktu.    
            Pemimpin kerakyatan bukan lah pakar teori belaka yang dibangun dari asumsi-asumsi, postulat-postulat, melainkan melahirkan ideologi, rencana, program, visi-misi melalui penginderaan empiris pengalaman rakyat. Sehingga program atau kebijakan yang ditelorkan adalah inventarisasi berbagai masalah sekaligus solusi nyata. Bukan sekadar retorika pragmatis bertujuan membangun pencitraan diri sebagaimana dilakonkan para pemimpin elitis di negeri ini.   
            Salah satu hal istimewa dari Presiden Amerika Serikat  Ricard M. Nixon (30 april 1973) ketika terjadi skandal Watergate yang memaksa dirinya mengundurkan diri bulan Agustus 1974. Ia mengatakan “…Apapun yang ditimbulkan oleh kasus ini sebelumnya, dan betapa pun tidak patutnya kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan berkaitan dengan skandal kotor ini, saya ingin agar rakyat Amerika, saya ingin Anda semua tahu bahwa di balik bayangan keraguan yang muncul selama masa jabatan saya selaku presiden, keadilan akan ditregakkan secara penuh, jujur, dan tidak memihak, terlepas dari siapa pun yang terlibat.
Jabatan ini merupakan kepercayaan suci dan saya bertekad untuk menjaga kepercayaan itu.  
            Dalam setiap organisasi, orang yang berada di puncak haruslah memikul tanggung jawab. Oleh karenanya, tanggung jawab atas semua masalah ini ada di sini, di kantor ini. Saya menerimanya. Dan saya bersumpah pada Anda malam ini, dari kantor ini, bahwa saya akan melakukan apa saja dalam batas kekuasaan saya untuk memastikan, bahwa yang salah akan diadili, dan pelanggaran serupa takkan terjadi lagi dalam proses politik kita di tahun-tahun mendatang, jauh sesudah saya meninggalkan kantor ini”.

Kalkulasi Peluang Perolehan Kursi Legislatif



Kalkulasi Peluang Perolehan Kursi Legislatif
Oleh : Drs. Thomson Hutasoit
Direktur Eksekutif LSM Kajian Transparansi Kinerja Instansi Publik (ATRAKTIP) 
            Pemilihan Legislatif (Pileg) 9 April 2014 tinggal menghitung hari dan para calon legislatif (caleg) DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota sudah semakin degdegan apakah berhasil atau tidak memperoleh kursi wakil rakyat yang sangat didambakan.
            Para calon legislatif telah melakukan pendekatan kepada calon konstituen, baik langsung maupun tidak langsung. Berbagai cara sosialisasi untuk memperkenalkan diri yang tentu sangat menguras tenaga, pikiran, bahkan menghabiskan dana yang tidak sedikit. Ada pula siang malam bergerilya berkunjung dari pintu ke pintu ala Ebiet G. Adie orang-orang yang tidak pernah dikenal sebelumnya. Kunjungan ke rumah-rumah calon pemilih bertabur berbagai kebaikan seperti pemberian bingkisan sembako, sandang-pangan, dana-dana sumbangan, bahkan ada pula yang membangun fasilitas umum yang tentu menguras kantong calon legislatif. Hal itu terpaksa dilakukan untuk meraih simpatik calon pemilih agar mau menjatuhkan hak pilih kepada caleg bersangkutan.
            Kondisi seperti itu menggeser makna sejati pemilihan umum (Pemilu) dari pendidikan politik rakyat ke penciteraan diri para caleg sebagai sosok sinterklas yang membagi-bagikan aneka kebaikan seolah-olah dermawan yang sangat peduli penderitaan pihak lain. Padahal, tindakan-tindakan itu hanyalah sebuah kepalsuan, bahkan pembohongan, pembodohan politik yang sangat kental nuansa keberpurak-purakan sebagai salah satu taktik strategi meraih simpatik pemilih. Berbagai kemasan citra diri tak masuk akal dengan memanfaatkan kekurangmampuan masyarakat memahami eksistensi sejati memilih dan menghadirkan calon-calon wakil rakyat sepertinya bergayung sambut antara caleg dengan calon konstituen. Akibatnya, masyarakat terperangkap atas kebaikan palsu tanpa mempertimbangkan kredibilitas, kapabilitas, kapasitas, integritas kepribadian para caleg ditengah-tengah masyarakat sebelum-sebelumnya.
            Sinyalemen para pakar politik yang mengatakan, bahwa memori atau ingatan bangsa ini sangat pendek sepertinya mendekati kenyataan, sebab masyarakat terkesan mudah percaya dan diyakinkan dengan taktik strategi menabur kebaikan palsu seperti pemberian sembako, sumbangan-sumbangan, hingga lupa mencermati rekam jejak kinerja para caleg sebelumnya. Hal itu, tentu sangat berbahaya dalam upaya menghadirkan wakil-wakil rakyat yang mampu mengemban amanah dan memperjuangkan aspirasi rakyat ke depan. Harus diingat setiap pengeluaran atau biaya politik (cost politic) akan dikompensasi setelah kekuasaan diraih. Aspirasi rakyat tidak akan menjadi perioritas sebelum pulang modal, bahkan keuntungan kompensasi politik transaksional yang telah dikeluarkan para caleg. Dan inilah salah satu sebab mengapa para caleg mau menghabiskan dana cukup signifikan dalam tahapan pemilihan. 
            Berharap tentu boleh-boleh saja dan tidak salah, namanya juga usaha ! Akan tetapi, bila seluruh calon legislatif berharap demikian, optimis menang dan memperoleh kursi maka di sini lah berbagai masalah akan timbul seperti; bertambah jumlah orang stres, bertambah angka kemiskinan, meningkat kekecewaan hidup, bahkan tidak mustahil terjadi keretakan hubungan keluarga, kerabat dan lain-lain pasca pemilihan legislatif (Pileg). Bila para Caleg sejak semula mempersiapkan diri  bahwa pemilihan legislatif adalah kompetisi yang sudah pasti ada yang kalah dan menang maka para caleg telah mempersiapkan diri meneima kekalahan atau kemenangan pada 9 April 2014 nanti. Tetapi, jika para Caleg hanya berambisi menang, serta  menghabiskan dana besar untuk mengejar bayang-bayang kelabu atau kemenangan di sini lah timbul pertanyaan besar, bagaimana nantinya Caleg bersangkutan pasca pileg.  Sementara rumor di masyarakat telah dipersiapkan ruangan rumah sakit jiwa untuk menampung para Caleg yang tidak siap menerima kekalahan pada pemilihan legislatif nanti.
            Bila angka pengidap penyakit jiwa meningkat pasca pileg maka sangat disayangkan kejadian demikian, karena telah menciderai makna sejati pemilihan umum legislatif (pileg) wahana pendidikan politik rakyat sekaligus pesta demokrasi yang seharusnya mendatangkan kebahagiaan. Tetapi, bila para caleg kalah nantinya banyak yang menderita stres, sakit jiwa, karena telah menghabiskan harta kekayaan yang ditabur-taburkan pada proses pileg tanpa kalkulasi peluang menang atau mendapat kursi maka hal itu merupakan kesalahan besar yang perlu direnungkan sedalam-dalamnya.
            Dari pengamatan penulis beberapa kali pemilihan umum di negeri ini, bahwa para kandidat legislatif masih banyak yang tidak membuat kalkulasi peluang menang atau memperoleh kursi DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota secara matang. Padahal, kalkulasi peluang menang sangat diperlukan setiap kandidat agar tidak terbuai bayang-banyang semu yang bisa menimbulkan kekecewaan di kemudian hari. Belum lagi, parameter ketokohan seseorang di mata rakyat. Tidak mustahil juga para caleg adalah sosok-sosok yang tak pernah dikenal masyarakat sebelum masa pencalegan sehingga sangat menyulitkan ketika melakukan sosialisasi ke masyarakat. Salah satu rumus instan yang kerap dilakukan caleg-caleg seperti itu adalah menabur-naburkan berbagai kebaikan seperti; memberi sembako, sandang-pangan, sumbangan-sumbangan, memberi papan bunga, dan lain-lain yang tentu membutuhkan biaya sangat besar pula.
            Pemberian seperti itu, belum bisa menjadi jaminan perolehan suara pada pileg nanti, karena fenomena yang tubuh di masyarakat saat ini, siapa pun yang menawarkan, memberi akan di tamping, soal memilih itu urusan nanti. Kondisi inilah yang perlu dicermati para caleg agar tak terlalu optimistis meraih kemenangan sehingga lupa mempersiapkan diri menerima kekalahan.
Sistem pemilihan legislatif 2014 membuka pertarungan terbuka antar caleg dalam internal partai dan pertarungan caleg antara partai. Pertarungan antar caleg di internal partai dengan sistem suara terbanyak memungkinkan antar caleg di dalam satu partai saling bantai-membantai, dan tidak mustahil juga saling menjatuhkan satu sama lain. Padahal, pertarungan antar caleg dalam satu partai seharusnya tidak elegan sebelum partai bersangkutan memperoleh kursi dari alokasi kursi di satu daerah pemilihan (Dapil) tertentu.
Pertarungan paling pertama dan utama sebenarnya adalah bagaimana supaya partai itu  mendapat alokasi kursi pada dapil, karena bila suatu partai tidak mendapat alokasi kursi maka perolehan suara partai akan musnah atau hilang. Pertarungan antar caleg dalam satu partai akan sia-sia. Karena itu, sangat keliru besar apabila caleg-caleg dalam satu partai ‘bantai-membatai’ dengan melancarkan kampanye hitam untuk menyerang caleg separtainya. Selain tidak menarik simpatik konstituen, tindakan itu mencerminkan ambisius caleg sekaligus merugikan partainya.
Kemampuan, kecerdasan membuat kalkulasi peluang menang, selain meminimalisasi biaya para caleg juga mempersiapkan diri menerima apapun hasil pileg nanti supaya tidak stres ataupun sakit jiwa sebagaimana sinyalemen masyarakat terhadap caleg pasca pileg.
Sesuai ketentuan undang-undang pemilihan umum legislatif (Pileg) 2014 jumlah caleg setiap partai 100 persen x alokasi kursi, jumlah partai politik peserta pemilu sebanyak 12 partai.   Misalnya; DPRD Kota Medan sebanyak 50 kursi maka jumlah caleg yang bertarung memperebutkan kursi tersebut, 50 kursi x 12 partai = 600 caleg. Jumlah yang kalah atau tidak memperoleh kursi sebanyak 550 orang. Bila dipertajam lagi dengan pembagian daerah pemilihan (dapil). Alokasi kursi di Dapil Medan 3 sebanyak 8 kursi yang meliputi; Medan Baru, Medan Petisah, Medan Barat, Medan Helvetia yang akan diperebutkan 12 partai x 8 caleg = 96 caleg.
Dalam hal inilah perlu dilakukan kalkulasi peluang menang secara cermat dan cerdas, partai-partai mana yang berpeluang besar memperoleh alokasi kursi. Jika seandainya, seluruh partai mencermati peluang menang dengan seksama maka saat ini juga telah mendapat gambaran hampir dapat dipastikan partai mana saja dari 12 partai tersebut yang berpeluang besar memperoleh jatah kursi di Dapil Medan 3.
Untuk memberi gambaran, pada Pileg 2009 yang pesertanya 48 partai, alokasi 7 kursi, yang berhasil memperoleh kursi di Dapil Medan 3 antara lain; Partai Demokrat 2 kursi, Partai Golkar 1 kursi, PDP-Perjuangan 1 kursi, Partai Damai Sejahtera (PDS) 1 kursi, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) 1 kursi, Partai Persatuan Rakyat Nasional (PPRN) 1 kursi. Dari perolehan kursi itu bila dianalisis dengan cermat, cerdas akan memberi gambaran bagi partai-partai peserta di pemilihan legislatif 2014 akan datang, dan hal yang sama bisa dijadikan dasar kalkulasi peluang menang di daerah-daerah lain.
Sebab, alangkah naifnya terlalu optimistis memperoleh kemenangan tanpa  mengkalkulasi peluang menang dengan memperhitungkan langkah-langkah yang telah dilakukan sehingga tidak mimpi di siang bolong. Kecermatan, kecerdasan caleg untuk melakukan kalkulasi peluang menang sebelum 9 Apil 2014 sangat diperlukan supaya tidak terperosok ke dalam lubang sedalam-dalamnya, serta resiko fatal pada diri caleg pasca pemilu.
Mengorbankan segala hal tanpa mengkalkulasi peluang menang adalah tindakan kurang cerdas dan akan menuai segunung kekecewaan, kecuali para caleg sejak semula berniat tulus memberi pendidikan politik kepada rakyat sebagai tanggung jawab warga negara yang baik. Akan tetapi, hal itu masih sangat jauh dari ranah berpikir dan bertindak para kandidat yang bertarung saat ini. Buktinya, sesama satu partai saja pun saling sikut-menyikut, saling menjelekkan, dan perang terbuka antar caleg semata-mata dilatari ambisi dan egoisme pribadi untuk meraih kekuasaan. Jadi, sangat sulit diterima logika akal sehat seorang caleg tidak didorong ambisi berkuasa walaupun mengeluarkan dana cukup signifikan.
Tidaklah terlalu tendensius bila dikatakan, bahwa banyak caleg-caleg yang tidak mampu melakukan kalkulasi peluang menang pada pileg 2014, sebab bukti berbicara para caleg masih cenderung mengandalkan kemampuan finansial daripada menawarkan visi perjuangannya kepada masyarakat seandainya terpilih kelak sebagai wakil rakyat. Bahkan, ada caleg yang tidak mampu menjelaskan visinya secara konkrit ketika masyarakat mempertanyakan pada saat datang sosialisasi. Padahal, pada kesempatan seperti itulah para caleg menjelaskan visi-misinya secara langsung kepada masyarakat supaya bisa diketahui layak tidaknya mengemban aspirasi rakyat.
Para caleg harus memahami rakyat sekarang sudah semakin pintar dan cerdas, dan tidak semua mau “menjual diri” atau memilih caleg karena dapat uang, sembako, sandang-pangan, dan aneka kebaikan sesaat, karena rakyat sudah tahu pemberian itu nanti akan di kompensasi ketika kekuasaan sudah di tangan. Berbagai kasus-kasus korupsi, penyelewengan jabatan, pengabaian aspirasi rakyat dari wakil-wakilnya adalah akibat politik transaksional dalam merebut jabatan. Bila saat ini rakyat menerima pemberian caleg-caleg belum menjamin mereka memilih, bahkan di kalangan masyarakat kini berembus kencang slogan “Terima uangnya jangan pilih orangnya” sebagai puncak gunung es kekecewaan terhadap para penabur janji, pengidap penyakit lupa karena di mabuk kekuasaan. Oleh sebab itu, para caleg kiranya membuat kalkulasi peluang menang sebelum terjerembab pada penyesalan dan kekecewaan amat sangat dalam, termasuk berhati-hati menggelontorkan berbagai kebaikan sesaat seperti, politik uang (money politic) yang belum menjamin suara pemilih. Persiapkan diri siap kalah siap menang supaya tidak stres, sakit jiwa pasca pemilihan legislatif. Pemilihan adalah kompetisi yang di dalamnya ada yang kalah ada pula yang menang. Rakyat berdaulat untuk memilih dan menentukan siapa yang layak dan pantas diserahi amanah sebagai wakil rakyat.
Selamat berdemokrasi ! Pepatah klasik mengatakan’ “Pikir itu pendapatan, sesal kemudian tak berguna. Petarung handal selalu berprinsip “Dalam pertarungan menang dan kalah adalah hal yang wajar dan biasa”.  
                                                                                                            Medan, 9 Maret 2014.