Selasa, 31 Juli 2012

Solusi Perbedaan Adat pada Batak-Toba


Solusi Perbedaan Adat pada Batak-Toba
Bagian pertama.
Oleh : Thomson Hutasoit

 Pendahuluan.

Perbedaan adat pada Batak-Toba merupakan hal wajar-wajar saja sebab perbedaan adat itu merupakan konsekwensi persebaran tempat tinggal atau daerah  domisili Batak-Toba yang bukan terkonsentrasi lagi pada satu daerah tertentu.

Sesuai perkembangan zaman Batak-Toba yang dulunya berdiam di Sianjur Mula-mula kini telah menyebar ke berbagai daerah bahkan hingga ke penjuru dunia sehingga bentuk, jenis, macam adat semakin variatif antara satu daerah dengan daerah lain. 

Variasi bentuk, jenis, macam adat di satu daerah dengan daerah lain harus bisa dimaknai implementasi ungkapan,”Molo asing dolok asing do duhutna, Molo asing luat asing do nang adatna”. 

Artinya, bahwa perbedaan daerah bisa menimbulkan perbedaan bentuk, jenis, macam adat antar daerah sehingga berpotensi terjadi pergesekan satu sama lain. 

Kebiasaan yang dilakukan terus menerus dan diayakini kebenarannya merupakan adat (aturan) bersama pada suatu daerah tertentu atau adat lokal disebut adat na niadathon.
Adat (aturan) yang belaku pada suatu daerah belum tentu sama dan indentik dengan daerah lain, tetapi walaupun memiliki perbedaan tidak boleh serta merta memvonis bahwa adat yang berlaku di daerah lain salah. 

Kebiasaan yang berlaku pada daerah tertentu merupakan kesepakatan bersama serta dijadikan adat (aturan) lokal yang berlaku di daerah tersebut. 

Ketika bentuk, jenis, macam adat hanya berhubungan dengan masyarakat setempat tentu tidak ada permasalahan, persoalan apa-apa sebab masyarakat setempat telah mempermaklumkan sebagai adat (aturan) yang berlaku dan mengikat seluruh masyarakat di daerah itu.

Tetapi dikala berhubungan atau berinteraksi  dengan adat  masyarakat daerah lain  maka timbul permasalahan perbedaan adat yang disebabkan kebiasaan daerah domisili masing-masing. 

Misalnya, ketika terjadi perkawinan antar daerah berbeda bentuk, jenis, macam adatnya maka bisa timbul gesekan-gesekan karena masing-masing pihak mempertahankan adat kebiasaan di daerahnya. 

Akibat perbedaan adat itu tidak mustahil terjadi disharmoni diantara pihak-pihak (baca: pihak paranak dohot pihak parboru) hingga sirna makna sejati “Sinuan bulu sibahen na las, Sinuan partuturan sibahen na horas”. 

Artinya, makna hakiki menjalin hubungan kekeluargaan dan kekerabatan (baca: martondong) adalah mendatangkan kebahagiaan kepada seluruh keluarga dan kerabat pasca ulaon adat. 

Akan tetapi, karena masing-masing pihak mempertahankan kebenaran adatnya maka timbul perbedaan pendapat, pergesekan, bahkan perselisihan satu sama lain. 

Oleh karena itu, perlu dicari solusi penyelesaian perbedaan adat secara komprehensif agar perbedaan adat yang disebabkan pebedaan daerah dan lain sebagainya tidak merusak harmoni hubungan pada saat, pasca pelaksanaan adat Batak-Toba. 

Perbedaan harus dimaknai pelangi kehidupan sangat indah bukan titik bentur menimbulkan aneka pergesekan, perselisihan dan permasalahan ditengah-tengah masyarakat beradat dan beradab. 

Menemukan solusi permasalahan tentu sangat diperlukan kearifan, kebajikan serta kebesaran jiwa yaitu pemahaman paripurna bagaimana mencapai titik temu untuk mempertemukan aneka perbedaan menjadi sebuah kesepakatan bersama agar kabahagian kolektif bisa terwujud dengan nyata.

Tanpa itu, energi besar (baca: tingki, gogo, pikiran, hasea, hepeng) yang dihabiskan menggelar sebuah perhelatan adat (baca: ulaon adat) Batak-Toba tidak lebih dan tidak kurang hanya lah sebuah acara seremonial hampa arti dan makna (baca: ulaon si soada na so marlapatan). 

Menurut pemikiran penulis,  ada beberapa cara solusi menyelesaikan perbedaan adat sesuai nilai-nilai luhur nenek moyang Batak-Toba yang perlu dibumikan, antara lain:

Sidapot solup do na ro. 

Kalimat “Sidapot solup do na ro”  bukan lagi kalimat asing bagi Batak-Toba. Tetapi makna sejati dan hakiki dari kalimat itu mungkin masih sebatas makna harfiah sehingga perlu menggali makna sejati kalimat “Sidapot solup do na ro” agar tidak disalahartikan atau disalahtafsirkan untuk menjustifikasi seluruh bentuk, jenis, dan macam adat yang ada pada Batak-Toba.

Kalimat “Sidapot solup do na ro” perlu dipahami dari dua sudut pandang yakni, pertama; bermakna tempat, dan kedua; bermakna bentuk, jenis dan macam adat. 

Sidapot solup do na ro bermakna tempat (baca: Asing dolok asing do duhutna, Asing luat asing do nang adatna”) yakni ketika salah satu pihak datang ke daerah pihak lain maka adat setempatlah yang berlaku pada saat itu. 

Sebab, ”Molo disi tano ni dege, disi do langit dijungjung”. Artinya, dimana tanah dipijak disutulah langit dijunjung. 

Misalnya, ulaon adat di jabu (baca: ulaon marupa-upa) maka ulaon adat yang berlaku ditempat itulah akan dilaksanakan sesuai dengan “solup” (aturan, ukuran) atau adat setempat. 

Salah satu prinsip dasar adat adalah memberi dan menerima (baca: mangalehon dohot manjalo) sehingga dikenal ungkapan “Holi-holi nibondut holi-holi niutahon”. 

Artinya, apa yang kita beri kepada pihak lain sejenis itu pula lah yang akan kita terima. Sehingga terjadi interaksi adat timbal balik secara otomatis. 

Karena itu lah pada saat menyamakan persepsi (baca: marsirenggetan, marsiarisan) selalu dikatakan oleh parsinabung, parsinabul, parsaut ahli bait atau punya hajatan (baca: bona ni hasuhuton) “Hatitioran di bungkulan ni ruma, pamintoran do dongan sahuta”. 

Artinya, selalu diminta pendapat atau pertimbangan kepada dongan sahuta tentang kebiasaan adat setempat karena “Sidapot solup do na ro”. 

Dongan sahuta adalah saparadatan bona ni hasuhuton seperti ungkapan mengatakan ”solhot partubu sumolhotan do parhundul” , “Tinallik landorung bontar gotana, si sada anak si sada boru do na mardongan sahuta, atik pe asing-asing margana”. 

Walau marga na mardongan sahuta berbeda-beda tetapi mereka satu hajatan (baca: hasuhuton). Akan tetapi istilah dongan sahuta di Bona Pasogit tidak ada,  yang ada  adalah dongan saparadatan, paradatan bius, raja na niontang dan lain sebagainya. 

Kemudian, Sidapot solup do na ro bermakna bentuk, jenis dan macam adat yakni; bentuk, jenis, dan macam adat apa yang dilaksanakan itu sebab tidak semua bentuk, jenis dan macam adat memiliki makna sama dan indentik. Karena itu, ada ungkapan Batak-Toba “mamereng sundung ni hau do parpeakna”, artinya, tergantung bentuk, jenis dan macam adat lah pelaksanaannya. 

Ada ulaon adat untuk orang hidup (baca: ulaon ni jolma na mangolu) ada pula ualon adat untuk orang meninggal (baca: ulaon pasae ariari, partuat ni natua-tua) yang tentu saja tidak akan sama dan indentik makna dan pelaksanaannya. 

Makna marunjuk/mangadati/pasahat sulang-sulang ni pahompu huhut manggarar adat na gok adalah membayar hutang (baca: manggarar utang) adat dari pihak paranak kepada pihak parboru sebab mempersunting (baca: mangalap, mangoli) anak perempuan (baca: boru) pihak parboru (baca: hula-hula) sehingga “Solup” atau aturan adat pihak parboru lah yang akan dipakai. 

Makna “Sidapot solup do na ro” pada ulaon adat marunjuk/mangadati/pasahat sulang-sulang ni pahompu huhut manggarar adat na gok adalah makna bentuk, jenis, dan macam adat.

Artinya, membayar hutang adat oleh pihak paranak kepada pihak parboru tentu seharusnya bentuk, jenis dan macam adat yang berlaku pada pihak parboru lah dituruti pihak paranak supaya utangnya lunas. 

Bukan sebaliknya, pihak paranak memaksakan adatnya yang didasarkan pada kebiasaan adat daerah setempat.

Bila dianologikan, apakah tepat pihak berpiutang tunduk dengan aturan pihak berutang ? Atau pihak berutang mengatakan kepada pihak berpiutang selesai lah hutangku tanpa persetujuan atau restu dari pihak berpiutang ?

Logika seperti itu perlu dipertimbangkan dengan seksama untuk mencari solusi perbedaan adat agar tidak terjadi benturan atau pergesekan dalam pelaksanaan ulaon adat berbeda tempat. 

Misalnya, kebiasaan adat di Humbang memberikan Osang kepada pihak hula-hula, sedangkan di Toba Habinsaran Osang diberikan kepada pihak boru pada pesta perkawinan (baca: marunjuk/mangadati/pasahat sulang-sulang ni pahompu huhut manggarar adat na  gok”. 

Ketika marunjuk/mangadati/pasahat sulang-sulang ni pahompu huhut manggarar adat na gok, boru (baca: parompuan) dari Humbang yang kawin (baca: marhasohotan, marhamulian, marhuta) dengan anak (baca: baoa, lahi-lahi) dari Toba Habinsaran maka pihak parboru (baca: sian Humbang) akan meminta Osang kepada pihak paranak (baca: sian Toba Habinsaran) karena di Humbang Osang adalah jambar hula-hula. 

Sedangkan pihak paranak (baca: sian Toba Habinsaran) mengatakan kepada pihak parboru (baca: sian Humbang) bahwa Osang adalah jambar boru sesuai dengan kebiasaan adat di Toba Habinsaran. 

Parjambaran demikian adalah sah sesuai adat (baca: nunga dihagabehon) yang berlaku di daerah setempat (adat lokal). 

Yang menjadi persoalan adalah ketika terjadi perkawinan antar daerah dengan perbedaan adat masing-masing. 

Misalnya, perbedaan parjambaran Osang antara Humbang dan Toba Habinsaran tidak mustahil  akan menjadi pembicaraan alot serta melelahkan ketika masing-masing pihak mempertahankan adatnya. 

Kadangkala terlontar juga kalimat “Sidapot solup do na ro” akan tetapi kalimat “Sidapot solup do na ro” ada yang didasarkan bermakna tempat, ada pula bermakna bentuk, jenis dan macam adat. 

Akan tetapi menurut pemikiran penulis, yang paling tepat adalah “Sidapot solup do na ro” bermakna bentuk, jenis dan macam adat, bukan bermakna tempat. 

Sebab, marunjuk/mangadati/pasahat sulang-sulang ni pahompu huhut manggarar adat na gok maknanya adalah membayar hutang (baca: manggarar utang) adat. 

Apakah tepat, hutang adat paranak kepada parboru lunas pada saat yang sama pula pihak parboru harus berhutang kepada hula-hulanya ? 

Bukankah hal itu memindahkan hutang kepada pihak parboru akibat tidak bisa memberikan jambar Osang kepada hula-hula (baca: tulang ni na muli) sebab pihak paranak mempertahankan jambar Osang kepada borunya sesuai adat daerah setempat, sembari menggunakan alasan “Sidapot solup do na ro” bermakna tempat, bukan bermakna bentuk, jenis dan macam adat yakni manggarar utang. 

Pengamatan penulis sebagai praktisi adat (baca: parsinabung, parsinabul, parsaut) sering menemui hal-hal demikian sehingga diperlukan pembahasan secara seksama untuk menemukan solusi terbaik agar makna “Sinuan bulu sibahen na las, sinuan partuturan sibahen na horas” yang ditandai pada saat pelaksanaan adat bisa “Marsilanlan uruk-uruk, silanlan aek toba, na metmet ndang marugut-ungut na matua marlas ni roha” sebab pada ulaon adat demikianlah kebahagiaan terwujud dengan nyata.
(Bersambung)


Minggu, 29 Juli 2012

Benarkah Hanya Batak Pemilik HOTEL ?


Benarkah Hanya Batak Pemilik HOTEL ?
Oleh : Thomson Hutasoit

Pendahuluan.

Stigma negatif yang selalu dilontarkan di ruang publik adalah Batak, khususnya  Batak-Toba disebut-sebut pemilik HOTEL yakni; Hosom, Teal, Elat, Late, dimana kata-kata itu sadar atau tidak telah menjatuhkan marwah serta karakter luhur Batak di ranah publik.

Yang paling disayangkan, tudingan bernada miring itu berasal dari orang Batak, khususnya Batak-Toba sendiri sehingga layak disebut “Maneat bibir pataridahon ipon” alias menelanjangi diri sendiri serta mempermalukan komunitas Batak-Toba tanpa landasan kuat. Tindakan demikian sadar atau tidak adalah merupakan tidakan keliru serta tak bertanggung jawab yang sangat disayangkan. Bukankah tindakan mendegradasikan diri sendiri merupakan tindakan bodoh dan konyol ? Akan tetapi, itulah faktanya apalagi sudah banyak orang Batak “merasa”  maju dan terpelajar sehingga sangat mudah membangun dalil-dalil tendensius memojokkan eksistensi Batak, khususnya Batak-Toba ditengah masyarakat, bangsa maupun negara. 
  
Pelekatan stigma negatif “Hanya Batak Pemilik HOTEL” perlu diwaspadai secara seksama sebab predikat negatif itu tidak mustahil akan dijadikan pihak lain alat justifikasi menjatuhkan karakter moral orang Batak yang berakibat fatal ditengah-tengah masyarakat, bangsa maupun negara. Misalnya, keragu-raguan, kesangsian, serta ketidakpercayaan  mengemban amanah dalam arti seluas-luasnya. Padahal Batak-Toba merupakan salah satu komunitas bangsa di dunia beradat dan beradab. Bahkan tidak terlalu melebih-lebihkan bahwa suku Batak adalah salah satu suku bangsa memiliki peradaban tertinggi di atas jagat raya ini.

Hal itu bisa dilihat dengan nyata melalui adanya falsafah, adat, budaya, bahasa, aksara, kesenian, alat-alat kesenian, serta ilmu pengetahuan dan teknologi  (Iptek) jauh sebelum zaman millennia ini. Bukankah kebudayaan cerminan peradaban manusia? Dan perbedaan pendidikan antara manusia dengan binatang terutama terletak dalam tujuannya: manusia belajar agar berbudaya sedangkan binatang belajar untuk mempertahankan jenisnya. “Tak pernah ada binatang yang membikin perang” kata Aldous Huxley, ”karena mereka tak mempunyai sesuatu yang dianggap luhur”. Apakah yang lebih luhur lagi bagi seekor harimau selain daging segar dan betinanya ?. “Mungkin saja terdapat genius di antara para gorilla” sambung Aldous Huxley, tetapi karena mereka tidak mempunyai bahasa maka buah pikiran dan penemuan genius itu tidak tercatat dan menghilang begitu saja”. (Jujun S. Suriasumantri, 1982). 

Tudingan bernada miring “Hanya Batak Pemilik HOTEL”  tidak mustahil datang dari oknum-oknum tak bertanggung jawab atau orang tak tahu asal-usul alias Dalle serta memiliki pengetahuan dangkal tentang Batak dan Habatahon sehingga latah melontarkan istilah-istilah tak populer serta tak memiliki landasan kuat. Sebab menurut pemahaman dan analisis penulis sifat-sifat “Hosom, Teal, Elat, Late (HOTEL) dimiliki semua suku di atas bumi ini.  Bukan hanya Batak (Batak-Toba) walaupun dalam bahasa yang berbeda-beda. Sehingga pelekatan stigma negatif seperti itu adalah merupakan “arogansi intelektual” didasari pemahaman dangkal dan keliru yang perlu diuji secara akademik. 

Harus disadari setiap orang bahwa pemberian atau pelekatan predikat, simbol-simbol dengan serampangan akan sangat berbahaya serta berimplikasi luas ditengah-tengah kehidupan bermasyarakat, berbangsa maupun bernegara. Sehingga dituntut kearifan berpikir komprehensif untuk memproteksi ekses-ekses negatif dikemudian hari. Setiap pelabelan akan berimplikasi luas serta sulit dihapus atau dihilangkan apalagi bila label-label negatif itu telah membumi di ranah publik. 
  
Hosom.

Hosom adalah sifat selalu membenci, dendam terhadap orang lain akibat gesekan ataupun benturan kepentingan satu sama lain. Gesekan atau benturan kepentingan itu menjelma menjadi cikal-bakal saling dendam apalagi tidak bisa diurai dengan tuntas.

 Sifat, sikap demikian tentu saja bukan lah  hanya milik orang Batak-Toba, tetapi seluruh suku bangsa di dunia. Karena itu pula lah leluhur Batak-Toba memberikan solusi penyelesaian gesekan, benturan, perselisihan, permasalahan, persoalan, bahkan konflik melalui “Tuat si puti nangkok si deak, ima na ummuli tu si ma tapareak”. “Purpar pande dorpi tu dimposna do ujungnya, sip parmihim-himin tu rotokna do ujungna”. “Si boru puas si boru bakkara, molo dung puas sae soada mara”. “Gala-gala sitekluk telluk mardagul-dagul, molo adong na sala manat mangapul-apul”. “Molo ias sian losung ias ma di anduri” dan lain-lain.

Bahkan leluhur Batak-Toba menitahkan jangan mewariskan perselisihan, permasalahan, persoalan terhadap keturunan seperti ungkapan mengatakan,”Ndang paguguthonon na so sira tu ianakhon”. Titah ini merupakan larangan tegas agar tidak mewariskan dosa warisan atau silsilah (baca: pateanhon dosa marsundut-sundut manang tarombo) yang menjadi persoalan sepanjang sejarah. 

Hosom adalah sifat pembenci, pendendam ataupun sifat bermusuhan. Sedangkan orang Batak, khususnya Batak-Toba bukanlah tipe pembenci, pendendam atau gemar bermusuhan walaupun dalam melontarkan kata-kata terkesan keras bahkan kasar. Buktinya, Batak-Toba sangat mudah berinteraksi dengan komunitas-komunitas lain karena memiliki sifat-sifat solider dan bersahabat bukan sekadar kamuflase. 

Andaikan terjadi pergesekan atau perbenturan, bila telah diselesaikan dengan tuntas tidak memiliki dendam berkepanjangan (dendam kesumat) sebagaimana dimiliki suku lain. Artinya, rekonsiliasi hubungan semula pulih kembali seperti sediakala. Karena itu lah ada kearifan lokal Batak-Toba “Tampulon aek do halak na mardongan tubu”. Arinya, hubungan kekeluargaan serta kekerabatan tidak pernah putus selama generasi masih tetap berlanjut sepanjang masa. 

Harus pula dipahami bahwa setiap komunitas suku bangsa di atas dunia ini secara personal ada memiliki konsep diri negatif dan konsep diri positif, tetapi menjeneralisasi sifat personal menjadi gambaran sifat komunal sangat keliru besar, berbahaya serta sangat menyesatkan. 
Sebab perilaku manusia bukan mutlak ditentukan keturunannya (faktor internal) tetapi juga dipengaruhi lingkungannya (faktor eksternal). Ungkapan “Ndang dao tubis sian bonana” tidak lah suatu dalil mutlak absolut sebab ada keturunan orang baik-baik menjadi penjahat besar. Sebaliknya, ada keturunan orang biasa-biasa menjadi orang sangat luar biasa dan lain sebagainya. Karena itu lah Pdt. Halomoan Marpaung, STh, MPSi mengatakan,” Keberhasilan bukan karena keturunan, tetapi karena ketekunan. Sukses bukan hasil kerja keras, tetapi hasil kerja cerdas”.

Fenomena tumbuh berkembang belakangan ini adalah “Na malo ndang tarparguruan, na oto ndang tarajaran” sehingga mudah melontarkan ide-ide tak populer semata-mata dilatari “kelatahan” saja. Akibatnya, dalil-dalil, istilah-istilah, idiom-idiom serta simbol-simbol tumbuh bagaikan jamur di musim hujan. Sementara, apabila dalil-dalil, istilah-istilah, idiom-idiom serta simbol-simbol keliru itu dianggap suatu kebenaran akan merusak kesejatian, kemurnian pranata baku ditengah-tengah masyarakat, bangsa maupun negara. 
 
Menurut William D. Brooks dan Philip Emmert (1976:42-43) ada empat tanda orang yang memiliki konsep diri negatif. Pertama, ia peka terhadap kritikan. Orang ini sangat tidak tahan kritik yang diterimanya, dan mudah marah atau naik pitam. Bagi orang ini, koreksi seringkali dipersepsi sebagai usaha untuk menjatuhkan harga dirinya. Dalam komunikasi, orang yang memiliki konsep diri negatif cenderung menghindari dialog terbuka, dan bersikeras mempertahankan pendapatnya dengan berbagai justifikasi atau logika yang keliru. Kedua, orang yang memiliki konsep diri negatif, responsif sekali terhadap pujian. Walaupun ia mungkin berpura-pura menghindari pujian, ia tidak dapat menyembunyikan antusiasmenya pada waktu menerima pujian. Buat orang-orang seperti ini, segala macam embel-embel yang menunjang harga dirinya menjadi pusat perhatiannya. Bersamaan dengan kesenangannya tehadap pujian, mereka pun bersikap hiperkritis terhadap orang lain. Ia selalu mengeluh, mencela, atau meremehkan apa pun dan siapa pun. Mereka tidak pandai dan tidak sanggup mengungkapkan penghargaan atau pengakuan pada kelebihan orang lain. Ketiga, orang yang konsep dirinya negatif bersikap hiperkritis, cenderung merasa tidak disenangi orang lain. Ia merasa tidak diperhatikan. Karena itulah ia beraksi pada orang lain sebagai musuh, sehingga tidak dapat melahirkan kehangatan dan keakraban persahabatan. Ia tidak akan pernah mempersalahkan dirinya, tetapi akan menganggap dirinya sebagai korban dari sistem sosial yang tidak beres. Keempat, orang yang konsep dirinya negatif, bersikap pesimis terhadap kompetisi seperti terungkap dalam keengganannya untuk bersaing dengan orang lain dalam membuat prestasi. Ia menganggap tidak akan berdaya melawan persaingan yang merugikan dirinya. 

Sedangkan  menurut D.E. Hamachek  ada  11  karateristik orang yang mempunyai konsep diri positif,  antara lain:

    1. Ia meyakini betul-betul nilai-nilai dan prinsip-prinsip tertentu serta bersedia mempertahankannya, walaupun menghadapi pendapat kelompok yang kuat. Tetapi, dia juga merasa dirinya cukup tangguh untuk mengubah prinsip-prinsip itu bila pengalaman dan bukti-bukti baru menunjukkan ia salah.

2          2.    Ia mampu bertindak berdasarkan penilaian yang baik tanpa merasa bersalah yang berlebih-lebihan, atau menyesali tindakannya jika orang lain tidak menyetujui tindakannya.

3        3.   Ia tidak menghabiskan waktu yang tidak perlu untuk mencemaskan apa yang akan terjadi besok, apa yang telah terjadi waktu yang lalu, dan apa yang sedang terjadi waktu sekarang.

4         4.    Ia memiliki keyakinan pada kemampuannya untuk mengatasi persoalan, bahkan ketika ia menghadapi kegagalan atau kemunduran. 

5. Ia merasa sama dengan orang lain, sebagai manusia tidak tinggi atau rendah, walaupun terdapat perbedaan dalam kemampuan tertentu, latar belakang keluarga, atau sikap orang lain terhadapnya. 
6.  Ia sanggup menerima dirinya sebagai orang yang penting dan bernilai bagi orang lain, paling bagi orang-orang yang ia pilih sebagai sahabatnya 
7. Ia dapat menerima pujian tanpa berpura-pura rendah hati, dan menerima penghargaan tanpa merasa bersalah  
8.      Ia cenderung menolak usaha orang lain untuk mendominasinya

9. Ia sanggup mengaku kepada orang lain bahwa ia mampu merasakan berbagai dorongan akan keinginan, dari perasaan marah sampai cinta, dari sedih sampai bahagia, dari kekecewaan yang mendalam sampai kepuasan yang mendalam pula.

10. Ia mampu menikmati dirinya secara utuh dalam berbagai kegiatan yang meliputi pekerjaan, permainan, ungkapan diri yang kreatif, persahabatan, atau sekadar mengisi waktu.

11. Ia peka pada kebutuhan orang lain, pada kebiasaan sosial yang telah diterima, dan terutama sekali pada gagasan bahwa ia tidak bisa bersenang-senang dengan mengorbankan orang lain. (Brooks dan Emmert, 1976:56/Drs. Jalaluddin Rakhmat, M.Sc, 2007).

Konsep-konsep diri positif dan negatif dimiliki setiap personal suku bangsa di atas jagat raya ini sehingga tidak elegan dijadikan alat justifikasi untuk menjeneralisasi sebagai sifat komunitas tertentu, termasuk pada Batak-Toba sebagaimana dilontarkan pihak-pihak tak bertanggung jawab selama ini.

Stigma negatif itu harus ditolak Batak-Toba melalui perilaku-perilaku unggul ditengah-tengah masyarakat, bangsa maupun negara sebab Batak-Toba beradat dan beradab.

Teal. 

Teal adalah sifat, sikap petantang-petenteng yang cenderung dilatari kesombongan diri ataupun keangkuhan pribadi. Sifat serta sikap demikian tentu dimiliki diri personal dari seluruh suku bangsa di atas dunia ini. Tetapi sifat-sifat atau sikap pribadi dari suatu komunitas tidak boleh dijadikan justifikasi suatu suku bangsa memiliki hal serupa. Penjeneralisasian atas sifat atau sikap bersifat pribadi menjadi sifat atau sikap komunal adalah asumsi dangkal dan keliru.

Angkuh, sombong, patentengan, menganggap segala sesuatu enteng adalah cerminan sifat super ego serta percaya diri berlebihan yang merupakan sifat buruk melekat pada diri manusia. Percaya diri berlebihan (over comfidence)  akan membuat seseorang bertindak sesuka hati (over acting) atau “Teal”. Ada juga orang memiliki sifat angkuh, sombong dan patentengan tanpa ada suatu kebanggaan dimiliki. Inilah yang disebut “Teal so hinallung”. Dan orang seperti itu sering disebut “parhata manggang” yakni sifat hiperbola atau melebih-lebihkan sesuatu obyek diluar fakta empirik. 

Kata “Teal” tidaklah bermakna apa-apa karena kata-kata tidak bermakna; oranglah yang memberi makna. Artinya, seandainya orang Batak-Toba tidak memaknai kata “Teal” sebagai perilaku buruk maka kata “Teal” tidaklah memiliki arti apa-apa. Tetapi ketika kata “Teal” disematkan sebagai salah satu perilaku buruk Batak-Toba justru hal itulah yang sangat berbahaya serta berdampak luas. 

Sejak Plato, John Locke, Wittgenstein, sampai Brodbeck (1963), makna dimaknakan dengan uraian yang lebih sering membingungkan daripada menjelaskan. Borbeck membagi makna pada tiga corak antara lain; Pertama, makna inferensial, yakni makna satu kata (lambang) adalah obyek, pikiran, gagasan, konsep yang dirujuk oleh kata tersebut. Dalam uraian Ogden dan Richards (1946), proses pemberian makna (reference process) terjadi ketika kita menghubungkan lambang dengan yang ditunjukkan lambang (disebut rujukan atau referent). Kedua, menunjukkan arti (significance) yakni suatu istilah sejauh dihubungkan dengan konsep-konsep yang lain. Ketiga, makna intensional yakni makna yang dimaksudkan oleh seorang pemakai lambang. Makna ini tidak boleh divalidasi secara empiris atau dicarikan rujukannya. Makna ini terdapat pada pikiran orang, hanya dimiliki dirinya saja. (Drs. Jalaluddin Rakhmat, M.Sc, 2007). 

Menjadikan sesuatu jadi kepribadian spesifik apalagi menjeneralisasi tanpa pengkajian komprehensif merupakan “arogansi intelektual” serta bisa mengacau tatanan umum. Thomas Szasz mengatakan, “Orang sering berkata tentang sesamanya, ‘Dia belum menemukan jati dirinya’. Tapi jati diri – diri kita sendiri – bukanlah sesuatu yang kita temukan. Itu adalah sesuatu yang kita bentuk”.(Carol Wade & Carol Tavris, 2007).

Elat.

Dalam salah satu acara televisi “Empat Mata atau Bukan Empat Mata” yang dinahkodai Tukul Arwana ada salah satu istilah menarik menggoda perhatian penulis yakni “SMS” (Senang Melihat Orang Susah, Susah Melihat Orang Senang) yaitu suatu sifat cemburu, iri, sirik, dengki atau kurang senang melihat kelebihan orang lain (beruntung, sukses dan lain sebagainya). Sifat cemburu, iri, sirik, dengki rupanya dimiliki pribadi-pribadi seluruh komunitas di atas jagat raya ini, bukan hanya Batak-Toba yang disebut “Elat”.

Elat (cemburu, iri, sirik, dengki) adalah sebuah konsep diri negatif dari diri manusia yang bisa detemukan pada setiap komunitas di sisik bumi bukan hanya dijumpai pada satu suku bangsa tertentu sehingga pelekatan stigma negatif terhadap satu suku bangsa tertentu, misalnya menuduh Batak-Toba pemilik “Elat” sangat terlalu tendensius serta merupakan “arogansi intelektual” (baca: pamalo-malohon, papistar-pistarhon) tak bertanggung jawab.

Sifat Elat (cemburu, iri, sirik, dengki) adalah konsep diri negatif tidak mampu bersaing sehat atau bersaing sempurna (perfect competition) serta ketidakmampuan menerima, mengakui kelebihan atau keunggulan orang lain. Keberhasilan atau kesuksesan pihak lain selalu direspon negatif karena tidak mau dan rela mengakui kemampuan dan keunggulan pihak lain melebihi dirinya. Dia “senang melihat orang susah atau sebaliknya, susah melihat orang senang” (SMS) sebab tidak mampu menempatkan diri obyektif mengakui keberhasilan atau kesuksesan pihak lain. Dikala sifat cemburu, iri, sirik, dengki semakin menebal maka seseorang akan melakukan intrik-intrik untuk merusak keberhasilan atau kesuksesan pihak lain.

Dalam dunia kompetisi sehat dan sempurna diperlukan prinsip sportivitas serta keterbukaan yakni kompetisi berdasarkan kualitas kemampuan seperti kapabilitas, kredibilitas, kapasitas, serta soliditas yang dapat diukur transparan akuntabel obyektif. Dengan demikian keberhasilan dan keunggulan seseorang benar-benar berdasarkan penilaian obyektif. Tapi bagi orang memiliki konsep diri negatif serta memiliki karakteristik dogmatis atau bersikap tertutup hal demikian menjadi suatu kemustahilan. Sebab karakteristik orang dogmatis atau bersikap tertutup menilai pesan berdasarkan motif pribadi. 

Orang dogmatis tidak akan memperhatikan logika suatu proposisi, ia lebih banyak melihat sejauhmana proposisi itu sesuai dengan dirinya. Argumentasi obyektif, logis, cukup bukti akan ditolak mentah-mentah. “Pokoknya aku tidak percaya”, begitu sering diucapkan orang dogmatis. 

Setiap pesan akan dievaluasi berdasarkan desakan dari dalam diri individu (inner pressure). Rokeah menyebut desakan ini, antara lain, kebiasaan, kepercayaan, petunjuk perseptual, motif ego irasional, hasrat berkuasa, dan kebutuhan untuk membesarkan diri. Orang dogmatis sukar menyesuaikan dirinya dengan kebutuhan lingkungan.

Johari Window mengatakan,”Seringkali kita menjadi terbiasa menggunakan topeng, sehingga kita sendiri tidak menyadarinya. Orang lain sebaliknya mengetahuinya. Orang yang rendah diri berusaha jual tampang, meyakinkan orang lain tentang keunggulan dirinya, dan merendahkan orang lain. Ia tidak menyadarinya, tapi orang lain mengetahuinya. Ini termasuk daerah buta (blind area). Tentu ada diri kita yang sebenarnya, yang hanya Allah yang tahu. Ini daerah tidak dikenal (unknown area). Makin luas diri publik kita, makin terbuka kita pada orang lain, makin akrab hubungan kita dengan orang lain. (Drs. Jalaluddin Rakhmat, M.Sc, 2007). 

Orang selalu dihantui sifat cemburu, iri, sirik, dengki (baca: Elat) sulit menempatkan diri obyektif apalagi mengakui kemampuan dan keunggulan pihak lain sebagai suatu kewajaran atas prestasi kinerja. Respon negatif demikian merupakan konsekuensi konsep diri negatif dimiliki pribadi-pribadi tertentu. Sifat, sikap serta perilaku demikian merupakan cerminan pribadi yang bisa ditemui pada diri insan manusia diatas dunia ini, bukan hanya terdapat pada salah satu komunitas tertentu. Sehingga sangat keliru besar apabila ditudingkan (baca: dituhashon) pada Batak-Toba saja. 

Steven P Robinsons, PhD (2009) mengatakan, sejumlah riset ekstensif telah mengidentifikasi lima dimensi dasar yang menjelaskan variasi signifikan dalam kepribadian manusia. Lima faktor itu antara lain;

1.      Kecenderungan keluar; Apakah Anda seorang yang extrovert (ramah, mampu bersosialisasi) atau seorang yang introvert (pendiam, pemalu) ?

2.     Menyenangkan; Apakah Anda seorang yang sangat menyenangkan (kooperatif, terpercaya) atau kurang menyenangkan (pemarah, antagonistis) ?

3. Kesungguhan hati; Apakah Anda sangat bersungguh-sungguh (bertanggung jawab, terorganisasi) atau kurang bersungguh-sungguh (tidak dapat diandalkan, kacau) ?
4.  Stabilitas emosional; Apakah Anda stabil (tenang, percaya diri) atau tidak stabil (gelisah, merasa tidak aman) ?

5.      Keterbukaan terhadap pengalaman; Apakah Anda terbuka terhadap pengalaman baru (keatif, ingin tahu) atau tertutup (konvensional, mencari yang biasa) ? 

Senang melihat orang susah, susah melihat orang senang (SMS) seperti dikatakan Tukul adalah sifat, sikap serta perilaku buruk yang harus dibuang jauh-jauh dengan mengubah atau mengganti menjadi “Senang melihat orang sukses” (SMS) sebab kesuksesan orang lain akan berdampak positif terhadap diri kita, baik langsung maupun tidak langsung. Sebaliknya, apabila kesusahan semakin meluas di sekitar kita akan berdampak negatif terhadap diri kita, baik langsung maupun tidak langsung. 

Late. 

Late (sirik) adalah sifat atau sikap ingin merusak, menghancurkan keberhasilan, kesuksesan atau kebahagiaan pihak lain. Sifat atau sikap demikian merupakan cerminan karakter buruk seseorang akibat tidak suka atau tidak senang melihat keberhasilan yang dicapai orang lain. 

Gemar mengusik, menggangu atau merusak keberhasilan atau kebahagiaan orang lain lebih cenderung dipengaruhi otak kotor dan hati busuk yang tidak rela melihat keberhasilan atau kebahagiaan pihak lain. Berbagai intrik-intrik jahat dilancarkan untuk merusak, menghancurkan kesuksesan pihak lain, dan ketika taktik jahatnya berhasil untuk merusak atau menghancurkan pihak lain maka dia merasa puas. 

Sebagaimana telah diuraikan dibahagian lain tulisan ini sifat atau sikap demikian adalah merupakan cerminan konsep diri negatif yang dimiliki seseorang. Dia sirik terhadap capaian kesuksesan orang lain sehingga dia berusaha untuk meruntuhkan atau mengahancurkannya. Membuat pihak lain menderita adalah suatu perilaku buruk yang tidak patut dilakukan manusia beradat dan beradab. Sebab perlakuan demikian adalah tindakan jahat membuat orang lain sengsara. 

Sifat, sikap serta perilaku demikian sering dipraktekkan pada persaingan tidak sehat atau tidak sempurna. Memburuk-burukkan, memfitnah pihak lain dengan dalil-dalil subyektif didasari sifat sirik (baca: Late) sering dilancarkan kompetitor hitam untuk menjatuhkan pihak lain atau ingin mencapai sesuatu dengan merusak kompetitor lain.

Sifat, sikap atau perilaku demikian merupakan cerminan ketidakdewasaan berkompetisi dengan sehat. DR. Bruno Caporrimo mengatakan,” Kedewasaan adalah kesadaran akan kasih, tanggung jawab, pemahaman nilai, dan kemampuan mengevaluasi serta bersikap tegas”. “Kadang-kadang Anda merasa bahwa orang yang tidak dewasa selalu berusaha membuktikan sesuatu dalam semua tindakan mereka. Mereka berusaha membangun diri sendiri agar merasa layak dan aman, atau penting. Hal itu muncul karena salah satu ciri ketidakdewasaan adalah menuntut perhatian dan bukan memberikan perhatian. Orang yang dewasa menerima perhatian melalui jati dirinya dan pemberiannya, bukan melalui tuntutannya. 

Jika tuntutan akan perhatian atau dominasi menjadi dasar suatu hubungan, hal itu pasti disebabkan adanya ketidakdewasaan. 

Tuntutan itu dibuat berdasarkan kebutuhan yang nyata, seperti halnya orang tua menuntut anak-anak yang belum dewasa. Ketidakdewasaan selalu menunjukkan adanya tuntutan. Dalam hubungan dua orang dewasa, salah satu akan mendominasi atau membuat tuntutan jika yang satunya tidak dewasa. Namun orang yang tidak dewasa juga membuat tuntutan dan berusaha mendominasi, karena ia tidak mempunyai cara lain untuk meminta kompensasi karena ia menyadari bahwa ia tidak dewasa. Saya ingin memberikan motto yang telah saya ikuti selama bertahun-tahun: “Kurbankan hal yang baik untuk hal yang lebih baik; kurbankan hal yang lebih baik untuk yang terbaik”. Anda hanya bisa melakukan sebanyak itu untuk menjadi orang yang bisa melakukan sesuatu yang tidak dapat dilakukan orang lain. (DR. Bruno Caporrimo, 2007). 

Sifat, sikap atau perilaku tidak dewasa bukanlah milik spesifik salah satu suku bangsa di atas dunia ini, tetapi milik seluruh insan manusia karena itu sifat sirik (baca: late) tidak hanya terdapat pada Batak-Toba sebagaimana ditudingkan pihak-pihak tak bertanggung jawab selama ini. Orang dewasa memahami mana yang baik mana yang buruk sehingga selalu menghindari diri sumber penderitaan, sengsara ataupun malapetaka terhadap orang lain.

Penutup. 

Hosom, Teal, Elat, Late (HOTEL) adalah sifat, sikap ataupun perilaku buruk yang melekat pada diri manusia di setiap suku bangsa walau dengan sebutan-sebutan berbeda dengan Batak-Toba sehingga tidak patut dan wajar ditudingkan hanya milik suku Batak, khususnya Batak-Toba. 

Sifat cemburu, iri, sirik dan dengki, tidak mau dengan suka rela menerima atau mengakui kemampuan, keberhasilan pihak lain merupakan cerminan konsep diri negatif serta ketidakdewasaan  manusia di atas planet bumi ini. Bila konsep diri negatif dan ketidakdewasaan mendominasi jiwa dan pikiran manusia maka akan sulit berpikir positif dan obyektif. Senang melihat orang susah, susah melihat orang senang (SMS) selalu mengantui seseorang yang diselimuti sifat cemburu, iri, sirik dan dengki (baca: HOTEL) karena selalu memandang segala sesuatu hanya dari dalam dirinya sendiri. 

Akan tetapi bila seseorang memiliki konsep diri positif serta dewasa maka dia selalu berikhtiar, beraksioma “senang melihat orang sukses (SMS)” sebab orang berkonsep diri positif memahami paripurna “jika ingin senang buatlah orang lain senang, jika ingin sukses buatlah orang lain sukses, jika ingin bahagia buatlah orang lain bahagia”, dan lain sebagainya. Sebab prinsip hidup Batak-Toba “Molo i sinuan ido tapuon”. Apa yang kita tanam itulah yang akan kita petik.

Oleh karena itu, pelabelan “Hanya Batak Pemilik HOTEL” harus diluruskan sebab hal itu suatu stigma negatif berdampak luas ditengah masyarakat, bangsa maupun negara. Pemberian stigma negatif seperti itu adalah “arogansi intektual” alias pamalo-malohon serta tak bertangung jawab. Batak, khususnya Batak-Toba beradat dan beradab. Sekali lagi Beradat dan beradab. 

Horas bangso Batak !!!
 Medan, 27 Juli 2012
Thomson Hutasoit.
Penulis: Direktur Eksekutif LSM Kajian Transparansi Kinerja Instansi Publik (ATRAKTIP), Wakil Sekretaris Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM) Provinsi Sumatera Utara, Sekretaris Umum Punguan Borsak Bimbinan Hutasoit, Boru, Bere Kota Medan Sekitarnya, Wakil Sekretaris II Pomparan Toga Sihombing (PARTOGI) Kota Medan Sekitarnya, Penasehat Punguan Toga Lumban Gaol dohot Boru Sektor Helvetia Medan, Wakil Pemimpin Redaksi SKI ASPIRASI, tinggal di Medan.  

                                                                                            
                
  
               
             
           
           
           
           
      

Fenomena Patortor Parumaen pada Batak-Toba


(Unang niboniagahon adat)
Oleh : Thomson Hutasoit.

Pendahuluan. 

Adat budaya  suku atau bangsa merupakan suatu tradisi yang dilakukan terus-menerus serta diyakini merupakan kebenaran komunal, dipermanenkan menjadi aturan (baca:adat) yang mengikat bagi setiap elemen komunitas tersebut.

Adat Batak-Toba dikenal tiga jenis yakni; adat didasarkan pada akar adat (baca: adat sian urat ni adat), adat yang diresmikan atau disahkan berdasarkan daerah setempat (baca: adat na ni adathon), serta adat berdasarkan situasi tertentu (baca: adat na taradat). Sehingga pada Batak-Toba mengenal jenis atau macam adat yakni adat sian urat ni adat, adat na niadathon, dan adat na taradat. 

Pada awalnya bahwa “Patortor Parumaen” bukanlah suatu adat berdasarkan urat ni adat, tetapi “Patortor Parumaen” pada era belakangan ini sudah menjadi salah satu jenis adat, dan penulis belum tahu secara pasti kapan “Patortor Parumaen” dijadikan menjadi salah satu jenis ulaon, serta dimulai dari daerah mana. Akan tetapi menurut pengamatan penulis bahwa “Patortor Parumaen” telah dilangsungkan di beberapa tempat, baik perantauan maupun di bona pasogit. Patortor Parumaen adalah salah satu jenis ulaon adat na niadathon yakni suatu adat yang dulunya tidak ada, serta dilakukan pada daerah-daerah tertentu.
Karena “Patortor Parumaen” bukan merupakan adat sian urat ni adat maka sering terjadi perbedaan persepsi bagi pihak-pihak yang terkait dengan hajatan (baca: hasuhuton) yakni; hasuhuton paranak maupun hasuhuton parboru dalam suatu pesta perkawinan. Dan tidak mustahil menjadi cikal bakal keretakan hubungan harmoni kekeluargaan (baca: na martondong) di belakang hari. Apalagi jika masing-masing pihak mempertahankan adatnya sesuai dengan adat setempat maka hampir dapat dipastikan bahwa “Patortor Parumaen” akan berpotensi menimbulkan ketidakharmonisan kekeluargaan (baca: na martondong).

Fenomena “Patortor Parumaen” sepertinya semakin melebar dan meluas sehingga perlu dilakukan pembahasan lebih mendalam untuk menjernihkan arti dan makna “Patortor Parumaen” apakah murni berkaitan adat budaya atau sebaliknya sebuah upaya terselubung memperoleh uang dengan tameng “Patortor Parumaen”. Sebab dari berbagai pihak yang melaksanakan “Partortor Parumaen” telah dijadikan menjadi kalkulasi sumber penerimaan pada sebuah pesta adat perkawinan.
Menjadikan “Patortor Parumaen” sebagai sumber penerimaan atau pemasukan dana pesta perkawinan telah menggeser arti dan makna hakiki ulaon adat Batak-Toba sebagai perhelatan adat budaya menjadi ajang kalkulasi untung rugi hampa arti dan makna adat budaya yang pada ujung-ujungnya akan mendegrasikan adat budaya Batak-Toba dikemudian hari. 
Dari pengamatan penulis tentang “Patortor Parumaen” ada beberapa hal yang perlu dicermati dengan seksama antara lain:

Patortor Parumaen merusak logika adat. 

Ulaon marunjuk/mangadati atau pasahat sulang-sulang ni pahompu laos pasahat adat na gok menurut adat adalah membayar hutang (baca: manggarar utang) adat dari pihak paranak kepada pihak parboru karena telah mempersunting (baca: mangalap/mangoli) anak perempuan (baca: boru) keluarga perempuan (baca: parboru). Karena manggarar utang maka pihak paranak lah yang memberikan sejumlah mahar (baca: boli, tuhor) kepada pihak parboru. Selanjutnya, setelah pihak paranak manggarar utang adat kepada pihak parboru maka pihak parboru akan memberikan kewajiban adat kepada pihak paranak sesuai ketentuan adat Batak-Toba. Sebab prinsip manggarar adat adalah mangalehon dohot manjalo. Artinya, bukan hanya memberi tetapi juga menerima sesuai ketentuan adat Batak-Toba.

Pengertian mangalehon adalah menyerahkan sejumlah mahar (baca: sinamot, tuhor, boli) menantu (baca: parumaen) oleh pihak paranak kepada pihak parboru, termasuk pesta perkawinan (baca: marunjuk/mangadati atau pasahat sulang-sulang ni pahompu huhut pasahat adat na gok) serta panandaion kepada sanak saudara, keluarga maupun kerabat pihak parboru. Selanjutnya, pihak parboru memberikan ulos passamot, ulos hela dan ulos suhi ni ampang na opat serta ulos holong. Artinya, bahwa setelah pihak paranak menunaikan kewajiban adat kepada pihak parboru barulah pihak parboru menunaikan kewajiban adat kepada pihak paranak. Hal inilah logika adat Batak-Toba pada ulaon adat marunjuk/mangadati ataupun pasahat sulang-sulang ni pahompu huhut manggarar ulaon adat na gok.

Tetapi pada era belakangan ini ketika “Patortor Parumaen” dilakukan logika adat demikian telah dirusak karena begitu selesai pemberkatan (baca: pamasu-masuon) di gereja maka pihak paranak melakukan “Patortor Parumaen” sebelum ulaon adat marunjuk/magadati atau pasahat sulang-sulang ni pahompu huhut pasahat adat na gok kepada pihak parboru.
Pihak paranak meminta kepada pihak parboru untuk manabe-nabei pengantin dan keluarga pihak paranak, selanjutnya pihak parboru manortor sekaligus memberikan sejumlah uang kepada boru dan helanya bahkan mertua borunya yang disebut marmeme.

Pemberian ulos sabe-sabe, marmeme dari pihak parboru  kepada pihak paranak sebelum ulaon adat marunjuk/mangadati ataupun pasahat sulang-sulang ni pahompu huhut pasahat adat na gok sangat merusak logika adat Batak-Toba karena tidak sesuai dengan prinsip mengelehon dohot manjalo. Apakah benar pihak parboru memberi ulos sabe-sabe sedangkan ulos passamot, ulos hela dan ulos suhi ni ampang na opat belum diberikan kepada pihak paranak. Demikian juga marmeme terasa kurang tepat sebab mahar (baca: boli/tuhor) borunya belum diterima sudah harus memberikan uang kepada si pengantin walau direkayasa dengan bahasa adat yakni marmeme.
Ada ungkapan Batak-Toba yang tidak boleh dilupakan yakni; Ndang jadi marsomba sonduk ni parboru tu paranak”. Artinya, sebelum kewajiban adat (baca: mangalehon) pihak paranak kepada pihak parboru tidak lah tepat menerima (baca: manjalo) adat dari pihak parboru. Pemberkatan perkawinan (baca: pamasu-masuon parrumatanggaon) di gereja harus dipahami bukanlah ulaon adat marunjuk/magadati ataupun pasahat sulang-sulang ni pahompu huhut manggarar adat na gok. Sehingga “Patortor Parumaen” adalah merusak logika adat serta kekeliruan yang harus segera diluruskan agar tidak menjadi tradisi keliru dalam pelestarian adat budaya Batak-Toba dikemudian hari.

Apakah pantas dan wajar memberikan ulos sabe-sabe kepada pihak paranak sebelum memberikan ulos passamot, ulos hela, ulos suhi ni ampang na opat ? Apakah tidak keliru bila pihak parboru marmeme pihak paranak yang belum dikenal (baca: na so tinandana) ? Bukankah pihak parboru belum mengenal  pihak paranak secara adat sebelum manggarar adat na gok sesuai ketentuan adat Batak-Toba ?.

Perlu disadari pemberian panandaion dari pihak paranak kepada pihak parboru menunjukkan bahwa barulah setelah ulaon adat marunjuk/magadati ataupun pasahat sulang-sulang ni pahompu huhut manggarar adat na gok menjadi bahagian tak terpisahkan dari prosesi adat Batak-Toba. Artinya, sejak pemberian panandaion itu lah secara adat pihak paranak mengenal pihak parboru. Sehingga amat aneh bin ajaib apabila pihak parboru marmeme pihak paranak yang belum dikenal secara adat.

Kerusakan nilai-nilai luhur adat budaya ditandai tindakan inkonsisten (baca: sigoje-goje, marnida lomak ni imbulu) sehingga menjadikan “Patortor Parumaen” sebagai adat baru atas dasar kebiasaan daerah tertentu (baca: adat na niadathon) tanpa dilandasi logika adat sungguh sangat tidak tepat serta berpotensi menimbulkan hal-hal negatif. Adat adalah aturan yang berlaku universal pada suatu komunitas suku atau bangsa sehingga harus mampu membawa kebahagiaan seperti ungkapan mengatakan ” Sinuan bulu sibahen na las, Sinuan partuturan sibahen na horas” sehingga tidak perlu digunakan “Ijuk di para-para hotang di parlabian, na bisuk nampuna hata na oto tu pargadisan”. Artinya, jangan merekayasa simbol-simbol adat demi memenuhi maksud-maksud tertentu yang pada ujung-ujungnya merusak makna sejati adat tersebut. 
  
Patortor Parumaen motif cari uang.
    
Bila diamati dengan cermat bahwa “Patortor Parumaen” merupakan strategi cari uang daripada bermakna adat budaya sebab makna “Patortor Parumaen” tidak memiliki landasan adat yang kuat. Ulaon adat marunjuk/mangadati ataupun pasahat sulang-sulang ni pahompu huhut manggarar adat na gok adalah menunaikan kewajiban adat (manggarar utang) sehingga tidak memiliki logika bila ulaon adat marunjuk/mangadati ataupun pasahat sulang-sulang ni pahompu huhut pasahat adat na gok dikomersialisasikan  atau dijadikan ajang cari duit (baca: mangahut sinamot) dari pihak lain. Sebab ulaon adat bukan hitungan untung rugi secara financial.
  
Meminta bantuan atau partisipasi (baca: mangido panumpahion, pangurupion) pada suatu ulaon adat Batak-Toba biasanya berasal dari na mardongan tubu, dongan sahuta, boru, bere, pariban, ale-ale yang dilaksanakan sebelum atau ketika pesta perkawinan dilangsungkan. Biasanya, keluarga dan kerabat dekat (baca: paidua ni hasuhuton dohot sisolhot) dilaksanakan sebelum pelaksanaan ulaon adat yang disebut musyawarah keluarga (baca: tonggo saripe). Dan ketika  itulah yang punya hajatan (baca: hasuhuton) menyamakan persepsi (baca: pa dos tahi) mengatur  partording ni parjambaran sesuai tata hirarkhi silsilah (baca: tarombo) sebab bagi Batak-Toba parjambaran adalah tarombo. Sementara keluarga jauh dan handai tolan biasanya akan memberikan bantuan (baca: panumpahion) pada saat pesta perkawinan dilangsungkan yang disebut martumpak di alaman. Oleh sebab itu, sangat mudah mengetahui apakah seseorang merupakan keluarga dekat atau keluarga jauh. Bila seseorang memberikan tumpak di alaman maka seseorang itu adalah keluarga jauh maupun handai tolan (sahabat, teman, famili) yang tidak masuk kategori keluarga dekat (baca: martumpak di jabu). Sedangkan apabila seseorang memberikan tumpak di jabu maka seseorang itu merupakan bahagian keluarga dekat (baca: horong sisolhot) hasuhuton. Akan tetapi, pasca diterapkannya “Patortor Parumaen” belakangan ini batasan-batasan itu sudah semakin semu sebab kelompok (baca: horong) hula-hula yakni; hula-hula, tulang, bona tulang, bona niari, tulang rorobot, hula-hula na marhaha maranggi, hula-hula parsiat/naposo  sudah ikut memberikan bantuan (baca: silehon tumpak) kepada pihak paranak melalui sebutan “marmeme”. Dan yang paling tidak masuk akal para undangan hula-hula terpaksa akan merogoh kantong karena malu tidak ikut berpartisipasi. 

Patortor Parumaen lebih cenderung bermotif cari uang daripada bermakna nilai-nilai adat budaya murni, bahkan muncul tudingan bahwa “Patortor Parumaen” sama seperti “pengamen” untuk mencari uang menutupi biaya pesta perkawinan. Sementara adat budaya bukan lah kalkulasi untung rugi tetapi hak dan kewajiban adat yang harus dilaksanakan pada saat pesta perkawinan.

Oleh karena itu, ulaon adat tidak bisa dijadikan menjadi ajang bisnis yang mencari keuntungan dengan menggunakan uang orang lain seperti dikatakan Steven P. Robinson’s, PhD bahwa bisnis adalah menggunakan uang orang lain. Membayar hutang (baca: manggarar utang) adat mengharapkan bantuan (baca: tumpak) orang lain, apalagi dari pihak hula-hula sungguh sangat kurang tepat sebab hula-hula lah muara daripada membayar hutang (baca: manggarar utang) adat tersebut.

Pemutar balikan fakta atas pelaksanaan “Patortor Parumaen” harus segera diluruskan agar tidak menjadi preseden buruk serta mendegradasikan nilai-nilai luhur adat budaya Batak-Toba dikemudian hari. Asumsi  pemasukan dana lebih besar dari “Patortor Parumaen” perlu juga dianalisis dengan paripurna sebab tidak tertutup kemungkinan bahwa uang yang diberikan pada saat “marmeme” adalah sebahagian dari tumpak yang seharusnya diberikan. Artinya, tumpak yang direncanakan semula dibagi untuk “marmeme” dan panumpahion biasa sehingga jumlahnya sama saja.

Pengamatan penulis sebagai praktisi adat “Patortor Parumen” di Kota Medan tidak lazim dilaksanakan hingga kini, selain kurang abdol juga menimbulkan inefisiensi waktu, serta kerumitan dalam pelaksanaan adat. Upaya-upaya efisiensi, efektifitas adat semakin diupayakan seperti menyederhanakan panjouon panandaion beberapa kelompok saja. Tetapi apabila “Patortor Parumaen” yang cenderung bermotif cari uang dilegalkan maka akan terjadi paradoksal pelaksanaan ulaon adat. Hal itulah yang perlu dipikirkan lebih mendalam agar makna adat budaya tidak melenceng atau menyimpang dari makna hakikinya.

Patortor Parumaen merusak kesehatan.  
      
Ekses negatif “Patortor Parumaen” dari segi kesehatan adalah terganggunya waktu makan siang, padahal tidak semua orang serapan pagi harinya. Kalau biasanya waktu makan siang adalah pukul 12.00-13.30 WIB maka pasca penerapan “Patortor Parumaen” maka makan siang pada pesta perkawinan bisa menjadi pukul 15.00 WIB bahkan pukul 16.00 WIB. Makan pukul 15.00 WIB atau pukul 16.00 WIB apakah masih cocok disebut makan siang atau lebih tepat disebut makan sore ? 

Keterlambatan makan akan sangat berpengaruh terhadap kesehatan, misalnya menimbulkan penyakit maag dan lain sebagainya. Orang sehat saja bila sering terlambat makan akan rentan terkena penyakit maag konon lagi orang yang sudah mengidap penyakit maag harus “dipaksa” makan siang pukul 15.00 WIB hingga pukul 16.00 WIB akibat “Patortor Parumaen” sungguh tidak masuk akal serta sangat membahayakan terhadap kesehatan para tamu dan undangan pesta perkawinan tersebut. Tindakan demikian adalah suatu tindakan amat sangat keliru dan tidak masuk akal. Merusak waktu makan siang normal demi “Patortor Parumaen” yang tidak memiliki logika adat atau demi mencari uang sangatlah keliru besar. Hal itu bisa dianalogikan mengundang orang lain untuk disiksa waktu makannya atau dirusak kesehatannya. Tindakan demikian sangat tidak dapat diterima akal sehat serta dapat menimbulkan stigma negatif “pergi ke pesta perkawinan mendapatkan penyakit” (baca: laho tu pesta mangalap sahit). Belum lagi ketika “Patortor Parumaen” tidak mempedulikan efisiensi waktu, dimana pihak-pihak tertentu memanfaatkan acara panortoron untuk memuaskan hasrat (baca: patombus tagas) dengan umpasa atau umpama bertele-tele agar semua orang tahu bahwa yang bersangkutan memiliki kemampuan marumpasa atau marumpama. Mereka tidak menyadari bahwa orang lain sudah bosan, dongkol bahkan merengkel atas tindakan inefisiensi waktu tersebut. Akibatnya bisa menimbulkan dosa antar sesama.

Memuaskan hasrat (baca: pasombu tagas) manortor pada saat “Patortor Parumaen”  sama seperti “siar-siaran manortori na so gondangna” artinya, memuaskan hasrat yang bukan pada tempatnya. Apakah tepat meminta tua ni gondang, gondang somba-somba, gondang mangaliat, gondang sitio-tio dan gondang hasahatan pada saat pesta perkawinan ? Apakah ulaon adat marunjuk/mangadati atau pasahat sulang-sulang ni pahompu huhut manggarar adat na gok ulaon horja sehingga diadakan panortoron ? Apakah bijaksana demi “Patortor Parumaen” mengganggu waktu makan siang yang bisa berakibat pada gangguan kesehatan ? Hal itu perlu dipikirkan dengan baik dan benar agar ulaon adat tidak menimbulkan penyakit atau menggangu kesehatan.

Sebagaimana telah diuraikan di awal tulisan ini bahwa prinsip dasar melaksanakan adat budaya adalah “Sinuan bulu sibahen na las, Sinuan partuturan sibahen na horas” bukan mendatangkan penyakit (baca: pa ro sahit). Prinsip dasar ini perlu dibumikan dengan baik dan benar agar tudingan-tudingan miring atau negatif dari pihak-pihak gerakan anti adat budaya mampu ditepis.

Patortor Parumaen merusak prosesi adat.

Prosesi ulaon adat Batak-Toba seperti ulaon adat marunjuk/mangadati atau pasahat sulang-sulang ni pahompu huhut pasahat adat na gok diawali dengan perjamuan makan (baca: marsipanganon), membagi parjambaran juhut (baca: tudu-tudu ni sipanganon), mangkatai atau marsisungkunan antara parsinabung, parsinabul, parsaut kedua belah pihak (baca: panak dohot parboru), pasahat panggohi ni sinamot, panandaion, pasahat tintin marangkup, kemudian pihak parboru dan/atau tulang ni hela memberikan ulos passamot, ulos hela, ulos suhi ni ampang na opat, ulos holong dan ulos tulang tintin marangkup/siungkap hombung, dan diakhiri mangkatahon olop-olop.

Akan tetapi, prosesi ulaon adat tidak lagi terlaksana dengan baik sebab sebahagian besar waktu telah habis untuk “Patortor Parumaen” sehingga prosesi ulaon adat yang menjadi inti materi acara hanya sekadarnya saja (baca: ambe-ambe laos) mengakibatkan ulaon adat kurang bermakna (baca: mago-mago so seang) alias sia-sia belaka. Pemberian ulos passamot, ulos hela, ulos suhi ni ampang na opat dan ulos holong yang seyogiyanya diberikan pada saat mata hari terbit (baca: di torang ni ari) berubah menjadi pada malam hari (baca: di golap ni ari) semata-mata akibat inefisiensi waktu “Patortor Parumaen” yang tidak memiliki makna adat sama sekali.
Pemberian wejangan atau nasihat bernas (baca: poda na tur) kepada pengantin melalui untaian umpasa maupun umpama dari kelompok hula-hula yang menjadi inti ulaon adat tidak ada waktu yang cukup sebab sebahagian besar waktu telah terbuang sia-sia pada saat “Patortor Parumaen”. Akibatnya, ulaon adat inti menjadi tak bermakna sama sekali. Apakah bijaksana inti ulaon adat terdesak atau terpinggirkan oleh “Patortor Parumaen” yang tidak berkaitan sama sekali dengan makna ulaon adat marunjuk/mangadati atau pasahat sulang-sulang ni pahompu huhut manggarar adat na gok ? Inilah salah satu kekeliruan besar dalam pelaksanaan “Patortor Parumaen” yang semakin merambah pada Batak-Toba karena “eme na masak digagat ursa, ima na masa ima taula” walau hal itu tidak memiliki landasan adat budaya yang kuat dan benar.

Pelanggengan “Patortor Parumaen” bisa merusak prosesi ulaon adat Batak-Toba secara sistemik karena sebahagian besar waktu, pemikiran, tenaga sudah tertumpah atau tersita padahal “Patortor Parumaen” semata-mata untuk mengejar materi (baca: masi hepeng) yang sangat menyimpang dari makna ualon adat Batak-Toba.

Peranan Lembaga Adat.

Berbagai kekeliruan pelaksanaan ulaon adat belakangan ini perlu menjadi perhatian serius dari lembaga-lembaga adat, misalnya Lembaga Adat Dalihan Natolu (LADN), Forum Komunikasi Antar Lembaga Adat (FORKALA) dan lain sebagainya agar nilai-nilai luhur adat budaya dapat dijaga, dilestarikan, serta dipertahankan sehingga nilai-nilai adat budaya benar-benar bermanfaat mendatangkan kebahagiaan dalam berbangsa dan bernegara.
  
Lembaga-lembaga adat perlu melakukan penelitian serta pengkajian komprehensif tentang perkembangan adat budaya ditengah-tengah kehidupan masyarakat dan bangsa sebab tidak mustahil akan muncul adat budaya baru didasarkan atas kepentingan tertentu yang berpotensi menimbulkan gesekan ataupun konflik. Lembaga-lembaga adat perlu berperan aktif menginventarisir, menganalisis, meluruskan apabila terjadi penyimpangan pelaksanaan adat budaya agar tidak menimbulkan ekses negatif ditengah-tengah kehidupan masyarakat dan bangsa. 

Selain daripada itu, eksistensi lembaga-lembaga adat harus pula nampak dengan nyata melalui tindakan konkrit ditengah-tengah masyarakat atau komunitas, tidak hanya sekadar nama saja tanpa manfaat apa-apa. Misalnya, peran aktif lembaga adat untuk memperjuangkan eksistensi masyarakat hukum adat termasuk hak-hak keperdataannya, seperti perjuangan kepastian hak masyarakat hukum adat tentang tanah, hutan dan hak ulayat melalui pengusulan  peraturan daerah (Perda) bahkan undang-undang agar hak-hak keperdataan masyarakat hukum adat terlindungi sebagaimana amanah UUD Republik Indonesia 1945.

Sesungguhnya peran aktif lembaga adat dalam menyelesaikan permasalahan masyarakat hukum adat tentang hak-hak keperdataan serta berbagai prosesi adat budaya memiliki posisi amat strategis. Akan tetapi sangat disayangkan peran strategis itu belum bisa dilakukan dengan maksimal hingga muncul tudingan lembaga adat hanya sekadar nama saja. Bukan kah tujuan pembentukan lembaga adat ini untuk menjaga, mempertahankan, melestarikan, serta memperjuangkan eksistensi adat budaya dan hak-hak keperdataan masyarakat hukum adat? 

Tetapi dikala masyarakat hukum adat menghadapi berbagai permasalahan baik prosesi adat budaya maupun perjuangan hak-hak keperdataan peran lembaga-lembaga adat tidak maksimal memberikan asistensi, advokasi terhadap masyarakat hukum adat. Hal inilah yang perlu menjadi perhatian serius untuk mempertajam peran lembaga-lembaga adat ditengah-tengah masyarakat dan bangsa.

Medan, 29 Juni 2012 
Thomson Hutasoit.
 Penulis: Direktur Eksekutif LSM Kajian Transparansi Kinerja Instansi Publik (ATRAKTIP), Sekretaris Umum Punguan Borsak Bimbinan Hutasoit, Boru, Bere Kota Medan Sekitarnya, Wakil Sekretaris II Parsadaan Pomparan Toga Sihombing (PARTOGI) Kota Medan Sekitarnya, Penasehat Punguan Toga Lumban Gaol Sektor Helvetia Medan, Wakil Sekretaris Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM) Provinsi Sumatera Utara, Wakil Pemimpin Redaksi SKI ASPIRASI, Kontributor Tabloid Pusuk Buhit, tinggal di Medan.